"Hei, awas!"
Isaac spontan menarik tangan Neva, memberikan tarikan gravitasi kuat ke arahnya untuk dipeluk.
Namun, yang terjadi malah di luar akal sehat seorang pengandal intuisi dan logis itu.
Saat keduanya tersungkur, kapasitas air laut merambat naik. Padahal mereka berdua cukup jauh dari bibir pantai.
Tanpa gelombang besar, tanpa guncangan hebat, air yang menyerap bagian merah spektrum cahaya itu terus naik. Hingga akhirnya menenggelamkan seluruh area pantai dan seluruh kota di pinggiran Bali tersebut.
Isaac mengambang selagi menahan napas, tapi Neva segera melongok demi menatap pria bergaya rambut dandy tersebut.
"Kita masih bisa bernapas dan berbicara kok, coba aja."
Pria bermata runcing itu melegakan jalur pernapasan, membebaskan gelembung kecil dari mulut. "I-ini ... ini apa? Kamu yang melakukan hal aneh begini?"
Neva menggeleng, rambut panjang lurusnya bergerak lambat. "Aku juga nggak tahu, ini baru-baru aja terjadi."
"Apa yang terjadi sama kamu selama beberapa tahun kita nggak ketemu?"
"Aku nggak melakukan apa-apa. Kenapa, ya?"
Saat napas mereka mulai selaras, tubuh seperti terapung-apung sendiri tanpa beban. Neva meluruskan tubuh, terdiam sejenak untuk melihat jenis-jenis ikan yang melintas di atas kepalanya.
Kenapa dia malah tenang? Nggak merasa panik atau aneh?
Meskipun Isaac memiliki postur tubuh kokoh dan punya bakat berenang, ia tetap gelisah bila kejadiannya di luar akal sehat seperti ini.
"Orang-orang kenapa nggak seperti kita? Bahkan sepertinya mereka nggak melihat kita melayang begini?"
"Aku juga nggak tahu, mungkin kita masuk ke dunia ini dan menjadi nggak terlihat."
Isaac memindai pemandangan kota dan laut yang terendam yang mungkin diakibatkan kehadiran perempuan di sebelahnya. Manusia lain biasa saja dan masih beraktivitas, sementara ikan mampu berenang bebas. Hanya mereka dan makhluk laut yang terperangkap di sini.
Ini aneh, tapi aku suka karena terlihat indah. Tanpa sadar, hati Isaac berbisik pelan seperti itu. Karena dihadapkan dengan alam bawah laut dan berbagai koloni spesies yang jarang terlihat.
"Clown fish, dottyback, neon tetra, chalk bass, banggai ... oh, ada kuda laut juga."
Isaac lantas menoleh lalu tertawa, barulah memberi komentar, "Masih berusaha hafalin nama hewan laut? Nggak berubah dari SMA."
"Kamu tahu nggak, krisis iklim di bumi itu berdampak pada lautan juga? Aku pikir, perlu adanya inisiatif dan apresiasi untuk menjaga kehidupan di bawah laut.”
"Dengan menghafal nama mereka? Jangan bercanda. Lautan menutupi lebih dari tujuh puluh persen permukaan bumi dan mayoritas kehidupan bumi adalah akuatik. Kamu mau menghafal sekitar sembilan puluh empat persen spesies yang hidup di lautan?"
Tergelitik dengan respon impulsif Isaac, perempuan tersebut terkekeh. "Kamu juga nggak berubah dari dulu."
"Lagian, kalau mau berbuat sesuatu itu dari diri sendiri dulu. Jangan buang sampah sembarangan, merapikan sampah sendiri. Nanti orang-orang di sekitar melihat dan ikut terbawa dengan apa yang kita lakukan. It works."
"Aku juga melakukannya kok, tenang aja. Semoga orang-orang cepat sadar akan lingkungan yang makin rusak ini."
"Baguslah, teruskan begitu." Isaac terperanjat saat ikan firefish menyentuh ujung jemarinya. "Eh, memangnya kita bisa santai begini?"
"Gapapa dong, sesekali saja merasakan keanehan ini bareng kamu."
"Heh, lakukan sesuatu dong! Masa kita terjebak begini terus?"
"Melakukan apa? Harus, ya?"
Isaac menggaruk kepala dengan rasa kesal. "Ya, apa aja kek!"
