NovelToon NovelToon

Kutukan Cinta Pertama

PROLOG: Manusia Es itu Bernama Dean

Oktober, 2012

Qiara terperanjat bukan kepalang saat beberapa detik yang lalu, seseorang yang begitu asing baginya membanting pintu di depannya dengan cukup keras. Tidak hanya suara dari gebrakan pintu yang membuat Qiara merasa sangat terkejut, namun seraut wajah dingin dengan sorot mata mematikannya telah berhasil menciutkan nyali Qiara. Aliran darah di wajahnya berkurang, hingga membuat wajahnya tampak pucat.

Beberapa saat yang lalu, Danny memintanya untuk mengambil buku catatan miliknya yang kemarin sempat dipinjam oleh Danny. Qiara yang memang cukup sering keluar-masuk rumah Danny sejak masih kecil pun, langsung masuk ke kamar milik Danny. Namun, betapa terkejutnya ia saat sudah membuka pintu, seseorang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya tiba-tiba saja muncul dari balik pintu dan menatapnya dingin. Saat itu, tenggorokan Qiara seakan tercekat. Ia tidak mampu mengeluarkan satu kata pun karena terlalu terkejut dengan sosok es yang baru saja ia lihat untuk pertama kalinya.

"Qi, bukunya udah ketemu?" Tegur Danny tepat dari belakang Qiara yang masih membeku di tempatnya.

Melihat ada yang tidak beres dari Qiara sekarang, Danny tahu-tahu menyadari sesuatu. Ia baru ingat, bahwa ia belum memberitahukan pada Qiara bahwa ia sudah pindah kamar sejak tiga hari yang lalu. Danny meringis, lalu mendekati Qiara.

"Maaf, gue lupa ngasih tahu. Kamar gue sekarang di sana." Terang Danny sambil menunjuk salah satu kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamar lamanya.

"Qi, lo baik-baik aja, kan?"

Tidak ada jawaban dari Qiara, ia masih menatap pintu di depannya dengan pandangan kosong.

"Qia?" Lirih Danny pelan, kali ini sambil menyentuh salah satu bahu Qiara.

Dan untuk yang kedua kalinya, lagi-lagi Qiara tersentak saat merasakan sebuah sentuhan di bahunya. Ia pun menoleh ke samping, lalu mendapati Danny yang sedang menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

"Siapa pemilik baru kamar ini?" Tanya Qiara pada Danny dengan tatapan matanya yang masih kosong.

"Dia bukan pemilik baru. Dia pemilik lama kamar ini. Pemilik yang sebenarnya." Jawab Danny kemudian.

...****...

"Jujur, gue tahu masalah ini baru seminggu yang lalu. Gue ngasih tahu ini ke kalian, karena gue percaya sepenuhnya sama kalian." Terang Danny menutup penjelasan panjangnya pada Qiara, Arga, Windy, dan Celine.

Mendengar cerita yang baru saja Danny utarakan tentang rahasia besar keluarganya, Qiara, Windy dan Arga yang baru mengetahui kebenarannya tampak begitu terkejut, namun juga tidak bisa mengatakan apapun. Celine sendiri tidak merasa terkejut, karena ia tahu dalam waktu yang bersamaan dengan Danny. Celine adalah saudara sepupu Danny dari pihak Mamanya.

Mereka berlima adalah sahabat karib sejak mereka masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak hingga kini mereka menginjak tahun terakhir mereka di sebuah SMA. Hampir empat belas tahun bersahabat dan tumbuh bersama, membuat mereka merasa sangat dekat dan memiliki ikatan yang cukup kuat satu dengan yang lainnya.

Tentu saja bukan hal yang mudah bagi Danny untuk menceritakan yang sebenarnya pada sahabat-sahabatnya, utamanya pada Qiara. Tapi tidak peduli sesulit apapun, Danny merasa perlu untuk membagi rahasia ini dengan sahabat-sahabatnya agar tidak ada satu hal pun yang ia sembunyikan. Agar untuk ke depannya, mereka tidak merasa bingung dan bertanya-tanya tentang keadaan Danny dan juga... pemuda sedingin es itu.

"Makasih karena udah cerita ke kita, ya, Dann? Kita semua tahu, ini pasti bukan hal gampang buat lo." Ujar Arga.

"Ayo, lalui ini sama-sama. Kita selalu ada buat lo." Sambung Windy.

Menanggapi perkataan Arga dan Windy, Danny hanya tersenyum perih seraya menundukan pandangan matanya. Tidak lama kemudian, Qiara yang duduk tepat di sebelahnya, langsung mengangkat tangannya, lalu meraih tangan kanan Danny dan menggenggamnya cukup erat, berharap bisa mengalirinya sedikit kekuatan yang ia miliki. Sekali lagi Danny tersenyum, namun tidak seperti tadi, saat ini senyumannya lebih terlihat tenang. Tidak ada lagi rasa perih di dalamnya. Sepertinya, kekuatan yang Qiara berikan sudah merasuki dirinya. Itu terlihat dari senyuman di wajah Danny yang semakin lebar. Binar di matanya pun kembali terpancar.

