NovelToon NovelToon

Every Moment Of You

Tuan Putri dan Keong Racun.

Tuk tuk tuk tuk tuk.

Suara ketukan monoton cepat yang berasal dari hak sepatu pantofel yang menyentuh lantai, seiring dengan langkah kaki si pemakai sepatu itu yang menggerakkan kakinya dengan cepat dan teratur untuk segera mencapai lift. Ia berdiri di depan salah satu kotak besi yang ada, bersama dengan beberapa karyawan lainnya yang bekerja pada perusahaan-perusahaan yang di dalam gedung pencakar langit itu. Ia menunggu pada lift yang akan mengantarkan penumpang ke lantai B10 hingga B19. Yang itu artinya, lift tersebut akan mengantar orang-orang ke sisi barat. Sementara lantai 1 hingga 9 ada pada lift A. Dan satu lift lagi, yaitu lift C hanya akan menuju lantai 20 sampai 22, lantai dimana tempat para direksi, top management, pemilik perusahaan, gedung hingga saham berada.

Juliana, hanyalah seorang pegawai biasa yang bekerja pada perusahaan yang bergerak dalam bidang property yang besar, dan dia memiliki posisi sebagai salah satu karyawan yang bertanggung jawab pada bagian legal. Ia akan selalu menutup telinga dengan sesuatu yang tak kasat mata, sepertinya, setiap kali dia berada di tengah orang-orang yang selalu bergunjing tentangnya dengan suara berbisik. Ia akan tetap berdiri dengan menegakkan punggungnya, sedikit mengangkat dagunya, dan menatap lurus pada apa yang menjadi fokusnya. Meski pun ada serangan alien, ia akan tetap mengatupkan bibirnya rapat dan fokus pada apa yang menjadi tujuannya.

Itulah Juliana Dewani, gunjingan miring tentangnya sebagai perawan tua karena pada usia matangnya menjelang kepala tiga, dia tidak memilik teman kencan satu orang pun. Karena memang tidak ada laki-laki yang mau bersusah payah menaklukan hati seorang wanita yang selalu bersikap sinis, perfeksionis, dan sangat ketus. Bukan hanya karakternya yang selalu menjadi bahan gunjingan, penampilannya pun kerap menjadi topik candaan.

Ting!

Pintu kotak besi itu terbuka menunjukkan ruang kosong di depan mereka yang kemudian berubah menjadi penuh. Juliana berdiri paling depan. Rambutnya yang selalu terikat kuat dan kencang hingga tidak ada sehelai benang pun keluar dari jalur, lalu ia akan menggelung rambutnya sangat rapi hingga bisa membuat kutu pun tergelincir, belum lagi cara Juliana berpakaian yang selalu longgar dan tidak modis. Seolah menunjukkan pada dunia bahwa ia tidak memiliki lekuk tubuh.

Ting!

Pintu lift itu kembali terbuka pada lantai 10. Juliana melangkah keluar bersama beberapa orang lainnya. Ia menempelkan kartu aksesnya pada alat pemindai yang berada di sisi pintu divisi perusahaan tempatnya bekerja. Di dalam sana sudah diisi oleh beberapa orang rekannya yang sedang asik mengobrol membuang waktu yang sangat tidak efisien untuk menyelesaikan pekerjaan. Juliana langsung menuju mejanya tanpa memedulikan orang lain. Sebelum memulai, dia mengeluarkan sanitizer semprot dan menyemprotkan cairan disinfektan itu pada permukaan meja, mengelapnya dengan tisu setelah bersi dia membesihkan tangannya dengan sanitizer tesebut.

Beberapa tumpuk dokumen yang berada disisi mejanya agak sedikit miring, mungkin tersenggol bokong seseorang ketika melewati mejanya. Oh, Juliana tidak bisa melihat sesuatu yang tidak pada jalurnya, jadi sebelum menyalakan perangkat komputernya, dia merapihkan lebih dulu tumpukan dokumen itu meski nantinya dia akan mengambilnya.