Saat tatapan mata Isaac kembali lurus dengan alis berjengit, satu wujud ikan kecil memancarkan kilau keemasan di dalam sebuah plastik klip. Ia pun menggapai ikan tersebut setelah melepaskan genggaman Neva.
Tanpa ragu membuka klip, ikan keemasan itu dengan gegas berenang ke sisi kiri Isaac lalu menjauh. Ikan lain dengan jutaan aneka warna serta corak berenang mengikuti ikan keemasan yang memutari mereka sampai membuat pusaran kecil. Tubuh Isaac dan Neva bersirkulasi di sekitar pusaran.
Gerombolan ikan menuju pusaran biru pekat di tengah laut dengan akselerasi tinggi. Kedua insan manusia di sana memandang kagum, terhenyak begitu lama. Sampai-sampai tubuh Neva tak sadar terbawa arus, Isaac tidak refleks menarik tangannya.
Terlambat sudah.
Sehingga Isaac ikut tersapu bersama mereka semua.
Konsentrasi fitoplankton semakin menghijaukan lautan dan pusaran semakin ingin menelan tubuh. Mereka spontan berteriak, meronta histeris karena hal aneh.
Yang terjadi setelah Isaac dan Neva bergulung ke dalam pusaran tersebut, mereka kembali ke tempat semula dengan posisi berdiri. Menatap lautan dan lalu lalang manusia di sekitar dengan normal.
"Kita sudah kembali?" Isaac melongo, memperhatikan keadaan sekitar. "Bagaimana kita bisa terjebak di dalamnya?"
Dua kalimat tanya itu konstan dijawab Neva, "Kalau tahu, aku nggak bakalan pasang muka bingung juga."
"Hoi, udah belom?"
Seruan itu berasal dari selasar toko papan selancar milik sang ayah. Yang berteriak selagi berkacak pinggang adalah sang kakak bernama Noah. Kakak satu-satunya Isaac.
Rash guard milik Noah tampak berkilau seputih awan yang menonjolkan bidang lebar dan kegagahan dirinya saat melambai ke arah Isaac.
"Udah apaan, sih?" Isaac menggaruk kepalanya.
Neva spontan menahan lengan Isaac. "Hei, kamu belum selesai ajarin aku selancar."
"Hah? Selancar?"
Neva menghela napas panjang. "Aku jam sembilan tadi datang ke sini terus terkejut kaget lihat kamu, lalu dengan senang hati kamu menawarkanku penyewaan dengan membayar lima puluh persen karena kita bersahabat!”
Kata 'bersahabat' terus menggema di telinga Isaac, membuatnya tertular menghela napas juga. "Ya udah, pakai pelampung gih. Aku agak pelupa kayanya."
Neva berdecak kesal. "Kok pakai pelampung? Kan ada leash? Aku juga bisa berenang."
"Maaf, agak lemot kepalaku gara-gara mencerna hal tadi."
Kemudian, telunjuk Neva mengarah pada papan bermotif pohon kelapa dengan warna keseluruhan kuning dekat kaki Isaac. Dengan tangkas dirinya membalik papan itu lalu memperagakan dasar-dasar berselancar di atas pasir. Mulai dari paddling hingga mempelajari etiket berselancar.
Setelah paham begitu instruksi diulang dua kali dalam durasi satu jam, Neva yakin sambil memboyong papan ke atas lautan. Diawasi penuh oleh sahabat semasa sekolahnya, Isaac Meshach.
"Pakai teknik paddling dengan cara tengkurap di atas papan. Terus, melakukan gerakan mendayung di atas papan selancar guna menangkap ombak."
Neva melakukan dengan serius dan benar, wajahnya menatap lurus aliran ombak yang tenang. Isaac tersenyum puas melihat raut itu selagi memegang pinggiran papan.
"Selanjutnya popping up, berdiri dengan cepat di atas papan setelah berbaring. Lakukan dengan cepat karena ombak di sini cukup bagus."
"Baik, Pelatih!"
"Lebay, cepetan popping up. Aku awasin dari samping nih."
Neva berdiri malah tercebur. Sekali lagi, tetap tercebur. Isaac geleng-geleng kepala sambil memegang pundak Neva. "Bisa seimbang kok, jangan patah semangat. Terus ulang dari paddling langsung popping up."
