Nara duduk diapit oleh kedua orang tuanya, begitupun laki-laki yang kini duduk di samping ayahnya. Ia menatap malas pada pemuda di hadapannya itu.
"Kenapa malah saling tatap begitu sih?" tanya Sari Mama Nara.
"Tahu nih, jangan bilang kalian belum saling kenal? Padahal Papa tahu loh kalian itu satu sekolah," imbuh Radit papanya Daffin.
Daffin mendengkus pelan kemudian melengos membuang muka, dari raut wajahnya sepertinya ia sangat kesal.
"Hei, apa kalian butuh waktu berdua untuk ngobrol?" tanya Dika Papa Nara, yang tak ketinggalan menggoda kedua remaja itu.
"Pa," Nara menatap memelas pada Papanya, "Nara tahu dia kok, tapi gak kenal."
"Iya, itu karena elo yang sok gak mau kenal sama gue?" Nara mendelik kesal mendengar ucapan Daffin, "loh bener, kan? Elo kan emang terkenal angkuh. Sombong!"
"Apa? Enak aja elo bilang gue angkuh? Angkuh dan sombong dari segi apa coba?" tanya Nara sambil menatap tajam cowok bertampang badboy itu.
"Sudah-sudah! Kok, jadi pada ribut sih," lerai Sari pada kedua anaknya.
"Daffin, Nara, dengar!" titah Papa Radit dan kedua anak itu mengalihkan pandangan padanya.
"Sebenarnya kalian sudah di jodohkan sejak kalian bayi," tambahnya. Nara dan Daffin melongo seketika.
"Pah?"
"Om?"
Radit mengangkat tangannya menghentikan acara protes kedua remaja yang terlihat tidak menyetujui rencana para orang tua tersebut.
"Ini permintaan terakhir Mama kamu Daffin," ucap Radit dan ketika nama mendiang sang Mama tercinta disebut, Daffin tak lagi melakukan protes. Ia hanya mengembuskan napas kasar dan terlihat pasrah.
"Ma, Pa," rengek Nara pada kedua orang tuanya.
"Ra, Papa gak menerima bantahan!"
"Tapi, Pa, apa harus dia banget yang dijodohin sama Nara?" tunjuk Nara pada cowok tengil yang selalu membuat hidupnya susah saat di sekolah.
"Emang kenapa kalo gue? ELo pikir gue mau nikah sama elo?"
"Sudah. tidak ada lagi yang protes! Minggu depan kalian nikah," tegas Radit tanpa ingin menerima bantahan sedikitpun dari keduanya.
"WHAT!"
"Pa, jangan bercanda kita masih SMA?"
"Om, apa tidak terlalu cepat?"
Nara dan Daffin tidak terima dengan keputusan terburu-buru orang tua mereka.
"Tidak ada yang terlalu cepat, Nak, dan mulai sekarang panggil Papa jangan Om lagi!"
Nara menghela napas berat, sepertinya memang tidak ada gunanya jika ia tetap bersikeras menolak sekalipun.
"Elo jangan diam aja dong, gue gak mau kalau harus nikah sekarang." Nara geram pada Daffin yang duduk dengan santai sambil menyaksikan aksi protesnya.
Daffin mengedikkan bahunya acuh. "Silahkan protes sebisa elo, gue dengan senang hati jadi penonton," jawabnya kemudian bersidekap dada.
"Ish, rese," gerutu Nara kesal, sepertinya Daffin sangat tahu walau ia protes sekuat apapun tidak akan mengubah apa-apa.
"Ya sudah kalian berbicaralah dengan baik, kita pulang duluan. Nak, Daffin tolong antar calon istri kamu pulang ya," titah Sari seraya bangkit diikuti kedua pria paruh baya di meja itu.
"Ma, aku mau ikut mama aja pulangnya." Nara memegang tangan mamanya.
Sari menggeleng, kemudian ia memberi kode kedua laki-laki dewasa di depannya, "Mama tinggal ya." Sari melepas tangan anaknya perlahan.
Sementara Radit menepuk bahu putranya pelan kemudian mengikuti kedua calon besannya.
