❃❃✧༺♥༻✧❃❃
♬♩♪♩ ♩♪♩♬♬♩♪♩ ♩♪♩♬♬♩♪♩ ♩♪♩♬
Awan-awan menghitam langit runtuh kan bumi
Saat aku tau kenyataan menyakitkan...
Mengapa semua menangis
Padahal ku slalu tersenyum
Usap, air matamu aku tak ingin ada kesedihan...
♬♩♪♩ ♩♪♩♬♬♩♪♩ ♩♪♩♬♬♩♪♩ ♩♪♩♬
Termenung kelima jari-jari ini setelah mengukir beberapa kalimat di atas kertas putih. Tertuang beberapa kata yang mewakili ungkapan hati yang di landa kerinduan dengan di wakili tinta hitam pekat dari pena berwarna hitam.
Ku terduduk di kursi tua yang alasnya juga sudah rusak dan kayunya juga sudah usang. Menghadap pekarangan malam melewati kaca yang sudah retak yang sewaktu-waktu bisa hancur kapan saja. Aku sebut seperti itu, karena di luar sana dapat dilihat bentangan langit yang memancarkan sinar berupa bintang-bintang.
Di antara gemerlap bintang di atas sana terdapat sebuah pancaran yang seolah mengukir sebuah wajah dari seorang yang aku rindukan tapi juga yang memberikan status tanpa kepastian. Wajahnya tersenyum penuh kepalsuan yang terpatri dalam buih-buih ingatan yang sengaja ingin aku lupakan.
Wajahnya juga senyumannya sungguh membuatku bisa menarik senyum tanpa kesadaran. Tapi kebahagiaan ini selalu saja ditendang habis oleh menghilangnya pemilik hati yang memberikan status yang tidak jelas.
'Jika dalam waktu satu tahun aku nggak pulang, anggap saja aku telah menceraikan mu. Kamu bebas menikah lagi tanpa harus meminta izin padaku.'
Aku harus apa saat mengingat semua kata-kata itu. Kata terakhir yang dia ucapkan saat dia akan pergi meninggalkanku tepat di usia satu bulan pernikahan. Apakah harus menangis , tersenyum atau menertawakan takdir yang tak sesuai dengan impianku.
Begitu mudahnya dia mengatakan semua kata itu. Pernikahan seolah menjadi permainan darinya yang bisa dimulai juga diakhiri dengan mudah. Bodoh aku menerima pernikahan saat itu, aku tidak berpikir jika dia akan meninggalkanku karena janji juga komitmen yang sudah kami pegang teguh selama tiga tahun saat kami berpacaran.
Ujung bibirku tertarik saat mata ini memandangi langit dan melihat begitu jelas wajah suamiku yang tersenyum. Apakah dia begitu bahagia sekarang? Atau dia tengah menertawakan nasibku? Atau mungkin dia tengah mengolok-olok karena aku begitu mudah percaya dengan kata-kata manisnya?
Entah apa yang dia lakukan di sana sekarang, sementara aku di sini hanya bisa merajut kebahagiaan semu yang kian menjadi asa.
Ku tatap lembar putih di pangkuan, tulisan yang hanya sesederhana anak TK yang baru merajut kata. Tulisan tanpa filosofi juga tidak berbait-bait seperti puisi yang penuh arti.
Kerinduan, amarah, kekesalan juga kekecewaan bertumpuk menjadi satu di sebuah wadah yang bernama hati dan hanya akan selalu tertuang dalam baris buku bersampul navy yang selalu menjadi teman keseharian ku.
"Kapan kamu akan pulang, Mas? Apakah kamu tidak merindukanku? "
Secercah harap bisa menyambut kepulangannya, memeluk erat tubuh yang sudah entah seperti apa sekarang.
"Lihatlah, Mas. Lihatlah keadaanku sekarang! Aku semakin kurus semenjak kepergian mu. Meski begitu aku tetap menjaga diriku agar selalu cantik sampai kepulangan mu."
Mata kembali memandangi sang sinar di atas sana, berharap mereka akan menyampaikan kerinduan yang kian membesar.
"Bunda, Ara pengen bobok di peluk Bunda."
