NovelToon NovelToon

Si Culun Dengan Mata Ke-2

Menolak Buta

**✿❀🌷❀✿**

"Tidak! Safa tidak mungkin buta kan, Bang! Safa tidak mau buta," Suara teriakan menggema di salah satu kamar di rumah sakit.

Seorang gadis remaja berusia 16 tahun yang tengah duduk di kelas 11 SMA itulah yang terus berteriak di tengah-tengah tangis yang sangat menyakitkan.

Bukan tangisnya yang menyakitkan tapi karena dia harus mengalami kebutaan karena kecelakaan di sekolah yang di lakukan oleh teman-temannya.

Entah siapa yang melakukan karena Safa sendiri tidak mengingatnya. Ingatannya hilang sebagian karena benturan kepalanya di lantai juga karena sebuah pot besar yang menimpa kepalanya dan pecah hingga mengenai matanya.

Dia adalah Safa Latafunnisa. Anak dari orang tua sederhana dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan sementara ibunya hanya seorang penjual kue keliling.

Safa memiliki dua saudara, Agung kakaknya yang kini tengah menjadi mahasiswa di kampus ternama karena beasiswa prestasi. Juga Zidane adiknya yang kini tengah menjadi murid di salah satu SMP kelas 7.

"Sabar, Dek. Kamu pasti akan sembuh," Agung terus menenangkan Safa, berusaha membuatnya tenang dengan terus berusaha memeluknya.

Bukan hanya Safa yang menangis karena kenyataan ini tapi kedua orang tuanya, Zidane bahkan juga Agung yang terus mendekapnya dan masih terus berusaha untuk lebih kuat.

Agung terus mengatakan sabar dan kuat padahal dia sendiri sebenarnya tak sekuat itu. Bahkan air matanya terus mengalir.

Seandainya Safa bisa melihat pastilah dia bisa melihat betapa hancurnya semua keluarganya karena apa yang di alami Safa sekarang.

Membayangkan saja sudah sangat mengerikan. Dunia Safa akan terus gelap gulita, dan itu bukan hanya sehari dua hari tapi seumur hidup. Bagaimana Safa akan bisa menjalani kehidupannya. Bagaimana bisa?

"Bang, Safa tidak mau buta, Bang. Safa tidak mau. Lebih baik Safa mati saja, Bang!"

Hilang harapan, hilang semangat juga hilang cahaya hidup Safa sekarang. Semuanya telah hancur dan pergi dengan cahaya yang telah menjauh dari kehidupannya.

Kini hanya tinggal kegelapan yang akan terus dia lihat, tak ada warna apapun. Tak ada kebahagiaan yang bisa dia lihat. Tidak ada.

'Siapa yang tega melakukan ini sama kamu, Dek. Abang janji akan menemukan orang itu dan tidak akan abang lepaskan begitu saja, mereka harus menderita lebih dari apa yang sedang kamu alami sekarang,' batin Agung.

Bagaimana Agung bisa mencari pelakunya, bahkan Safa sendiri tidak bisa menjelaskan. Ingatan di saat kejadian itu hilang begitu saja. Dan entah kapan Safa akan mengingatnya.

"Bang, Safa tidak mau hidup lagi, Safa tidak mau hidup lagi," Tangisannya begitu pecah. Tak ada sedikit harapan untuk bahagia saat ini.

Bu Yati sang ibu terus terisak di dekapan pak Muji sang suami. Hatinya ikut hancur melihat anak gadisnya seperti ini. Bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan satu kata pun. Tenggorokannya terasa kering.

"Sabar, Bu. Ibu harus kuat demi Safa. Kalau Ibu lemah seperti ini bagaimana dengan Safa," Ucap Pak Muji.

Bohong kalau pak Muji tidak ikut sedih dan hancur. Tapi, kalau semua orang sedih dan terpuruk lalu siapa yang akan menjadi penguat untuk Safa. Siapa yang akan membesarkan hati Safa untuk lebih kuat dan ikhlas dengan semua takdir ini.

