Terdengar suara decitan ban motor di halaman sebuah rumah. Seorang wanita yang sedang menonton televisi langsung bangkit dari duduknya, membuka pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.
Pernikahan mereka memasuki bukan ke delapan, tapi sikap, Soni terkadang tak acuh kepada istrinya, Indah. Padahal mereka sudah saling mengenal lebih dari sepuluh tahun.
Meski begitu, Nina tetap bersikap ramah kepada suaminya, menyambutnya dengan hangat dan senyuman, menyiapkannya air hangat untuk mandi, dan menawarinya makan malam.
Nina selalu ingat nasihat ibunya, ketika seorang wanita sudah menikah, maka baktinya untuk laki-laki yang menikahinya.
Soni selalu pulang pada jam yang sama setiap harinya, pukul 08.00 malam, sehingga Nina memiliki banyak waktu luang untuk menyiapkan diri sebelum jam kepulangan suaminya.
"Abang mau makan atau mandi dulu?"
"Mandi dulu," jawab Soni singkat.
Soni berjalan ke kamar mereka, dengan Nina yang mengekor dari belakangnya. Soni langsung masuk ke kamar mandi yang terletak di sudut kiri kamar, di dalam kamar mandi, telah tersedia air hangat, serta handuk untuk suaminya. Nina segera menyiapkan baju ganti dan menyimpannya di tempat tidur mereka.
Sementara suaminya mandi, Nina keluar untuk menyiapan makan malam. Sebelum menikah, Nina paling anti makan malam di atas jam tujuh, namun setelah menikah, apa boleh buat, suaminya pulang dari toko tempatnya berdagang pukul delapan malam, Nina tak enak jika makan mendahului suaminya.
Di dalam kamar mandi, Soni tak langsung menjalankan ritual mandinya, dia termenung menatap cermin yang tergantung dengan pikiran berkelana.
Soni teringat dengan peristiwa sore tadi, saat dia mendatangi, Indah, istri sirinya. Indah mengatakan jika dia sudah telat haid tiga minggu. Soni paham dengan maksud perkataan, Indah.
Indah, wanita yang dicintai Soni, sebenarnya dinikahi sebelum Soni menikahi Nina. Saat Soni diharuskan menikahi Nina karena balas budi, Indah memaksa dinikahi oleh Soni meski hanya pernikahan siri.
Maksud perkataan Indah, adalah meminta Soni memilih antara Nina atau Indah. Atau mengatakan pada Nina, agar Indah bisa dinikahi resmi.
Soni teringat dengan janjinya untuk menjaga Nina, tapi anak dalam kandungan Indah membutuhkan status yang jelas. Soni mengakhiri lamunannya, dia segera melakukan ritual mandi sebelum malam semakin larut.
Saat Soni keluar, makanan di meja sudah tersedia. Nina yang sudah menunggu kedatangan suaminya, tersenyum hangat ke arah Soni, lalu mengambil nasi dan lauk ke piring dan meletakan di hadapan suaminya lengkap dengan sendok dan garpu. Tak lupa Nina menyodorkan setoples krupuk, karena Soni tak bisa makan tanpa krupuk.
Keduanya makan dalam diam. Nina sebenarnya gadis yang periang, namun entah kenapa suaranya hilang jika dihadapan suaminya, dia seolah kehilangan kata-kata untuk memulai pembicaraan dengan Soni.
Seperti malam-malam sebelumnya, selesai makan, Soni akan masuk ke kamar meninggalkan Nina yang membereskan meja makan lalu membersihkan peralatan bekas makan mereka malam itu juga.
Saat Nina memasuki kamar mereka, dilihatnya, Soni berbaring miring dengan mata tertutup. Nina memasuki kamar mandi, untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Sebelum tidur, Nina menanggalkan baju yang dia kenakan, karena dia telah melapisinya dengan baju tidur.
Bukan baju tidur seksi, hanya baju tidur berbahan satin dengan celana di atas lutut dan atasan tanpa lengan.
Soni hanya pura-pura memejamkan matanya, dia mendengar semua yang dilakukan istrinya, hingga gerakan tempat tidur, pertanda Nina sudah merebahkan tubuh di sampingnya.
