NovelToon NovelToon

Dear, Pak Boss

Bab 1. Perkara waktu

Selamat datang kembali di karyaku yang baru. semoga kalian suka ya 😊

happy reading😍

.

.

Sejak tadi Stella tidak berhenti berdecak karena jalanan ibu kota yang padat merayap. Padahal, hari ini Stella harus datang ke kantor lebih pagi untuk penyambutan Direktur Utama yang baru.

Gadis pemilik lesung pipi itu sampai harus memicing untuk menerawang hal apa yang menyebabkan kemacetan terjadi. Bibirnya yang ranum dengan polesan liptint terus mengumpat tiada henti. Berulang kali sang Gadis mengusap mata bulatnya agar pandangannya tidak buram karena asap kendaraan yang mengotori udara.

Alisnya yang sedang, tidak tebal juga tidak tipis sejak tadi bertaut menaungi bulu matanya yang lentik. Disaat sedang seperti itu, Stella malah semakin cantik. Pipinya menggembung hingga wajahnya terlihat sangat lucu.

Suara klakson saling bersahutan memenuhi gendang telinga. "Kenapa macet sih? Apa presiden mau lewat sini? Tolong, Lewatnya dipercepat, Pak. Aku bisa terlambat," monolog Stella frustasi.

Sekitar sepuluh menit, Stella akhirnya bisa melepaskan diri dari belenggu kemacetan yang membuat penampilannya berkeringat. "Sialan! Harus ngebut ini, biar cepat sampai," Setelahnya, Stella menaikkan kecepatan motornya membelah jalanan dengan salip kiri salip kanan.

Pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, Stella akhirnya sampai di parkiran kantor. Hal itu tidak membuat Stella bersantai-ria, dia melepas atribut mengendaranya dan berlari memasuki gedung kantor.

Namun, langkahnya harus terhenti ketika mendapati semua karyawan dari setiap divisi sudah berjajar rapi menyambut Direktur Utama yang baru. "Aku terlambat," gumam Stella ingin menyembunyikan dirinya saja di kantong ajaib milik Doraemon.

Pak Bossnya saat ini sedang berjalan melewati semua karyawannya dengan ditemani beberapa pria bertubuh tegap dan berwajah seram.

Stella perlahan mundur, berharap tidak ada yang melihatnya datang terlambat. Stella punya ide untuk masuk lewat pintu darurat yang berada di samping kantor. Namun saat baru dua langkah, suara berat yang terdengar dingin dan datar menginterupsi.

"Mau kemana kamu?" tanyanya terdengar mengintimidasi. Stella meringis malu karena semua mata kini tertuju kepadanya. Dan Stella merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian seperti sekarang ini. "Ma-mau mun-mundur perlahan, Pak," jawab Stella tergagap ketika menyadari siapa yang bertanya. Dia adalah Arshaka Virendra, sang Direktur Utama.

"Suruh dia keruangan saya, Ron!" titah Direktur Utama pada asistennya. Stella ingin menangis saat itu juga, dia hanya bisa berdoa semoga besok Stella masih bisa bekerja seperti biasa.

Semua beralih menatap Direktur Utama yang kini sudah berlalu menuju ruangannya. Sepeninggalan pak Boss, Ana berjalan mendekati Stella. "Stella? Kenapa kamu terlambat disaat yang tidak tepat si?" tanya Ana, teman satu divisi Stella, dengan begitu kesalnya.

Stella menjambak rambutnya frustasi. "Kamu tahulah, Na, jalur dari arah kostanku kaya apa? Gimana dong, Na? Kasih jalan keluar gitu?" rengek Stella putus asa.

Ana mendengus pelan. "Jalan satu-satunya adalah, kamu harus hadapi. Toh, selama ini kamu nggak pernah terlambat kan?" jawab Ana yang sama sekali tidak membuat Stella tenang.

"Nona Stella, Anda di panggil oleh Boss untuk ke ruangannya sekarang!" titah asisten Ron yang sejak tadi belum beranjak dari sana. Stella mengerjap. "Anda masih disini?"

"Baiklah, Ana. Sepertinya aku harus menghadapi pak Boss," ucap Stella pada akhirnya.

Asisten Ron sudah akan melangkah namun urung ketika Stella menghentikannya. "Tunggu Pak Rom. Saya akan mengucapkan salam perpisahan dulu dengan teman saya. Saya tidak tahu apakah setelah ini saya bisa kembali dengan selamat," ucap Stella dramatis dengan menangis dibuat-buat.