"Pak, Safa pak," Bu Yati semakin terisak, dia semakin tidak kuat untuk melihat kehancuran Safa saat ini.

Sementara Zidane juga terus menangis dia memeluk bu Yati dengan sangat erat bahkan kali ini baju bu Yati sudah basah karena air mata Zidane juga dirinya sendiri.

"Kamu yang sabar ya, Dek. Abang akan tanya dengan dokter. Dokter pasti bisa menyembuhkan mu," Semakin erat Agung memeluk Safa. Memberi kekuatan juga kenyamanan.

**✿❀🌷❀✿**

Terduduk dalam diam, meratapi takdir yang begitu menyedihkan bagi seorang Safa. Di atas kursi roda dia kini berada di taman rumah sakit dengan infus yang masih terpasang.

Benar, tak bisa dia melihat apapun. Keramaian, senyum semua orang bahkan juga keindahan alam semesta ini juga tidak.

Mungkin, ada sedikit penyesalan di hati Safa. Dia tidak menggunakan matanya dengan baik saat dia bisa melihat dulu. Jika masih di kasih kesempatan untuk bisa melihat lagi Safa akan gunakan mata dengan sebaik-baiknya.

Semua tak bisa dia lihat, hanya suara-suara saja yang bisa diaktifkan dengar. Alhamdulillah, setidak Safa masih bisa mendengar.

Bisa mendengar tawa dari orang lain dan juga pembicaraan orang lain. Senyumnya keluar tapi hanya senyuman getir saja. Tak ada senyum kebahagiaan.

"Bang, apakah memang tak ada lagi cara untuk Safa bisa melihat?" Tanyanya.

Jelas, matanya terbuka tapi tatapannya kosong ke depan karena memang kosong dan tak terlihat cahaya apapun. Bahkan kilatan-kilatan saja juga tidak.

Hampa. Yah! Hidup Safa akan terasa sangat hampa setelah ini. Tak ada yang bisa dia lakukan.

Lomba cerdas cermat yang satu minggu akan dia ikuti kini hanya bisa menjadi sebuah mimpi saja. Bayangan akan mendapatkan piala kemenangan seperti satu bulan lalu juga tidak akan lagi bisa dia rasakan.

Senyum kebanggaan dari semua orang tidak akan dia lihat lagi. Tak akan ada yang menghargai dirinya lagi setelah ini, yang ada hanya tatapan penuh rasa iba dan kasihan.

"Kata dokter ada kesempatan, Dek. Tapi dengan cara donor mata. sementara donor mata sangat susah. Jika ada pun juga tidak mungkin cocok begitu saja. Tapi kamu tidak usah khawatir, abang akan terus berusaha untuk mencari," Ucap Agung.

"Atau mungkin, bagaimana kalau kamu ambil mata abang saja?" Suara Agung begitu gemetar.

Apapun akan Agung berikan untuk Safa. Jika matanya di minta maka dia akan memberikannya. Bahkan Agung juga tidak takut jika harus mati sekalian demi adiknya. Agung bisa menahan semua penderitaan tapi dia tak bisa melihat adik-adiknya kehilangan semangat hidupnya seperti Safa saat ini.

"Tidak, Bang. Jangan pernah berpikir seperti itu. Abang adalah kekuatan Safa, kalau abang kenapa-napa Safa juga tidak akan kuat menjalani hidup Safa."

Safa tetap menoleh ke arah Agung meski tak bisa melihat. Tapi setidaknya ada suara yang bisa dia dengar dan tangan bisa meraba wajah Agung yang kini kembali mengeluarkan air mata.

"Abang jangan menangis, Safa tidak mau abang lemah seperti ini," Katanya. Tangannya terangkat, meraba wajah Agung dan menghapus air mata Agung yang terus mengalir.

Di genggamnya tangan Safa, dia tempelkan di pipinya dengan duka yang begitu besar. Dikecupnya berulang kali tangan Safa.

