Prang.....Mira terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Ia lalu mengusap keningnya yang telah basah oleh peluh yang bercucuran, jantungnya berdetak kencang. Ia bermimpi buruk.
Ia sibuk mengatur napasnya yang tidak teratur, seperti orang yang habis berlari kencang.
" Ya Tuhan, lindungi suamiku," gumamnya pelan.
sementara di luar terdengar suara angin yang menderu dengan kencangnya, sekelebat cahaya kilat menyambar diiringi gemuruh derasnya hujan. Suara petir sambung menyambung menambah seramnya suasana.
Mira perlahan bangkit dari pembaringannya, ia beringsut di tepi ranjang kemudian duduk terpaku. Ia menggelengkan kepalanya untuk menenangkan debar jantungnya.
Kemudian Mira berjalan menuju pintu kamarnya, lalu membukanya dan keluar dari kamarnya.
Ia mau mencari sumber suara benda yang terjatuh, yang telah membuatnya tersentak bangun dari mimpinya.
Mira mengaduh, kakinya tertusuk sesuatu.
Lalu ia segera menekan tombol lampu ruang tengah yang ada di samping pintu kamar tidurnya.
Matanya langsung tertuju pada foto Mas Dino, suaminya yang bingkainya sudah patah dengan kaca berhamburan
memenuhi lantai.
Mira memungut foto Mas Dino dari lantai dan meletakkannya di atas meja. Matanya melirik jarum jam dinding yang tergantung di sana. Tepat jam dua belas malam.
Mira lalu duduk dan memeriksa telapak kakinya yang terasa perih, telapak kakinya berdarah tertusuk serpihan pecahan kaca yang tadi tanpa sengaja diinjaknya.
Mira mengambil tisu yang ada di meja, memencet perlahan telapak kakinya. Ia menggigit bibirnya, lalu segera mencabut serpihan kaca yang masih menancap di telapak kaki kanannya itu.
Mira mengeluarkan sisa darah yang masih keluar dengan menekannya perlahan, untuk berjaga-jaga agar tidak ada kotoran yang ikut masuk bersama serpihan kaca yang sudah dicabutnya.
Setelah selesai, Mira mengelap telapak kakinya dengan tisu.
Walaupun tidak terlalu parah, tapi cukup menyisakan rasa perih di telapak kakinya.
Setelah menunggu tidak ada lagi darah yang keluar, Mira bangun lalu mengambil sapu dan pengki yang ada di dapur.
Mira segera menyapu satu- persatu pecahan kaca itu sambil memanjatkan doa.
Mira mengingat mimpi buruknya barusan dengan bergidik dan membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
Dalam mimpinya, Mira melihat suaminya, Mas Dino digandeng oleh seorang wanita cantik yang berpakaian seperti seorang Puteri keraton zaman dulu.
Rambutnya yang panjang tergerai indah dengan bermahkota kan sebuah Tiara kecil di atas kepalanya.
Walaupun paras wanita itu sangat cantik, tetapi pandangan dan tatapan matanya sangat dingin menghujam. Mira bergidik.
Sementara Mas Dino yang digandengnya hanya diam dengan tatapan kosong.
Mira berteriak memanggil Mas Dino, tetapi Dino tidak merespon panggilan Mira. Tak sedikitpun Mas Dino mengalihkan pandangannya kepada Mira.
Mas Dino dan wanita itu lalu membalikkan badannya, lalu berjalan cepat meninggalkan Mira yang berdiri terpaku di tempatnya.
Mira segera tersadar, lalu ia berlari mengejar ke arah wanita yang membawa Mas Dino pergi.
Mira semakin tertinggal jauh, ia tetap berlari dan berlari. Napasnya tersengal...
Mira terus berlari dengan napas memburu saking paniknya. Tapi yang ia lihat bayangan Mas Dino dan wanita itu semakin menjauh lalu menghilang bersamaan dengan kabut tebal yang tiba- tiba menutupi tempat itu.
Mira menangis ketakutan, ia terus berteriak.
" Mas Dino, kembali...."
Suara deru angin seperti bermain di telinga Mira, kabut semakin tebal.
Mira kemudian berjalan sambil meraba- raba karena pandangan matanya menjadi buram tertutup oleh kabut di sekelilingnya.