Memiliki gadis ini di sampingnya, Danny sungguh merasa sangat beruntung.

Hanya beberapa saat setelah itu, tanpa sengaja Qiara melihat sosok laki-laki yang baru saja menjadi topik perbincangan di kelompoknya. Ia berdiri di atas balkon dan melemparkan tatapan dingin yang masih sama pada Qiara. Qiara tersenyum lembut meskipun pada akhirnya ia tidak mendapatkan balasan. Laki-laki tadi justru memilih hengkang dari balkon. Ia berjalan tanpa sekalipun menoleh ke arah Qiara yang terus mentapnya tanpa henti.

"Dann, nama Kakak lo siapa?" Tanya Qiara tanpa mengalihkan pandangannya dari balkon yang sudah kosong itu.

"Dean. Dean Nandra Adhitama."

...****...

"Lo suka sama gue?" Tanya Dean tanpa keraguan saat dia berbalik dan menghampiri Qiara yang berdiri tidak jauh dari posisinya.

Selama beberapa hari ini, Qiara terus saja mengikuti Dean. Dean sebenarnya sadar bahwa gadis itu sedang mengikutinya. Namun Dean hanya membiarkannya saja karena berfikir dia akan berhenti dengan sendirinya.

Tapi ternyata Dean salah. Qiara masih saja mengikutinya, seperti sebuah bayangan.

Bukan tanpa alasan kenapa Qiara melakukan hal itu. Sejak Dean pertama kali datang, pemuda itu selalu terlihat sendiri. Qiara yang tidak bisa mengabaikannya begitu saja, akhirnya memutuskan untuk mengikuti Dean, dan jika ada kesempatan, Qiara ingin mengajaknya berteman agar Dean tidak lagi sendiri. Alasan lain kenapa Qiara melakukan hal itu adalah, dia ingin mencari celah agar Dean dan Danny bisa dekat, layaknya saudara yang sesungguhnya.

"Ng─ nggak. A─aku nggak suka Kakak. Lagian aku udah punya pacar," sanggah Qiara gelagapan. Ia terlihat salah tingkah.

Sementara Dean, ia langsung menunjukkan reaksi misterius di wajahnya. Sejak dia kembali dengan semua luka dan kemarahannya, ini pertama kalinya Dean menemukan kenyamannya. Dan dia benci harus mengakui ini.

"Kalau begitu, jangan ikutin gue lagi!" Ucap Dean dengan tajam. Sorot matanya seakan mampu membekukan apa saja yang ditatapnya.

"A─aku..."

"Atau apa Danny yang minta lo buat ngikutin gue?"

"Bukan!" Jawab Qiara dengan cepat.

Tidak mungkin, kan, Qiara menyampaikan tujuannya yang sebenarnya? Bisa-bisa dia mati konyol di tangan manusia es ini.

Dean mengangguk. Raut wajahnya masih se-misterius tadi. "Kalo lo ngikutin gue cuma karena lo penasaran, gue saranin mending lo pergi sekarang juga." Dean terdiam sesaat sebelum berbisik pada dirinya sendiri, "lo bahkan mengatakan kalo lo nggak suka sama gue."

"Ha? Kak Dean ngomong apa?"

"Gue bilang, berhenti ngikutin gue!" Itulah ucapan terakhir Dean sebelum akhirnya melenggang pergi dari hadapan Qiara.

Di luar sadarnya, Dean tersenyum kecil.

Sesuatu yang tidak terjelaskan sedang terjadi padanya.

...****...

1. Tidak Ada Persahabatan Antara Pria dan Wanita

...-KUTUKAN CINTA PERTAMA-...

..."Layaknya seorang penyihir jahat, kau selalu berhasil menahanku seperti sebuah kutukan."...

...----------------...

Maret, 2014...

Setelah kelas dibubarkan, Danny langsung naik ke lantai atas untuk menyusul Qiara yang saat itu juga pasti sudah menyelesaikan kuliahnya. Begitu akan memasuki kelas Qiara yang sudah tampak lengang, Danny seketika menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika melihat sosok Qiara yang saat itu tengah tertidur di dalam kelas sendirian. Danny mendesah tak kentara. Semalaman, gadis itu pasti tidak tidur lagi karena harus melakukan jadwal siaran malamnya.

