NovelToon NovelToon

Bedak Sang Nyai

Tiara

Siang yang terik, Tiara berjalan dengan langkah gontai. Peluh membanjiri tubuhnya, uang di dompet Tiara hanya cukup untuk membeli sebotol air mineral. Tiara memilih berjalan kaki dari rumah sampai ke tempat kerjanya, demi menghemat uang. Padahal jarak yang ditempuhnya cukup jauh sekitar tiga kilometer.

Hari ini Tiara kebagian shift siang, jadi ia berjalan kaki dengan santai. Mengusap peluh yang terus bercucuran, Tiara hanya bisa berdoa agar dirinya dikuatkan untuk menjalani setiap ujian kehidupan.

Tiara tidak minta dilahirkan dalam situasi sulit seperti sekarang. Ibunya adalah salah satu dari sekian banyak gundik yang dipelihara pengusaha retail terbesar di kotanya. Kepolosan sang ibu dan kondisi ekonomi yang pas-pasan waktu itu membuat sang ibu bersedia dipinang bos besar retail dengan iming-iming sebuah rumah dan harta melimpah.

Tapi sayangnya janji tinggallah janji. Sang ibu yang merelakan tubuhnya menjadi pemuas nafsu si bos ditelantarkan tanpa jaminan biaya apa pun untuk kedua anaknya. Rendra dan Tiara. 

Tiara bahkan tak pernah melihat wajah ayahnya, karena tak satupun foto sang ayah yang dipajang mendiang ibunya. Menurut Rendra kakaknya, sang ayah hanya pernah sekali datang untuk memberi sejumlah uang itupun saat Rendra masih SD dan Tiara masih bayi.

Kini keduanya bekerja sama untuk membayar kontrakan dan menghidupi kehidupan masing-masing. Tiara tak peduli berapa banyak cibiran dan makian yang ia terima sebagai putri seorang gundik. Label yang dengan kejamnya diberikan pada dirinya dan Rendra.

Suara klakson mobil yang memekakkan telinga mengagetkan Tiara dari lamunannya. Sebuah mobil mewah berwarna merah tiba-tiba saja sudah berada di depannya.

"Wooy, lu mau mati! Lihat-lihat kalo jalan!" Seorang pria muda bersungut-sungut seraya keluar dari mobilnya.

Tiara beringsut mundur, ia menundukkan kepala seraya. "Ma-maaf," suaranya terdengar begitu lirih, ia sangat ketakutan dan juga terkejut.

"Lu kagak punya mata, hah! Mobil gue bisa lecet gegara nabrak lu tau!" Pria itu menunjuk nunjuk bahunya dengan keras, dan itu menyakiti Tiara.

"Maaf, saya nggak liat masnya tadi." Ia memberanikan diri untuk menatap si pria.

Lelaki muda berusia mungkin seperti dirinya, penampilan metroseksual, rambut cepak model Rockabilly, berhidung mancung dan kulit sedikit eksotis, tato menghiasi separuh lengan kirinya. Begitu melihatnya Tiara langsung hafal setiap lekuk wajahnya. 

Melawannya bukan ide bagus, Tiara hanya akan mendapat makian dan buruknya lagi, ia harus membayar ganti rugi yang mungkin terucap liar dari mulut berbibir tipis yang begitu mudah melemparkan kata makian.

"Sebaiknya aku pergi, maaf membuatmu membuang waktu denganku." ucap Tiara seraya berlalu, ia malas mendengarkan makian lelaki muda yang jelas tak punya rasa sopan pada sesama. 

Sikap Tiara otomatis semakin membuat lelaki itu meradang. Ia melempar botol plastik bekas air mineral yang diambilnya sembarangan. Semua orang berteriak pada Tiara agar menghindar. Botol itu memang meleset tidak mengenai Tiara tapi itu cukup membuat hatinya terluka.

Tiara menghela nafas berat, ia hanya berbalik setengah badan dan segera berlalu. Ia tak peduli dengan makian dan umpatan lelaki muda itu.

Ya Tuhan, sabar … sabar Tiara. Aku akan mengingatmu, semoga kita bertemu lagi!

