Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang tengah makan malam di sebuah rumah sederhana. Hujan yang mengguyur ibu kota dengan begitu derasnya di sertai dengan petir yang terus menyambar membuat anak mereka yang berusia empat tahun, berjenis kelamin perempuan itu merapatkan duduknya pada sang ibu.
"Ibu .. Aku takut sekali," ujar anak itu.
"Kau tidak perlu takut, sayang. Petir itu tidak akan masuk ke dalam rumah," ujar pria yang merupakan ayah dari anak tersebut.
"Tapi aku takut sekali, ayah .." rengek bocah itu lagi, namanya Elona.
"Ya sudah, kalau begitu Elona kembali ke kamar saja, ya. Ibu temani," ajak Aruna, ibu dari bocah tersebut.
Elona mengangguk, kemudian mereka meninggalkan Abian, suami dari Aruna sekaligus ayah dari Elona.
Abian menghembuskan napas, ia melanjutkan lagi makan malamnya sendiri.
Baru menyendok beberapa suapan, terdengar suara pintu depan yang di ketuk oleh seseorang. Abian mendongakan wajahnya.
"Siapa malam-malam bertamu? Lagipula ini hujan deras," pikirnya.
Abian bangun dari tempat duduknya, ia beranjak pergi menuju ruangan tamu guna membukakan pintu depan rumahnya. Ia sedikit waspada, berjaga-jaga jika orang yang datang itu memiliki niat jahat.
Begitu pintu di buka, ia mendapati wanita dengan pakaian basah kuyup tengah menahan kedinginan. Sudut bibir wanita itu juga tampak lebam.
"Kau siapa?" tanya Abian kemudian.
Wanita itu bangkit berdiri.
"Ak-aku .. Boleh aku bertemu dengan Aruna? Aku Ziva. Teman Aruna," ucap wanita itu dengan bibir gemetar menahan dingin.
Abian menatap Ziva dari ujung kaki sampai ujung kepala. Jika di lihat dari penampilannya, seperti wanita itu bukan orang biasa. Terdapat koper berukuran sedang di samping wanita tersebut.
"Sebentar, aku panggilkan istriku dulu."
"Terima kasih banyak," ucap Ziva.
Abian melipir masuk ke dalam rumah, ia berpapasan dengan istrinya saat Aruna menutup pintu kamar putri mereka.
"Kau sudah selesai makan nya?" tanya Aruna.
"Belum. Elona sudah tidur?"
"Sudah. Kenapa?"
"Di depan ada wanita yang mengaku sebagai temanmu. Dia ingin bertemu denganmu." Abian memberi tahu.
Aruna mengernyit. "Temanku? Siapa?"
"Dia mengaku sebagai Ziva."
"Ziva? Ada apa dia malam-malam hujan-hujan datang ke sini?" pikir Aruna.
"Entahlah, aku tidak tahu. Kau temui saja dia. Dia menunggumu di luar."
"Iya."
Aruna pun beranjak pergi guna menemui orang yang suaminya maksud.
"Ziva .." panggil Aruna membuat wanita itu yang semula menghadap belakang kini menoleh.
"Aruna .." Ziva hendak memeluk tubuh Aruna, namun ia sadar jika tubuhnya basah kuyup.
Aruna senang bisa bertemu kembali dengan teman lamanya setelah lima tahun terakhir mereka lost kontak. Namun tatapan bahagia itu kini berubah menjadi tatapan khawatir saat Aruna menyadari ada lebam di sudut bibir Ziva.
"Ah ya ampun, Ziva kau kenapa? Apa yang terjadi dengan dirimu?" Pandangan Aruna beralih pada koper yang ada di samping tempat berdiri Ziva.
"Ziva, katakan! Apa yang terjadi pada dirimu?" ulang Aruna.
Ziva tidak menjawab pertanyaan Aruna, dia justru malah menangis sesenggukan. Aruna tidak tega melihat temannya seperti ini, meski dia basah kuyup, Aruna tetap mau memeluk Ziva. Memberi kekuatan untuk teman nya meski ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. Ia berharap tidak terjadi sesuatu buruk pada Ziva, sebab bagaimanapun Ziva ini merupakan teman lamanya.
***
Aruna membawa Ziva masuk ke dalam rumahnya, bahkan dia memberi handuk pada wanita itu untuk mengeringkan badannya.
"Kamar mandinya sebelah sana, jika pakaian mu di dalam koper basah, nanti aku bisa pinjamkan pakaian untukmu."
"Terima kasih," ucap Ziva.
"Sama-sama."
Sementara Ziva pergi ke kamar mandi, Aruna menghampiri suaminya di ruang makan. Pria itu melanjutkan makannya.
"Sudah selesai?" tanya Aruna begitu Abian sudah menarik selembar tisu guna membersihkan mulutnya.