"Tidak, abang tidak akan menangis lagi. Tapi Safa harus kuat. Yakinlah dan terus berdoa semoga ada jalan untuk Safa bisa sembuh. Allah pasti akan memberi kesembuhan untuk Safa, yang sabar ya sampai waktu itu tiba," Ucap Agung.

Kini Safa sedikit tegar, dia lebih bisa menerima dan bisa perlahan ikhlas dengan apa yang terjadi padanya.

'Suatu saat Safa pasti akan kembali sembuh. Akan kembali menjadi kebanggaan dan bisa membahagiakan Ayah dan Ibu.' batin Safa.

kepiluan nya sangat besar, sangat membekas di hatinya. Kembali dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi tapi satupun tak ada kilatan kejadian itu.

Kemana Safa harus mencari kebenaran, menghukum pelaku yang telah melakukan ini padanya.

**✿❀🌷❀✿**

Bersambung....

Kejadian Sebenarnya

**✿❀🌷❀✿**

Flashback

Gadis berseragam putih abu-abu, berkaca mata bulat tengah berjalan di koridor sekolah. Tangannya memeluk beberapa buku paket yang dia pinjam dari perpustakaan barusan untuk di bawa pulang.

Rambutnya saat ini hanya di kuncir dua kanan kiri dan disisakan yang di belakang tergerai begitu saja tapi biasanya dia hanya mengepang dua kanan dan kiri.

Sebenarnya sangat imut bin menggemaskan, tapi itu tidak berpengaruh kepada teman-teman juga kakak kelas yang biasa membully_nya.

Bukan tanpa alasan Safa mendapatkan semua itu. Safa sering mendapatkan itu karena penampilannya yang dianggap kampungan bahkan tak sedikit yang mengatakan itu sangat norak.

Bukan itu saja yang melandasi semua kebencian mereka, tapi karena Safa begitu di perhatikan oleh pihak sekolah karena dia sering mengharumkan nama baik sekolah dengan sukses dengan beberapa lomba cerdas cermat. Luar biasa bukan?

Bukan hanya kakaknya yang berprestasi tapi Safa pasti juga akan menyusul kakaknya menjadi mahasiswa di Fakultas ternama di kemudian hari dengan cara beasiswa.

Di sekolah Safa memang tak punya teman, tapi itu tidak masalah untuknya karena niatnya sekolah adalah mencari ilmu bukan mencari teman. Tapi kalau ada yang mau berteman itu adalah bonus baginya.

Hidup hanya sekali kenapa di ambil pusing!

Itulah slogannya yang selalu dia katakan pada kakaknya. Tapi memang benar sih Safa tidak akan pusing-pusing memikirkan karena tak punya teman lebih baik memikirkan masa depan untuk menjunjung martabat kedua orang tuanya.

Ekhem!

Suara dekhemam memindahkan fokus mata Safa yang terus melihat koridor yang dia lalui. Di lihatlah empat murid perempuan yang menyandarkan punggungnya di dinding juga menyilang kedua tangan di depan dada.

Safa langsung menelan ludahnya sendiri dengan sangat susah. Dia tau ini tidak akan baik mereka pasti merencanakan sesuatu untuknya. Ya, seperti yang sudah-sudah.

Ingin Safa menghindar dan cepat pergi dari sana sebelum hal buruk terjadi tapi rambutnya sudah di tarik oleh satu orang dan membuatnya meringis seraya menghentikan langkah.

Bingung juga si Safa, ini sekolah dengan keamanan dan peraturan yang ketat tapi mereka masih saja berani selalu menindasnya. Bukan itu yang menjadi pikiran utama Safa tapi, kok bisa perlakuan mereka seperti di pandang sebelah mata dan tidak di hiraukan. Apakah karena salah satu dari mereka adalah anak penyokong dana tetap di sekolah itu? Bisa jadi sih.

"Cie cie cie, yang akan ikut lomba lagi. Bahagianya ya," Satu semakin dekat dengan tangan masih memegang rambut Safa.

Senyumnya penuh arti, antara tidak suka juga penuh rasa merendahkan tapi yang paling mencolok adalah aura kebencian.