Saat Soni membuka matanya, Nina tidur membelakangi dirinya. Soni memperhatikan istrinya dari belakang, tak ada yang kurang dari sosok istrinya, berwajah cantik dan teduh, kulit kuning langsat miliknya semakin bercahaya dengan baju tidur berwarna hitam yang dikenakannya malam ini.
Tak ada celah dari seorang Nina, meski usianya belum genap dua puluh tahun, tapi selama menikah, dia bisa mengurus Soni dengan baik.
"Apa aku tega membuatnya menjadi janda di usianya yang masih muda? Tapi aku juga tidak mungkin membiarkan anakku lahir dengan status tak resmi. Untuk meminta ijin poligami tak mungkin, sama artinya dengan menceraikan dia, karena Nina akan lebih memilih bercerai dari pada di madu." perang bathin dalam hati Soni yang membuatnya semakin frustasi.
Tangan Soni terulur, untuk mengelus bahu mulus istrinya, logika Soni seketika tertutupi, hatinya menuntut lebih, Soni mendekat menempel pada tubuh istrinya, menghirup aroma tubuh Nina dalam-dalam, karena tak tahu kapan dia bisa menghirupnya lagi.
Nina yang sudah tidur berbalik menghadap suaminya.
"Abang..." suara serak Nina membangkitkan gairahnya, melihat wajah polos istrinya membuatnya melupakan masalahnya, dia mengingikan istrinya.
Terjadilah pergumulan panas tanpa kata, seperti malam-malam yang mereka lewati sebelumnya. Setelah keduanya sama-sama menuju puncak nirwana, pasangan suami istri itu langsung tidur dengan Nina yang tidur dalam dekapan suaminya.
Nina bangun saat sinar matahari yang masuk melalui celah jendela mengenai matanya, perlahan dia bangun, tanpa membangunkan suaminya. Dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa pergumulan mereka semalam.
Setelah Nina memasuki kamar mandi, Soni pun terbangun. Dia mengambil ponsel yang dia letakan di meja samping tempat tidurnya, ada kiriman poto dari istri sirinya, hanya butuh beberapa detik untuk mengunduhnya, ternyata poto alat tes kehamilan dengan strip dua berwarna merah.
Hatinya membuncah karena senang. Kini hatinya mantap untuk menentukan pilihan. Tak ada yang lebih penting dari anaknya, calon penerusnya.
"Nina Nafisah binti Jauhar, mulai hari ini saya talak kamu!"
Nina yang baru keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri setelah pergumulan panas mereka, kaget tanpa alasan yang diketahuinya, tiba-tiba suaminya, Soni, menalak dirinya.
Bahkan air dari rambutnya masih menetes membasahi kimono mandi yang dia kenakan.
BERSAMBUNG
"Nina Nafisah binti Jauhar, mulai hari ini saya talak kamu!"
Nina yang baru keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri setelah pergumulan panas mereka, kaget tanpa alasan yang diketahuinya, tiba-tiba suaminya, Soni, menalak dirinya.
Bahkan air dari rambutnya masih menetes membasahi kimono mandi yang dia kenakan.
"Tapi kenapa, bang? Apa salah, aku?"
Nina menatap suaminya dengan wajah bingung, tidak ada air mata menetes dari matanya.
"Karena aku... karena hingga saat ini, aku tak mencintai kamu, aku tidak ingin seumur hidup menghabiskan waktu, hidup dengan wanita yang tidak aku cintai."
Soni mengalihkan padangannya setelah mengatakan alasan yang bukan sebenarnya. Dia tak sanggup menatap mata bening milik istrinya.
Nina menatap suaminya dengan tatapan nanar, dia tak pernah menyangka laki-laki yang menjadi suaminya akan senaif ini memberikan alasan.
"Cinta," guman Nina pelan.
"Lalu apa artinya percintaan kita semalam? kalau tidak cinta, untuk apa abang meminta hak bahkan sejak malam pertama kita menikah?" tanya Nina sarkas.
"Itu karena sudah menjadi hak aku dan kewajiban kamu untuk melayaniku. Laki-laki bisa melakukannya tanpa cinta. Kamu sudah aku nikahi secara sah, aku bahkan memberikan mas kawin besar saat menikahimu dan selama ini, aku juga memberikan uang nafkah yang cukup."
Nina merasa terhina mendengar perkataan suaminya, seolah dia wanita murahan, wanita bayaran yang tak punya harga diri, yang dibayar suaminya untuk melayani di atas tempat tidur.