Neva yang membulatkan tekad kembali melakukan kegiatan dasar tersebut. Namun, kali ini konsentrasi Isaac terdistraksi oleh sesuatu. Sesekali ia tertunduk, merenung atas hal-hal spektakuler hingga tidak ingat ketika Neva yang datang menyewa papan seluncur.
Mereka sudah lama terpisah lalu tiba-tiba takdir mempertemukan kembali dalam keadaan yang aneh. Entah Neva, entah dirinya yang aneh.
"Memangnya, aku udah mulai tua atau kebanyakan pikiran?"
Karena lengah sesaat, tak disangka jarak Neva dan Isaac makin merenggang jauh. Ia tersadar dari lamunan karena berisiknya suara dua pria di hadapannya. Dengan cepat ia mencari-cari keberadaan Neva.
Isaac mengejar sosok perempuan yang berbaju sama dengannya saat ditemukan, kemudian berenang dengan gigih di antara ombak dan peselancar lain. Neva terlihat meletakkan kepala dengan lemas di atas papan.
"Neva, jangan jauh-jauh!"
"Aku tadi nggak sengaja, malah kebawa makin jauh! Terus kakiku kram juga!" Neva menyahut panik.
"Oke, tunggu aku ke sana. Jangan bergerak!"
Namun, sangat tidak terkira, gulungan ombak cukup besar kali ini datang menghantam seluruh tubuh Isaac yang bergejolak panik juga. Ia pun hanyut sampai kakinya ikut kram dan membuatnya panik.
Bukan panik karena memikirkan dirinya, melainkan Neva.
Bagaimana kalau gadis pujaan hatinya mengalami hal serupa?
Bagaimana kalau ia tak bisa menyelamatkan dirinya dan juga Neva?
Karena Neva adalah perempuan yang selalu mengisi pikiran Isaac meski telah berpisah lama. Ia mempunyai perasaan pada gadis itu walau masih dianggap sahabat.
Kali ini, aku akan berusaha membuatmu luluh. Aku nggak bakal berbuat seperti pecundang lagi.
Semakin kaki tidak bisa bergerak, saat itu juga air melintas dari ujung bibir Isaac menuju tenggorokan. Berbahaya. Akan tetapi, masih dicegah dengan merapatkan bibir.
Pandangan Isaac mengabur, menyamarkan tinta kehidupan dari balik kilau kebiruan. Ia pun tak bergerak, seakan dipeluk erat oleh magnet alam bernama lautan. Ia akhirnya tenggelam. Isaac tenggelam tanpa suara.
"Lho, kok aku ada di sini lagi? Bukannya tadi tenggelam?"
Isaac terperanjat dengan apa yang ia saksikan. Tubuh tegapnya berada di pinggir pantai, tepat di belakang tubuh Neva yang sebentar lagi akan menabrak segerombolan pria membawa papan selancar. Kejadian ini sama seperti sebelumnya.
"Hei, awas!"
Isaac bertindak cepat meski masih linglung dengan kejadian ini. Saat tangan Isaac meraih milik Neva, muncul anak tangga berputar yang terbuat dari pasir putih di bawah kaki mereka.
Pijakan lembut dan menenggelamkan kaki terus meninggi tak terhitung. Isaac lagi-lagi hanya bisa terduduk saking herannya dengan keadaan ini.
"A-apa lagi ini? Kenapa jadi ada anak tangga dari pasir?"
Tanda tanya itu menyelimuti seluruh sisi logis Isaac dan tangga pasir putih pun terhenti. Posisi kedua insan tersebut tepat berdiri lebih dari tinggi pohon kelapa. Cukup menakutkan untuk yang takut ketinggian. Akan tetapi, Neva dan Isaac tidak ada masalah sama sekali berada di sana.
"Aku tanya, apalagi ini? Sebelumnya menaikkan air laut!"
"Apa maksudmu, sih? Menaikkan air laut? Kapan?"
"Kok kamu yang jadi pelupa?" tanya Isaac dengan logat chindo.
"Kejadian ini baru terjadi sama kamu hari ini tahu. Aku nggak ngerti sama omongan kamu sebelumnya!"
Kontradiktif. Isaac jelas ingat bahwa setelah menggenggam tangan Neva, debit air laut membawa naik spesies laut. Namun, perempuan yang lebih tinggi satu anak tangga darinya itu sama sekali tidak pernah mengalaminya. Aneh. Bahkan mengulang kejadian di awal pun juga tidak masuk akal.