Danny menghela nafas setelahnya. Dengan sedikit jengkel, ia memasuki kelas Qiara dan mendekatinya. Ia bahkan berusaha meredam suara langkah kakinya agar Qiara tidak terganggu. Berikutnya, Danny melepaskan jas almamater yang ia kenakan, lalu menyampirkannya di bahu Qiara dengan gerakan pelan.

"Kenapa jam tidur lo berantakkan sekali?" Sungut Danny dengan nada setengah berbisik, lalu mendaratkan sebuah pukulan lembut di dahi gadis itu. Ia sebal, tapi juga merasa cemas.

Selepas itu, Danny segera keluar dan menunggu di depan kelas Qiara dengan sabar. Setengah jam berlalu, dua orang mahasiswa tiba-tiba datang. Dan ketika mereka hendak memasuki kelas, Danny langsung mencegahnya.

"Maaf sebelumnya, tapi ruangan ini akan segera dipakai."

"Oya? Maaf juga, ya?" Ucap salah seorang dari mereka, lalu segera pergi dan mencari kelas lain.

Danny langsung menarik nafas lega sambil memegangi dadanya. Ini semua gara-gara Qiara! Kalau saja dia tidak tidur sembarangan, tentu Danny tidak perlu berbohong seperti ini.

Lima belas menit kemudian, saat Danny mengintip ke dalam kelas, ia dapat melihat Qiara yang saat itu sedang melenguh pelan. Sepertinya ia sudah terbangun dari tidur panjangnya. Saat secara perlahan kedua mata Qiara terbuka, Danny segera pergi dari depan kelasnya dengan langkah yang begitu ringan. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya.

"Astaga! Kelas udah sepi!" Pekik Qiara begitu sadar bahwa kelasnya sudah benar-benar sepi.

Ketika ia menegakkan badannya, ia otomatis menyadari bahwa di bahunya sudah tersampir sebuah jas almamater. Dengan heran, Qiara menarik jas itu. Saat itulah, sebuah aroma parfum yang begitu ia kenal langsung menyapa indera penciumannya. Saat itu juga Qiara sudah tahu, bahwa jas almamater itu pasti milik Danny.

"Danny sialan! Kenapa nggak bangunin gue, sih? Awas, ya!!"

...****...

Qiara menghampiri Danny yang saat itu tengah berkumpul bersama Arga dan Celine di sebuah café. Mereka bertiga tampak asyik mengobrol dengan masing-masing ice coffee di atas meja. Qiara menghempaskan pelan jas almamater itu di tubuh Danny, lalu segera mengambil posisi di samping Celine. Tanpa permisi, ia menyeruput ice coffee milik Celine. Hal itu, kontan saja disambut oleh decakan Celine yang merasa tidak habis fikir dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

"Lo tadi ke kelas gue, kan, Dann? Kenapa nggak bangunin gue?" Protes Qiara dengan keki.

Sebelum menjawab, Danny terlihat sengaja mengendus-endus jas almamaternya, lalu menampakkan wajah mengernyit, berpura-pura seakan ia sedang mencium aroma yang tidak enak pada jas almamaternya.

"Bau iler lo, nih!" Tutur Danny yang memang sengaja ingin memicu keributan hanya untuk menyamarkan sikap perhatiannya pada Qiara.

Qiara serta-merta merenggut jas almamater itu dari tangan Danny, dan turut mengendus aroma yang Danny maksudkan. Tak pelak, hal yang Qiara lakukan itu dengan menampakkan wajah polosnya sukses membuat Danny menahan tawa setengah mati. Raut wajah Qiara benar-benar terlihat sangat lucu sekarang.

"Bohong!" Hardik Qiara, lalu kembali melemparkan jas almamater itu pada pemiliknya.

Danny terkekeh pelan, diikuti dengan tawa Arga dan Celine.

"Tadi lo tidurnya pules banget. Mana sambil ngorok lagi. Mana tega gue bangunin."

"Danny yang bener?" Tanya Qiara sanksi.

"Ya ngapain juga gue bohong? Apa manfaatnya buat masa depan gue?"

"Sudah! Sudah! Berantem mulu kalian ini." Lerai Celine sebelum keributan di antara mereka berlanjut lebih jauh lagi. Jika mereka berdua sudah bertengkar, sangat sulit untuk menyatukannya lagi.

Danny kemudian bangkit dari kursinya, dan pergi ke meja counter tanpa mengatakan apapun.

"Semalem di studio sampai jam berapa sih?" Tanya Celine penasaran. Tadi, Danny sempat menceritakan bahwa ia melihat Qiara ketiduran di dalam kelas seusai jam kuliah.

"Semalem sampai jam satu. Kevin nggak masuk. Jadi, salah satu Timnya minta gue buat gantiin. Mana Penulisnya nyebelin banget lagi. Bisa-bisanya  Kevin betah di Tim itu. Kalau itu gue, gue pasti kabur sejak hari pertama."