Begitu ia dalam mode bekerja, ia fokus dan memulainya dengan membahas pekerjaan dengan orang-orang yang berkaitan, meski yang dilakukan Juliana sering kali membuat orang jengkel karena dinilai sok rajin atau kerajinan.

"Pageee!" Suara sapaan khas menggema begitu sosok lelaki berperawakan maskulin dengan gayanya yang serampangan dan senyuman lebar memasuki ruangan divisi itu.

"Oi Bro!" Lelaki itu segera disambut oleh rekan-rekannya, saling berangkul, bersalaman ala laki-laki dan saling membenturkan dada mereka seraya tertawa merusak ketenangan Juliana.

"Mulai rusuh." Ujar Juliana ketus tanpa mengalihkan fokus matanya pada layar komputer. Ucapan ketus itu rupanya sampai pada telinga semua orang yang ada disana, termasuk Harsa. Seringaian pada wajah maskulin itu pun menyapa kesinisan wajah Juliana.

"Oh, maaf Tuan Putri, ini disebut bercengkrama bukan rusuh. Itu lah, kalau orang terlalu lama tinggal di dalam gua, dia tidak bisa membedakan mana rusuh mana bukan."

"Maaf nih, keong racun, sekarang adalah waktunya untuk bekerja, bukan bercengkrama." Balas Juliana dengan mengangkat dagunya.

Ketika Tuan Putri dan Pangeran Kodok sudah mulai saling menyapa, maka yang lain akan mengangkat tangan, menyerahkan kedamaian dunia ini pada semesta.

Dengan langkahnya yang selalu memiliki kharismanya sendiri, Harsa mendekati meja Juliana, dalam jarak satu meter ia menghentikan langkah kaki panjangnya. Matanya berkilat jahil melihat Juliana yang tetap mengangkat dagunya dan menegakkan punggungnya, duduk dengan posisi sempurna.

"Keong racun?" Harsa mengulangi. "Rupanya aku sudah berhasil meracunimu, ya?"

"Kau berhasil meracuniku?" Juliana memutar bola matanya. "Jangan mimpi. Aku bukan seperti wanita-wanita bodoh yang telah kau nodai itu."

"Apa?" Harsa menaikkan sebelah alis matanya. Rekan-rekan mereka yang lain pun sampai menutup mulut hingga nyengir mendengar ungkapan Juliana yang sopan untuk memaki Harsa.

"Nodai? Maksudmu yang telah rela bermain denganku di atas ranjang?" Harsa menyeringai.

"Kau benar-benar telah merusak martabat kaum pria yang seharusnya menjadi pelindung dan menjaga wanita, bukannya malah mengotori mereka."

Harsa terkekeh. "Aku tidak mengotori mereka, Tuan Putri. Aku memuaskan mereka, itu adalah dua kata yang berbeda arti. Tapi tentu saja, wanita terhormat yang telah lama hidup dalam kegelapan gua tidak akan mengerti arti memuaskan yang aku maksud."

Juliana benar-benar muak dengan pria hidung belang yang hanya menjadikan wanita sebagai bahan pelepasan hasrat nafsunya, rasanya ingin sekali Juliana menyambar gunting dari tabung peralatan tulisnya untuk menyunat pria berbewok maskulin yang berdiri satu meter dari mejanya dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya.

"Kau benar-benar telah mencemari dan mencoreng martabat seorang pria terhormat."

"Mungkin kau lupa, aku bukan pria terhormat, aku hanya pria biasa, dengan hasrat juga nafsu yang normal jika seorang wanita datang menyentuh bagian-bagian sensitif dari diriku."

"Kau hanya pria bejat."

Harsa terkekeh.

"Dasar buaya."

"Apa kau tahu, dihabitat aslinya, buaya itu adalah hewan yang paling setia dan paling protektif pada pasangannya. Jadi, aku cukup tersanjung dengan pujianmu."

Juliana melihat Harsa dengan tatapan mencemooh. "Buaya itu memakan segala yang bergerak dalam pandangannya, seperti kau, memakan semuanya."

"Wah, aku tidak tahu kau sangat perhatian padaku, sampai-sampai kau memperhatikan apa saja yang aku makan, eh?"