Sebentar ... aku tenggelam dan tiba-tiba terbangun di masa yang sama saat Neva mau ditabrak oleh gerombolan peselancar. Tapi, kejadian anehnya berbeda. Apa aku berhalusinasi?
Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua keanehan tersebut.
"Cari cara untuk turun sekarang!"
"Bagaimana aku bisa tahu? Jelas-jelas baru mengalaminya!" Neva bersedekap.
Isaac bangkit sambil meresapi sedimen dan partikel halus yang berterbangan akibat gesekan telapak kaki, lalu meraih tangan Neva dan mengajaknya berlari.
Animo Isaac kali ini muncul di sela-sela angin meniup ujung rambut hitamnya, bahkan rash guard bergerak fleksibel mengikuti aktivitasnya. Ada kegembiraan yang menyusup sambil sesekali melirik wajah Neva di belakang. Walau semuanya tidak masuk akal.
"Kenapa tersenyum?" Isaac memecah keheningan.
"Apa kamu lupa? Senyummu itu selalu menular ke aku."
Sekembalinya kepala ke depan, Isaac mesam-mesem. Jantung mulai tidak aman seakan membuat gumpalan berdegup yang siap meledak.
Senyum Neva itu, senyum yang selama delapan tahun tidak pernah ia lihat. Tidak pernah Isaac merasakan bahagia melimpah ruah seperti ini, di hari-hari yang membosankan sebagai pelatih peselancar dan penjaga toko.
"Seru, sih. Meski aku heran dan bingung. Semuanya seru dan indah!"
"Memang seru!" Neva tertawa.
"Nanti kalau kita jatuh tiba-tiba gimana?"
Neva menghentikan pelarian, Isaac spontan berbalik menatap manik hazel berkilat-kilat di bawah sinar mentari itu.
"Kamu akan menangkapku, kan?" tanya Neva.
"Ya, aku akan menangkapmu dalam kebahagiaan."
"Maksudnya mau ketawain aku kalau jatuh, kan?"
"Hahaha, nggak kok. Nggak salah lagi!"
Isaac berlari menjauh saat Neva mendesis kesal. Gadis itu mengejarnya dengan berbagai macam gerutuan gemas. Ia hanya tertawa selebar-lebarnya sampai berhasil menemukan akhir tangga. Tidak terasa menaiki puncak tangga jika bersama orang yang spesial.
Isaac duduk bersamaan dengan Neva di salah satu anak tangga, walau ada puncak yang cukup menampung mereka jika ingin berdiri berdua.
"Neva si cantik penggila hewan laaaaut!!"
Suara teriakan Isaac terbawa angin di sekitar laut yang memiliki irama berbeda dibandingkan dengan dulu. Ada sebuah kebahagiaan.
Di kota Buleleng, kota di mana mereka menghabiskan waktu SMA bersama. Kota yang sudah begitu lama ditinggali setelah Kuta, tempat Isaac saat ini. Atmosfer dingin makin berbaur dengan lautan biru, mengacak-acak rambut depan Neva.
"Kamu itu memuji atau mengolok, sih?"
"Kamu itu memang cantik, tapi maniak spesies laut. Ada yang salah?"
Neva menggebu-gebu untuk memukuli punggung Isaac sementara menahan rasa sakit sambil tergelak riang. Seolah kedua insan itu manusia paling dipilih semesta untuk bahagia setelah berpisah delapan tahun.
"Ah, di atas sini malah lihat pemandangan menjengkelkan."
"Apa itu?"
Isaac memandang hamparan karpet biru, kemudian menghentikan sorot mata di atas bahu kanannya. Neva tergerak oleh aktivitas serupa yang penuh antusias tadi.
"Di sebelah sana, di belakangku, ada banyak sampah plastik tergeletak di pasir pantai. Padahal banyak binatang yang tinggal di pasir loh, misal kepiting. Gimana kalau mereka makan plastik itu?"
"Kayanya kamu kesal banget."
"Iyalah kesal. Soalnya aku juga sering menemukan penyu di tengah laut terlilit plastik dan sampah kaleng."
Neva merefleksikan dirinya dari manik hitam milik Isaac, menatap dengan segala keseriusan. "Apa yang kamu lakukan saat itu?"
"Ya, aku bantu melepaskan plastik itu dan membawa sampahnya ke darat. Bahkan setiap hari Sabtu aku bersama kakak dan komunitas, membersihkan pantai dari pagi hingga sore."