Ana memutar bola matanya malas. "Kembali dengan selamat? Kaya mau perang saja," ucap Ana tidak habis pikir dengan tingkah temannya satu ini. Asisten Ron tidak merespon apapun, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

"Aku pergi menghadap Yang Mulia dulu ya, Na. Jika dua jam lagi aku tidak kembali, berarti aku sudah istirahat dengan tenang," ucap Stella sambil membuat gerakan menghapus air mata. Walau sebenarnya, tidak ada setitik pun air mata yang jatuh.

Ana ingin bersuara namun urung ketika Asisten Ron bersuara lagi. "Cepatlah Nona! Semakin lama, semakin Boss akan marah pada Anda," ucap Ron datar.

"Baiklah."

Setelah itu, Stella berjalan di belakang Ron dengan wajah menunduk malu. Bagaimana tidak? Semua karyawan sedang menatap Stella penuh rasa iba seakan Stella adalah seorang terdakwa yang akan di hukum mati.

Karena langkahnya pendek, Stella sampai berjalan terseok-seok untuk menyeimbangi Ron yang langkahnya begitu lebar. "Pak Rom, tolong pelankan jalan Anda. Saya harus berlari untuk bisa mengejar langkah Anda," ucap Stella memohon.

Rom menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuh untuk menatap Stella sepenuhnya. Stella pun ikut menghentikan langkah dan menatap asisten Ron penuh tanda tanya. "Nama saya Ronald, bukan Romald," tegas Ron dengan tatapan tajamnya.

Nyali Stella seakan menciut hingga mundur beberapa langkah. "Maaf, asisten ROMald," jawab Stella yang lagi-lagi salah sebut. Ron mendengus sebal dengan masih mempertahankan wajah datarnya.

Tanpa protes lagi, Ronald kembali berjalan menuju lift sebagai akses untuk sampai di lantai paling atas. Stella masih setia mengikuti dalam diam hingga tiba di ruangan sang Direktur Utama.

"Silakan masuk! Tuan sudah menunggu, Anda," titah Ron tegas. Stella mengangguk pasrah, tidak ada pilihan lain selain menghadapi pak Bossnya.

Tok, tok, tok.

Stella mengetuk pintu ruangan hingga terdengar suara dari interkom yang menyuruhnya masuk.

Ceklek.

"Selamat pagi, Pak," sapa Stella sambil memgulas senyumnya. Bisa Stella lihat, bosnya saat ini sedang berdiri membelakanginya, menatap pemandangan kota dari balik dinding kaca di ruangannya. "Masuk!" titahnya tegas tak terbantahkan.

Stella menarik napas lalu menghembuskannya beberapa kali untuk menghilangkan ketakutannya. Setelah siap, Stella berjalan lebih dalam lagi menuju meja kerja sang Boss.

Setelah Stella berdiri di samping meja, suara sang Direktur Utama kembali terdengar. "Kamu tahu apa kesalahanmu?" tanyanya dingin dengan posisi masih membelakangi Stella.

Stella menatap punggung tegap milik pria jangkung dihadapannya "Saya terlambat, Pak. Maafkan saya," sesal Stella lalu menundukkan kepala, dia mengakui kesalahannya yang memang terlambat. 'Sebentar, bukankah aku tidak terlambat? Pak Boss saja yang datang terlalu pagi,' batin Stella mencari pembenaran.

"Pak? boleh saya mengemukakan pendapat?" izin Stella dengan cepat. Shaka langsung membalikkan tubuhnya untuk bisa menatap Stella sepenuhnya. "Hm." jawabnya singkat.

Stella mengerjap sebelum kembali bersuara. Dia begitu terpesona dengan wajah tampan yang saat ini sedang menatapnya dengan tajam. Garis hidung yang tinggi, rahang tegas dengan ditumbuhi bulu-bulu halus, dan alis tebal yang menaungi mata tajamnya hingga mampu mengintimidasi lawan bicaranya.

Bisa Stella pastikan, jika pemilik wajah itu mengulas senyum sedikit saja, ketampanannya akan meningkat seribu satu kali.

Klik.

Shaka menjentikkan jarinya di depan wajah Stella hingga berhasil membuyarkan keterpanaannya. Setelah berhasil menguasai diri, Stella kembali berucap. "Pak, bukankah saya tidak terlambat ya? Saya datang tepat pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Itu berarti, saya masih punya kelonggaran waktu lima belas menit," ujarnya beropini.