Setelah melalui drama panjang, Tiara sampai juga di sebuah mall besar tempatnya bekerja. Tiara bekerja sebagai cleaning service disana. Ia segera mengisi kartu absen dan menuju loker. Kakinya penat setelah jalan begitu jauh, pikirannya juga dipenuhi kejadian tak mengenakkan tadi. Ia duduk termangu di kursi panjang yang terletak di depan deretan loker.

Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, mengatur mood dan emosinya yang tertahan.

"Tiara, cepat ganti pakaianmu! Kerjaan kita masih banyak!" Santi rekan Tiara yang juga baru datang mengingatkan.

Tiara tersenyum dan mengangguk. "Kita kebagian lantai berapa sekarang San?" Tiara bertanya, ia membuka lokernya lalu mengambil satu stel pakaian kerjanya yang terlipat rapi.

"Lantai dua, kita harus siap sebelum si manajer gila itu ngomel nggak karuan." jawab Santi dari balik bilik ganti.

Tiara membasuh peluh di wajahnya dengan air. Dinginnya air membuat Tiara sedikit segar. Ia menatap sejenak wajahnya, berusaha tersenyum pada wajah cantiknya yang tertutup kusam dan jerawat. 

"Hai jelek, semangatlah demi hidupmu!" Tiara menyemangati dirinya sendiri.

Tak berapa lama Tiara dan Santi pun disibukkan membersihkan area lantai dua. Toilet menjadi sasaran utama yang menjadi tanggung jawab dirinya sebagai cleaning service.

 Awalnya Tiara merasa jijik, apalagi harus selalu mengecek kebersihan tempat dengan jutaan kuman itu. Tapi lama-kelamaan demi kelangsungan hidupnya rasa jijik dan malu bisa ditekan jauh ke dasar hati. Yang penting halal dan Tiara bisa makan sehari tiga kali, itu prinsipnya.

Menjelang sore semakin banyak pengunjung yang datang. Tiara yang lelah memutuskan untuk duduk di salah satu sudut ruangan khusus karyawan. Mengisi perut dengan bekal seadanya, sembari beristirahat. Sepi, tak ada siapapun disana. Santi memilih makan di kantin bersama pacarnya. 

Hawa dingin membuat tengkuknya terasa berat. "AC-nya dingin banget nih, jadi nggak enak bener ni badan."

Ia melanjutkan makan dan memutuskan mendengar musik untuk membunuh sepi. Earphone berwarna putih pun terpasang cantik di kedua telinganya. Tiara pun bersenandung, mengikuti suara lagu.

Tiara …,

Sebuah panggilan menyusup diantara lagu yang terdengar mengalun merdu. Tiara terkesiap, antara sadar dan tidak melihat seorang wanita ayu berkebaya merah berjalan membelakanginya.

Matanya mengerjap tak percaya saat wanita itu sukses menembus dinding pembatas. Ia mengusap kedua matanya kasar, masih tak percaya dengan apa yang baru dilihat kedua indra penglihatan.

"Aku ketiduran?"

Tiara celingukan, tak ada seorang pun di ruangan itu. Bulu halus di tubuhnya terasa berdiri bak terkena sengatan listrik ringan. Ia berusaha mengindahkannya dan kembali mendengarkan lagu favorit nya.

Sinar bulan penuh pesona …,

Menatapmu bagai purnama 

……….

Terbawa pesona anak Diraja

Lagu yang tak biasa tiba-tiba saja terdengar di telinganya, tanpa musik tanpa irama yang jelas tapi terdengar bagai kidung nyanyian. Tiara melepaskan earphone dengan kasar, ia berdiri dari tempat duduknya menatap layar ponsel yang kembali berjalan normal menembangkan musik favorit nya.

"A-apa itu tadi?" 

Tiara menoleh ke kanan dan kiri, menatap ke atas menyapu sekitar mencari sesuatu tak kasat mata yang berani menyapa ramah dirinya.

Tiara bergegas merapikan semuanya, beranjak pergi dari ruangan yang menakutkan. Ia memutuskan beristirahat lagi di ruangan karyawan, sembari menunggu Santi datang.