Neva bertepuk tangan sampai telapak memerah. "Wah, ternyata kamu peduli banget sama lingkungan."
"Sudah aku bilang sebelumnya, harus di mulai dari diri sendiri untuk membawa perubahan."
"Kapan? Dulu waktu sekolah mana pernah kamu ngomong begitu."
"Aish, hari ini aku ada ngomong begitu."
"Ngaco banget pagi gini, kamu kenapa, sih?"
"Kamu kali yang pikun, aku ada bilang pokoknya."
Di tengah perdebatan, Isaac sayup-sayup mendeteksi suara ketukan pada sebuah kaca dari belakang telinga. Begitu menoleh, ia mendapati kepiting emas bersinar di dalam sebuah akuarium bulat nan tebal.
Isaac merengkuh permukaan bawah, lalu memperhatikan gerak-gerik kepiting bersama Neva. Sampai tak sadar, sorot mata Isaac beralih pada struktur wajah Neva. Kamu cantik banget. Tahu nggak, sih?
"Kita lepasin, kan?"
Suara melengking Neva memecah padangan Isaac seketika. "I-iya, pasti kalau dilepasin kita kembali seperti semula."
Benar saja, saat Neva mengubah posisi akuarium dengan rendah sebelah, hingga bagian terbuka bisa membuat kepiting berjalan keluar. Pijakan kepiting yang seakan berirama membuat anak tangga pasir satu per satu menghilang dari paling dasar.
Mereka bertukar pandang satu sama lain karena bingung. Bagaimana caranya untuk lari dari atas sana?
"Ditangkap, kan?"
"Nggak jamin, Neva."
Tibalah waktu mereka untuk mengucapkan salam perpisahan pada angin sepoi-sepoi di atas sana. Mereka terjatuh, mengapung di antara udara bebas setelah seluruh tangga menghilang.
Idealnya manusia akan memejamkan mata jika merasa takut, tapi Isaac tidak. Neva yang justru memejam mata sambil menggenggam tangan Isaac dalam diam. Reaksi pria yang awalnya tegang, malah berubah damai karena kegirangan dalam hati.
Ajaib sekali lagi, saat Neva membuka mata, mereka sudah berdiri di selasar toko yang sepi pengunjung. Kelimpungan. Alis mereka berjengit keras untuk mencerna hal-hal tak terduga ini.
"Sudah kembali, ya?"
"Ya, sudah kembali."
Di teras beratap bambu itu langsung terjadi percakapan dan kejadian yang belum pernah ada sebelumnya. Penuh teka-teki, misteri, dan tatapan kosong.
"Oh, aku ke sini kan mau berselan-"
"Nggak, nggak usah berselancar Neva. Di menit dan detik ini ombak lagi nggak bagus, kamu bisa hanyut nanti atau mengalami kram kaki. Lain kali aja, oke? Mana papannya? Di pinggir laut, kan?"
"The h*ll, aku belum selesai ngomong kamu udah nyerocos dan paling sok tahu lagi. Tapi, papannya memang ada di pinggir pantai tadi."
"Oke, biar aku aja yang ambil. Nanti uangmu bakal aku balikin. Besok lagi aja datang buat selancaran, paham?"
Neva cemberut menatap Isaac. "Kenapa jadi seenaknya? Tadi kamu bilang sebelumnya ombak lagi bagus."
"Ombak bagus? Berarti emang kamu tahu apa yang terjadi nanti kalau surfing, kan?"
"Ngomong apa, sih? Kamu bilang ombaknya bagus itu tadi pagi pas aku datang ke sini mau nyewa dengan wajah terkejut."
Astaga, bisa gila aku kalau begini.
Isaac menggaruk pelipis demi meluruskan alis yang selalu berkerut. "Oke, tapi sekarang udah berubah. Titik."
"Bukannya pembeli atau tamu itu adalah raja? Nggak bisa diginiin, dong!"
Seruan itu membuat Isaac setengah mati melempar tatapan nyalang pada Neva. "Aku lebih paham ombak, lagi pula kamu itu bukan pembeli atau tamu buatku."
"Terus, aku ini apa?"
"Ya, sahabat dari SMA, kan?"
Sampai di situ Isaac tersadar. Rash guard malah terasa dingin karena keringat yang menitik. Membentuk pusat terpilin di punggungnya. Sebenarnya, ia tidak mau mengatakan itu.