"Sudah."
Aruna duduk di kursi sebrang hadapan Abian.
"Maaf aku tidak menemani mu makan," ucap Aruna kemudian.
"Tidak apa-apa, sayang."
"Kau tidak marah kan?"
Abian mengulas senyum. "Marah untuk apa?"
"Aku pikir kan akan marah."
Aruna memandang Abian cukup lekat.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Abian mendapat tatapan tak biasa.
"Sepertinya Ziva harus bermalam di rumah ini. Apa kau mengizinkan? Kasihan dia."
Abian terdiam untuk beberapa saat. "Aku tidak masalah. Lagipula itu kan temanmu."
"Jadi kau mengizinkannya?"
Abian mengangguk.
Aruna bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri Abian dan memeluk tubuh pria itu dari samping.
"Terima kasih banyak," ucap Aruna.
"Iya, sama-sama," balas Abian.
Usai mendapat izin dari sang suami, Aruna segera menemui Ziva. Temannya itu masih di kamar mandi. Mungkin sedang ganti pakaian.
"Ziva ... Apa kau sudah selesai?" panggil Aruna di iringi dengan ketukan pintu.
"Ya, sebentar lagi," sahut Ziva dari dalam.
Tidak sampai sepuluh detik, pintu kamar mandi terbuka. Ziva sudah mengganti pakaian nya dengan pakaian milik dia sendiri.
"Terima kasih tawaran baju nya, Aruna. Baju ku tidak ada yang basah."
"Iya, Ziva. Oh ya, kau bermalam saja di sini. Kau bisa tidur di ruang tamu. Nanti kau ceritakan padaku apa yang terjadi dengan mu."
"Baik, Aruna. Terima kasih mau mengizinkan aku untuk bermalam di sini."
"Sama-sama. Ah ya, kau sudah makan?"
Ziva menggeleng.
"Kalau begitu kau bisa makan di ruang makan, atau aku bawakan ke kamar?"
"Aku makan di ruang makan saja. Terima kasih."
"Sama-sama. Kalau begitu, aku tinggal sebentar ke kamar, ya."
"Iya."
Aruna menepuk pundak Ziva pelan sebelum kemudian dia beranjak dari sana.
Ziva masih mematung di sana, ia menyentuh sudut bibirnya yang lebam.
"Aawww .." Ziva meringis merasa perih.
"Beruntung sekali Aruna memberiku tumpangan untuk tinggal di sini. Aku bisa terbebas dari Gavin, pria gila."
Ziva merasa jika sekarang dia bisa menghirup udara bebas.
_Bersambung_
Aruna berjalan mengampiri suaminya yang tengah duduk di sofa kamar sambil menatap layar laptop.
"Mau aku buatkan kopi?" tawar Aruna.
"Tidak usah, lagipula sedikit yang harus aku kerjakan," tolak Abian.
"Ya sudah, kalau begitu aku temani."
Aruna menemani Abian selama pria itu mengerjakan sesuatu di layar laptopnya. Sebelumnya Abian sudah memberi tahu jika besok dia ada meeting dengan klien.
Sepuluh menit kemudian, Abian menutup laptopnya. Itu artinya, dia sudah selesai.
Aruna menguap, kedua matanya sudah memerah. Abian menangkup kedua pipi dan menatapnya dengan jarak yang cukup dekat.
"Kau mengantuk, sayang. Ayo kita tidur," ajak Abian di angguki oleh Aruna.
Mereka bangun dari duduknya dan berjalan beberapa langkah ke arah ranjang tempat tidur. Mereka membaringkan tubuhnya di sana. Aruna tidur di atas lengan Abian.
"Teman mu mau di sini berapa lama?" tanya Abian tiba-tiba.
Aruna menggeleng. "Entah. Dia belum cerita apapun tentang apa yang terjadi pada dirinya. Nanti aku coba tanyakan padanya."
"Dia sudah bersuami?"
"Setahuku sudah. Lima tahu lalu sebelum aku sama dia lost kontak, dia kabarnya akan menikah dengan pacarnya."
Abian mengangguk-anggukan kepalanya.
"Aku rasa dia memiliki masalah dengan suaminya."
Aruna menatap suaminya terheran. "Kenapa kau bisa menyimpulkan hal itu?"
"Kau lihat lebam di sudut bibirnya? Aku rasa dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Maka dari itu dia kabur bawa koper, dan dia kembali mendatangi mu. Teman yang sudah lima tahun lalu tidak pernah dia jumpai."
Aruna mencerna setiap kalimat yang di ucapkan oleh Abian. Sepertinya ada benarnya juga, tapi untuk memastikan kebenarannya. Ia harus tanyakan langsung pada Ziva nanti.