Terdengar kekehan dari sisi lain ruangan itu. Tentu saja berasal dari para penonton setia mereka di divisi legal dan perencanaan perusahaan itu. Harsa melemparkan pandangan pada pendukungnya, yang memang semua orang menyukai karakter pria itu dibandingkan Juliana yang dingin dan penyendiri ditambah sinis juga ketus sekaligus perfeksionis.

"Ya, dan aku pun tergiur untuk menuangkan racun sebagai makanan penutupmu, agar tidak perlu ada lagi keong racun yang mencemari ekosistem."

Perlombaan saling membalas perkataan satu dengan yang lainnya akan terus berlangsung sepanjang hari, meski ditengah-tengah pekerjaan, ditengah-tengah rapat, ditengah-tengah makan siang tim, atau pun di saat load pekerjaan sedang berada pada puncak tertingginya. Dua musuh abadi itu akan terus saling menjual dan membeli apa pun yang mereka lemparkan.

Terkadang, Juliana pun heran, dia bisa menahan diri dan mulutnya dari gunjingan dan perlakukan miring orang lain, tapi tidak jika berhadapan dengan Harsa. Lelaki itu, bahkan setiap hembusan napas Harsa sudah sangat mengusiknya.

Ya, Juliana membenci Harsa, tanpa toleransi. Ia membencinya hingga ke tulang sumsum!

.

.

.

TBC~

Sisi Lain Tuan Putri

Juliana melihat dengan sinis bercampur dengan ekspresi jijik saat melihat bagaimana Harsa yang duduk di atas motor sportnya sedang berbicara dengan penuh - yang Juliana yakin adalah - rayuan pada seorang karyawan dari gedung yang sama dengan mereka. Entah wanita bodoh itu berasal dari perusahaan apa atau divisi apa, yang jelas dia telah masuk dalam jebakan dari si buaya darat. Entah bagaimana wanita-wanita itu tetap mengidolakan bahkan mendambakan Harsa. Memang, Juliana pun tak munafik, ia mengakui Harsa dikaruniai wajah yang tampan apa lagi dengan kumis dan bewok yang membingkai rahang tegasnya sehingga terlihat lebih maskulin, tubuhnya yang tegap dan tinggi dan didukung dengan kemampuan gayanya berpakaiannya yang tidak neko-neko, membuat Harsa sebenarnya layak menjadi idola, tapi sayang, dia adalah lelaki hidung belang, bentuk nyata dari semua kebejatan yang ada didunia ini yang menjadi salah satu faktor pencemar kemurnian ekosistem dunia.

Itulah yang tidak Juliana mengerti, mengapa wanita-wanita itu menginginkan pria dengan moral berlipat-lipat minus itu menjadi kekasih apa lagi sampai mau diajak tidur bersama! Apakah mereka akan merelakan kehormatan mereka begitu saja pada pria yang jelas hanya menginginkan kepuasan semata. Jauh dari predikat pria bermatrabat. Harsa itu rusak dan perusak! Itu lah sosok Harsa di mata wanita terhormat seperti Juliana Dewani.

Sore itu sebuah mini van putih berhenti di depan lobi, dari plat nomor yang terlihat, Juliana tahu mobil itu datang untuk menjemputnya.

"Mbak Juliana?" tanya seorang pria yang kelihatan berusia senior, bertanya pada Juliana.

"Iya Pak." Jawab Juliana, kemudian membuka pintu kursi penumpang di bagian tengah mobil.

"Alamat sudah sesuai titik ya, Mbak?"

"Iya Pak."

"Hati-hati Pak, jangan terlalu banyak diajak ngobrol, nanti Bapak bisa-bisa dicakar." Goda Harsa saat motornya melewati mobil yang ditumpangi Juliana untuk pulang, dan sempat-sempatnya Harsa bertingkah menyebalkan dengan meledek Juliana sambil membonceng wanita bodoh tadi pada jok belakang motornya.

"Jalan, Pak, tidak perlu dengarkan omongan orang tidak waras." Terdengar kekehan dari Harsa sebelum mobil yang ditumpangi Juliana pergi meninggalkan area perkantoran.