"Ternyata disini sepi juga,"

Tiara menghela nafas, apa boleh buat ia terpaksa menikmati kesendiriannya kali ini. Rekan Tiara yang lain lebih suka berkumpul di kantin, tapi ia tak punya nyali untuk itu. Tiara terlalu rendah diri dengan keadaannya.

BRAAK!!

Tiara dikejutkan dengan suara benda jatuh, jantungnya seolah berhenti seketika lalu diikuti desiran aneh yang tak biasa. Wewangian bunga tiba-tiba saja menggelitik hidungnya yang mancung. Tekanan udara terasa menghimpit dada. Tanpa sadar Tiara berpindah dimensi antara gerbang kesadaran dan alam bawah sadarnya.

Wanita berkebaya merah itu datang, ia duduk di depan meja rias dengan ukuran kayu indah di atasnya. Menyisir rambut panjang hitamnya sembari bernyanyi.

Sinten sinambat ing wewangi iki

Amung siro yekti

……….

……….

Tresno lir tirto gumanti dahono

Awit siro marang roso

Endah rumembyak rekmamu

Dadyo angenku saben dalu.

Wengi kadyo setro

Kegowo lungane baskoro

Peteng tanpo condro

Tanpo kartiko

Tiara

Siang yang terik, Tiara berjalan dengan langkah gontai. Peluh membanjiri tubuhnya, uang di dompet Tiara hanya cukup untuk membeli sebotol air mineral. Tiara memilih berjalan kaki dari rumah sampai ke tempat kerjanya, demi menghemat uang. Padahal jarak yang ditempuhnya cukup jauh sekitar tiga kilometer.

Hari ini Tiara kebagian shift siang, jadi ia berjalan kaki dengan santai. Mengusap peluh yang terus bercucuran, Tiara hanya bisa berdoa agar dirinya dikuatkan untuk menjalani setiap ujian kehidupan.

Tiara tidak minta dilahirkan dalam situasi sulit seperti sekarang. Ibunya adalah salah satu dari sekian banyak gundik yang dipelihara pengusaha retail terbesar di kotanya. Kepolosan sang ibu dan kondisi ekonomi yang pas-pasan waktu itu membuat sang ibu bersedia dipinang bos besar retail dengan iming-iming sebuah rumah dan harta melimpah.

Tapi sayangnya janji tinggallah janji. Sang ibu yang merelakan tubuhnya menjadi pemuas nafsu si bos ditelantarkan tanpa jaminan biaya apa pun untuk kedua anaknya. Rendra dan Tiara. 

Tiara bahkan tak pernah melihat wajah ayahnya, karena tak satupun foto sang ayah yang dipajang mendiang ibunya. Menurut Rendra kakaknya, sang ayah hanya pernah sekali datang untuk memberi sejumlah uang itupun saat Rendra masih SD dan Tiara masih bayi.

Kini keduanya bekerja sama untuk membayar kontrakan dan menghidupi kehidupan masing-masing. Tiara tak peduli berapa banyak cibiran dan makian yang ia terima sebagai putri seorang gundik. Label yang dengan kejamnya diberikan pada dirinya dan Rendra.

Suara klakson mobil yang memekakkan telinga mengagetkan Tiara dari lamunannya. Sebuah mobil mewah berwarna merah sudah berada di depannya, dengan pengemudi yang memaki dirinya.

"Wooy, lu mau mati! Lihat-lihat kalo jalan!" Seorang pria muda bersungut-sungut seraya keluar dari mobilnya.

Tiara beringsut mundur, ia menundukkan kepala seraya. "Ma-maaf," suaranya terdengar begitu lirih, ia sangat ketakutan.

"Lu kagak punya mata hah! Mobil gue bisa lecet gegara nabrak lu tau!" Pria itu menunjuk nunjuk bahunya dengan keras, dan itu menyakiti Tiara.

"Maaf, saya nggak liat masnya tadi." Ia memberanikan diri untuk menatap si pria.