"Ya itu kan lo! Jangan sama ratakan sama Kevin yang mentalnya lebih kuat." Ledek Arga.

"Ga, temen lo ini sedang capek. Nggak bisa, ya, pura-pura ngasih semangat aja gitu?" Qiara mulai menampakkan wajah memelas. Namun Arga justru tidak peduli.

"Nggak bisa!" Timpal Arga dengan tegas.

Danny tiba-tiba meletakkan segelas Almond Smoothies tepat di hadapan Qiara yang sedang menekuk wajahnya di atas meja. Qiara melirik sejenak ke arah Almond Smoothies itu seraya memasang ekspresi cemberut, ia lalu beralih menatap Danny. Alih-alih mengucapkan terima kasih, Qiara malah melemparkan protes.

"Gue mau Ice Americano. Bukan Almond Smoothies."

"Semalem lo hampir nggak tidur. Malem ini lo mau nggak tidur lagi? Minum ini supaya lo cepet ngantuk. Dan berhenti protes seperti anak kecil!" Omel Danny. Nada suaranya terdengar cukup dingin. Raut wajahnya sekarang seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin dibantah.

Qiara meringis. Sebelum situasinya menjadi runyam, ia memilih untuk mengalah dan tidak menjawab perkataan Danny. Dengan gerak cepat, ia kemudian meraih Almond Smoothies itu, lalu meminumnya dan berpura-pura menampakkan ekspresi suka. Itu sebenarnya bentuk protesnya pada Danny untuk yang kedua kalinya. Namun Danny tidak berminat untuk menggubrisnya.

"Eh, kalau gitu gue duluan, ya? Prissy udah nge-chat nih. Bye, semua!" Ucap Danny pada kawan-kawannya sesaat setelah ia membuka pesan yang dikirimkan oleh Prissy, pacarnya.

Sebelum mendapatkan jawaban dari kawan-kawannya, Danny sudah lebih dahulu berjalan ke arah pintu, dan keluar dari Café itu dengan langkah terburu.

Qiara menghela nafas. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah kelabu. Bukan karena kelelahan akibat bekerja, atau karena baru saja Danny memaksanya meminum Almond Smoothies. Namun ia merasa bahwa sesuatu telah mengusik hati kecilnya tanpa ia inginkan.

Almond Smoothies sialan!

...****...

Qiara berjalan gontai menuju rumahnya sembari menendang-nendangkan kakinya. Kedua tangannya mencengkram tali tasnya yang tersampir di dada kuat-kuat. Sesekali ia terdengar menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia fikir ia akan merasa lebih baik setelah melakukan itu, tetapi hasilnya nihil. Ia tidak merasa lebih baik, bahkan ketika ia telah berusaha sangat keras.

"Hay, Qia!" Sapa sebuah suara yang terdengar cukup akrab dalam pendengaran Qiara.

Qiara buru-buru menoleh ke samping. Dalam seketika, ia langsung merasakan hatinya berangsur membaik saat melihat Dean yang kini berjalan di sampingnya sambil memasukkan kedua tangan pada saku celananya.

"Kak Dean?" Pekik Qiara dengan nada yang cukup antusias.

Pemuda ini sekarang sudah banyak berubah. Meski ia hanya menunjukan sikap hangatnya di depan Qiara, namun setidaknya ia bisa menampakkan sisi lainnya dan tidak selalu terkungkung di dalam cangkangnya yang dingin.

Jika ingat yang dulu-dulu, entah kenapa Qiara merasa ngilu. Bahwa betapa gigih usahanya untuk bisa mendekati seorang Dean dan berusaha sekuat tenaga untuk bisa meruntuhkan tembok tinggi yang mengelilinginya.

Meski berkali-kali Dean mengusirnya pergi dan memintanya untuk tidak mendekat lagi, tapi toh akhirnya Dean kalah juga dengan tekad kuat Qiara. Dan meski Qiara gagal meruntuhkan tembok itu, pada akhirnya Dean membuka pintu hatinya dan mengizinkan gadis ini masuk ke dalamnya.

Namun perlu dicatat kembali; hanya Qiara seorang yang ia persilahkan masuk ke dalam hati dan seluruh dunianya.

Mereka pun menghabiskan sisa perjalanan menuju rumah dengan saling berbagi cerita satu sama lain. Sesekali, Dean terlihat tertawa kecil saat mendengarkan cerita yang Qiara tuturkan padanya.

Situasi yang terjalin cukup hangat di antara Qiara dan Dean itu, secara tidak sengaja ditangkap oleh Danny yang ketika itu sedang berada di dalam mobil bersama Prissy. Kedua mata Danny terus tertuju pada Qiara dan Dean bahkan saat mobil yang dikendarai oleh Prissy sudah melewati mereka. Tentu saja, hal yang Danny lakukan itu tidak luput dari perhatian Prissy.