Di dalam mobil selama perjalanan, Juliana tentu saja tidak bicara apa-apa, selama supir mengendarai mobil dengan aman dan sesuai dengan peta yang ada. Dia selalu menggunakan waktu perjalanan pulang sebagai waktu untuknya merenungi nasib. Bukan meratapi. Dia tidak pernah menyesal menjadi lajang hingga diusia hampir kepala tiga, dia tidak pernah menyesal menjadi seorang kakak yang merangkap menjadi orang tua untuk Dimas, adik laki-laki satu-satunya. Dia tidak pernah mengeluh tentang hidup yang harus dia jalani dengan gunjingan kanan kiri. Hanya saja, terkadang ia merasa begitu lelah.

Juliana sampai di rumah setelah satu jam perjalanan. Sebentar ia menyapa para tetangga, ibu-ibu rumah tangga yang melakukan rutinitas sore harian mereka dengan mengobrol sembari menemani anak-anak mereka bermain bersama. Sebuah kegiatan untuk meningkatkan keakraban bertetangga, yang mana Juliana tidak pernah bisa ikut serta. Bukan karena tidak ingin, ia hanya tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik. Menyapa dengan cukup ramah dan sekadarnya sudah menjadi pencapaian yang bagus untuk seorang Juliana.

Rumah yang ditempati Juliana bersama Dimas adalah rumah sewa. Namun pemilik rumah sangat baik, mereka memberikan harga yang cukup terjangkau untuk satu rumah yang layak. Juliana dan Dimas sudah tinggal di tempat itu selama lima tahun, sejak Juliana mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup baik. Ia membawa adiknya keluar dari rumah tantenya yang selama mereka tinggal bersama selalu dijadikan pesuruh.

"Lho, kau sudah pulang?" tanya Juliana begitu melihat Dimas di dapur. Pemuda itu tengah memasak makan malam untuk mereka.

"Iya, dosen jam terakhir tidak masuk, hanya kasih tugas on line saja. Jadi kupikir baiknya aku pulang saja. Aku sudah masak, dan membersihkan rumah juga."

Juliana tersenyum, ia mendekati adiknya seraya mengacak puncak kepala Dimas dengan sayang.

"Baik banget sih adikku ini."

"Apaan sih." Dimas menepis tangan Juliana, ia selalu merasa risi setiap kali Juliana memperlakukannya seperti anak kecil. Meski sebenarnya dia senang dimanja oleh Juliana, hanya saja, Dimas sudah cukup dewasa untuk melihat bagaimana Juliana telah berjuang selama ini untuk dirinya, sudah sepantasnya ia membayar semua usaha Juliana dengan menjadi adik lelaki yang berguna, sukses dan dapat melindungi kakaknya.

"Mandi sana, Kaka, lalu kita makan."

"Yes Chef!"

💜💜💜

Hanya jika di dalam rumah ia bisa menggerai bebas rambut panjangnya yang hitam dan bergelombang, membiarkan setiap helai rambut tebalnya itu bernapas setelah seharian dia ikat super ketat. Ia melihat pantulan dirinya pada cermin setelah selesai membersihkan diri dan mengeringkan rambut dengan hair dryer. Jemarinya yang lentik menyentuh dahi, pelipis, sudut terluar mata, pipi, tulang rahang hingga kulit lehernya.

Perawan Tua. Dua kata itu acapkali terdengar oleh Juliana dalam gunjingan orang-orang pada dirinya yang berstatus lanjang dan terlalu bergaya kuno. Mereka mengatakan itu karena melihat potensi untuk menjadi perawan tua ada pada Juliana. Ia tidak pernah sudi didekati laki-laki, jadi tidak akan ada laki-laki pula yang mau mendekati wanita sekaku Juliana.

Meski begitu, Juliana juga wanita normal, ia juga mempunyai keinginan untuk menjalin kasih dan menikah dengan pria terhormat dan mampu menghormatinya sebagai wanita dan mencintainya sepenuh hati. Dan dia pun juga mempunyai hati dan perasaan pada seorang lelaki, seorang yang dimatanya adalah bentuk nyata dari seorang pria bermatrabat, bermoral baik dan dapat menghormati dan melindungi seorang wanita, pria itu bernama Ditto.