Sesak di hati Nina dia pendam sendiri, pantang untuk Nina menangis dihadapan laki-laki yang sudah merendahkannya. Nina juga tidak akan memohon, mengemis cinta pada laki-laki dihadapannya, untuk sekedar mempertahankan rumah tangga mereka.
Sesaat Nina memejamkan matanya, meraup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya kasar. Dia menatap suaminya tajam, seketika rasa hormat pada laki-laki yang sudah di anggapnya kakak, berubah jadi benci.
"Baiklah, bang. Aku terima talak ini. Segera lah daftarkan perceraian kita, aku ingin status yang jelas, agar aku bisa menata hidupku kembali, lepas dari pernikahan yang tak aku inginkan juga!"
Perkataan tenang Nina justru menyentak sudut hati Soni. Dia tidak menyangka Nina akan semudah itu menerima perceraian mereka, awalnya dia berharap Nina akan menangis, dan mengiba padanya untuk mempertahankan rumah tangga mereka, apalagi Nina sudah tak punya siapa-siapa lagi.
"Baiklah, akan aku urus gugatannya hari ini juga," ucap Soni sambil berlalu ke kamar mandi.
Sepeninggalan Soni, air mata menitik dari sudut matanya. Hanya setitik, yang langsung diusap kasar olehnya. Nina menguatkan hatinya, dia tak boleh lemah, untuk apa mempertahankan laki-laki tak setia seperti Soni.
Selama ini, Nina memilih diam, menutup mata, menulikan telinganya, dia tahu, jika suaminya sudah menduakannya. Dan alasan suaminya menceraikannya pasti karena Soni sudah membuat pilihan, memilih wanita selingkuhannya.
Saat Soni keluar dari kamar mandi, sudah tidak ada Nina di dalam kamarnya. Tempat tidur sudah rapi, tapi terasa ada yang kurang di sana, setelah berusaha mengingat, Soni baru sadar, jika di atas tempat tidurnya tidak ada baju kerja yang biasa disiapkan Nina untuknya.
Apa Nina mulai menjalankan perannya sebagai seorang mantan? Tak ingin menghabiskan waktu dengan memikirkan hal tak penting, Soni segera membuka lemarinya. Namun sekali lagi dia dibuat bingung memilih baju yang akan dia pakai ke toko.
Padahal dulu sebelum menikah dengan Nina, Soni menyiapkan keperluan pribadinya sendiri, tapi hanya dalam waktu delapan bulan saja, dia seolah lupa caranya mengurus diri sendiri.
Soni keluar kamarnya, dia menemukan Nina duduk di meja makan, Soni sedikit lega, Nina tak pergi dari rumah ini. Tapi memang Nina mau kemana, dia tak punya sanak saudara di kota ini.
Soni duduk berhadapan dengan Nina, namun saat melihat meja makan yang bersih tak ada sajian untuk sarapan. Padahal biasanya, saat dia keluar kamar Nina sudah menyiapkan sarapan untuknya sebelum berangkat ke toko.
"Ada yang mau aku bicarakan!" Nina berucap tenang.
Soni yang hendak beranjak, kembali mendudukan dirinya di kursi.
"Silahkan!"
"Aku tidak akan mempersulit jalannya sidang, selama proses itu berlangsung, aku akan tinggal di sini, hingga akta cerai keluar, setelah itu aku akan keluar dari rumah ini."
Soni mengangguk.
"Kamu tinggal saja di sini, biar aku yang keluar dari rumah ini. Ini rumah kamu juga."
Nina diam tidak menanggapi ucapan calon mantan suaminya.
"Apa ada lagi yang ingin di sampaikan?"
"Aku ingin nafkah iddah diberikan setelah akta cerai keluar sekaligus?"
Soni kaget mendengar permintaan Nina, setahunya Nina bukan wanita matre.
"Kenapa?"
"Itu sudah kewajiban, abang, memberi nafkah iddah untuk aku."
"Kenapa minta diberikan sekaligus?"
"Karena setelah akta cerai keluar, aku tak ingin ada interaksi apapun antara kita!"
Perkataan Nina kembali menyentakan hati Soni. Setelah mengatakan ingin terlepas dari pernikahan yang tidak diinginkannya juga sekarang, Nina mengatakan tidak ingin berhubungan lagi dengannya setelah bercerai.