Lelaki muda berusia mungkin seperti dirinya, penampilan metroseksual, rambut cepak model Rockabilly, berhidung mancung dan kulit sedikit eksotis, tato menghiasi separuh lengan kirinya. Begitu melihatnya Tiara langsung hafal setiap lekuk wajahnya. 

Melawannya bukan ide bagus, Tiara hanya akan mendapat makian dan buruknya lagi, ia harus membayar ganti rugi yang mungkin terucap liar dari mulut berbibir tipis yang begitu mudah melemparkan kata makian.

"Sebaiknya aku pergi, maaf membuatmu membuang waktu denganku." ucap Tiara seraya berlalu, ia malas mendengarkan makian lelaki muda yang jelas tak punya rasa sopan pada sesama. 

Sikap Tiara otomatis semakin membuat lelaki itu meradang. Ia melempar botol plastik bekas air mineral yang diambilnya sembarangan. Semua orang berteriak pada Tiara agar menghindar. Botol itu memang meleset tidak mengenai Tiara tapi itu cukup membuat hatinya terluka.

Tiara menghela nafas berat, ia hanya berbalik setengah badan dan segera berlalu. Ia tak peduli dengan makian dan umpatan lelaki muda itu.

Ya Tuhan, sabar … sabar Tiara. Aku akan mengingatmu, semoga kita bertemu lagi!

Setelah melalui drama panjang, Tiara sampai juga di sebuah mall besar tempatnya bekerja. Tiara bekerja sebagai cleaning service disana. Ia segera mengisi kartu absen dan menuju loker. Kakinya penat setelah jalan begitu jauh, pikirannya juga dipenuhi kejadian tak mengenakkan tadi. Ia duduk termangu di kursi panjang yang terletak di depan deretan loker.

Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, mengatur mood dan emosinya yang tertahan.

"Tiara, cepat ganti pakaianmu! Kerjaan kita banyak!" Santi rekan Tiara yang juga baru datang mengingatkan.

Tiara tersenyum dan mengangguk. "Kita kebagian lantai berapa sekarang San?" Tiara bertanya, ia membuka lokernya lalu mengambil satu stel pakaian kerjanya yang terlipat rapi.

"Lantai dua, kita harus siap sebelum si manajer gila itu ngomel nggak karuan." jawab Santi dari balik bilik ganti.

Tiara membasuh peluh di wajahnya dengan air. Dinginnya air membuat Tiara sedikit segar. Ia menatap sejenak wajahnya, berusaha tersenyum pada wajah cantiknya yang tertutup kusam dan jerawat. 

"Hai jelek, semangatlah demi hidupmu!" Tiara menyemangati dirinya sendiri.

Tak berapa lama Tiara dan Santi pun disibukkan membersihkan area lantai dua. Toilet selalu menjadi sasaran utama yang menjadi tanggung jawab dirinya sebagai cleaning service.

 Awalnya Tiara merasa jijik, apalagi harus selalu mengecek kebersihan tempat dengan jutaan kuman itu. Tapi lama-kelamaan demi kelangsungan hidupnya rasa jijik dan malu bisa ditekan jauh ke dasar hati. Yang penting halal dan Tiara bisa makan sehari tiga kali, itu prinsipnya.

Menjelang sore semakin banyak pengunjung yang datang. Tiara yang lelah memutuskan untuk duduk di salah satu sudut ruangan khusus karyawan. Mengisi perut dengan bekal seadanya, sembari beristirahat. Sepi, tak ada siapapun disana. Santi memilih makan di kantin bersama pacarnya. 

Hawa dingin membuat tengkuknya terasa berat. "AC-nya dingin banget nih, jadi nggak enak bener ni badan." gumamnya lirih.

Ia melanjutkan makan dan memutuskan mendengar musik untuk membunuh sepi. Earphone berwarna putih pun terpasang cantik di kedua telinganya. Tiara bersenandung, mengikuti suara lagu.

Tiara …,

Sebuah panggilan menyusup diantara lagu yang terdengar mengalun merdu. Tiara terkesiap, antara sadar dan tidak melihat seorang wanita ayu berkebaya merah berjalan membelakanginya.