Aku terkesiap. Astaghfirullah, karena sebuah kerinduan yang belum berujung ini aku melupakan bidadari kecil yang menjadi kebanggaan ku dan kekuatanku.
Ya, namaku adalah Nayla Ariane. Berusia dua puluh empat tahun. Seorang ibu dari bidadari cantik yang aku beri nama Ara Nuril Aisyah, usianya sebentar lagi akan menginjak lima tahun, dia sangat cantik sama seperti ku.
Ku tutup sahabatku sejenak dan ku selipkan pena hitam di dalamnya sebelum tertutup oleh tangan. Tubuh mulai beranjak mendekati bidadari kecil yang berdiri mematung menatapku dengan memeluk boneka panda.
'Dialah benih yang kamu tinggalkan sebelum kepergian mu, Mas. Dia sudah besar dan mirip dengan mu.'
Aku merasa iri acap kali melihat wajahnya, hidungnya yang mancung, bentuk wajah yang oval, kedua alisnya yang tebal seperti ulat bulu, matanya yang bulat terang juga bibirnya semua sama seperti milik Aditya Wilman, suamiku.
Suamiku begitu serakah karena mengambil semuanya, bahkan tidak satupun tempat menyisakan diriku dalam diri Ara. Aku yang mengandungnya, merawat sampai sekarang seorang diri tapi tak ada satupun yang mirip dengan ku.
Bibir ini tersenyum menyambut Ara yang merenggangkan kedua tangan untuk meminta gendong, ku angkat tubuhnya yang kecil dan membawa ke kasur lalu menurunkannya dengan sangat pelan.
"Tidurlah sayang, Bunda akan selalu menjagamu."
Ku tarik selimut untuk menutupi tubuhku dan juga Ara. Nyanyian nina bobok mulai berbunyi, tangan juga mulai bergerak untuk terus mengusap keningnya. Dengan cara ini Ara pasti akan cepat memejamkan mata.
Satu hal yang sangat aku sesalkan, Mas Aditya tidak pernah ada untuknya bahkan dia sama sekali tidak mengetahui akan kehadiran Ara di tengah-tengah rumah tangga kami yang tidak ada kejelasan.
◌◌✧༺♥༻✧◌◌
Pagi ku, weekend-ku hanya berada di rumah bersama Ara menghabiskan waktu berdua setelah enam hari selalu sibuk bekerja. Aku tak mau sampai Ara merasa kesepian atau merasa tidak di perhatikan. Ku limpahkan semua kasih sayang agar dia tak merasakan kekurangan.
Surya terus tersenyum di atas sana, melihat kebahagiaan dalam kebersamaan kami di teras dengan memainkan boneka barbie. Sungguh, hati ini merasa bahagia melihat bidadari kecil yang selalu tersenyum dan berkembang dengan sangat baik.
Tangannya memegang kedua boneka yang tak sama, boneka anak kecil juga boneka laki-laki yang berpakaian ala pengantin. Di ambil satu lagi boneka perempuan yang juga bergaun ala pengantin dan disejajarkan oleh Ara dalam satu tempat selayaknya keluarga yang begitu bahagia.
"Bunda, kapan ayah Ara akan pulang? Ara pengen seperti Leni, dia selalu bermain dengan ayahnya, apakah Ara bisa sama seperti Leni."
Aku tersenyum ketika mendengar nama Leni yang dia berikan untuk boneka kecilnya. Tapi itu tak berlangsung lama setelah menyadari akan keinginan Ara. Aku terdiam dan senyum ini pudar dengan sendirinya.
Bibir terasa kelu untuk mengucapkan kata, apa yang harus aku katakan entah besok, lusa atau kapan tak tau kapan Mas Aditya akan pulang.
Bibir hanya bisa kembali tersenyum penuh dengan kepalsuan.
"Secepatnya ayah pasti akan pulang. Ayah sedang bekerja di tempat yang jauuuhhh... jadi Ara harus sabar ya, kan ada Bunda di sini yang akan selalu bersama Ara."
Lagi-lagi hanya harapan palsu yang aku berikan. Hati ini tak sampai tapi mau bagaimana lagi.
"Permisi, apa benar ini rumah Nayla Ariane? "
Aku menoleh, mengangguk pelan sembari beranjak menghampiri orang yang datang. Siapa dia? Sama sekali tidak kenal, tapi sepertinya dia seorang yang mengantarkan surat.