Tubuh Safa yang gemetar seakan menjadi bahan tertawaan untuk mereka semua hingga mereka semua tertawa terbahak-bahak hingga menggema ke semua penjuru.

Seperti apapun itu tak akan ada yang mendengar karena semua sudah pulang sedari tadi. Safa lah yang pulang belakangan karena harus belajar di perpustakaan hingga akhirnya kini dia pinjam bukunya untuk mempersiapkan diri untuk mengikuti acara lomba beberapa hari lagi.

Safa itu sangat irit bicara, bahkan seakan tak pernah bicara. Dia hanya akan bicara kalau ada teman yang menyapa atau ada pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada guru atau yang lainnya. Selebihnya dia lebih memilih diam.

Diam itu emas!

Itulah yang juga menjadi slogan panutan untuknya. Lebih baik diam daripada bicara hal-hal yang tidak penting yang kadang ujung-ujungnya melukai hati orang lain. Hanya akan menambah dosa saja kan.

"Hem, si kebanggaan sekolah sudah mulai serius ya. Hem, bagaimana kalau ganti aku saja yang ikutan lomba. Sepertinya aku lebih pintar darimu," Bisiknya di telinga kanan Safa.

"Sebenarnya ya, aku tuh nggak suka ada murid sepertimu ada di sekolah ini. Mengotori sekolah karena kecupuan mu itu. Ih, apa ini! Kaca mata bulat rambut kriwil begini, ih!"

Angelina yang bicara. Murid yang sebenarnya juga sangat pandai tapi sombongnya minta ampun. Juga kelakuannya yang tak pantas mendapatkan ampun.

"Gara-gara kamu, semua tidak ada yang menoleh ke arahku. Semua pada meragukan kemampuan ku yang aku yakin lebih baik daripada kamu."

Semakin nyinyir ucapannya juga semakin tajam matanya seolah ingin menguliti Safa yang terdiam tak berani berkata-kata juga tak berani kemana-mana.

Bagaimana bisa dia pergi. Ketiga teman Angelina sudah menghadang di depannya dengan tangan yang masih setia di depan dada.

Tatapannya sama-sama menakutkan seperti mata Angelina yang begitu menakutkan. Benar-benar seperti penjahat yang sedang di keroyok nih Safa.

"A_apa yang kalian inginkan?" Safa terus menunduk dengan takut. Semakin terlihat jelas getaran ketakutan yang terjadi padanya. Bisa terlihat dari rok panjang yang dia pakai itu terus bergerak tapi bukan karena angin.

"Hahaha, ini akan lucu jika dia sampai ngompol di sini," Tawa Renata pecah melihat Safa.

Angelina, Renata, Pretty juga Bianca. Mereka adalah satu kelompok yang seneng banget mengganggu Safa. Sebenarnya bukan hanya Safa tapi semua yang lebih menonjol entah karena prestasi ataupun kecantikannya akan selalu mendapatkan itu dari mereka.

Mereka hanya ingin, mereka yang menjadi primadona di sekolah tak boleh ada yang lain. Takut kesaing lebih tepatnya.

"Benar-benar, ini akan lebih menarik!" Bianca ikut berpartisipasi dalam pengeroyokan untuk Safa.

"Jangan dong, kasian kalau dia ngompol. Nanti pulangnya gimana? Kan kasihan kalau roknya basah dan dia di ejek," Pretty bersuara.

"Itu yang kita harapkan dudul!" Sorak Renita kesal.

Kenapa bisa Angelina mengangkat satu personil yang dudulnya minta ampun begini. Kelakuan Pretty yang polos memang selalu sering membuat ubun-ubun mereka semua mendidih. Tapi biar begitu tak ada niat untuk mengganti personil baru. Sudah terlalu klop meski Pretty mulutnya juga ember.

"Oh begitu ya. Hem, tapi benar-benar kasihan loh. Kalau dia di ledekin atau di bully orang bagaimana?" Ucapnya lagi.