Entah mengapa, tapi sebenarnya, Soni merasa sedih, apakah itu artinya, Nina tidak pernah mencintainya?
Gadis muda yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya, menjelma jadi wanita yang tak dia kenali. Kemana perginya adik kecilnya? apa efek perceraian akan mengubah hubungan mereka menjadi dua orang yang tak saling mengenal.
"Baik, semua akan aku kabulkan!"
Setelah mengatakan itu, Soni pergi dengan membanting pintu, sehingga menimbulkan bunyi keras yang membuat Nina menjengit karena kaget. Entah kenapa, tapi tiba-tiba, Soni merasa emosinya muncul memikirkan bahwa Nina tak pernah mencintainya.
Seiring kepergian Soni, luruh juga air mata yang sejak tadi Nina tahan dengan sekuat tenaga, bahkan saat berbicara, Nina berusaha menormalkan nada suaranya agar tidak bergetar. Perbuatan Soni kepadanya telah menjatuhkan harga dirinya, sebagai seorang wanita dan istri sah.
Nina berjanji, air mata yang keluar saat ini, akan menjadi air mata terakhir untuk suaminya. Dia menangisi laki-laki yang sebentar lagi akan bergelar mantan.
BERSAMBUNG
Keluar dari rumahnya, pikiran dan hati Soni sungguh tidak menentu. Perut yang semula terasa lapar, kini menguap entah kemana rasa lapar tersebut, berganti dengan sesak di dadanya.
Dia tidak menyangka jika Nina justru terkesan menantangnya agar mereka segera bercerai secara resmi. Melihat tak ada raut kesedihan sedikitpun di wajah Nina, justru membuatnya sedih.
Harusnya, Soni senang, tapi entah kenapa ketenangan Nina justru menganggu hatinya. Soni pernah berharap, Nina akan menangis dan menghiba kepadanya, namun ketenangan Nina seolah membuktikan jika tidak ada cinta Nina untuk Soni.
Hari masih cukup pagi untuk dia pergi ke toko. Pertokoan biasanya buka pada pukul 09.00 pagi, sedang karyawannya akan datang setengah jam sebelumnya. Sekarang masih pukul 07.00 pagi lebih beberapa menit, dan dia belum sarapan. Soni pun memutuskan untuk pergi ke rumah istri sirinya. Dia akan sarapan pagi di sana, meski sebenarnya sudah tidak bernafsu untuk makan.
Soni membelokan sepeda motornya menuju rumah yang dia kontrakan untuk Indah. Jarak kontrakan Indah tidak terlalu jauh dari toko kelontongan miliknya, hal itu memang sengaja agar, Soni tidak membuang waktu di perjalanan untuk bertemu Indah.Soni Berharap semoga, Indah menyediakannya sarapan dan menyejukan hatinya yang kalut. Kalut karena kini justru dia meragu dengan keputusannya menceraikan Nina.
Gordein rumah masih tertutup, lampu luar belum dimatikan saat, Soni sampai di kontrakan Indah. Soni memang jarang berkunjung ke rumah Indah saat pagi hari, hanya saat Indah memintanya datang, dia baru berkunjung, biasanya itu saat Indah meminta jatah uang kepadanya.
Soni selalu mengunjungi Indah, siang hari saat makan siang dan sore hari ketika pulang dari toko. Setelah tokonya tutup, Soni tidak langsung pulang ke rumahnya, tapi mengunjungi Indah, hingga sepuluh menit sebelum jam delapan malam, Soni baru pulang ke rumahnya.
Soni mengetuk pintu rumahnya, dari ketukan biasa hingga gedoran, Indah belum membuka pintunya. Soni mencoba memasukan anak kunci yang ada padanya, tapi sia-sia, karena anak kunci yang sama tergantung dari dalam sehingga Soni tak bisa membukanya.
"Bukannya Indah mengirim pesan tadi pagi, apa dia tidur lagi?" bisik Soni dalam hatinya.
Indah baru membuka pintu setelah, Soni menggedor jendela kamarnya.
"Abang tumben pagi-pagi ke sini?" tanya Indah masih dengan muka bantal, rambut awut-awutan dan tidak ada wajah bermake-up tebal seperti biasanya.
"Kenapa nggak boleh?" jawab Soni ketus.