"Oke, deh. Aku nurut sama kamu."
Isaac tersenyum kecut lalu meminta izin untuk ke pantai sebentar. Selain bingung dengan perasaannya, ia juga bingung dengan semua kejadian aneh ini.
Meski awalnya serupa, hasil akhir di hari dan tempat yang sama ternyata berbeda. Ada apa ini?
Akan tetapi, setelah menimbang-nimbang, banyak momen manis tercipta. Isaac senyum-senyum sendiri walau dilihat orang-orang.
Tapi gapapa, selama waktu itu berulang bersama Neva.
Jam makan malam akhirnya tiba. Isaac berkumpul bersama dengan keluarga di ruang makan.
Pelan-pelan aja. Deketin Neva nggak perlu terburu-buru. Jangan sampai terlihat jelas dan dadakan banget karena baru aja ketemu lagi.
Isaac berpikir seperti itu sambil mengganyang ayam goreng dengan gesit, dipadupadankan bersama nasi panas dan sesendok sambal matah di piringnya. Namun, sari minyak yang lumer di dalam indera pengecap tidak mendeportasi Neva dari pusat pikirannya tentang apa yang terjadi hari ini.
Mengulang kejadian di awal yang sama, tapi kejadian dan akhir yang berbeda. Bahkan entah Neva, entah dirinya yang aneh dan pelupa.
"Ayah mau bicara sama kalian."
Satu kalimat ini baru bisa memecah perhatian Isaac dengan cepat.
"Mau bicara apa, Ayah?"
Pria yang sudah menyentuh kepala enam tersebut meletakkan ayam di piring, kemudian menatap kedua putranya bergiliran. "Kalian tahu, dua tahun terakhir ini bisnis sewa dan pembuatan papan selancar kita menurun."
"Dan bisa terancam bangkrut dalam waktu dekat." Noah menambahkan komentar setelah menghela napas.
"Kakak udah tahu duluan? Kenapa nggak kasih tahu aku juga sebelumnya?"
"Ya, aku tahu duluan karena aku anak tertua."
"Nggak masuk akal, aku juga anak Ayah, Kak."
"Aku bilang anak tertua, aku yang paling diandalkan di sini oleh Ayah."
Sang ayah, bernama Osric Meshach, menepuk tangan di antara udara hampa kuat-kuat. "Sudah, kalian jangan ribut. Karena Ayah sengaja berbicara dulu dengan Noah, baru nantinya kamu."
"Apa nggak ada yang bisa kita lakukan? Masa diam aja menunggu bangkrut?"
Noah menatap skeptis adiknya, seperti biasa. "Kamu punya ide apa?"
"Sekarang nggak ada, dadakan banget soalnya. Tapi, pasti aku dapat nanti kok, karena aku nggak bakal menyerah."
"Memangnya bisnis itu semudah membalik telapak tangan? Kita harus punya gebrakan dan modal untuk jaga-jaga, Sak."
"Ya, maka dari itu kita cari bersama dulu, jangan langsung putus asa begini. Aku nggak suka. Pasti ada jalan kok."
Noah yang hanya berjarak empat tahun lebih tua dari Isaac, memblokade jalan suara dengan kritis. "Aish, ini yang nggak aku suka dari kamu. Terlalu berekspektasi tinggi dengan apa-apa yang belum terjadi, dan lagi kemampuan kita terbatas sekarang."
"Daripada kalian yang langsung putus asa seakan menerima kebangkrutan?"
"Kamu ngatain Ayah begitu? Berani banget!"
Suhu di ruang makan yang masif dengan berbagai perabot tua makin menyesakkan dada. Tampak ada benang tegang yang bila disentuh akan putus akibat dua isi kepala berbenturan. Mereka bisa berkelahi nantinya.
Osric terbatuk-batuk mendengar keributan yang tak biasa ini selagi menaikkan satu tangan ke udara, menandakan mereka harus berhenti.
"Ayah!" Noah dan Isaac serempak berseru.
Akan tetapi, gerak Noah lebih cepat untuk menghampiri Osric sampai bulir keringat jatuh. Lalu menepuk-nepuk punggung sang ayah dengan lembut. Isaac hanya bisa menghela napas karena kekurangannya, tidak bisa bergerak cepat.
"Tapi, ada benarnya, Noah. Coba biarkan Isaac mencari jalan keluarnya dulu. Kita yang salah karena terlalu cepat putus asa."