"Emang kamu pikir yang kita lakukan sekarang ini apa? Traktir dia bakso!" Sudah mulai keluar tanduk si Renita.

"Boleh-boleh, uang ku masih kok. Cukup kalau buat traktir satu mangkok bakso saja untuk Safa," Begitu sumringah wajah Pretty. Tak sadar kalau yang dia katakan membuat tanduk-tanduk temannya itu sudah langsung keluar.

"Pretty!" Geram sekali si Bianca. Seandainya dia adalah ketuanya pasti sudah dia tendang hingga jauh dan tak bisa pulang si Pretty tapi sayangnya dia tak punya kuasa.

"Ya, kita berangkat beli bakso sekarang ya?" Katanya lagi dan sudah bersiap untuk menggandeng tangan Safa.

"Pretty!" Kini Angelina yang bersuara dengan suara melengkingnya dan berhasil membuat Pretty sadar kalau dia salah.

"Aku salah ya?" Pretty hanya bisa bertanya dengan lugu tanpa dosa. Jelas-jelas dia salah tapi masih saja bertanya.

"Baru sadar!" Seru Bianca dan Renita bersamaan.

"Maaf ya, Safa. Hari ini tidak bisa traktir kamu bakso," Katanya dengan bibir meringis.

"Pretty!" Sekali lagi Renita bersuara membuat Pretty terperanjat.

**✿❀🌷❀✿**

Bersambung....

Kecelakaan

**✿❀🌷❀✿**

Terus Angelina dan para bala tentaranya mengejek Safa, bahkan mereka sekarang benar-benar tega dan hendak menyeret Safa untuk di kurung di gudang yang tak berpenghuni.

Tapi entah kalau makhluk yang tak kasat mata mungkin sangat banyak karena tempat itu juga terlihat lembab dan juga kotor. Banyak sarang laba-laba di sana dan tentunya di tambah dengan debu-debu yang menempel menambah aura mestis yang begitu terasa.

"Saya mau di bawa kemana? Tolong lepaskan saya!" Safa begitu memohon tapi sama sekali tidak di gubris oleh mereka, benar-benar sangat keterlaluan mereka. Tak berperikemanusiaan.

Kata-kata Safa hanya bagaikan angin lalu yang hanya numpang lewat tanpa mau singgah. Jelas, mereka juga tidak akan biarkan itu terjadi karena hati mereka sudah di penuhi oleh kebencian.

'Kenapa naik lagi?' batin Safa bingung. Tak tau kemana tujuan sebenarnya mereka membawanya. Yang jelas dia tak bisa kabur lagi.

Kakinya terus di paksa menaiki satu persatu anak tangga bahkan Angelina juga sesekali mendorong karena Safa yang memperlambat langkahnya.

"Lepaskan saya, saya harus segera pulang!" Safa terus berontak dengan tenaga yang tak seberapa. Inilah yang Safa sesalkan, dia punya otak yang cerdas tapi kenapa dia memiliki tubuh yang begitu lemah. Hanya untuk melawan saja sangat susah untuknya.

'Ayo Safa, berpikir. Kamu harus bisa lepas dari mereka kalau tidak pasti kamu akan berada di sini sampai besok,' batin Safa.

Safa terdiam tapi dia terus mencari cara. Hingga kakinya menapaki lantai dua dan otaknya bisa di ajak kerja sama.

Safa menunduk melihat posisi kaki Renata juga Bianca. Tepat! Semoga ini berhasil.

Duk duk....

Dua kali hentakan kakinya di kaki keduanya berhasil membuat keduanya meringis dan melepaskan tangan Safa. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus dan Safa bisa berlari.

"Hey! Jangan lari kamu!" Angelina yang berteriak. Matanya melotot tak terima melihat Safa yang bisa lepas dari mereka.

"Kejar-kejar!" Pintanya pada Pretty.

"Sekarang?" Mata Pretty membulat tapi itu adalah ekspresi dari kebingungannya.