"Besok aku bagian shift siang, aku bisa coba tanyakan apa yang terjadi pada temanku."
"Iya. Sekarang kita tidur, aku tahu kau pasti sangat lelah. Bekerja seharian di resto pasti membuatmu lelah bukan?"
Aruna mengangguk. "Iya."
"Mau aku pijat?" tawar Abian.
"Boleh."
Abian pun memijati pelipis Aruna sampai wanita itu tertidur pulas. Abian pun ikut memejamkan mata, menyusul Aruna ke alam mimpi.
***
Selesai makan, Ziva bingung harus ngapain. Pasalnya ia tidak bisa mengerjakan tugas rumah. Jika ia tidak membersihkan bekas makannya, bisa-bisa Aruna berubah pikiran dan tidak memberinya izin untuk numpang di sana. Terpaksa ia harus melakukannya.
Mencuci piring pun selesai, Ziva berniat untuk mengelap meja makannya. Tapi ia tidak sengaja menyenggol gelas sampai terjatuh dan pecah.
Prang..
Suara pecahan gelas tersebut terdengar oleh Abian. Pria itu terbangun.
"Ah ya ampun, kenapa harus pecah segala, sih?" Ziva menyesali perbuatannya.
Ia buru-buru membersihkan kepingan kaca dari pecahan gelas tersebut. Berharap tuan rumah tidak mendengarnya.
"Ada apa?"
Pertanyaan seseorang membuat Ziva mendongakan wajah, ia menelan ludah dengan susah payah begitu melihat siapa orang yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Maaf, maaf. Aku tidak sengaja. Aku janji akan membersihkannya," ucap Ziva.
Dia memunguti kepingan gelas kaca tersebut hingga tidak sengaja melukai tangannya sampai berdarah.
"Aawww .." Ziva memekik kesakitan.
Seseorang yang tak lain adalah Abian itu mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamar. Ia berjongkok dan melihat jari telunjuk teman istrinya mengeluarkan banyak darah. Ia jadi kasihan.
"Tunggu sebentar. Aku ambilkan obat merah untuk lukamu." Abian beranjak pergi dan tidak berapa lama kembali.
Abian membantu mengobati luka di jari telunjuk Ziva.
"Aaww..." Ziva meringis kesakitan.
"Tahan, jika tidak di obati nanti bisa infeksi," ujar Abian.
Pria itu membungkus jari telunjuk Ziva menggunakan perban. Mendapat perhatian kecil seperti demikian membuat hati Ziva terasa berdesir. Ia menatap wajah suami temannya selama pria itu mengobati lukanya.
"Sudah selesai," ujar Abian.
Pria itu mendongakan wajah dan mendapati Ziva tengah tersenyum padanya. Pandangan mata mereka bertemu, namun dengan cepat Abian segera mengalihkan pandangannya.
"Kau bisa langsung ke kamar. Ini biar aku saja yang bersihkan," kata Abian sedikit gugup.
Ziva tak memalingkan pandangannya dari wajah Abian. Senyum nya pun tidak pudar.
"Terima kasih," ucap Ziva kemudian.
"Hm," jawab Abian.
Ziva pun melipir pergi dari sana, sementara Abian harus membersihkan kepingan kaca tersebut sebelum Aruna terbangun.
_Bersambung_
Keesokan harinya, Ziva tidak melihat suami Aruna di meja makan saat ia di ajak sarapan. Hanya ada Aruna dan bocah perempuan saja di sana.
"Runa, suami mu kemana? Kenapa dia tidak ikut sarapan? Apakah gara-gara aku ada di sini?" tanya Ziva kemudian.
"Suami ku sudah berangkat ke kantor. Dia ada meeting penting dengan klien," jawab Aruna membuat Ziva menghela napas lega.
"Aku pikir suami mu tidak ikut sarapan karena tidak suka aku ada di sini."
"Tidak usah khawatir, suamiku tidak mempermasalahkan kehadiranmu di sini."
"Aku jadi segan rasanya."
"Tidak apa-apa. Santai saja, Ziva. Kita sudah berteman sejak lama, jadi kau jangan sungkan."
"Terima kasih banyak, Aruna."
"Sama-sama. Ah ya, aku harus segera mengantar putriku ke sekolah. Nanti kau bisa ceritakan permasalahannya sepulang antar putriku. Kau teruskan saja sarapan nya."
Aruna beranjak dari sana, meninggalkan Ziva di rumahnya sendirian. Ia harus segera mengantar Elona ke sekolah, pendidikan anak usia dini.
Setelah Aruna pergi, Ziva yang sudah menyelesaikan sarapan nya ikut beranjak dari sana. Dia hendak kembali ke kamarnya, namun tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar seseorang.
"Apa ini kamar Aruna dan suaminya?" pikir wanita itu.