Matanya mengerjap tak percaya saat wanita itu sukses menembus dinding pembatas. Ia mengusap kedua matanya kasar, masih tak percaya dengan apa yang baru dilihat kedua indra penglihatan.

"Apa aku ketiduran?"

Tiara celingukan, tak ada seorang pun di ruangan itu. Bulu halus di tubuhnya terasa berdiri bak terkena sengatan listrik ringan. Ia berusaha mengindahkannya dan kembali mendengarkan lagu favorit nya.

Sinar bulan penuh pesona …,

Menatapmu bagai purnama 

……….

Terbawa pesona putra Diraja

Lagu yang tak biasa tiba-tiba saja terdengar di telinganya, tanpa musik tanpa irama yang jelas tapi terdengar bagai kidung nyanyian. Tiara melepaskan earphone dengan kasar, ia berdiri dari tempat duduknya menatap layar ponsel yang kembali berjalan normal menembangkan musik favorit nya.

"A-apa itu tadi?" 

Tiara menoleh ke kanan dan kiri, menatap ke atas menyapu sekitar mencari sesuatu tak kasat mata yang berani menyapa ramah dirinya.

Tiara bergegas merapikan semuanya, beranjak pergi dari ruangan yang menakutkan. Ia memutuskan beristirahat lagi di ruangan karyawan, sembari menunggu Santi datang.

"Disini sepi juga,"

 Tiara menghela nafas, apa boleh buat ia terpaksa menikmati kesendiriannya kali ini. Rekan Tiara yang lain lebih suka berkumpul di kantin, tapi ia tak punya nyali untuk itu. Tiara terlalu rendah diri dengan keadaannya.

BRAAK!!

Tiara dikejutkan dengan suara benda jatuh, jantungnya seolah berhenti seketika lalu diikuti desiran aneh yang tak biasa. Wewangian bunga tiba-tiba saja menggelitik hidungnya yang mancung. Tekanan udara terasa menghimpit dada. Tiara berpindah dimensi antara gerbang kesadaran dan alam bawah sadarnya.

Wanita berkebaya merah itu datang, ia duduk di depan meja rias dengan ukuran kayu indah di atasnya. Menyisir rambut panjang hitamnya sembari bernyanyi.

Sinten sinambat ing wewangi iki

Amung siro yekti

……….

……….

Tresno lir tirto gumanti dahono

Awit siro marang roso

Endah rumembyak rekmamu

Dadyo angenku saben dalu.

Wengi kadyo setro

Kegowo lungane baskoro

Peteng tanpo condro

Tanpo kartiko

Siapa Dia?

Tiara mengerjap tak percaya, dihadapannya duduk sosok wanita berkebaya merah yang membelakangi dirinya. Tiara yang bingung berbalik dan menatap sekitar.

"Dimana aku? Kok aku bisa ada disini?" 

Ia memekik tak percaya, mengusap kedua matanya dengan kasar lalu kembali menghadap wanita berkebaya yang masih asik bersenandung lagu Jawa. Lagu yang tidak ia pahami artinya meski Tiara sendiri dilahirkan di tanah Jawa.

"Si-siapa kamu?" dengan gemetar Tiara bertanya.

Wanita berkebaya itu tiba-tiba saja berhenti menyisir rambut. Ia diam tapi tidak berbalik menatap Tiara. Hanya diam mematung menghadap cermin.

Tiara bingung, takut, dan juga penasaran. Perlahan Tiara mendekat dan hampir menyentuh bahunya saat sebuah suara mengagetkan Tiara.

"Ra, Ra! Sadar Ra, kenapa sih ni anak!" Santi mengguncangkan tubuh Tiara, tangannya membayang di depan wajah Tiara, tapi Tiara tidak merespon.

Tiara bingung, ia kenal suara itu tapi dirinya sama sekali tidak bisa melihat apa pun. "San, Santi! Tolongin aku San!" 

Airmata merebak dimatanya, Tiara takut sangat takut. Ia terjebak dalam dimensi lain yang entah bagaimana ceritanya mengunci dan membekapnya dengan paksa.

"Mau kemana nduk?" suara itu terdengar lembut tapi terasa mengerikan, menyapanya dari belakang.