"Kenapa elo gak nolak sih?" tanya Nara pada Daffin, setelah orang tua mereka sudah pergi.
"Elo pikir bisa nolak?" tanya Daffin dengan tatapn lurus ke depan, malas sekali rasanya berdua dengan gadis Waketos yang selalu menghukumnya setiap hari.
"Ya, siapa tahu aja kalau elo ngomong, bisa."
"Terus gue ngecewain nyokap gue? Ogah," jawabnya kemudian bangkit dari tempat duduknya, "Gue mau cabut masih ada urusan, elo mau bareng gu_"
"Bareng," ucap Nara cepat, terlalu malas untuknya pulang sendiri apalagi malam seperti ini.
Daffin mengambil tas ransel yang tadi ia bawa, sebenarnya ia belum sempat pulang ke rumah dari sekolah tadi siang. Namun, langsung di todong papanya di minta datang ke kafe tersebut.
*********
Daffin berjalan di koridor sekolah dengan gaya coolnya, kedua tangan yang di masukan ke dalam saku celana dan wajah tampannya selalu membuat para gadis saling berebut mencuri perhatiannya. Bahkan tidak sedikit yang secara terang-terangan menatapnya menunjukan sikap tertarik padanya.
Namun, kali ini ia tidak hiraukan karena tujuannya saat ini adalah menemui gadis yang akan segera menjadi istrinya dalam beberapa hari lagi.
Daffin berdiri di pintu kelas XI IPA 1, bersama dua orang sahabatnya Tama dan Remon.
"Fin elo gak salah kelas, kan?" tanya Tama, walau sejak tadi mengekor, tetapi ia belum paham kenapa Daffin masuk ke kelas anak-anak pintar dan disiplin ini.
Daffin tidak mengindahkan pertanyaan Tama, ia memilih mengedarkan pandangannya mencari gadis yang tujuannya datang ke sini.
"Woi," teriak Daffin membuat semua siswa di kelas itu menoleh termasuk gadis yang di carinya.
Daffin menunjuk Nara dan memberi kode dengan telunjuknya supaya Nara mendekat.
"Apa?" tanya Nara ketika sudah berhadapan dengan Daffin.
Daffin menyeringai melihat wajah malas gadis itu.
"Pulang sekolah ikut gue," bisiknya pelan.
"Malas, gue ha_"
"Perintah nyokap elo nih!"
"Ish, iya." Nara kembali ke kursinya sambil menghentakan kakinya.
Daffin tersenyum sinis melihat kekesalan Nara. "Sepertinya gue punya mainan baru mulai saat ini," batinnya.
Setelah mengatakan itu ia pergi dari kelas Nara menuju IPS 5 yang menjadi kelas favoritnya.
"Elo ada urusan apa Ra, sama si badboy?" tanya Mia sahabat sekaligus teman sebangku Nara.
"Gak ada apa-apa."
"Tumben dia nyamperin ke sini? Elo gak terlibat masalah apapun, kan, sama dia?" tanya Baim si ketos dengan khawatir.
"Kalian tenang aja, gak usah lebay gitu ah."
Saat Baim akan kembali bertanya guru pun masuk dan membubarkan kerumunan di depan Nara.
*****
"Sory ya, Im. Gue gak bisa ikut rapat OSIS kali ini."
"Tumben Ra?"
"Gue ada urusan Mi, sori, ya!"
Setelah selesai memasukan buku ke dalam tasnya Ia pun segera pergi, karena tak mau jika Daffin kembali menghampirinya di kelas. Malas menjelaskan pada kedua temannya itu.
"Lama banget lo," gerutu Daffin sambil membukakan pintu mobilnya buat Nara.
Nara mencebikkan bibirnya dan segera masuk sebelum lebih banyak yang melihat ia pulang bersama Daffin.
Sementara dari lantai dua Baim tengah memperhatikan Nara masuk ke dalam mobil Daffin, ia mengepalkan tangannya kuat, dengan rahang yang ikut mengeras.
"Kenapa , Im?" tanya Mia seraya menepuk bahu Baim.