Shaka menaikkan satu alisnya. "Kamu tetap terlambat!" tegas Shaka yang membuat Stella merasa tidak terima. "Bukan saya yang terlambat, Pak. Tapi Bapak yang datang terlalu pagi," kesalnya dengan wajah cemberut.

Bab 2. Lempeng

Stella bisa bernapas lega karena sang Bos tidak memecat dirinya. Sebagai gantinya, Stella harus mengerjakan beberapa berkas yang harusnya menjadi tugas Direktur Utama. Itu tidak masalah untuk Stella. Yang terpenting, besok dirinya masih bisa bekerja seperti biasa.

Jarum jam pendek sudah menunjuk angka lima sedang jarum panjang sudah menunjuk angka dua belas namun, pekerjaan Stella masih begitu menumpuk.

Stella melakukan peregangan otot yang berubah kaku karena berjam-jam berkutat dengan barisan paragraf yang membuat kepalanya pening. "Aku butuh kopi!" pekik Stella hingga membuat beberapa teman satu divisinya menoleh sinis. Stella meringis, dia pikir hanya tinggal dirinya saja di ruangan tersebut. Ternyata, masih ada beberapa yang lembur.

"Nih! Kopi!" Baru saja selesai berucap, doanya langsung dikabulkan. Stella melihat satu kap kopi yang diletakkan di atas mejanya. Stella mendongak untuk melihat siapa yang sudah berbaik hati memberinya kopi. "Aku kurang baik apa coba? Kamu harus banyak bersyukur punya teman kaya aku," puji Ana membanggakan diri sendiri.

Stella tersenyum dengan mata berbinar. "Makasih, Sayang. Kamu memang yang terbaik," Dengan tulus, Stella mengucapkannya. Kemudian, Stella melihat Ana yang menarik kursi di sebelah kubikelnya, membawanya mendekat untuk duduk bersisian dengan kursinya. "Kok kamu belum pulang?" tanya Stella sambil menyesap kopi hangatnya.

Ana menggeleng. "Aku mau menunggu kamu. Bagaimanapun sikapmu padaku, aku akan tetap selalu ada untukmu," ucap Ana dramatis. Stella mendengus pelan "Memangnya, apa yang salah dari sikapku? Perasaan, semua baik-baik saja," tanya Stella tidak terima, bibirnya sudah mencebik kesal.

"Bagaimana rasanya berada dalam satu ruangan dengan orang tampan?" tanya Ana yang diluar topik pembicaraan. Stella memutar bola matanya jengah. "Aku penasaran, La. Hari pertama di kantor, pak Shaka sudah menjadi trending topik di seluruh jagad kantor," ucap Ana lagi.

"Oh ya? Tapi, pak Shaka memang tampan si," ucap Stella mengakui. Setelah itu, Stella kembali berkutat dengan pekerjaannya. Sedangkan Ana memilih diam, larut dalam pikirannya sendiri.

Stella yang menyadari keterdiaman Ana, akhirnya bersuara lagi. "Tumben kamu diam?" tanya Stella heran kemudian beralih lagi dengan komputer di depannya. Ana tidak menjawab namun, tatapnya mengarah ke pintu dimana ada seorang pria yang kini sedang berdiri disana.

"Sumpah! Pak Shaka tampan sekali, La. Aku bisa pingsan disini kalau pak Shaka mendekat," gumam Ana enggan mengalihkan tatapan pada Shaka yang kini sedang berjalan ke arahnya. Stella mendengus pelan tanpa mengalihkan pandangan. "Memang tampan. Tapi sayangnya, galak dan kaya jalan tol ... Lempeng ...." Stella mencibir yang tentunya masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di ruangan tersebut.

Keadaan seketika berubah mencekam namun, Stella tidak menyadari karena fokusnya kini ada pada komputer di depannya.

Ekor mata Stella melihat Ana yang beranjak dari duduknya. "Aku pamit dulu ya, La. Kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Ana yang berhasil membuat Stella mengerutkan dahinya, heran. Tinggallah di ruangan tersebut hanya ada Stella dan Shaka, karena semua orang sudah keluar demi menjaga keamanan dan ketentraman hidupnya.

"Ehem!"