"Ya, saya sendiri. Ada apa ya, Pak?"
Aku beranjak, berjalan lalu berhenti tepat di depannya, ternyata orang itu benar pengantar surat. Kedua alis saling menyatu karena kening yang mengkerut.
"Ada surat untuk anda."
Tangannya menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat. Setelah aku terima orang itu juga meminta untuk tanda tangan sebagai serah terima.
"Saya permisi."
"Terimakasih, Pak." kataku yang sangat berterimakasih meski belum tau itu surat apa dan darimana asalnya.
Jantung ini berdetak tak karuan saat mengetahui surat yang aku pegang dari kantor pengadilan agama. Tangan mulai membukanya meski sudah mulai gemetar, ingin lebih jelas mengetahui apa isi di dalamnya.
Air mata yang selalu di bendung tak aku izinkan keluar kini satu-persatu menampakkan dirinya. Hati ini tak percaya, setelah hampir enam tahun menunggu kepulangan suamiku kini hanya selembar kertas yang datang dan memberikan kepastian.
"Mas Aditya menceraikan ku?" tangis tak dapat aku tahan, kertas yang baru aku pegang tak mampu di pertahankan dalam genggaman dan kini terbang terbawa angin.
Tubuh seketika lemas dan ambruk. Mimpi akan kebahagiaan semua telah hancur diterpa badai perceraian yang di putuskan sepihak.
◌◌✧༺♥༻✧◌◌
BERSAMBUNG....
❃❃✧༺♥༻✧❃❃
Langkah kaki yang penuh derita ini berhenti di kamar kecil yang menjadi tempatku untuk istirahat saat lelah. Seketika tangan membuat ulah dengan membanting pintu hingga cukup keras.
Tak berhenti di situ saja, kaki kembali melangkah di iringi dengan tangan yang menghancurkan kedamaian akan kamarku. Menghancurkan semua kenangan akan kebersamaan dengan mas Aditya dan menghancurkan senyuman kami yang selalu terlihat di pigura yang duduk manis di atas meja rias.
Aku lemparkan hingga kacanya pecah. Tangan ini kembali berulah dengan menghancurkan segalanya yang ada di sana hingga tak ada sisa.
Aku seperti orang gila yang tidak punya akal sehat, yang berulah apapun yang di kehendaki oleh akal pikiran tanpa mengenal lagi yang namanya kewarasan.
Berhentilah kegilaan ini setelah semuanya hancur. Aku pandang kamar yang kini benar-benar hancur seperti harapan juga impianku.
Kaki ini begitu lemas, tubuh rasanya tak berdaya sekedar untuk berdiri tegak. Punggung langsung terhuyung hingga terbentur tembok berwarna putih. Kenapa harus jawaban ini yang aku dapatkan.
Enam tahun menunggu kepulangan suami. Bertahan dari hinaan juga cerca dari semua orang yang mengatakan kalau aku adalah istri yang tidak diinginkan, dan ternyata semua kata mereka adalah benar. Aku di tinggalkan, aku tidak pernah di inginkan.
Tangisan pilu mengiringi tubuh yang kian merosot hingga terduduk di lantai. Di kamar sempit inilah aku berikan cinta dan mahkota ku kepada mas Aditya, di kamar inilah dia mengambil semuanya dariku bahkan kini dia juga mengambil mimpi untuk hidup bahagia bersamanya, membangun keluarga kecil laksamana surga.
Telapak tangan ini juga tak menerima dengan keputusan yang sepihak ini hingga akhirnya kembali meraih vas bunga yang tinggal satu-satunya dan menghancurkannya juga.
"Arghh...!" teriakan begitu menggema keras memenuhi kamar. Kamar yang aku jaga keindahan dan kerapiannya kini berserakan bagaikan tempat pembuangan sampah.
Ya, akulah pelakunya. Akulah yang membuat semuanya hancur seperti hati ini yang hancur menjadi sebuah kepingan yang akan sulit untuk di rangkai kembali.
Sinar yang terang akan tawa kebahagiaan kini perlahan mulai redup dan menghilang menjadi luka yang penuh dengan kepedihan dan duka yang kian menjadi dalam.