Tiara kembali berbalik perlahan, semua berubah gelap hanya ada cahaya temaram yang menerangi meja rias tempat wanita berkebaya itu duduk.

keringat membanjiri tubuhnya, Tiara tercekat suaranya menghilang, lututnya lemas. 

"Ojo wedi nduk,"

Dalam hatinya Tiara mengumpat sosok yang belum juga mau berbalik menampakkan wajahnya itu. Wanita berkebaya itu berdiri perlahan, jantung Tiara seolah ingin meledak, aliran darahnya bergerak terlalu cepat hingga ia merasa pusing dan mual.

Tiara melihat dengan jelas sosok wanita itu berbalik menghadapnya, tapi kesadarannya mulai memudar. Kepalanya berputar, bayangan wanita itu hanya terlihat samar di matanya. Lamat-lamat terdengar suara.

"Jadilah penerusku cah ayu!" 

Tiara tak mendengar lagi suara hanya merasakan nyeri hebat di kepalanya dan semuanya kembali gelap.

"Tiara, Ra … bangun!"

Bau minyak angin beraroma terapi menyadarkannya kembali ke dunia nyata. Kepalanya masih terasa pusing. Ia dikelilingi beberapa rekan yang lain. Wajah mereka tampak khawatir.

"Kamu kenapa?" tanya Santi khawatir.

"Kesurupan paling ni anak! Makanya jangan suka menyendiri disini, gabung kek sama kita!" Nita, rekan kerja Tiara yang lain terdengar tak suka dengan kondisinya.

Tiara tak peduli, Nita memang tak pernah suka padanya. "Aku, pusing aja. Kecapean mungkin." jawab Tiara lemah, Santi membantunya untuk duduk.

Tiara meminum segelas air mineral yang diberikan Santi. 

"Gimana, udah siuman?" suara pak Amrin, manager Tiara terdengar saat pintu ruangan terbuka.

Tiara hanya melirik sepintas pak Amrin, ia bersiap mendapatkan omelan darinya.

"Kamu sudah baikan?" tanya pak Amrin saat mendapati Tiara yang terduduk lemas di bangku panjang.

"Iya pak, maaf merepotkan." Tiara mencoba untuk tersenyum.

Hawa tak enak masih menyapanya, tengkuknya terasa berat kepalanya masih pusing. Sesuatu sedang mengawasinya dari jauh, tapi Tiara tak tahu apa itu.

"Kamu sakit, capek apa gimana? Kata Nita kamu kesurupan!" Sang manager kembali bertanya, ia memperhatikan Tiara dari atas sampai bawah.

Tiara melirik ke arah Nita yang terlihat sinis menatapnya. "Ah nggak pak cuma kecapean biasa kok. Apa aku tadi kesurupan San?" Mata Tiara mengkode Santi.

"Kesurupan? Nggaklah, kamu cuma pingsan biasa, orang aku yang nemuin kamu dulu. Kalo kamu kesurupan pasti udah teriak nggak jelas!" ujarnya melirik ke arah Nita yang mendengus kesal.

"Ya udah kalo gitu, saya kira kamu kesurupan bisa gawat kalau pengunjung sampai ada yang tahu!" Pak Amrin menoleh ke arah pintu seperti meresahkan sesuatu.

Mereka pun membubarkan diri setelah memastikan Tiara baik-baik saja.

"Makasih ya San, udah nolongin aku dari Nita tadi."

"Iya, udah nggak usah dipikirin si Nita! Lambe turah dia, carmuk mulu ke pak Amrin!"

Tiara hanya tersenyum, dia mengganti pakaiannya lalu membasuh muka agar sedikit segar. Hembusan angin kecil meniup beberapa helai rambutnya. Tiara terkesiap. Ada rasa yang benar-benar tak enak di hatinya, ia melirik ke kiri dan ke kanan. Tiara mengabaikan perasaannya dan kembali membasuh wajahnya. Tapi Tiara terkejut bukan kepalang saat menatap bayangan lain dalam cermin.