"Kak Dean keliatan nyaman, ya, sama Qia?" Ujar Prissy sambil tetap fokus menyetir.

Ucapan Prissy barusan, langsung memecah keterpanaan Danny. Ia sedikit terkesiap, lalu menoleh ke arah Prissy dengan kedua alis bertaut. Gadis berwajah cantik itu tampak menyunggingkan seulas senyum lalu balas menatap Danny.

"Ini menurut pendapat aku aja, ya? Kayaknya Kak Dean suka sama Qiara deh."

Danny membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersenyum jengah dan memalingkan wajahnya.

"Tentu saja. Nggak ada persahabatan antara pria dan wanita."

Prissy mengangguk paham, "terus, kamu masih ngerasain hal itu ke Qia?"

Prissy melontarkan pertanyaan itu sebenarnya hanya untuk menggoda Danny saja. Ia juga tidak memiliki maksud lain di balik pertanyaan yang baru saja ia lemparkan itu. Namun, Danny justru menanggapinya dengan cukup serius. Ia kembali menatap ke arah Prissy dengan tatapan mata yang cukup tajam. Berikutnya, Prissy terkekeh, tidak menyangka Danny akan seterkejut itu.

"Hahaha... becanda, Dann!"

...****...

Juli, 2010 (Hari Pertama Masuk SMA)

Danny tertegun menatap Qiara saat untuk pertama kalinya ia melihat gadis itu mengenakan seragam SMA-nya. Entah kenapa, Qiara terlihat sangat cantik di mata Danny. Untuk pertama kalinya juga, ia merasakan jantungnya berdebar begitu kencang saat menatap Qiara.

"Gimana, Dann? Gue keliatan cantik nggak pake seragam SMA?" Tanya Qiara dengan penuh percaya diri. Ia bahkan memutar tubuhnya dengan wajah cerianya.

Danny menggelengkan kepalanya, menepis perasaan-perasaan aneh yang mulai merayapi dinding hatinya, dan berusaha untuk bersikap wajar meski deguban jantungnya sudah membuat onar di dalam sana.

"Jelek!" Jawab Danny singkat. Ia lalu memutar sepedanya dan meninggalkan Qiara yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya dengan wajahnya yang tiba-tiba berubah cemberut.

Pagi itu, Danny memang hendak menjemput Qiara. Sejak masih kecil, mereka sudah bertetangga. Mereka sangat dekat satu sama lain, dan bahkan terbiasa berkunjung ke rumah masing-masing. Dan sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar juga, mereka selalu berangkat ke sekolah bersama. Setiap pagi, Danny akan menjemput Qiara ke rumahnya menggunakan sepedanya.

Pagi ini pun masih sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Yang berbeda hanyalah... perasaan Danny yang mulai berkembang menjadi perasaan suka.

Untuk hari-hari berikutnya, perasaan yang belum berani ia sebutkan namanya itu, terus mengganggunya tanpa tahu malu. Ia bahkan beberapa kali mendapati dirinya salah tingkah setiap kali berada di samping gadis itu.

"Qi, tanda-tanda orang jatuh cinta gimana sih?" Tanya Danny pada Qiara suatu hari.

Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Seperti biasa, Danny membonceng Qiara di belakangnya.

"Kenapa tiba-tiba nanyain itu? Lo lagi suka sama seseorang, ya?"

"Udah jawab aja!"

"Emmm..." Qiara terlihat berfikir, dan dengan hati-hati menjawab, "dari drama-drama yang gue tonton sih, saat Male Lead  jatuh cinta sama seorang Female Lead, atau sebaliknya, dia akan ngerasain jantungnya berdebar setiap kali ngeliat cewek atau cowok yang dia suka. Saat salah satunya nggak ada, dia akan merasa ada yang kurang. Bahkan ketika –"

Ciiiit! Danny tiba-tiba menekan pedal remnya hingga membuat laju sepedanya terhenti sebelum Qiara menyelesaikan perkataannya.

"Dann, kok berhenti?" Tanya Qiara heran.

Tidak terdengar jawaban apapun dari Danny. Yang terdengar hanya suara desauan nafasnya yang memburu.

"DANNY!!" Panggil Qiara lebih keras, namun tetap tidak ada jawaban apapun dari Si Pemilik Nama.

Qiara kemudian turun dari sepeda, ia sedikit menundukan wajahnya agar bisa melihat Danny, "lo baik-baik aja, kan?"

Danny menoleh dan menatap tepat pada kedua mata jernih milik Qiara. Pandangan matanya terlihat cukup serius, hingga mau tidak mau Qiara juga merasakan debaran yang sama seperti yang Danny rasakan.