"Gak papa, Mi." Baim menormalkan kembali sikapnya, sebelum Mia menyadarinya, tetapi kejadian barusan membuatnya tak tahan untuk bertanya, "sejak kapan Nara dekat sama Daffin?"
"Emang mereka dekat?" tanya Mia balik dengan heran, gadis itu bahkan baru tahu dari Baim barusan.
"Udahlah gak usah di bahas."
"Heh." Mia mengekor masuk ke ruang OSIS dengan kening berkerut dalam.
*******
"Kita mau kemana sih Fin?" Nara mengikuti Daffin masuk ke dalam gedung Mall.
"Nyari cincin!"
"Harus banget apa?"
"Elo berisik banget sih, bisa diam gak? Udah sana pilih!" Daffin mendorong punggung Nara menuju etalase toko perhiasan.
Nara mendengkus, tetapi ia menurut memilih beberapa cincin pasangan yang semuanya terlihat lucu dan cantik.
"Lama. Udah elo ambil yang menurut lo bagus aja!" Daffin menghampiri Nara yang terlihat kebingungan.
"Tapi semuanya bagus tahu." Mata Nara berbinar.
"Sini gue aja yang milih," putus Daffin pada akhirnya, ia mengambil sebuah kotak cincin couple. "Mbak kita ambil yang ini ya!"
Bibir Nara melengkung tertarik ke atas, i puas atas pilihan Daffin. Setelah selesai dengan pembayaran yang dilakukan Daffin, Nara memasukan cincin itu ke dalam tasnya.
"Fin!" Nara menarik tangan Daffin ke dalam sebuah resto cepat saji.
"Gue mau balik Nara. Udah ada janji sama Tama dan Remon, elo makan aja sendiri."
"Gue bilang bokap lo!" Nara mengambil ponselnya, mengancam Daffin.
"Oke, oke, gue temani elo makan. Puas!" Nara nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang berjajar rapi.
"Heh, kenapa jadi dia yang nekan gue? Harusnya, kan gue yang jadiin dia mainan gue, bukan sebaliknya," batin Daffin.
Pemuda itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan tajam pada gadis yang tengah sibuk pada buku menu di tangannya.
Nara menatap cincin di jari manis tangan kanannya dan memutar cincin itu, manis sih. Namun, apa perlu ia menggunakan cincin nikahnya juga ketika di sekolah? Berlebihan? Gerutunya dalam hati.
Tadi malam Nara dan Daffin telah menggelar acara ijab kabul di rumahnya dan kini mereka telah resmi menikah, karena memang hanya akad jadi tidak banyak orang yang datang dan hari ini rencananya ia akan pindah ke rumah orang tua Daffin.
"Ra, kantin yu!" seru Mia diikuti tepukan di bahu Nara, mengejutkan gadis yang tengah asik melamun itu. Nara langsung menyembunyikan tangannya ke bawah meja.
"Elo bikin gue jantungan tahu gak." Nara menatap Mia sebal.
"Kalau nggak jantungan mati dong, Ra?" sahut Baim dari kursinya.
"Tahu ah rese kalian!"
Guru baru saja keluar setelah jam pelajaran pertama baru saja selesai.
"Eh Ra," Mia menarik tangan kanan Nara ke atas meja.
"Sejak kapan elo pakai cincin?" lanjut Mia, pertanyaan itu membuat Baim melihat kearah mereka berdua.
"Mati gue," batin Nara
"Cincin apa, Ra?" kini Baim malah ikut mendekat.
"Itu-anu cincin pemberian Mama," jawab Nara dengan gugup, Baim dan Mia memicingkan matanya curiga.
"Tapi, kok ini seperti cincin nikah sih, Ra?" tanya Mia lagi dengan nada penuh selidik.
Nara memalingkan wajahnya menghindari tatapan kedua sahabatnya.
"Nara!" Sebuah teriakan dari pintu mengejutkan ketiganya.
"Daffin!"
Daffin masuk tanpa permisi ke dalam kelas tersebut. Ia duduk di atas meja, tepat di depan Nara.