Kedua telapak tangan mengepal sempurna, kedua mata melotot penuh dengan kebencian.
"Kamu jahat, Mas. Kamu jahat."
Ingin sekali bisa menguatkan hati ini seorang diri tapi aku tak mampu. Luka yang tidak berdarah ini sangat membekas hingga tak akan mampu untukku mengobatinya.
Air mata kembali meluncur sesuka hati, tak membiarkan aku untuk bisa mengeringkan pipi yang sudah merah bahkan lingkar mata sudah membengkak.
Aku kembali menangis dalam duka.
Ku lipat kedua kaki, memeluknya dengan tangan yang juga terdapat luka dari pecahan kaca. Wajahku tertunduk dan bersembunyi di dalamnya.
Suara langkah kaki terdengar masuk ke dalam telinga tapi aku biarkan. Tak peduli siapa yang datang, entah dia orang yang akan membantu menyembuhkan luka ini atau mungkin ingin menertawakan nasib yang tidak aku inginkan ini.
"Nay." Tangannya menyentuh pundak ku yang menahan beban begitu berat. Aku yakin dia sudah berjongkok di hadapanku.
"Nay, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya.
Meski aku belum melihat wajahnya tapi sudah aku kenali siapa yang datang. Dia adalah Mika Luna, sahabat terbaikku sedari SMA.
Perempuan hebat yang menjadikanku sahabatnya tanpa melihat bagaimana kekurangan juga keadaanku yang dulunya hanya seorang yatim piatu.
Perempuan hebat yang selama ini selalu membantuku di saat kesusahan juga saat kekurangan. Bahkan sampai saat ini aku masih mempunyai hutang padanya, hutang beberapa uang yang aku pergunakan untuk membayar persalinan saat aku melahirkan Ara yang waktu itu harus dengan operasi sesar.
Wajahku terangkat, mata ini langsung termangu tatap ke arah wajah Mika yang sepertinya begitu terkejut melihat keadaanku sekarang.
"Ada apa, Nay?" Mika bertanya lagi padaku. Sepertinya dia tidak akan berhenti bertanya sebelum aku menceritakan semua yang terjadi.
"Hem...?" suaranya begitu lembut tapi begitu mengisyaratkan bahwa aku harus secepatnya menceritakan segalanya.
Aku kembali menangis. Aku begitu lemah, aku rapuh seperti tak ada daya sama sekali.
Mika masih terus memandangiku, sepertinya dia sudah tidak sabar ingin tau. Dia terus menunggu dengan sabar sampai bibir ini terbuka untuk berbicara dengannya.
"Mas Aditya menceraikan ku, Mik."
"Apa..!" Pekik Mika tertahan seolah tak bersuara setelah mendengar aku yang mengeluarkan beberapa kata saja. Kata-kata sederhana tapi berhasil membuatnya terkejut tak percaya.
Wajah ini hanya mampu untuk memberikan satu anggukan saja sebagai jawaban untuk Mika.
Aku lihat wajah Mika langsung memerah mungkin seperti biasa, dia akan marah saat ada orang yang menyakitiku dan mungkin saat ini dia juga menyimpan amarah di dalam hatinya pada mas Aditya.
Aku kembali menangis, aku sadar hari ini terlalu cengeng tapi aku harus bagaimana lagi, aku tak bisa menahan gejolak luka yang terus menyeruak dengan paksa untuk keluar.
Tak tega melihatku Mika langsung memelukku, mencoba untuk menguatkan hatiku yang tengah di landa kerapuhan.
"Kamu harus kuat, Nay. Kamu tidak boleh lemah seperti ini. Aku yakin kamu pasti kuat menghadapi cobaan ini."
Aku semakin tersedu di dalam dekapan Mika, kata-kata Mika juga sangat membuatku penuh haru. Hanya Mika sajalah yang selalu ada untukku di dalam keadaan yang seperti apapun.
Terimakasih, Mika. Mungkin hanya kata-kata itu yang akan selalu aku katakan. Karena aku tak akan bisa membalas budi baiknya padaku juga Ara.
Astaga, bagaimana keadaan Ara sekarang? Setelah mendapatkan surat dari pengadilan agama tadi aku langsung meninggalkannya sendiri di teras, bahkan Mbok Darmi yang selalu membantuku menjaga Ara juga belum datang.