"Belakangan ini, gue juga mulai ngerasain hal itu setiap kali gue di deket lo, atau saat lo nggak ada. Apa itu berarti... gue suka sama lo?"

^^^To Be Continued...^^^

2. Friend x Girlfriend

Dean terkejut bukan main saat melihat sosok Danny yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamarnya dengan senyumannya yang selalu tampak hangat dan bersahabat. Hanya beberapa detik setelahnya, Dean kembali mampu mengendalikan diri, dan melempar tatapan dinginnya pada adiknya itu.

"Sarapan yuk, Kak! Mama sama Papa udah nung—"

"Kalian sarapan aja. Gue harus cepet-cepet ke kampus. Hari ini ada Seminar yang harus gue hadirin." Sela Dean. Ia sama sekali tidak berminat dengan ide Danny itu.

Setelah memasukan laptop ke dalam tasnya, Dean bangkit lalu melewati Danny begitu saja. Danny yang masih enggan untuk menyerah, berusaha mencegat Dean, dan dengan refleks memegang lengannya.

Dean terdiam membeku. Sentuhan Danny di kulitnya mau tidak mau membuat hatinya yang semula dingin, kini menghangat. Hampir dua tahun tinggal di rumah bersama keluarganya, tidak pernah sekalipun ia berusaha memaafkan keadaannya. Ia bahkan seakan tanpa segan menjadikan orang-orang di rumah itu sebagai musuhnya karena luka masa lalunya yang belum sembuh juga.

Kendatipun Dean selalu membentang sekat meski Danny selalu berusaha mendekat, Dean tidak pernah luluh. Hatinya sudah terlanjur membeku. Namun hari ini, sekalipun enggan mengakuinya, Dean merasakan kembali kehangatan itu meski hanya dalam hitungan detik.

Menyadari Dean yang terdiam di tempatnya, Danny buru-buru melepaskan tangan Kakaknya dan meminta maaf. Meski ia tidak mengerti kenapa harus meminta maaf, tapi Danny tahu betul, bahwa menurut Dean, ia sudah melampaui batas yang tidak seharusnya ia lampaui.

"Udah gue bilang, gue nggak mau sarapan. Bisa, kan, lo nggak usah merengek lagi?" Desis Dean dengan cukup tajam, lantas melanjutkan kembali langkahnya yang terhenti.

Saat melewati meja makan, Dean bahkan tidak mendengarkan panggilan Papanya. Ia hanya berjalan tanpa menghiraukan apapun. Dan ketika Danny hendak menyusulnya keluar, Mamanya tiba-tiba menghentikannya.

"Danny, kamu akan terlambat. Cepat habiskan sarapanmu."

"Tapi Ma, Kak Dean—"

"Danny, dengerin Mama! Jangan membantah!" Ucap Faradina dengan sangat tegas.

Danny yang selama hidupnya tidak pernah membantah perkataan Mamanya, akhirnya menurut juga dan segera mengambil tempat di meja makan.

...****...

Dean yang saat itu sedang fokus membaca sebuah buku langsung terkesiap ketika menyadari tempat kosong di sampingnya tiba-tiba diisi oleh seseorang. Dean mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia tekuri sambil membuka earphone yang menggantung di telinganya. Begitu ia menoleh ke samping, senyuman meneduhkan milik Qiara langsung menyambutnya.

"Qia?" Pekik Dean dengan senyuman yang tidak kalah lebar dari Qiara. Kabut di wajahnya seketika memudar.

Qiara lalu menunjukan sebuah tas plastik berisi dua buah sandwich dan dua buah minuman di dalamnya. Beberapa saat yang lalu, Qiara sengaja membelikan sandwich itu untuk Dean.

"Tadaaa! Qia bawa sandwich buat Kakak."

Dean terkekeh pelan. Salah satu tangannya lalu terangkat dan mendarat di kepala gadis itu. Beberapa saat kemudian, Qiara segera mengambil satu sandwich untuk Dean, sementara yang satunya lagi untuk dirinya sendiri. Tidak lupa juga Qiara memberikan satu cup minuman untuk Dean.

"Selamat makan!"

Sekali lagi Dean tertawa. Gadis ajaib ini, selalu tahu bagaimana cara mengembalikan mood Dean yang rusak.

Ya, di antara semua orang yang Dean kenal selama dua tahun ini, hanya Qiara satu-satunya yang mampu merebut dan meluluhkan hatinya hanya dalam waktu yang cukup singkat. Di awal pertemuan mereka dulu, Dean memang bersikap dingin pada Qiara, sama seperti ia bersikap dengan yang lainnya. Dean bahkan seringkali membentak Qiara karena selalu mendekatinya. Namun sama seperti Danny, Qiara tidak pernah menyerah. Ia yakin, sekeras apapun Dean pasti akan luluh juga jika dia terus berusaha. Sama halnya seperti batu karang yang bisa mengikis apabila terus dihempas ombak.