Semakin jauh ia melangkah....lalu kabutpun mulai menipis.
Mira bisa melihat bayangan sebuah hutan angker berada tepat di depannya.
Tiba- tiba terdengar suara melengking dari arah dalam hutan di depannya.
Suara seperti peluit yang ditiup kencang itu bersahut- sahutan diringi seperti suara gagak.
Mira merinding, ia melihat sekeliling, tidak ditemuinya bayangan Mas Dino dan wanita itu. Mereka hilang seperti tertelan bumi.
Mira tak ada pilihan, hanya ada hutan yang terpampang di depan matanya.
Ia lalu masuk ke dalam hutan dengan menahan rasa takutnya. Tubuhnya sudah penuh dengan keringat.
Ia berusaha menahan takutnya karena rasa khawatirnya pada Mas Dino yang tadi dibawa pergi.
" Kemanakah Mas Dino dibawa oleh wanita itu," Mira menangis lagi.
Semua rasa takut dan khawatir bergabung menjadi satu.
Dengan menguatkan diri, ia lalu mulai melangkah sambil tetap menajamkan mata dan telinganya.
Sementara suara yang menyeramkan yang Mira dengar masih terdengar melengking seakan menyambut kedatangannya di hutan itu.
Hutan itu gelap, ditumbuhi oleh pepohonan besar dan semak belukar. Mira menyusuri jalan setapak yang tampak ada di situ.
Tiba- tiba kabut tebal kembali datang, diiringi dengan semerbak harum bau bunga melati yang tiba- tiba tertangkap oleh penciuman Mira.
Mira terus berjalan dan tidak menghiraukan kabut tebal yang datang dengan tiba- tiba.
Rasa khawatirnya pada Mas Dino membuatnya menyampingkan rasa takutnya.
Semakin ke dalam hutan, semakin gelap dan Mira merasakan udara di sekitarnya semakin dingin menusuk ke dalam tulang.
Sayup- sayup terdengar suara gamelan, terdengar suasana semakin mencekam.
" Di manakah ini? " ucap Mira dalam hati.
Tiba- tiba suara gamelan yang didengar Mira berhenti, lalu ada seberkas sinar yang menyilaukan mata.
Mira mengerjapkan matanya, lalu terdengar bisikan di telinganya.
"Suamimu aku pinjam, dia milikku sekarang....aku akan mengembalikannya nanti kepadamu setelah seratus delapan puluh hari. hi.....hi....."
Bisikan dari suara yang menyeramkan, dari seorang wanita bersuara serak. suara tanpa rupa....
Mira meraung.....ia tidak tau harus berbuat apa....
Der......suara petir menggelegar.
Mira terperanjat, ia terbangun dari lamunannya. Masih terasa suasana mencekam terbawa dari mimpi buruknya barusan.
Mira lalu membawa pecahan kaca dan bingkai yang sudah patah dan memasukkannya ke dalam tong sampah yang ada di dapurnya.
Kemudian ia mengambil segelas air putih dan segera meneguknya.
Hatinya gundah, ia mencemaskan suaminya.
Sudah dua hari Mas Dino pergi berburu di hutan bersama dua orang temannya, Andi dan Wendi.
Dino membawa Poni, anjing kampung peliharaan mereka.
Biasanya Mas Dino akan pergi selama tiga hari untuk berburu di hutan. Hasil buruannya akan ia jual untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Selain memang karena hobi, Mas Dino terpaksa sering berburu karena tuntutan ekonomi. suaminya itu hanya kerja serabutan.
Mas Dino sebenarnya berasal dari keluarga berada. Ia putera sulung dari dua bersaudara.
Ia terbuang dari keluarganya karena menikah dengan Mira. Keluarga Mas Dino tidak menyetujui menjalin hubungan dengan Mira.
Mira lalu kembali ke kamarnya dan ingin melanjutkan tidurnya.
Ia membaringkan tubuhnya ke tempat tidurnya. Ia berusaha untuk tidur dan memejamkan matanya.
Di luar, hujan masih turun dengan derasnya.
Mira berdoa semoga tidak terjadi apa- apa pada Mas Dino. Ia berharap mimpinya tadi hanya sebagai bunga tidur yang menghiasi tidurnya. Walaupun hatinya berkata lain. Ia punya firasat seorang isteri. Firasat buruk....