Namun Ditto terlalu jauh dari jangkauannya, bahkan untuk mendekatinya saja Juliana tidak mampu. Ia hanya bisa menjadi pungguk yang merindukan bulan, mengagumi dari kejauhan.

Ia menghela napas.

Makan malam bersama yang selalu mereka - Dimas dan Julinana - lakukan setiap kali mereka pulang tepat waktu selalu menjadi moment yang hangat dan menenangkan. Juliana selalu memperhatikan Dimas, bertanya pada adiknya apa yang sudah dia lakukan, apakah ada masalah, apakah ada yang kurang, soal kuliah, soal pertemanan, bahkan Juliana tidak melarang jika Dimas mempunyai pacar. Ia tidak ingin adiknya seperti dirinya, melajang hingga usianya cukup matang. Ia ingin adiknya merasakan banyak pengalaman, merasakan banyak rasa yang disediakan oleh hidup, melihat dunia bahwa banyak hal yang dapat dia lihat dan rasakan. Juliana tidak ingin Dimas hidup di dalam gua seperti dirinya.

"Kenapa sih, Kakak selalu menyuruhku untuk punya pacar? Kakak sendiri tidak pacaran."

"Lain cerita kalau Kakak. Lagian, kenapa sih kau tidak mau punya pacar?"

Dimas menggeleng. "Pacaran itu ribet, Kak."

"Tahu dari mana? Pacaran saja belum pernah."

"Melihat teman-temanku. Mereka yang punya pacar sering galau, bertengkar lah, pacarnya cemburu lah, pacarnya posesif lah, pacarnya agresif lah, pacarnya pasif lah. Tidak jelas. Belum lagi bagi para lelaki saat punya pacar, itu artinya mereka akan menjadi ojek yang harus siap mengantar dan menjemput." Dimas memutar bola matanya.

Juliana terkekeh.

"Kakak sendiri kenapa memilih untuk melajang? Padahal kalau Kakak mau menunjukkan penampilan Kakak yang lebih santai seperti ini, akan banyak laki-laki yang antre untuk jadi kakak iparku. Kakak juga akan punya ojek pribadi, dimana pun Kakak berada, Kakak tinggal bilang, "Jempuuut."" Dimas memeragakan suara perempuan yang manja minta dijemput.

Juliana kembali tertawa.

"Mungkin karena aku terlalu takut." jawab Juliana setelah tawanya reda. "Aku terlalu takut bertemu dengan orang yang salah. Aku takut jatuh cinta pada orang yang salah. Aku pengecut, ya? Padahal aku menyuruhmu untuk mempunyai pacar agar kau mempunyai pengalaman dari banyak rasa yang ada tentang perasaan dan hati."

"Kakak takut bertemu dan jatuh cinta pada lelaki seperti ayah? Dan berakhir seperti ibu?"

Juliana tersenyum kecut membenarkan penilaian Dimas.

Ya, dia terlalu takut. Terlalu pengecut. Terlalu lemah.

.

.

.

TBC~

Voting untuk Bar!

Pagi ini disambut dengan hujan rintik-rintik yang membuat kasur dan segala teman-temannya seakan memiliki magnet sepuluh ribu lebih kuat untuk menahan tubuh seseorang agar tak beranjak, termasuk Juliana. Ya, wanita perfeksionis itu pun mempunyai kelemahan. Ia sangat menyukai hujan rintik-rintik, bukan gerimis. Dulu sekali saat hidupnya terasa sempurna, setiap kali hujan rintik-rintik membasahi bumi, ibu akan membuatkan secangkir susu cokelat panas dan sepiring biskuit. Biskuit itu akan dicelupkan ke dalam susu sebelum masuk dan lumer di dalam mulut. Ah... Juliana sangat tergoda untuk membuat susu cokelat panas sekarang, membuka setoples biskuit dan bergelung di atas tempat tidurnya yang sepuluh kali lipat lebih nyaman saat hujan kesukaannya datang.