"Ara?"
Mataku membulat seiring kedua tangan terlepas dari Mika.
"Ara bersama Mbok Darmi." jawab Mika.
Seketika hatiku tenang saat mendengar kalau Ara sudah bersama mbok Darmi. Aku yakin Ara akan baik-baik saja sekarang.
"Kamu harus kuat, Nay! Kamu harus bangkit demi Ara. Kamu tidak boleh lemah seperti ini." ucap Mika yang bisa aku dengar.
"Jika Mas Aditya bisa bahagia dengan hidup barunya, kamu juga harus bisa bahagia dan berjuang untuk melupakannya. Kamu juga Ara harus bisa bahagia, Nay. Tanpa bayang-bayang dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti dirinya."
"Kamu harus maju, kamu harus bisa buktikan kalau kamu bisa bahagia tanpa dia! Kamu pasti bisa, Nay. Kamu pasti bisa!" imbuh Mika yang terus menguatkan ku.
Kata Mika benar. Aku harus kuat, aku harus bisa hidup bahagia tanpa Mas Aditya juga bayang-bayang nya. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti dia tidak patut untuk ditangisi atau di sesalkan.
Enam tahun aku bisa hidup bahagia tanpa dirinya dan aku juga pasti bisa hidup selamanya tanpa kehadirannya. Biarkan hanya aku juga Ara, berdua saja.
Meski masih sangat sedih dan begitu banyak luka setidaknya aku bisa bahagia sekarang. Sekarang aku bebas, tak ada hal yang harus aku pikirkan lagi.
Memiliki status sebagai istri tetapi tanpa kepastian adalah hal yang paling menyedihkan dan begitu sangat miris. Dan akhirnya aku terbebas dari ikatan yang membelenggu kebebasan dan penuh dengan harapan kepalsuan.
◌◌✧༺♥༻✧◌◌
Bersambung....
❃❃✧༺♥༻✧❃❃
Aku yang menghancurkan semuanya dan kini aku juga yang harus membersihkannya yang jelas ada Mika yang masih setia membantuku untuk menyingkirkan semua yang hancur termasuk pigura juga isinya.
Tak mau membuat aku kembali menangis dengan sengaja Mika menyembunyikan foto itu, dia memasukkan ke dalam tasnya yang terbuat dari bahan kulit berwarna hitam.
Mata ini melirik karena melihat Mika yang tiba-tiba terdiam, aku tak berniat untuk bertanya juga tidak ada rasa penasaran sama sekali. Disaat bersamaan Mika juga menoleh dia tersenyum begitu manis untuk menyembunyikan apa yang barusan dia lakukan.
''Mika, terimakasih. Kamu selalu ada saat aku butuh teman. Kamu selalu datang untukku juga Ara,'' wajah ini kembali tertunduk lesu masih tak dapat mengendalikan emosi yang tengah menggebu karena sebuah luka dari pengkhianatan dari orang yang pernah berharga dan kini hanya tinggal kenangan dengan sebutan mantan.
Kaki terasa berat untuk berdiri menjadi penompang tubuh yang kini tengah dilanda kerapuhan yang sangat dalam akibat perceraian yang sepihak dari Mas Aditya.
Entah seperti apa perasaannya sekarang mungkinkah tengah tertawa bahagia karena keberhasilannya yang telah resmi berpisah dariku?
Mika berjalan mendekat, dia bergabung duduk di sampingku. Mengelus pundak ku dengan sangat pelan.
''Sudahlah, aku bukan hanya sahabatmu tapi juga saudaramu. Bukankah kamu tau itu bukan? jangan pernah merasa sendiri ada aku yang akan selalu ada untukmu.''
Perkataannya sangat lembut selalu berhasil membuat hati ini tenang. Meskipun tak bisa menyembuhkan tetapi bisa membuatku menghilangkan sejenak luka yang telah ada.
Begitu beruntung aku memiliki Mika sebagai teman. Teman yang tak kenal namanya pamrih saat menolongku.
''Terimakasih, Mika.''
Mika memberikan pelukan hangat untukku, aku juga melihat kalau dia begitu tulus.