Deheman itu berhasil membuat Stella berjenggit. Pasalnya, Stella merasa tidak asing lagi dengan suara berat itu. Stella berpikir sejenak untuk mengingat. Ketika sudah sadar, Stella membelalak kaget. 'Ana! Katanya kamu akan selalu ada untukku? Mana buktinya!' rutuk Stella dalam hati, merasa kesal dengan Ana.

Stella memberanikan diri untuk mendongak dan langsung mendapati Shaka yang kini sedang berdiri di samping meja dengan berkacak pinggang. Stella berusaha tersenyum. "Eh, ada Pak Shaka. Sudah lama ada disini, Pak? Kok Bapak nggak bilang-bilang si? Kalau Bapak bilang kan, saya bisa melakukan penyambutan yang selayaknya," ucap Stella mencoba mengalihkan perhatian Shaka.

Shaka mengangkat satu alisnya. "Tidak penting. Kamu tadi bilang apa?" tanya Shaka datar dengan tatap penuh intimidasi. Stella meringis. "Saya tadi mengatakan tentang penyambutan, Pak," jawab Stella takut-takut.

"Yang sebelumnya?" desak Shaka lagi.

"Lempeng, Pak. Kaya jalan tol," jawab Stella terlewat jujur. Shaka kembali bertanya dengan maju selangkah lebih dekat dengan Stella yang saat ini masih duduk di kursi kerjanya. Shaka sedikit membungkuk agar tatapnya bertemu dengan tatap Stella. "Siapa yang lempeng, kaya jalan tol?" tanya Shaka lagi dengan penuh penekanan.

Stella menelan salivanya, tidak mungkin dia berkata jujur bahwa yang dimaksud Stella lempeng adalah orang yang saat ini berada dihadapannya. Namun, untuk apa berbohong jika kenyataannya memang seperti itu? Akhirnya, Stella memilih menjawab jujur. "Pak Shaka," Stella memejamkan matanya erat-erat, pasrah jika setelah ini nyawanya sudah berpindah alam.

Namun beberapa menit berlalu, tidak ada respon apapun dari Shaka sehingga, hal itu mengharuskan Stella membuka matanya. Saat pertama kali Stella membuka mata, tatapnya langsung tertuju pada mata indah di depannya.

Stella tidak tahu apa yang sedang dilakukan Shaka dengan jarak pandang sedekat ini. Tenggorokan Stella rasanya tercekat, untuk sekedar mencari oksigen saja rasanya susah sekali. Saat ini, Shaka sedang menatap dirinya begitu lekat hingga membuat Stella tenggelam ke dalam manik coklat milik Shaka.

Dari jarak sedekat ini, Stella bisa melihat wajah Shaka yang ketampanannya meningkat hingga membuat Stella tak mampu berkedip apalagi mengalihkan pandangan.

Klik.

Shaka menjentikkan jari di depan wajah Stella hingga membuat Stella tersadar kembali. "Jangan melamun! Dimana berkasnya?" tanyanya ketus lalu, menegakkan tubuh pada posisi semula. Untungnya, tidak membutuhkan waktu lama untuk Stella menguasai diri. Tangannya bergerak mengambil setumpuk berkas yang sudah selesai dikerjakannya. "Ini, Pak. Sebagian lagi masih dalam proses pengerjaan," jawabnya jumawa.

Shaka menatap tak suka pada Stella yang dengan mudahnya mengerjakan tugas darinya. Akhirnya, Shaka mengambil salah satu berkas dan membukanya, berharap ada setitik kesalahan yang bisa dia gunakan untuk menjatuhkan Stella.

Namun hingga halaman terakhir, Shaka tidak menemukan adanya kesalahan. Tatapnya kini tertuju pada Stella yang sedang bersedekap penuh rasa bangga karena sudah menyelesaikan tugas darinya dengan baik. "Jangan senang dulu! Masih banyak yang harus kamu kerjakan!" kesal Shaka dengan gigi bergemeletuk.

Stella tertawa renyah. "Sudahlah, Pak. Akui saja kalau pekerjaan saya bagus. Gengsi ya, Pak?" tanya Stella dengan alis yang bergerak turun-naik. Shaka berdehem pelan. "Jangan banyak bertanya. Kerjakan lagi tugasnya!" titah Shaka yang sama sekali tidak membuat Stella takut.