"Ya, serahkan aja sama aku, Ayah."
Osric menatap balik Noah dengan penuh harap. Sampai tenggorokan anaknya itu tersedak air ludah sendiri.
"Hm, terserah kalian aja. Aku ngikut doang pokoknya."
"Semua kegiatan produksi tetap berlangsung, ya, Kak. Pokoknya toko harus terus buka bahkan hari kerja sekali pun."
Noah mengangguk saja. Lulusan sarjana itu sebenarnya paham situasi genting begini, tapi ia lebih memilih tidak mengambil jalan apapun demi melihat sejauh mana adiknya berusaha untuk menaikkan kembali usaha turun temurun sang ayah.
"Kak, sekarang tanggal berapa, hari apa, dan jam berapa?"
"Selasa, tanggal 29 Maret, jam tujuh enam belas. Kenapa?"
"Gapapa, tadi aku lupa soalnya."
Isaac merapatkan resleting hoodie abu-abu, setelah itu bangkit dan menyusun piring.
"Harusnya dari dulu aku buatkan website setelah promosi dengan banner dua tahun lalu ... ah, aku terlena sama ketenaran sesaat."
Isaac menghabiskan air putih dalam gelasnya di depan pintu samping dapur, berkata padahal malam itu ia ingin sekali minum cokelat panas. Setelah habis ia masih berkutat dengan ponselnya.
Saat melepas pandangan dari ponsel, mendadak mata Isaac mendapati figur Neva yang terpaku di hadapannya dengan hoodie hitam polos. Ia pun terperanjat dan hampir menjatuhkan gelas bersama ponselnya.
"Astaga, aku pikir kamu itu hantu! Kenapa lewat di sini malam-malam? Nguping, ya?"
"Kebiasaan banget nyerocos mulu, bosan dengarnya. Aku cuma nggak sengaja lewat sini tahu."
"Nggak sengaja? Jelas sengaja. Meski ada aja orang lewat sini tapi nggak berhenti pas di seberang pintu, kaya maling aja."
"Ck, mana ada maling kaya aku gini."
"Ngomong-ngomong, kamu dengar yang tadi, ya?"
"Aku nggak dengar apa-apa karena sibuk memerhatikan jalan."
Sesaat, rambut Neva yang terkena embusan angin memperlihatkan ekspresi wajahnya. Senyum terpaksa seolah menutupi alibi sebenarnya.
"Kamu nggak bisa bohong, kenapa datang ke sini?"
Neva malah tertawa pelan. "Ya, cuma mau ngecek keadaanmu aja. Soalnya aneh banget seharian ini kaya orang lain. Sekarang aku pergi dulu ke minimarket, dadah!"
"Ikuuuuut dong!"
"Nggak maaauuu! Nanti kamu borong semua es krimnyaaaaa!"
Nada mereka sama-sama memanjang. Terlebih Neva seolah mengolok Isaac yang berkacak pinggang. Lalu Neva tunggang-langgang, Isaac menyusul sambil tertawa seperti anak kecil. Manusia yang paling diinginkan Isaac itu ternyata masih orang yang sama, dengan teriakan ekstrem yang sama, dan tawa yang sama.
"Heh, siapa itu ribut-ribut di luar?" Noah berseru sambil membuka jendela.
Rupanya, kegiatan Isaac dan Neva ketahuan oleh Noah dari lantai dua. Mereka makin berlarian menjauh dari zona merah dengan akselerasi yang sama, seperti lomba lari antar kelas sewaktu SMA.
"Masih hebat aja kamu, Nev!" Isaac kemudian tertawa pelan.
"Woh, jelas dong. Juara satu lomba larinya masa turun stamina?"
Keduanya memijak trotoar sambil mencoba mengatur napas yang terputus-putus, kelelahan akibat berlarian tak jelas. Namun, sensasi kesenangan itu bagai candu untuk Isaac. Ia sangat rindu suasana seperti ini dan tak ingin semuanya berlalu, seperti saat mereka terpaksa berpisah dulu.
"Gimana? Rencana mau borong es krim apa aja selain cokelat kesukaanmu, Sah?"
"Tapi, aku bukan lagi yang dulu. Aku sekarang bukan orang berduit. Kamu juga dengar sendiri keadaanku gimana, kan?"