''Sudahlah jangan bersedih lagi. Bangkitlah! jadilah Nayla yang kuat dan tegar seperti yang selama ini aku kenal. Berpisah dengan Mas Aditya bukan berarti hidupmu juga berakhir, hidupmu masih sangat panjang. Ada Ara yang selalu membutuhkan mu.''
◌◌✧༺♥༻✧◌◌
Begitu sedihnya hati ini sampai melupakan malaikat kecil yang kini sudah tertidur pulas dengan di temani oleh Mbok Darmi yang duduk di sebelah Ara sembari terus mengelus keningnya dengan begitu pelan.
Melihat kedatanganku Mbok Darmi langsung beranjak dia juga pamit untuk keluar dengan kode melalui anggukannya yang pelan di barengi dengan senyumnya yang kecil.
Ku jawab dengan mengangguk juga, tersenyum meski sebenarnya hati ini masih menangis dalam duka namun aku biarkan karena percaya akan bisa mengobati lukanya sendiri dengan seiring berjalannya waktu.
Harapan telah hilang, mimpi yang selalu Ara dambakan kini telah hangus sudah terbakar dengan kobaran perceraian yang kian menjadi sebuah abu hitam kebencian yang tidak akan bisa putih kembali.
"Maafkan Bunda ya, Nak. Bunda tidak akan bisa mewujudkan keinginan Ara. Ayah tidak akan pernah pulang untuk kita, dia sudah bahagia dengan kehidupannya sendiri dan meninggalkan kita."
"Tetapi Ara tidak perlu takut, ada Bunda yang akan selalu bersama Ara. Bunda akan selalu menjadi Ayah juga Bunda untuk Ara."
Meskipun berusaha tegar di hadapan Ara tetapi duka ini tetap saja kembali terlihat, kembali keluar dengan tanda keluarnya air mata.
Ku kecup keningnya yang begitu lembut, dengan cara apapun dan bagaimanapun juga aku akan selalu membahagiakan Ara. Tak masalah dengan tidak adanya Mas Aditya.
Karena kecupanku Ara menjadi terbangun, tangannya langsung mengusap matanya sendiri dia tersenyum begitu manis seolah menguatkan hati yang benar-benar sangat rapuh.
"Bunda, Ara kelamaan ya tidurnya?" ucapannya begitu sangat polos dia begitu imut selalu bisa membuatku tersenyum.
Aku hanya tersenyum mengusap pipinya yang gembul dengan sedikit menekannya karena begitu gemas.
"Bunda, kenapa Bunda menangis? Apakah Ara nakal?" tanyanya.
Tentu aku langsung menggeleng, gadis kecilku kenapa harus punya pemikiran seperti itu.
"Tidak, Ara tidak nakal," ku sapu bersih sisa-sisa dari air mata yang masih menggenang di pipi.
"Apa Bunda baik-baik saja? Apakah Bunda sakit?" Tangan kecil darinya ikut membantu ku mengeringkan pipi yang begitu banyak sisa air mata.
Ara benar-benar malaikat kecilku, tangannya mampu membuat hatiku tenang dan kata-katanya mampu menarik ujung bibir untuk tersenyum. Sungguh beruntung aku memilikinya dalam kehidupan ini.
Ku raih tangannya, ku kecup berulang-ulang hingga gadis kecil itu terdiam dan terus memandangiku. Sepertinya dia sangat bingung dia sangat penasaran ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, karena selama ini aku tidak pernah menangis di depannya.
"Bunda tidak apa-apa kok sayang, Bunda hanya kelilipan debu saja," ucapku yang lagi-lagi harus dengan kebohongan.
Menyesal rasanya, hati ini juga terasa sesak karena harus terus mengatakan kebohongan untuk menutupi kebenaran yang sangat pahit.
Tetapi ini adalah yang terbaik, Ara masih sangat kecil untuk mengetahui semuanya. Mungkin suatu saat nanti dia akan tau setelah dia dewasa dan aku berharap dia bisa menerima takdirnya dengan lapang dada.
"Bunda, kita jadi belanjanya?" tanyanya begitu antusias.
"Ya, kita akan belanja ke supermarket sekarang. Apa Ara sudah siap? Hem... Ara cuci muka dulu deh, dan jangan lupa sikap gigi juga."