Namun kewajiban sebagai seorang pekerja kantoran dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi membuat Juliana terpaksa mengangkat seluruh tubuh dan kelemahannya terlepas dari magnet kenyamanan tempat tidur, seprai, bantal, guling dan selimutnya, ia menyeret kakinya langsung menuju kamar mandi, mencuci mukanya, menyikat giginya untuk menyadarkannya bahwa ia bukan anak sultan yang bisa bermalas-malasan. Ia mencepol rambut panjang hitam dan bergelombangnya secara asal di atas kepala, setelah selesai dengan ritual di dalam kamar mandi, ia segera ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Dimas. Setelah selesai mengisi perut dengan setangkap roti panggang dan susu cokelat, ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, kali ini untuk mandi dan bersiap-siap menjadi nona sinis, ketus, kaku yang menjunjung tinggi kesempurnaan bekerja.

Hari ini ia mengenakan celana bahan longar, blouse longgar, sepatu pantofel andalannya, dan tidak ada lagi cepolan rambut yang berantakan di atas kepalanya.

"Dim, Kakak berangkat ya."

Terdengar sahutan pelan dari dalam kamar adiknya. Ia tahu, jika Dimas belum keluar kamar pada saat dirinya berangkat, itu artinya semalaman adiknya itu begadang mengerjakan tugas.

Seperti biasa, ia akan menggunakan jasa taksi online untuk mengantarkannya ke kantor. Sejujurnya, jika saja ia bisa menghilang hari ini, ia akan menghilang. Namun ia harus bertahan dan mejalani apa yang akan dijalaninya hari ini, yaitu acara ulang tahun perusahaan. Ini adalah kali kelima Juliana menghadiri acara yang selalu meninggalkan kesan tidak menyenangkan baginya. Karena dibandingkan acara ulang tahun perusahaan, acara itu lebih cocok menjadi acara ajang pameran outfit, OOTD, merk pakaian dan segala macamnya yang berbau style dan fashion. Dimana semua orang saling memuji, Juliana justru akan duduk sendiri pada sebuah meja, menikmati makanan dan minuman yang tersedia tanpa satu orang pun yang akan datang menemaninya, dan Juliana akan menatap nanar Ditto dari kejauhan.

Juliana mengela napas panjang.

Begitu tiba di kantor, Juliana akan disambut oleh tatapan-tatapan mencemooh, meski tidak ada yang berani langsung mengatainya di depan wajah, karena sikap dingin Juliana. Ia segera menuju kantor divisinya, suara obrolan-obrolan pagi yang santai dan lebih seru terdengar begitu Juliana mendorong pintu kaca terbuka.

"Juliana, kita voting tempat makan malam tim malam ini. Oke?" Rina memberitahu.

Juliana tidak menjawab, ia hanya terus melangkah menuju mejanya, menyemprotkan cairan disinfektan pada permukaan meja dan melapnya dengan tisu, ritualnya sebelum mulai bekerja.

"Kita ada pilihan restoran Korea, restoran pasta dan steak, restoran Sunda. Kau pilih yang mana?"

Tahun ini adalah tahun kelimanya bekerja diperusahaan ini, itu berarti kali kelimanya ia akan menghadiri acara ulang tahun perusahaan yang akan diadakan nanti siang. Dan kali kelima ia akan mengikuti kebiasaan tim di hari ulang tahun perusahaan, yaitu makan malam tim. Dan ini adalah kali kelima ia diberikan pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Juliana tahu bahwa rekan-rekan divisinya itu sudah hapal di luar kepala apa yang akan menjadi jawaban Juliana, namun mereka tetap bertanya demi nilai dan norma kesopanan. Dan makan malam tim hanyalah acara membosankan lainnya bagi Juliana, yang lebih parahnya tidak akan ada Ditto disana.

"Kau bertanya padanya? Yang benar saja." Harsa berdecak. "Tentu saja Tuan putri akan menjawab, "terserah kalian." Karena apa? Karena dia tinggal di dalam gua, mana dia tahu tentang restoran-restoran yang kau sebut itu, Rin."