Hari dimana ketika Dean mulai luluh pada Qiara adalah, hari ketika Dean mengenang kematian Ibu kandungnya, dan menangis sepanjang hari di sebuah ruang karoke. Dengan setia, Qiara yang diam-diam mengikutinya, menunggu Dean di depan pintu selama hampir dua jam lamanya.

Saat tangisnya mereda dan Dean keluar dari ruang karoke, ia sedikit tersentak ketika Qiara tiba-tiba saja muncul entah darimana sambil menjulurkan sebatang cokelat untuknya. Dengan polosnya, Qiara yang saat itu masih mengenakan seragam putih abunya berkata, "kata orang, cokelat bisa membuat perasaan seseorang menjadi lebih baik setelah memakannya. Kak Dean coba, ya?"

Dean menatap kedua mata Qiara dengan nanar. Entah kenapa, melihat gadis ini ia seakan melihat sosok Mamanya. Dan pancaran mata Qiara yang selalu terlihat tulus setiap kali menatapnya, mampu memecah bongkahan es yang menyelimuti hatinya selama ini.

"Gimana? Sandwich-nya enak, kan?" Tanya Qiara pada Dean sambil menunjukkan wajah imutnya.

Dean kemudian melirik ke arah Qiara dan malah terpana dengan gadis itu. Gadis yang sejak awal pertama sudah mencuri hatinya. Gadis yang sejak awal pertama bisa membuatnya merasa nyaman.

Beberapa saat kemudian, Dean menarik diri dari keterpanaannya. Ia kemudian mengangguk seraya tersenyum kecil.

"Terima kasih, Qia." Ujarnya kemudian.

...****...

"Qia!" Panggil Prissy dari kejauhan ketika melihat Qiara yang waktu itu berjalan sendiri hendak keluar dari lobby kampus.

Qiara menghela nafas berat saat mendengar sebuah suara yang begitu familiar memanggil namanya. Ia baru saja merasa seperti tertangkap basah.

Qiara menampakkan raut kesal, ia menggigit bagian bawah bibirnya, berusaha memasang sebuah senyuman yang terlihat manis, lalu menoleh.

Lihat! Apa akting ramahnya sudah cukup sempurna sekarang?

Dengan senyuman yang semakin ia buat-buat, ia menyambut kedatangan sepasang kekasih yang siang itu terlihat sangat bahagia dan serasi sedang berjalan menghampirinya. Prissy balas tersenyum padanya, dengan lengan yang melingkar manis pada lengan Danny yang hanya memasang wajah datar begitu melihat Qiara.

Dalam hati Danny mendesis. Mencibir akting Qiara yang cukup buruk baginya.

"Kok chat gue nggak dibales dari semalem sih, Qi?" Tanya Prissy yang benar-benar merasa penasaran. Sejak semalam, ia berusaha menghubungi Qiara, tapi hingga jauh waktu, Qiara tidak juga menjawab pesannya.

"Ohh lo nge-chat?" Qiara buru-buru memeriksa ponselnya, berlagak seakan benar-benar tidak tahu bahwa Prissy sudah mengiriminya pesan. Padahal sebenarnya, Qiara tahu. Ia hanya malas membalas.

Itu seperti sudah menjadi kebiasaan bagi Qiara; Malas membalas chat ataupun mengangkat telepon.

Danny yang memang sudah hafal kebiasaan Qiara, spontan mendesah tak kentara sembari tersenyum jengah dan memalingkan wajahnya, 'udah jelas-jelas semalam update story,' timpalnya dalam hati.

"Sorry banget ya, Pris. Gue nggak tahu lo nge-chat. Semalem habis balik dari studio gue langsung tidur."

'BOHONG!' Sahut Danny, lagi-lagi di dalam hati.

"Emmm... nggak apa-apa kok, Qi. Oh ya, ini gue punya oleh-oleh kecil buat lo." Kata Prissy sambil menjulurkan sebuah papper bag kecil berwarna biru muda.

"Oleh-oleh?" Tanya Qiara memastikan sambil menerima papper bag itu dari Prissy.

"Minggu lalu, gue habis dari Singapura. Celine sama Arga udah dapet kok."

"Aaah, makasih, ya? Jadi ngerepotin nih." Kata Qiara seraya mengintip samar-samar ke dalam papper bag itu. Dari celahnya, Qiara dapat melihat sebuah kotak jam tangan. Sepertinya mahal.

"Ya ampun, Qia! Nggak ngerepotin kok. Lo kayak baru kenal gue aja."

Qiara mengangguk, "i—ya. Pokoknya makasih, ya?"