Tok.....Tok.... Tok...
Mira terlonjak dari tempat tidurnya, ia mengerjap- ngerjapkan matanya. Sinar matahari sudah masuk melalui celah- celah ventilasi di atas jendela kamarnya yang masih tertutup gorden, pertanda hari sudah siang.
Tok....tok...tok..
Terdengar lagi pintu rumahnya yang diketuk seseorang.
Mira bangun dari tempat tidurnya dengan terburu- buru, mungkin Mas Dino sudah kembali, pikirnya.
Ia segera membuka pintu kamarnya, dan dengan tergesa- gesa berjalan menuju arah pintu depan rumahnya.
" Mira.....Mira..." teriak suara yang sudah dikenal oleh Mira.
" Iya mbak Susi," jawab Mira sambil membuka pintu depan.
" Astaga Mira, kamu bikin mbak cemas aja. Tidak biasanya jam segini pintu rumah kamu masih tertutup," ucap mbak Susi, tetangga dekat yang tinggal di sebelah rumah Mira.
Mbak Susi adalah tetangga yang paling akrab dengan Mira. Mereka sering ngobrol bersama.
" Iya mbak, semalam Mira kebangun, kaget bingkai fotonya mas Dino jatuh. jadi Mira sibuk beresin pecahan kacanya."
Mira memandang keluar rumah, rumput dan tanah masih basah bekas guyuran hujan deras semalam.
" Masuk dulu mbak," tawar Mira pada mbak Susi.
Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam rumah sederhana milik Mira.
Mbak Susi duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu.
" Tunggu bentar ya mbak, Mira cuci muka dulu sekalian ambil minum buat mbak," ucap Mira berlalu menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur Mira.
Setelah mencuci muka dan menggosok giginya dengan terburu- buru, Mira lalu menuangkan segelas air dan membawanya ke depan.
" Diminum dulu mbak," ucap Mira.
" Makasih Mir, Dino belum kembali Mir?" tanyanya.
" Belum mbak, mungkin nanti siang atau sore. Biasanya kan tidak pernah lebih dari tiga hari Mas Dino udah balik."
"Mir, hati- hati...foto yang jatuh dari gantungan bukan pertanda baik. Mbak bukannya nakut- nakutin kamu. Banyak- banyak berdoa," mbak Susi menatap Mira dengan wajah berubah agak tegang.
" Mira juga perasaannya enggak enak Mbak, apalagi Mira semalam mimpi buruk," cerita Mira pada mbak Susi.
" Mimpi tentang apa Mir?" mbak Susi bertanya memandang Mira ingin tau.
" Serem banget mbak, mimpi tentang Mas Dino," sahut Mira.
Mira lalu mulai menceritakan semua mimpinya kepada mbak Susi, mbak Susi mendengar cerita Mira dengan tegang.
"Seharusnya kamu semalam langsung ke kamar mandi Mir, buang air kecil lalu siram dengan air yang banyak, kata orang tua jaman dulu sih biar mimpi buruk ikut kebuang supaya ga jadi kenyataan," ucap mbak Susi.
" Begitu ya mbak?"
" Tapi mbak ga tau juga Mir, segala sesuatunya udah diatur sama yang di atas, manusia cuma bisa berusaha dan berdoa," lanjut mbak Susi bijak.
"Kamu udah siang begini belum masak Mir, kamu enggak lapar?"
" Iya mbak gara- gara bangun kesiangan, tapi kalau Mas Dino ga di rumah Mira biasa asal masak aja mbak."
" Ya udah mbak balik dulu ke rumah, kamu tunggu bentar ya nanti mbak balik lagi ke sini, mbak tadi masak sayur asem," mbak Susi bangun dari tempat duduk.
" He...he...mbak Susi emang yang terbaik..."
" Nanti mbak langsung masuk aja ya, Mira mandi bentar," sambung Mira.
Mbak Susi balik ke rumah sementara Mira segera berlari menyambar handuk lalu buru- buru mandi.
Tak lama kemudian mbak Susi udah datang kembali membawa semangkok sayur asem yang dimasaknya tadi pagi. Ia juga menenteng nasi yang sudah dibungkusnya ke dalam kantong plastik.