Rina terpaksa menendang kaki Harsa saat melihat ketenangan pada wajah Juliana perlahan meninggalkan posnya.

"Apa kau pernah melihatku keluar dari dalam gua?" Tanya Juliana dengan nada ketus.

"Aku tidak perlu melihatnya, karena kau sudah menunjukkannya." jawab Harsa santai. "Kau tidak akan tahu arti makan malam tim itu apa, makanya kau selalu menjawab terserah dan tidak pernah memberikan pendapatmu. Kau tidak pernah tahu arti kesenangan dan membangun ikatan dengan orang lain, karena di dalam gua tidak ada kesenangan dan kau sendirian."

Juliana memejamkan matanya, jelas sekali kali ini ia berusaha menahan diri. Kemudian matanya menatap tajam kepada Harsa lalu kesemua orang.

"Aku pilih tim kita makan malam di bar!" Tantang Juliana, ia mengangkat dagunya semakin tinggi. Semua orang dibuatnya kehilangan kata-kata. Hanya saling berpandangan heran. "Kenapa diam semuanya? Apa bar tidak ada dalam pilihan voting?"

"Kau yakin?" tanya Pandu.

"Ya!"

"Juliana, kau tidak perlu seperti itu, jangan terpancing Harsa." sahut Novi berusaha untuk menenangkan Juliana.

"Apa? Aku terpancing oleh kutu busuk itu?" Juliana melemparkan tatapan tajam pada Harsa yang dibalas dengan seringai jahil. "Aku tidak terpancing olehnya!"

"Tapi, kami rasa bar bukan tempat yang pas untuk makan malam tim." Haru memberikan komentar, meski dia oke-oke saja selama dia tidak merogoh isi dompetnya.

"Kenapa? Apa sekarang kalian yang takut mengikutiku? Dan kau," Juliana menuding Harsa dengan hidungnya, "Apa kau juga keberatan dengan bar?" tanya Juliana dengan nada meremehkan.

Harsa terkekeh, ia berdiri dari kursinya, memukul permukaan mejanya pelan.

"Oke, deal!" katanya.

"Deal apaan, Bro?" tanya Pandu.

"Kita makan malam tim di bar! Lagi pula disana juga ada makanan, dan pastinya ada minuman-minuman yang menyenangkan. Bukan begitu, Yang Mulia?"

Juliana hanya mendengkus kemudian mengalihkan tatapan kesalnya pada perangkat komputer. Dengan hatinya yang meruntuk kebodohannya. Kenapa juga dia harus terpancil oleh Harsa sialan. Dan bar? Astaga! Juliana pasti akan mati sebelum memasuki bar apa pun yang akan dipesan oleh rekan-rekannya.

"Oke, kalau begitu aku akan meja di bar." kata Mona yang tidak terlalu banyak bicara.

Sementara itu Harsa bersiul-siul menjengkelkan.

"Apakah kau tidak bisa menyumpal mulutmu itu?" Omel Juliana.

"Dengan apa?" Harsa menengok kiri dan kanan mejanya.

"Entahlah, mungkin dengan pakaian dalam wanita bodoh yang kau bonceng dan kau nodai di suatu tempat."

Pandu tergelak. Haru tersedak cheetos, Rina memoles kuas lip creamnya hingga keluar garis bibir, Novi menyemburkan sedikit kopi yang sedang asik diseruputnya dan Mona menggelengkan kepala setelah menutup gagang telepon menyudahi reservasinya pada sebuah bar.

"Tidak bisa, karena yang kemarin itu kurang memuaskan, jadi aku tidak menyimpan pakaian dalamnya untuk menyumpal mulutku." Balas Harsa. "Bagaimana jika kau saja yang menyumpal lubang telingamu denga hak sepatu patofelmu. Itu akan membuat siulanku semakin merdu."

Juliana hanya memicingkan mata, berharap dari matanya bisa mengeluarkan belati tajam yang merobek bibir Harsa. Lelaki itu sungguh menyebalkan.

Dan, ya, Harsa kembali bersiul.

.

.

.

TBC~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!