"Tahun depan! Ya sekarang, Pretty!" Kembali Angelina di bikin darah tinggi oleh temannya itu. Ingin sekali dia cuci dan di gosok otak satu temannya ini biar lebih encer tapi nyatanya dia tidak akan bisa melakukan itu.

"Terus kalau ketangkep di apain?" Tanyanya lagi.

"Di jadikan bergedel!" Seru Angelina. Tak sabar Angelina mendorong Pretty untuk mengejar Safa sementara Renata dan Bianca masih meringis menahan sakit.

"Ayo kejar dia!" Ajak Angelina pada keduanya.

Mudah sekali Angelina menyuruh kedua temannya itu dia tidak tau bagaimana rasa sakitnya kaki mereka akibat perbuatan Safa barusan.

"Ayo! Kenapa malah berhenti!" Angelina kembali menoleh karena merasakan belum ada pergerakan dari keduanya.

"Iya iya!" Meski ingin sekali menolak tapi mereka tidak akan mungkin bisa. Dia masih ingin menjadi peserta dalam Geng Beautifull Girl's.

Meski hanya memakai sepatu yang sudah rusak tapi ayunan kaki Safa tetap bisa begitu cepat. Dengan sekuat tenaga dia harus bisa lari dari Angelina dan kawan-kawan, tak tau entah apa yang mereka rencanakan untuknya.

Mereka terus berputar-putar di lantai dua. Safa sudah bisa lari dari mereka tapi belum bisa turun ke lantai satu. Seandainya bisa mungkin dia langsung keluar dari pekarangan sekolah dan bisa lepas dari mereka semua.

Nafas Safa begitu ngos-ngosan dia istirahat sebentar untuk berusaha memperbaiki hembusan nafas yang tidak teratur.

"Hey culun, jangan lari kamu!" Teriak Angelina. Jarak mereka semakin dekat.

Safa hanya bisa melihat Angelina dan juga Pretty lalu di mana Renata dan Bianca?

Angelina dan Pretty yang sudah dekat membuat Safa kembali ketakutan dia harus kembali berlari supaya tidak tertangkap tapi naas, Bianca dan Renata sudah berdiri di belakangnya dengan smirk menakutkan.

Apakah ini pelajaran yang mereka berempat terima? Padahal di sekolah tidak ada pelajaran kekerasan juga pembullyan bahkan itu di larang keras lalu mereka dapat ilmu ini dari mana?

"Hem, mau lari kemana?" Ucapan Renata terlihat santai tapi tetap saja sangat menakutkan dan terasa begitu menyakitkan. Padahal mereka belum melakukan apapun tapi Safa sudah kembali gemeteran.

"Tolong, biarkan saya pulang. Oke! Kalau Angelina yang mau ikut lomba saya rela mengundurkan diri. Tapi biarkan aku pulang," Bahkan suara Safa juga sudah gemetar hebat.

Mereka berempat terus berbahagia dengan ketakutan Safa. Seolah mereka mendapatkan kepuasan tersendiri karena telah berhasil menindas Safa.

Tawa keempatnya terus menggema, dengan santainya mereka berjalan mendekat dan mengepung Safa jelas itu membuatnya semakin takut.

Keringat juga air mata bersamaan keluar bersatu padu setelah bertemu di tengah-tengah pipi Safa. Kedua tangannya terus memeluk erat semua buku-buku yang ada di depan dadanya tentu dengan mata menunduk.

"Heh, kamu pikir saya akan percaya gitu?" Wajah Angelina mendekat.

"Sa_saya janji akan mengundurkan diri, besok. Sa_saya akan mengatakannya pada Kepala sekolah. Saya janji," Safa terus berusaha melakukan negosiasi siapa tau mereka memiliki belas kasih dan mau melepaskannya dan membiarkan dia pulang.

"Mimpi!" Sinis Angelina.

"Bawa dia!" Titahnya. Tentu langsung di turuti oleh Renata juga Bianca sementara Pretty dia memandang Safa penuh rasa kasihan tapi dia tidak berani melawan karena dia juga tidak mau di keluarkan dari komplotan Angelina.