Mbak Susi langsung masuk ke dapur untuk menaruh sayur asem dan nasi ke meja makan.
Ia kemudian menuang nasi ke dalam piring yang diambilnya dari dapur Mira.
"Ah..........tolong....
Mbak Susi terperanjat, terdengar teriakan dari dalam kamar mandi Mira.
" Mira...ada apa? buka pintu kamar mandinya, " panik mbak Susi.
Pintu kamar mandi terbuka, Mira menghambur keluar sambil lompat- lompat, wajahnya pucat seputih kapas.
"Tolong mbak, cicak.... ih....," teriak Mira.
" Cicak? ... mana cicak....," mbak Susi membantu mengibas- ngibaskan baju yang sudah dikenakan Mira.
"Plak....," seekor cicak jatuh ke lantai lalu kabur naik ke atas dinding dapur.
Mira menghapus air matanya yang sempat keluar karena ketakutan. Ia paling jijik dan takut pada binatang yang suka merayap itu.
"Duduk dulu Mir," mbak Susi menarik Susi untuk duduk karena kasihan melihat Mira yang gemetaran.
Mbak Susi lalu menuangkan segelas air dari teko yang ada di dapur Mira, lalu memberikannya pada Mira.
"Makasih mbak," Mira segera meneguknya hingga tandas.
" Ada pertanda apa ini?" mbak Susi berkata dalam hati, bagi sebagian orang kejatuhan cicak bisa berarti pertanda buruk.
Mbak Susi menggelengkan kepalanya, ia berharap ini hanya sebuah kebetulan. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk akan menimpa Mira.
" Kamu makan dulu Mir, itu mbak sudah bawakan kamu nasi sama sayur asem, ga usah terlalu dipikirkan," ucap mbak Susi yang melihat Mira diam termenung.
" Makasih mbak, Mira perasaannya tambah ga enak mbak. Mira kepikiran sama Mas Dino."
" Semoga mas Dino mu baik- baik saja Mir. Kamu makan dulu nanti malah masuk angin udah siang begini belum makan."
Mira lalu makan, ia bersyukur ada mbak Susi di sini menemaninya di saat hatinya sedang gundah tak terkira.
Setelah Mira selesai makan dan mencuci piring bekas makannya, mereka pindah ke ruang tamu, lalu duduk di sana.
" Dino ga menghubungi kamu Mir?"
" Di dalam hutan ga ada signal mbak, hp nya enggak aktif."
"Biasa mas Dino akan menghubungi kalau udah dalam perjalanan pulang mbak."
"Ya udah kamu yang sabar, mungkin bentar lagi Dino segera pulang," hibur mbak Susi.
Mira mengangguk dan berusaha berpikiran positif, ia berharap foto Mas Dinonya yang jatuh, mimpi buruknya semalam dan kejadian kejatuhan cicak bukanlah suatu pertanda buruk.
Ia berdoa dalam hati, semoga Tuhan selalu melindungi suaminya dan berharap keluarga mereka selalu dalam keadaan baik- baik saja.
"Makasih ya mbak sudah nemenin Mira, udah bawa makanan buat Mira."
" Ah kamu kayak kita baru kenal aja Mir, biasanya kan kamu juga begitu sama mbak," mbak Susi terkekeh.
" Beneran mbak, kalau hari ini ga ada mbak, Mira bisa gila...belum lagi gara- gara cicak ...."
"Udah ga usah dibahas, mbak juga senang kok nemenin kamu di sini...mbak juga kesepian di rumah, kamu juga tau sendiri mas Darto kalau kerja pulangnya suka malam."
Mas Darto adalah suami mbak Susi. mbak Susi hanya punya seorang anak laki- laki yang sudah bekerja dan merantau di Kalimantan.
" Bagaimana hubunganmu dengan mertuamu Mir, ada perkembangan?"
" Mas Dino sih sering menghubungi mama papanya mbak, tapi mereka masih belum mau menerima Mira."
" Mereka belum mau berbicara sama Mira, " Mira tertunduk sedih.
" Yang sabar ya Mir, kamu maka nya cepat punya anak, biasanya hati orang tua akan melumer kalau udah punya cucu," hibur mbak Susi sambil mengusap bahu Mira dengan lembut.
"Makasih mbak, doa kan yang terbaik buat Mira ya mbak...."