"Gue lapar, tapi lupa bawa duit." Daffin melihat jari Nara dimana terdapat cincin yang sama dengannya, walau punya dirinya tak di pakai, bibirnya menyeringai.
"Bagus tuh cincin lo? Sini gue mau jual buat makan sama teman-teman gue." Daffin langsung melepas cincin itu dari tangan Nara tanpa aba-aba dan Nara yang tak siap langsung terkesiap begitu cincin itu telah raib dari tangannya.
"Eh elo seenaknya aja main rebut cincin orang." Baim menarik kerah baju Daffin yang sudah berantakan dan keringat yang masih menetes karena memang anak itu baru selesai dihukum berlari keliling lapangan, seperti biasa karena kedapatan merokok di belakang sekolah saat jam pelajaran pula.
Nara tahu itu karena memang biasanya ia yang bertugas menghukum Daffin dengan kedua temannya, karena selain waketos Nara juga asisten guru BK.
"Apa? Elo mau jadi pahlawan kesiangan?" tanya Daffin seraya menyeringai, ia menghempas tangan Baim dari bajunya kemudian melompat dari atas meja.
"Im, Im, udah gak usah di ladenin!" Nara memisahkan Baim dan Daffin.
"Tapi, dia kelewatan Ra?" sahut Mia yang sama tak terima seperti Baim.
"Daffin balikin cincin gue!" Nara menengadahkan tangannya.
"Ogah," jawan Daffin dan berlalu begitu saja. Sebelum benar-benar keluar dari kelas Daffin sempat mencium cincin itu dengan senyum mengejek.
"Daffin," teriak Nara kesal setengah mati. Mia merangkul bahu Nara, sementara Baim menepuk punggung Nara.
******
"Elo gak papa kan Ra?" Mia khawatir melihat Nara hanya mengaduk aduk bakso di hadapannya.
Khawatir juga Nara pada cincin yang tadi di ambil Daffin, takut anak itu bersungguh-sungguh akan ucapannya dan menjual cincin pernikahan mereka.
"Ra!"
"Iya Im, kenapa?"
"Giliran Baim aja yang manggil lo cepet banget nyahut."
Nara terkekeh melihat sahabatnya merajuk.
"Gue gak apa, Mia." Nara mengusap punggung tangan sahabatnya dengan lembut.
"Nanti pulang kita belanja buat keperluan camping yu," kata Baim mengalihkan pikiran Nara, ia tahu jika Nara tengah sedih karena kehilangan barang yang ia sayangi.
Memang sekolah mereka akan mengadakan camping tahunan dan itu sudah diumumkan beberapa hari yang lalu.
"Boleh."
~
Seperti rencana awal Mia, Nara, dan Baim pergi berbelanja untuk keperluan camping. Berhubung mereka bertiga anggota OSIS jadi dalam camping pun mereka pasti jadi panitia.
Setelah puas berbelanja, ketiganya menghabiskan waktu buat nongkrong di kafe seperti biasa. Walau sudah menikah, tetapi Nara dan Daffin tidak seperti ada ikatan mereka menjalani hari seperti biasa dan Nara pulang dan pergi sekolah dengan mobilnya sendiri.
Menjelang sore, Nara baru pulang. Ia memasuki rumahnya, di tangannya banyak paper bag isinya berbagai keperluan selama camping yang ia beli dari Mall tadi siang.
"Ra, kamu baru pulang? Dari mana aja?"
"Nara belanja buat camping dulu Mah, oh iya, Daffin dimana? Apa dia udah pulang?"
"Udah dari tadi, lagian kamu itu istri kok gak tahu keberadaan suaminya."
"Nara, kan, sibuk mah."
Nara menjawab sambil terus melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamarnya berada.
Nara membuka pintu kamarnya pelan, ia melihat Daffin tengah tertidur pulas di ranjangnya dengan bertelanjang dada.
Seketika senyum terbit di bibir Nara saat melihat kalung yang dipakai Daffin dengan kedua cincin nikah mereka jadi bandulnya.
"Oh jadi itu alasannya mengambil cincin itu dari gue, biar gak bikin ribet."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!