Wanita berkebaya itu menampakkan wujudnya lagi pada Tiara. Ia tersenyum begitu manis. Tiara berbalik cepat tapi tak ada wanita itu di belakangnya, dengan perlahan ia menoleh ke arah cermin berharap matanya salah. Bayangan itu hilang.

Jantung Tiara terasa berhenti berdetak. Ingin menangis tapi tak bisa, mau teriak pun suaranya hilang, kaki pun terasa lemas.

"Tiara, kamu kenapa lagi?" 

"Hah?! Aku … nggak, aku nggak apa-apa!" Tiara gugup menjawab pertanyaan Santi.

"Kamu kenapa sih, kayak baru liat setan aja? Jadi curiga jangan-jangan tadi kamu …,"

"Eh nggak San, beneran aku nggak apa-apa! Mana ada setan disini, aku cuma kepikiran aja capek!"

Santi memperhatikan wajah pucat Tiara, ia menyentuh keningnya. "Eh, kamu demam! Udah cepetan pulang aja, istirahat biar aku yang bilang ma pak Amrin!"

Tiara mengangguk, ia memang merasa butuh istirahat. Kejadian horor tadi pertama baginya selama 22 tahun hidupnya. Jelas Tiara shock berat, dan tubuhnya merespon dengan cepat.

Tiara melangkah keluar mall tempatnya bekerja, hari sudah gelap dan Tiara hanya ingin segera sampai di rumah. Ia takut jika kejadian tadi terulang kembali. Santi memberinya sedikit uang untuk ongkos naik bis.

 Tiara sudah menolaknya, tak enak jika terus menerus merepotkan Santi. Tapi teman terbaiknya itu memaksa. Santi tak tega jika Tiara harus berjalan kaki disaat demam. Kepalanya masih terasa pusing, matanya terasa panas. 

Ia duduk di dalam bus kota sendirian, sepi tak banyak penumpang di dalamnya. Hujan perlahan turun membasahi kota Semarang. Tiara menyandarkan kepalanya ke jendela kaca, meratapi nasib yang belum berpihak padanya.

Tiara …,

Tiara terkejut, "Suara itu lagi! Apa maunya sebenarnya!" Ia bergumam seraya memperhatikan sekitar.

Penumpang lain tampak sibuk sendiri, tak mungkin salah satu dari mereka menjahilinya. Bulu halus di tubuhnya mulai berdiri. Ia kembali dikejutkan dengan kelebatan bayangan merah di kaca bus. Tiara menoleh dengan cepat tak ada wanita berkebaya itu.

"Astaga, dosa apa aku sampai wanita itu ngikutin terus!" 

Wangi bunga menyeruak menusuk hidungnya. Tiara tak habis pikir, harinya benar-benar buruk. Pagi dimaki, dan sore harus mengalami kejadian mistis. Mata Tiara menangkap sosok lelaki tampan yang duduk berhadapan dengannya.

Perasaan tadi nggak ada orang disitu? Atau mataku salah lihat?

Pria tampan itu tersenyum padanya. Ketampanan yang sempurna, kulit putih dan rambut cepak. Tiara memperkirakan pria itu cukup tinggi dari posisi duduknya. 

Tiara membalas senyumnya, baru kali ini ada pria tampan yang mengajaknya berinteraksi. Biasanya mereka membuang muka ketika melihat wajah Tiara. 

Bus yang Tiara tumpangi, tiba-tiba mengerem mendadak membuat para penumpang terkejut tak terkecuali Tiara. Hampir saja ia terjerembab jika pria tampan di depannya itu tidak menangkap tubuh Tiara.

Adegan selanjutnya begitu mirip seperti scene romantis dalam film pendek, Tiara terpesona oleh ketampanan dan senyum manis pria yang merengkuhnya dalam pelukan. Pipinya merona diperlakukan demikian. 

Ah Tiara, gadis lugu yang belum pernah merasakan jatuh cinta apalagi disentuh seperti saat ini. Tapi sayangnya Tiara tidak menyadari jika lelaki itu bukan manusia. 

Jika aku bermimpi kali ini aku nggak mau dibangunin! Kau … tampan sekali!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!