"Tadi pagi kan sudah sikat gigi, Bunda. Masak sikat gigi lagi, kalau gigi Ara habis bagaimana?"
Aku terkekeh mendengar kata-katanya, bagaimana mungkinkan dengan sikat gigi saja akan menghabiskan giginya. Hem, itulah kepolosan yang selalu bisa menghiburku. 'Terimakasih Ara.'
"Tidak, Sayang. Gigi Ara tidak akan pernah habis. Di sikat dengan rajin akan membuatnya selalu bersih dan Ara tidak akan sakit gigi," kataku dengan sangat pelan.
"Oh," Ara mengangguk, sepertinya dia juga langsung menerima dengan baik apa yang aku katakan barusan.
Bukan hanya Ara saja yang bersiap, tetapi aku pun juga demikian. Aku mengganti bajuku dan mengambil tas yang ingin aku bawa.
"Kita jadi belanja?" aku terkesiap saat Mika bertanya. Aku kira Mika sudah pulang dan ternyata dia masih setia menunggu di ruang tengah sembari memainkan ponsel.
Wajah ini mengangguk seiring tangan menarik handle pintu untuk menutupnya. Di sambung kaki ini melangkah mendekati Mika dan bergabung duduk di sofa untuk menunggu Ara.
"Iya, semua bahan pokok sudah menipis mumpung ada uang aku harus belanja lebih dulu. Takut kalau sampai kehabisan uang," Bibir ini berucap dengan malas namun tetap bisa menyambung senyuman meski hanya kecil saja.
Ku pijat keningku yang terasa amat pusing, wajah ini juga sesekali menggeleng karena rasanya memang cukup berat.
"Kamu kenapa, Nay?" tangan Mika sudah berhasil menyentuh bahuku, dia juga terlihat sangat khawatir melihat wajahku. Apakah mungkin terlihat pucat?
"Aku tidak apa-apa, hanya pusing sedikit saja," jawabku.
"Kalau kamu tidak enak badan mending di tunda dulu deh belanjanya. Takut keadaanmu semakin buruk nanti."
"Bunda..., Ara sudah siap!"
Seketika wajah menoleh melihat Ara yang keluar dari kamarnya dengan begitu antusias, gadis kecil itu berlari menghampiri dengan begitu bahagia, terlihat jelas dari senyum juga wajahnya yang berbinar.
Rok pink, sweater putih, sepatu putih dengan kaus kaki putih tinggi juga dengan tas selempang kecil bergambar barbie itulah style Ara saat ini. Di tambah dengan rambut yang di kuncir dua kanan kiri membuat dia terlihat sangat manis juga menggemaskan.
"Bunda, bagaimana penampilan Ara, apakah Ara cantik?"
Ara berdiri di hadapanku, memperlihatkan baju yang dia pilih sendiri dan tentunya juga di bantu oleh Mbok Darmi untuk memakainya.
"Ara sangat sangat cantik," Tak mampu menahan rasa gemas hingga akhirnya tangan terangkat untuk mencubit kecil pipinya.
Begitu juga dengan Mika, dia juga sama melakukan apa yang aku lakukan.
"Ara sangat cantik, sama seperti Tante Mika," ucap Mika.
"Tidak, Ara cantik kayak Bunda," Ku lihat Ara menggeleng kasar, dia tak terima di samakan seperti Mika dan itu terlihat semakin menggemaskan untuk ku juga Mika hingga Akhirnya kami berdua terkekeh bersama-sama.
"Ayo berangkat, Bunda. Nanti semakin panas! Katanya Bunda mau ngajakin Ara ke taman juga, ayo Bunda!"
Jemari kecilnya memegangi jariku, menariknya dengan tidak sabar.
"Iya, Sayang. Kita berangkat sekarang," jawabku.
"Kamu yakin, Nay?" sepertinya Mika begitu mengkhawatirkan ku, terlihat jelas wajahnya yang mengkerut.
"Iya, hanya sebentar saja. Aku tidak akan apa-apa," jawabku yang sudah mulai berdiri.
"Baiklah, aku akan ikut kalian kalau begitu. Takut kamu kenapa-napa juga," Mika juga ikut beranjak, membuntuti ku yang terus di tarik oleh Ara.
◌◌✧༺♥༻✧◌◌
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!