Soni menjawab ketus pertanyaan Indah. Kesal di dalam hatinya bertambah, karena Indah lama membukakan pintu untuknya.
Soni menatap Indah pangling. Biasanya jika dia berkunjung, Indah akan menyambutnya dengan dandanan paripurna full make-up. Sekarang, Soni baru tahu wajah baru bangun tidur Indah yang tanpa make-up, sangat berbeda sekali, wajahnya pucat dan kusam, aroma tubuhnya pun membuat perut kosong Soni mual.
Soni tiba-tiba teringat Nina, yang tak terbiasa menggunakan make-up tebal, namun justru saat bangun tidur justru terlihat cantik alami.
"Ya nggak biasa aja, abang datang pagi-pagi."
"Apa tiap pagi kamu bangun sesiang ini?"
"Tadi udah bangun, cuma entah kenapa beberapa hari ini, tiap pagi bawaannya ngantuk, jadi tidur lagi aja," Indah berbohong, suaranya dibuat semanja mungkin, biasanya jika seperti itu, Soni akan luluh kepadanya.
"Ayo masuk, bang!" Indah menarik tangan Soni, menuntunnya duduk di kursi.
Indah hendak mendekat untuk bermanja, tapi Soni menggeser duduknya, menjauh dari Indah, Soni tidak tahan dengan bau tubuh Indah yang belum mandi.
"Kamu mandi dulu, gih! Siap itu buatkan aku sarapan!"
"Abang belum sarapan?"
"Bisa tidak kamu jangan banyak tanya, sekarang kerjakan yang aku minta!" Soni meninggikan suaranya pada Indah, membuat Indah heran, karena Soni tak pernah meninggikan suara kepadanya.
Tidak ingin membuat suaminya lebih marah, Indah segera masuk ke kamarnya. Dua puluh menit kemudian dia keluar sudah dengan penampilan sempurnanya.
Begitu keluar dari kamarnya, Indah langsung membuka pintu depan, lalu keluar dengan ponsel di telinganya. Soni hanya memperhatikan tanpa berniat untuk menanyakan. Tidak lama, Indah kembali dengan kresek makanan di tangannya.
"Kamu nggak masak?"
"Nggak sempet, bang. Katanya abang sudah lapar. Kita makan ini saja."
Tak ingin berdebat, Soni langsung melahap lontong mie pesanan Indah.
"Nanti sore, kita ke dokter kandungan, periksa kandunganmu."
Indah menghentikan kunyahannya, "Nanti saja, bang. Kan sudah di tes alat kehamilan."
Soni memicingkan matanya ke arah Indah.
"Aku mau periksa kehamilan, kalau kita sudah nikah tercatat di negara, aku malu kalau orang-orang tahu aku hamil, sedangkan status pernikahan kita belum resmi."
Soni merasa alasan yang diutarakan Indah hanya mengada-ngada.
"Tapi aku akan tetap menjaga anak kita baik-baik bang, minum susu hamil dan suplemen kehamilan." Indah menyenderkan kepalanya dibahu Soni, mencoba bermanja-manja.
"Jadi kapan abang akan nikahin aku secara resmi?"
"Setelah aku bercerai dengan Nina."
"Apa? Abang akan menceraikan Nina?"
Ada senyum tersembunyi yang terbit di sudut bibir Indah. Hatinya bersorak gembira, sebentar lagi hanya dia satu-satunya istri Soni Gunawan, pemilik toko klontongan terbesar di daerahnya.
"Nina nggak mungkin mau menandatangani surat ijin menikah lagi," jawab Soni terdengar sendu di telinga Indah.
"Abang menyesal menceraikan Nina?"
Soni tidak menjawab pertanyaan Indah, dia tetap diam mencoba menikmati sarapannya yang terasa berbeda di lidahnya, tidak seenak masakan Nina. Diamnya, Soni membuat Indah kesal, karena dia takut, Soni sudah jatuh cinta pada Nina dan menyesal menceraikan Nina.
Soni diam, karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya terasa sesak, tapi kata talak sudah terlanjur dia ucapkan, tidak bisa ditarik kembali. Ingin merujuk, Nina namun istrinya tersebut seolah ingin cepat-cepat bercerai darinya.
Rasa sesak itu makin bertambah melihat Nina seperti baik-baik saja setelah dia menalaknya.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!