Sudah dua hari Dino bersama dua orang temannya, Andi dan Wendi berada di hutan tempat mereka berburu.
Tidak seperti biasanya, mereka belum mendapatkan satu hasil buruanpun, mereka bertiga akhirnya beristirahat kembali ke tempat tenda mereka dibangun.
Poni, anjing kampung peliharaan Dino yang memang selalu ikut bersama mereka di saat berburu pun terlihat lesu dan tidak bersemangat seperti biasanya.
Hawa terasa lebih dingin di dalam hutan, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Dino dan kedua temannya memeluk kedua tangan mereka di depan dada untuk mengurangi rasa dingin.
Poni tampak tidur dengan posisi menelungkupkan badannya, mungkin merasa lelah dua harian ini berlari dan mengendus tanpa mendapatkan hasil buruan.
Dino dan kedua temannya menyalakan api dari tumpukan kayu dan ranting kering yang mereka kumpulkan. Mereka membuat tungku kecil dari susunan batu.
Mereka mulai merebus air untuk memasak mie instan yang mereka bawa dari rumah, perut mereka terasa keroncongan dan minta untuk diisi.
Biasanya kalau hasil buruan mereka banyak, mereka akan makan hasil buruan mereka seperti tupai atau kelinci.
Mereka akan memanggangnya dengan hanya diberi bumbu garam dan kecap yang memang selalu mereka bawa.
Tapi kali ini jangankan buruan besar, seekor tupai pun tidak tampak ada di sana, mereka seakan- akan sengaja bersembunyi menghindari panasnya peluru senapan dari pemburu seperti mereka bertiga.
Dino menggigil, terasa dingin. Ia segera memakaikan jaketnya yang ia gantung di tali tambang yang mereka ikatkan di antara dua pohon.
Andi dan Wendipun merasakan hal yang sama, mereka menggigil kedinginan walaupun duduk mengitari tungku perapian yang mereka buat dari tumpukan batu, tetap saja tak bisa mengalahkan rasa dingin yang menusuk.
Andi dan Wendi mengikuti Dino mengambil jaket mereka dan segera mengenakannya.
" Dingin sekali hawanya bro....," celetuk Wendi.
" Mungkin malam ini mau turun hujan," jawab Andi.
Dino sibuk memasukkan mie instan ke dalam air panci yang telah mendidih, setelah mie mulai mengembang ia mengaduknya rata.
" Ayo bro kita segera makan," Dino membagi- bagikan mie nya menjadi empat bagian setelah menuangkan semua bumbu.
Dino pun menyisihkan satu bagian mie instan yang ia masak dan menuangkan di atas bungkus plastik kemasan mie instan buat Si Poni.
Poni pun segera terbangun setelah mencium bau masakan dan segera memakan mie bagiannya yang beralaskan plastik dengan lahap.
Hewan berbulu halus berwarna cokelat itu mengibas- ngibaskan ekornya, mie yang diberikan padanya itu segera ludes dimakannya.
Setelah itu ia kembali berbaring dan melanjutkan tidurnya.
Dino, Andi, dan Wendi juga sudah menyelesaikan makan mereka. Perut mereka sudah terisi kenyang.
Wendi mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkannya pada Andi. Dino tidak merokok.
Wendi dan Andi menghisap rokok mereka.
" Kenapa kali ini tak ada satu buruanpun yang terlihat ya?" ucap Dino.
" Iya bro, baru kali ini kita ngalamin kayak gini," sambung Wendi.
" Jadi besok kita langsung pulang atau gimana bro?" tanya Andi kemudian.
"Besok kita tunda kepulangan kita dulu, kita coba cari buruan lagi, masa kita pulang dengan tangan kosong?" jawab Dino.
"Aku setuju bro, lusa saja kita baru pulang dengan atau tanpa hasil," tambah Wendi.
" Oke sepakat..." ucap Andi sambil menghembuskan asap rokoknya.
Tiba- tiba terdengar suara petir menggelegar, hawa di dalam hutan itu semakin dingin.
Tidak terdengar suara seekor serangga pun yang biasanya selalu terdengar bila ada di dalam hutan.
Dino sendiri merasa heran, belum pernah merasakan di hutan kali ini tidak menemukan satu ekorpun hewan di dalamnya bahkan suara serangga sekalipun.