Ziva menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan jika tidak ada orang lagi di rumah tersebut selain dirinya. Setelah merasa aman, Ziva memberanikan diri untuk meraih gagang pintu dan membuka pintu tersebut.
"Ups .. Ternyata tidak di kunci," ujarnya.
Ziva melangkah masuk ke dalam kamar tersebut. Kamarnya lebih besar di banding kamar tamu yang ia tempati. Selain itu, kamarnya juga lebih rapi dan harum.
Langkah Ziva semakin masuk ke dalam kamar tuan rumah. Ia mengedarkan pandangannya ke atas, memastikan jika tidak ada sesuatu yang bisa mengawasi dirinya. Ternyata tidak ada CCTV di sana.
Ziva melangkah ke arah lemari besar yang tidak jauh dari tempat berdirinya. Ia beranikan diri untuk membuka pintu lemari tersebut, dan yang pertama ia lihat adalah ****** ***** milik suami Aruna.
Senyumnya seketika terbit, ia ambil barang tersebut lalu menghirup aroma dari barang tersebut dalam-dalam. Meski aroma pewangi pakaian cukup wangi tercium, namun aroma yang khas masih tercium di barang tersebut.
"Oh my god, ukuran nya pasti sangat besar. I like it," ujar Ziva di akhiri dengan gigitan bibir bawahnya.
Ingatan semalam tentang suami Aruna yang mengobati lukanya kembali terlintas di kepala Ziva.
"Suami Aruna ternyata tampan juga. Dia baik dan perhatian. Tapi, aku belum tahu namanya."
"Aku harus bisa tinggal di sini lebih lama. Sepertinya dia cukup menarik."
Mendengar suara kendaraan yang masuk ke halaman rumah membuat Ziva segera menaruh kembali barang milik suami Aruna di tempat semula.
"Kenapa Aruna cepat sekali pulangnya?"
Ziva bergegas keluar dari kamar Aruna. Ia harus segera kembali ke dapur untuk membersihkan bekas sarapannya.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar tersebut, Ziva mengurungkan niat untuk kembali ke dapur begitu melihat siapa sosok yang datang.
"Hai .." sapa Ziva.
Sosok orang yang tampak sedang terburu-buru itu menoleh. Ziva berjalan menghampiri lebih dekat.
"Terima kasih sudah mengobati lukaku semalam," ucap Ziva dengan senyuman menggoda.
"Iya, sama-sama," jawab pria itu datar.
Melihat pria itu hendak masuk ke kamar, Ziva berpikir bagaimana caranya agar bisa menahan dia sedikit lama dengannya. Ziva menyunggingkan sebelah sudut bibirnya begitu ide brilian terlintas dalam kepala.
"Aaaa .. Kecoa .. Kecoa .." Ziva menjerit ketakutan dan memeluk tubuh suami temannya dengan sangat erat.
Abian sendiri terkejut begitu wanita itu memeluk dirinya.
"Mana kecoa?" tanya Abian dengan melepaskan tangan Ziva yang melingkar di tubuhnya.
"Itu .. Itu di sana. Aku takut sekali .." Ziva semakin mempererat pelukannya, tidak membiarkan suami Aruna melepaskan tangannya dari tubuh pria itu.
"Mana? Tidak ada."
"Ada. Tadi ada di sana. Aku takut sekali .."
"Tidak ada. Tidak ada kecoa." Abian menyisir lantai di sekitarnya, ia sama sekali tidak melihat ada kecoa di sana.
Ziva pun melepaskan pelukannya. "Sudah tidak ada, ya?"
"Tidak ada. Lagipula, di sini tidak pernah ada kecoa. Aruna istri yang begitu menyukai kebersihan, jadi tidak mungkin jika ada kecoa berkeliaran di sini."
Entah kenapa Ziva tidak suka mendengar pria itu memuji istrinya secara berlebihan.
"Tapi aku tidak bohong. Tadi ada."
"Ya sudah, kalau begitu kau kembali saja ke kamar. Akan lebih aman jika memang ada. Aku sedang buru-buru."
Abian membuka pintu kamarnya, guna mengambil berkas yang ketinggalan.
"Tunggu! Namamu siapa?" cegah Ziva.
Pria itu menoleh, melirik pergelangan tangannya yang di tahan oleh Ziva. Wanita segera melepaskan pegangannya.
"Maaf, aku hanya ingin tahu saja siapa namamu," ucap Ziva.
"Abian." jawab pria itu kemudian masuk ke dalam kamar.
Sementara Ziva mematung di tempat. Senyumnya mengembang dengan sempurna. Ia berhasil mengetahui nama suami Aruna.
"Abian? Nama yang terdengar menarik. Aku suka namanya," gumam Ziva.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!