Entahlah, Stella justru merasa tertantang dengan sikap bosnya yang galak dan berwajah lempeng itu. Tiba-tiba, muncul ide iseng untuk membuat Shaka mau tersenyum. "Oh iya, Pak. Saya ada sesuatu untuk Bapak. Sebentar," Kemudian, Stella tampak mengobrak-abrik isi tasnya.

Shaka tampak menunggu Stella yang katanya punya sesuatu untuk dirinya. Stella menatap Shaka dengan senyum manisnya hingga membuat Shaka mengerutkan dahi. Stella seperti akan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Setelah mengeluarkan tangannya, tidak ada apapun selain jari telunjuk dan ibu jari Stella yang membentuk hati. "Sarangheyo." ucapnya iseng.

Bibir atas Shaka berkedut samar hingga Stella tidak menyadari jika Shaka ingin sekali tersenyum. "Kamu apa-apaan si?" ketus Shaka kemudian berbalik meninggalkan Stella yang masih melongo. "Dia tetap nggak senyum?" gumam Stella tak habis pikir.

"Awas ya, Pak! Akan saya buat Bapak tersenyum nanti!" teriak Stella kesal, berharap suaranya tetap terdengar oleh Shaka yang saat ini sudah berada di ambang pintu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

yuk, tinggalkan jejak kalian disini😍🙃

Bab 3. Stella?

Sarangheyo.

Kata itu seakan terngiang-ngiang di kepala Shaka sesaat setelah dirinya merebah pada ranjang berukuran king size di apartemennya. Dan hal itu, berhasil membuat bibirnya mengulas senyum tipis.

Shaka menghela napasnya pelan, kemudian bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak berapa lama, Shaka selesai dan segera memakai baju ganti. Baru saja Shaka akan merebahkan tubuh, bel apartemennya berdenting.

Dengan terpaksa, Shaka mengurungkan niat kemudian berjalan menuju pintu. Dia menyesal telah mengizinkan Ron pergi berkencan di malam Minggu bersama pacarnya. Seharusnya, tugas membuka pintu tidak menjadi tanggungjawabnya jika ada Ron.

Ceklek.

Pintu akhirnya terbuka dan menampilkan seorang pria paruh baya yang begitu Shaka hindari. Pria yang memiliki garis wajah yang mirip dengannya dan tinggi badan yang hampir sama. "Shaka? Apa kabarmu?" tanya pria tersebut yang tak lain adalah ayah dari Shaka, Gunardi Virendra.

"Lebih baik dari saat hidup dengan Anda," jawab Shaka tersenyum miring, sangat berbeda dengan Pak Gunardi yang justru tersenyum hangat menatap anak semata wayangnya. Sedang yang ditatap, justru membuang muka dan berdecih.

"Boleh Papa masuk?" tanya Gunardi penuh harap. Shaka menatap tajam sosok ayahnya dan berkata. "Tidak ada urusan yang penting di antara kita. Lebih baik, urus saja nama baik dan bisnis, Anda," Rasa marah dan kecewa seketika kembali merasuk di relung terdalam.

Sebelum Shaka benar-benar kelepasan hingga berbuat yang tidak seharusnya, lebih baik mengakhiri pertemuan yang tak diharapkan itu. "Silahkan pergi dari sini sebelum saya mengusir Anda dengan tidak terhormat," ucap Shaka penuh penekanan.

Pak Gunardi tersenyum sendu, sama sekali tidak marah dengan sikap sang Putra. "Baiklah, Papa akan pergi dari sini. Terima kasih karena sudah sudi menemui Papa," ucap pak Gunardi menatap lekat putranya.

Tanpa menunggu pak Gunardi pergi, Shaka langsung menutup pintu apartemennya. Amarah seketika menguasai hingga membuat Shaka ingin membanting apapun yang ada di sekitarnya.

Namun, belum sempat Shaka melampiaskan kemarahan, bel kembali berbunyi. Shaka mengepalkan kedua tangannya dengan rahang mengeras, menganggap bahwa yang memencet bel masih orang yang sama.

Dengan kasar, Shaka membuka pintu itu kembali. Saat pintu terbuka, emosi yang sempat tersulut seketika menguap entah kemana. "Kenapa?" tanya Shaka dengan mempertahankan wajah datarnya, dia membuang napas kasar.

"Pak, saya mau mengantarkan sisa berkas yang sudah selesai dikerjakan," ucap Stella dengan wajah polosnya dan berhasil membuat Shaka terpana untuk beberapa detik. Namun, dia kembali memasang wajah datar sebelum Stella menyadarinya.