"Sama-sama." Jawab Prissy singkat sambil menepuk pelan lengan Qiara.

Senyuman pura-pura yang sejak tadi bertengger di wajah Qiara, kini perlahan berubah canggung. Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Danny yang masih betah menatapnya dengan datar. Beberapa saat kemudian, Prissy langsung pamit setelah salah seorang temannya memanggilnya.

"Ntar aku susul, ya." Ucap Danny seraya melambaikan tangannya.

Melihat tingkah Danny yang mendadak berubah manis, Qiara rasanya ingin muntah. Asli!

Begitu Prissy sudah menghilang dari pandangan mereka, senyuman manis Danny serta-merta menghilang tanpa jejak. Ia lalu menatap Qiara yang berdiri di sampingnya sambil mencoba jam tangan barunya.

"Qia?"

"Hm?" Gumam Qiara pelan.

Danny tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama dan terlihat berfikir. Ia tidak tahu bagaimana harus membahasakan kebingungannya sekarang. Qiara bukan hanya sahabat dekatnya, tetapi juga... mantan pacarnya. Bagaimana cara Danny untuk menyampaikan isi fikirannya tanpa harus mengusik perasaan Qiara? Danny seolah-olah merasa, bahwa sedikit saja ia melakukan kesalahan, ia bisa menghancurkan segalanya. Segala yang telah ia jaga selama ini, termasuk... Qiara sendiri. Namun di sisi lain, Danny merasa perlu untuk menyampaikannya.

"Bisa tolong bersikap sedikit lebih baik sama Prissy?"

Degh! Qiara merasakan sebuah pukulan tepat di jantungnya. Fokusnya tiba-tiba saja kacau tanpa aba-aba. Tangannya yang sejak tadi sibuk berkutat dengan jam tangan barunya seketika lemas. Di luar kontrolnya, salah satu tangannya terjatuh begitu saja.

Atmosfernya berubah dingin dalam hitungan detik.

"Apa yang lo harapkan dari gue? Dan musti sebaik apa lagi gue harus bersikap ke dia?" Tanya Qiara dengan nada pelan, namun emosi dalam setiap kata yang ia pilih benar-benar terasa menusuk seperti jarum di hati Danny.

Mengkhianati kehendaknya, Qiara mendadak merasakan kedua matanya memanas. Pukulan di jantungnya kian menguat, menimbulkan sesak yang coba ia tahan.

"Gue nggak akan minta maaf kalau-kalau sikap gue selama ini nggak berkenan buat lo ataupun dia. Dan satu hal yang harus lo tahu, gue juga punya sesuatu yang di sebut dengan batas kesanggupan. Lo harus paham, bahwa sampai di sinilah batas itu."

Kali ini Qiara memberanikan dirinya menatap kedua mata Danny. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menumpahkan tangisan yang selama ia pendam di hadapan Danny. Namun sial, dalam situasi dramatis yang cukup menegangkan itu, nada keroncongan di perut Qiara tahu-tahu berbunyi, dan membuat air matanya yang nyaris saja pasang tiba-tiba surut. Qiara meringis pelan lalu menundukan wajahnya. Ia benar-benar malu sekarang. Egonya terluka gara-gara sel laparnya yang tidak sabaran ini.

Danny yang menyaksikan dan mendengarkan nada keroncongan dari perut Qiara langsung mengangkat salah satu tangannya untuk menutupi mulutnya. Ia kemudian tertawa tanpa suara.

Astaga! Dalam situasi seperti ini, Qiara masih saja terlihat lucu dan.... menggemaskan.

'Kenapa harus sekarang siiih?!' Geram Qiara dalam hati.

Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok Danny yang sedang diam-diam menertawakannya. Ya, tentu saja! Akan sangat aneh kalau pemuda itu tidak tertawa dalam situasi ini.

"Gue pergi!" Tukas Qiara sambil berusaha mati-matian menutupi rasa malunya.

Namun, tepat saat Qiara akan berbalik pergi, ia tiba-tiba merasakan Danny menahan pergelangan tangannya.

"Apa lagi?" Hardik Qiara dengan galak.

"Berantemnya kita lanjut nanti aja, ya? Sekarang ayo makan dulu!" Ujar Danny dengan nada bicara yang cukup lembut setelah berhasil menghalau tawanya.

"Nggak perlu!" Jawab Qiara dengan ketus.

Mungkin Qiara sedang kebagian jatah sial hari ini. Karena sekali lagi, sel lapar dalam perutnya kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Udah ayooo! Gue teraktir!"

Danny melangkahkan kakinya tanpa melepaskan tangan Qiara dari genggamannya. Sementara dari belakang, Qiara hanya mengikuti Danny dengan pasrah dan marah.

^^^To Be Continued....^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!