" Mungkin karena mau hujan," pikir Dino menepis rasa herannya.
......................................
Malam hari hujan deras mengguyur, Dino di dalam tenda tidur bersama Poni.
Sementara Andi dan Wendi tidur berdua di tenda satunya di sebelah tenda Dino.
Suara petir sambung- menyambung, mereka berharap semoga tenda mereka tidak kebanjiran.
Poni meringkuk masuk ke dalam selimut tuannya. Ia juga pasti merasa kedinginan.
.....................................
Keesokan harinya, setelah hujan semalaman mereka bersiap- siap.
Mereka mandi di sungai kecil yang ada di sekitar dekat mereka membangun tenda. Mereka memang sengaja mencari lokasi yang dekat sumber air.
Selain untuk memudahkan mereka mengambil air buat dimasak, mandi, juga untuk mencuci hasil buruan mereka nantinya.
Mereka bertiga sudah sering berburu di hutan- hutan belantara lain, tapi baru kali ini mereka masuk ke hutan ini.
Mereka mau mencoba peruntungan berburu di hutan ini karena banyak ditumbuhi pohon- pohon besar yang mereka pikir pasti menyimpan banyak hewan buruan di dalamnya.
Tapi tak seperti yang mereka bayangkan, dari hari mereka datang tak ada satupun hasil yang mereka dapatkan.
Setelah selesai mandi, mereka bertiga menyiapkan keperluan berburu mereka, senapan angin dan peluru, tali tambang, dan pisau belati lipat yang mereka selipkan di dalam kantong celana panjang mereka.
Setelah mengisi perut mereka dengan roti kering, mereka segera beraksi.
Poni sudah bersiaga, hewan berkaki empat itu tanpa dikasih aba- aba sudah tau apa yang harus ia lakukan.
Ia memang anjing pemburu yang hebat karena sudah terbiasa ikut dengan tuannya pergi berburu.
Ia memasang tajam pendengarannya dan mengendus dengan hidungnya yang terlatih.
" Sebaiknya kita berpencar dan ketemu nanti di tenda saat siang," kata Dino.
Ia bersemangat, kali ini mereka harus pulang dengan membawa hasil. Apapun hasil buruan mereka, asal bisa dijadikan uang.
Wendi dan Andi mengangguk lalu pergi menuju arah yang berbeda dengan Dino dan Poni.
Dino dan Poni mengambil arah sebelah kiri yang berlawanan arah dengan Andi dan Wendi yang mengambil arah ke sebelah kanan.
Dino menyusuri jalan, matanya mencari- cari. Ia menyiapkan senapannya. Poni berjalan di depannya.
Tiba- tiba Poni menggonggong, dia mengendus lalu berlari cepat ke arah bau yang sudah dikenalnya.
Dino berlari mengikuti Poni dari belakang, dan benar saja terlihat seekor kelinci yang sedang berlari menghindari mereka.
Kelinci itu sudah mencium bahaya yang mengancam nyawanya. Ia berlari...berbelok ke arah pohon- pohon besar.
Dino tambah bersemangat. Kali ini ia tidak akan pilih- pilih hasil buruan. Tidak ada kijang, babi hutan, kelinci pun jadi.
Kelinci itu terus berlari, Dino tidak ingin menyia- nyiakan peluru di senapannya. Ia akan menembak di saat yang tepat.
Poni dan Dino semakin dalam masuk ke hutan yang entah kemana ujungnya.
Dino tidak khawatir karena ia bersama dengan Poni, selama berburu Poni selalu bisa membawanya kembali pulang ke tempat titik kumpul mereka.
Kelinci itu menghilang dalam semak belukar, Poni terus mengendus dan ia seperti kehilangan jejak. Kelinci itu selamat...
Dino kecewa, setelah dua hari mereka berburu tanpa hasil ia bertekad hari ini ia harus mendapatkan hasil buruan.
Tiba- tiba Poni menegakkan kepalanya, ia seperti mendengar sesuatu. Ia menggonggong kencang. Ada sesuatu yang ia dengar, ia berlari diikuti Doni yang siap menembak di belakangnya.
Poni berhenti....ekornya berdiri tegak.
Dino memandang sosok di depannya dengan takjub....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!