Ya, seseorang yang datang ke apartemennya adalah Stella. Entah tahu darimana alamat apartemennya, Shaka tidak terlalu peduli. "Mana?" tanya Shaka cuek sambil menengadahkan tangannya di depan Stella.

Stella justru mundur beberapa langkah dengan menyembunyikan berkas tersebut di punggungnya. "Tunggu dulu, Pak. Jangan terlalu buru-burulah," ucap Stella dengan senyum liciknya.

Shaka mendengus sebal. "Cepat! Saya tidak punya banyak waktu!" ketusnya dengan suara menggeram kesal. Stella terlihat menghembuskan napasnya ke atas hingga membuat poninya menyembul ke atas.

"Baiklah, Pak. Tapi ...." Stella sengaja menggantung kalimatnya agar Shaka semakin penasaran dan menunjukkan ekspresi kesalnya. Namun, kenyataan tak sesuai harapan karena saat ini Shaka terlihat biasa saja dengan ekspresi datarnya.

Bibir yang semula tertarik ke atas, kini kembali ke tempat semula. "Beri saya pertanyaan, Pak. Memangnya, Bapak nggak penasaran?" tanya Stella lagi dengan bibir cemberut. "Apa?" tanya Shaka pada akhirnya.

Stella tertawa bahagia sambil bertepuk tangan. "Akhirnya bapak menjawab juga," girangnya yang hanya ditanggapi Shaka dengan dengusan. "Cepat katakan! Jangan buang waktu berharga saya!" ketus Shaka merasa jengah

Tanpa terganggu dengan sikap tidak suka bosnya, Stella berdehem untuk mengatakan keinginannya. "Coba bibir Bapak ditarik ke atas," perintah Stella menjebak yang sayangnya Shaka lakukan karena tidak ingin berlama-lama dengan gadis di depannya.

Jadilah Shaka mengulas sedikit senyum yang tidak disadarinya. Stella mengulum senyum lalu berkata lagi. "Coba ditarik ke atas sedikit lagi, Pak, biar pas," ucap Stella sambil menaik-turunkan alisnya.

Dan bodohnya, Shaka kembali mengangkat bibirnya hingga membentuk senyum yang menawan. Stella terpesona cukup lama, Shaka benar-benar tampan ketika tersenyum seperti itu.

Shaka yang tersadar karena sudah dibodohi, langsung merubah wajahnya menjadi datar dan merebut berkas di tangan Stella secara paksa lalu menutup pintu apartemennya kasar. "Sialan! Gadis itu lama-lama bisa membuatku gila," gumam Shaka sambil menjambak rambutnya frustasi.

Kemudian, Shaka berjalan ke kamarnya lagi. Besok, Shaka akan memarahi Ronald karena sudah meninggalkannya sendirian dan harus menghadapi dua orang yang membuat emosinya tersulut.

Shaka memilih untuk mencuci mukanya lagi. Mungkin dengan begitu, dirinya akan sedikit lebih tenang. Setelah mencuci wajah, Shaka kembali ke kamarnya untuk mengecek ponselnya.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tepat, Shaka kembali merebahkan tubuhnya dengan pikiran yang tidak nyaman. Dia mencoba mencari tahu apa yang membuatnya tidak nyaman.

Plak.

Shaka menepuk jidatnya ketika menyadari apa yang sudah dirinya lupakan. Dia mengambil kunci mobil dan menyambar jaketnya asal. Kemudian, Shaka berjalan keluar untuk menuju lantai dasar dengan kepala yang celingukan mencari seseorang.

Namun, Shaka tidak melihat keberadaan gadis yang belum lama ini datang ke apartemennya. "Apa secepat itu?" gumam Shaka tidak percaya. Kemudian, Shaka berjalan ke parkiran untuk segera mengendarai mobilnya.

Saat mobilnya baru berjalan sekitar seratus meter, mata Shaka melihat Stella yang saat ini sedang tertawa bahagia bersama penjual cilok. "Astaga, Gadis itu! Apa dia tidak tahu kalau sekarang sudah malam?" gumam Shaka merasa kesal lalu segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.

Setelah berhasil, Shaka berjalan tergesa-gesa menghampiri Stella yang saat ini belum menyadari kehadirannya. "Stella?" panggil Shaka yang berhasil membuat sang Gadis menoleh dengan raut terkejut juga bingungnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!