"Ya, aku dengar dengan jelas dari awal ayahmu bicara. Maaf."
"Daripada minta maaf, ada saran bagus nggak buat usaha ayahku yang tersisa satu-satunya ini?"
Neva melipat kedua tangan di dada. "Bikin akun sosial media buat toko?"
"Ada, tapi nggak begitu aktif."
"Tadi aku dengar mau buat website, ya? Cepetan deh. Terus masukin konten kreatif di setiap postingan sosial media, pakai hashtag spesifik untuk memudahkan orang untuk mencari, lalu kalau ada orang komentar atau kirim pesan cepat balas. Bisa sekalian bikin promo menarik gitu."
Isaac mengangguk sesaat lalu menoleh. Malah siluet Neva tampak begitu cantik dengan latar belakang pemandangan di malam kota pesisir. Langit. Sinar bulan. Berdua. Suasana yang selalu sama dengan saat pertama kalinya Isaac menyaksikan senyum perempuan tersebut. Sampai dirinya pun tersenyum.
"Heh, gimana pendapatku? Atau kamu gaptek sekarang, ya? Jadi cuma bisa senyum responnya? Jelek."
"Eh, kenapa kamu yang ngomel, sih? Aku sekarang lagi berpikir tahu."
"Oke, berpikir baik-baik aja dulu. Tapi, semuanya menguntungkan banget loh."
Isaac malah berpikir hal lain, seperti merasa percakapan mereka akan menjadi canggung karena sudah lama tidak berbicara satu sama lain. Namun, kekhawatiran setitik itu mengabur perlahan mulai dari sekarang.
Pria itu memasukkan kedua tangan pada saku jaket denim dongkernya sambil menikmati angin berdesir, melewati jarak terbentang di antara mereka.
"Nev, tujuanmu ke sini untuk apa? Kenapa tiba-tiba muncul di depanku padahal sudah lama kita nggak kontakan? Seakan sudah tahu aku ada di sini."
"Kamu pas pindah kota aja nggak ngasih tahu, masa iya tiba-tiba aku tahu kamu di sini? Lagian aku juga kemari seminggu doang karena ambil cuti libur."
"Jadi, benar-benar nggak tahu aku di sini, ya?"
"Iyalah, kamu pikir aku cenayang bisa menebak keberadaanmu gitu, Sah?"
Isaac tertawa, merasa lucu ketika Neva memanggilnya. "Sekarang manggilnya kaya zaman SMA, ya? Sah kaya lagi nikah atau emang udah sah?"
"Sah apaan, sih?" Neva merengut, melajukan sepatu kets untuk menjauh dari Isaac.
"Dih, masa gitu aja ngambek? Bercanda doang."
"Nggak ngambek, tapi kamu aneh banget. Aku jadi takut."
Salah sasaran. Stimulus Isaac tidak tepat waktu. Ia jadi merutuki diri karena terlalu bersemangat berbicara di luar konteks percakapan. Membuat Neva mungkin merasa tak nyaman sampai berlari mendahuluinya. Beradu dengan mekanik panas di jalanan walau tak begitu ramai.
"Hei, tunggu aku dong!"
"Kejar aku kalau bisa, si juara kelas!"
Hendak menyebrang tanpa melihat kanan dan kiri, Neva tak sadar ada truk tronton bermuatan batang kayu melaju dari arah kanannya. Isaac lagi-lagi senam jantung karena kecerobohan itu sampai berlari cepat untuk segera meraih lengan perempuan tersebut.
Karena tak pernah khawatir pada diri sendiri, akibatnya bisa ditebak. Isaac tersungkur karena terkilir. Layaknya sedang mengalami salah satu jenis wipe out paling fatal dalam berselancar, over the falls. Tubuhnya menghantam keras aspal. Terguling sampai ke tengah jalan.
Isaac mencoba bangkit perlahan, tapi sinar lampu kendaraan merusak fokus matanya. Kepalanya terasa berat dan mata mulai berkunang-kunang. Lutut kembali menyentuh aspal. Tidak ada siapa pun yang melintas, bahkan wujud Neva sendiri menghilang entah ke mana.
Apa aku akan mati lagi kali ini?
Isaac ditabrak oleh truk berkecepatan tinggi tanpa ditolong siapa pun. Semua berubah menjadi gelap gulita, dunia ikut tertelan kesunyian. Mungkinkah ini benar-benar berakhir?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!