Lagi Safa di tarik lengannya hendak di paksa untuk kemana dia juga tidak tau.

Safa terus menjerit dalam doa meminta pertolongan pada Penciptanya karena hanya Dialah yang bisa membantunya untuk bisa lepas dari mereka.

Biasanya akan selalu ada dua penjaga tapi entah di mana mereka sekarang kenapa dari tadi mereka tidak datang meski Safa juga sudah terus berteriak minta tolong. Apa mungkin mereka berempat yang sudah mengalihkan perhatian para penjaga?

"Tolong lepaskan saya, saya mau pulang. Saya minta maaf kalau saya ada salah. Please, biarkan saya pulang," Ucapnya terus memohon.

Begitu tak punya keberanian si Safa untuk melawan karena dia juga tidak pernah melakukan itu. Dia sangat lemah, penakut dan itulah yang membuat semuanya begitu senang melakukan itu terus menerus.

Tak ada perlawanan dari Safa membuat mereka semua hilang rasa kemanusiaan. Mereka menganggap kalau Safa itu adalah anak paling buruk, paling penakut dan paling lemah itu membuat mereka leluasa melakukannya.

Safa kembali memberanikan diri untuk melawan, dia berontak meski usahanya tak membuahkan hasil apapun. Lagi dan lagi usaha terus di lakukan hingga akhirnya kedua tangannya terlepas dari Renata juga Bianca.

Tapi nasib buruk menimpanya. Dia yang hendak berlari turun dari tangga malah tidak sengaja menabrak pot bunga yang begitu besar.

"Akk!" Teriak Safa.

Safa jatuh, terguling di tangga begitu juga dengan pot bunga itu yang ikut terguling di atasnya .

Dug... Prak....

Sampai di lantai dasar kepala Safa terbentur lantai juga di tambah dengan pot yang pecah dan langsung mengenai wajahnya. Safa langsung tak lagi sadar setelah itu dan tentunya darah segar juga terus mengalir.

Ke empat pasang mata terus melotot tak percaya melihat apa yang ada di hadapan mereka. Inilah akibat dari perbuatan mereka semua.

Jika mereka tidak melakukan itu pastilah ini tidak akan terjadi Safa tidak akan mengalami hal buruk seperti itu.

"A_apa dia mati?" Celetuk Pretty karena hanya dialah yang berani berbicara yang lain hanya melongo dan terpaku dalam rasa tak percaya.

"Angel, apakah kita akan masuk penjara setelah ini?" Tanya Renata dengan tatapan mata masih terus fokus ke ke arah Safa yang tergeletak. Dia sangat takut.

"Tidak tidak! Aku tidak mau di penjara," Angelina menggeleng kasar

"Kabur kabur! Tidak orang di sini bahkan kata penjaga CCTV di sini juga sedang rusak. Jadi kita aman. Sekarang kita kabur," Ajak Angelina.

Memang benar-benar tak punya rasa kemanusiaan nih anak. Udah menjadi penyebab Safa jatuh dan mengalami luka di bagian kepalanya sekarang malah berniat kabur dengan tak bertanggung jawab.

"Angel, tapi nanti dia bisa mati. Kita harus menolongnya kan?" Ternyata hanya Pretty yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Meski dia bodoh dan selalu di bodoh-bodohi oleh ketiga temannya tapi tetap dia yang masih punya belas kasih.

"Ayo, Pretty. Kita harus pergi kita tidak boleh ketahuan!" Kedua tangan Pretty langsung di tarik oleh Bianca juga Renata dan membuat kaki langsung melangkah turun dari tangga dengan perlahan.

Ketiganya benar-benar tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Safa hanya Pretty saja yang masih menoleh dengan rasa bersalah.

'Safa, maafkan aku ya,' batin Pretty.

Kini hanya tinggal Safa seorang yang ada di sana dengan tak sadarkan diri juga dengan linang darah segar yang keluar dari area wajah dan kepalanya.

**✿❀🌷❀✿**

Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!