Sejak dulu naga adalah makhluk yang ditakuti semua orang, hanya dengan raungannya itu membuat getaran menakutkan, ekornya dapat menghancurkan gunung dan nafas apinya mampu meratakan seluruh kehidupan yang dikehendakinya.
Hanya mendengar namanya semua orang ingin melarikan diri namun pada dasarnya saat naga muncul sulit untuk melakukannya.
Sebuah kaki besar yang terdiri dari cakar tajam menginjak orang-orang yang berlarian, itu membuat genangan darah yang mengerikan bercampur dengan aroma memuakkan yang tidak enak untuk dicium hidung, sepanjang mata memandang daging segar berserakan begitu saja, seorang pria telah kehilangan setengah tubuhnya dan berada di dalam akhir hidupnya dan sisanya tidak jauh berbeda dengannya bahkan beberapa juga harus terbakar menjadi debu.
Ini adalah sebuah neraka yang tak ingin dilihat siapapun. Di tengah kota yang terbakar seorang gadis berdiri melihat bagaimana orang tuanya telah tertimpa reruntuhan.
Itu hanya menyisakan tangan mereka dengan tubuh yang hancur menjadi serpihan daging.
"Ayah, ibu."
Seorang penjaga yang menyadarinya segera merangkul gadis tersebut untuk keluar dari kota.
"Lepaskan aku."
"Kau akan mati jika terus berada di sana."
"Biarkan aku mati."
Bola api tertuju pada keduanya, menyadari itu sang penjaga melemparkan gadis tersebut ke depan sementara dirinya terbakar menjadi debu.
"Gyaaaah."
Gadis itu menutupi mulutnya akan keterkejutannya, kakinya tak bisa berhenti gemetaran dan sekali lagi di melihat naga yang telah merebut segalanya darinya, naga itu sangatlah besar, berwarna merah menyala dengan tanduk dan sisik sekeras baja.
Membuang rasa takutnya gadis itu berlari ke dalam hutan, ia beberapa kali mengatur nafasnya namun seberapa keras dia melakukannya paru-parunya tidak dapat berjalan dengan normal, ia tersandung oleh akar pohon dan melihat bahwa lututnya telah berdarah.
Hal yang dia gumamkan selanjutnya hanyalah sebuah kebencian yang nyata yang mengalir dalam pikirannya. Matanya menjadi tajam dan darah mengalir dari ujung bibirnya dimana dia tanpa sengaja menggigitnya.
"Aku membenci naga."
Sejak itu gadis bernama Elizabeth tersebut hidup menyendiri di dalam hutan.
Dua tahun kemudian di dalam pondok yang ditinggalkan di tengah hutan, Elizabeth tengah menyiapkan makanan untuk dirinya, walau di dalam hutan ia tumbuh dengan baik seperti gadis pada umumnya, ia memiliki rambut pirang panjang yang diikat ekor kuda dengan pita, tubuhnya langsing dengan dua tonjolan besar dari gaun terusannya yang seolah tidak bisa menahannya untuk tubuh lagi.
Kulitnya putih dan dia diberkahi dengan wajah cantik yang membuat gadis seumurannya cemburu akan hal itu, tidak berlebihan jika itu bukan bentuk tubuh gadis berusia 18 tahun seharusnya.
Ia menuangkan sup ke dalam mangkuk dan memakannya dengan tenang.
"Hari ini aku tidak cukup menemukan bahan yang pas, sebaiknya aku mencari sesuatu di pinggir sungai saja."
Menyadari bahwa makanannya tidak terlalu enak membuat perasaan mual di wajahnya meski begitu Elizabeth memaksakan diri untuk menyantapnya sebagai mana aturan rumah yang berlaku.
Kau harus memakan apa yang kau buat ataupun dibuat orang lain meski rasanya tidak enak.
Itulah yang ibunya katakan padanya, jika dia mengingat masa-masa seperti itu sedikit membuatnya sedih, Elizabeth ingin segera pergi dari hutan ini namun dia masih harus menunggu sampai ia merasa bahwa dia sanggup melakukannya.
Yang dipelajari untuknya adalah dunia ini tidak selalu baik padamu, banyak orang jahat, monster bahkan naga, jika dia keluar itu hanya akan membuatnya dalam bahaya.
Setelah merapikan peralatan makan, Elizabeth meletakan sarung pisau di pinggangnya membawa keranjang kemudian keluar dari pondok, hanya perlu beberapa meter untuk sampai di sungai dan di saat dia sampai sesuatu mengejutkannya.
Di pinggir batu di mana air sungai melewati celah-celahnya, dia melihat seorang pria paruh baya tak sadarkan diri dengan darah mengalir di sekujur tubuhnya, karena ia mengenakan armor Elizabeth yakin bahwa dia seorang kesatria.
Ia memeriksa detak jantungnya dan yakin bahwa ia masih hidup.
Jika seorang tahu akan keberadaan dirinya mungkin seorang akan mengejarnya. Elizabeth menarik pisaunya hendak menikam jantungnya namun pada akhirnya dia mengurungkannya.
"Kurasa sebaiknya aku menolongnya."
Pria itu bangun dengan tubuh penuh perban, sementara dia mengerang kesakitan Elizabeth meletakkan makanan di atas meja.
"Kau sudah sadar, kau tak sadarkan diri selama tiga hari."
"Begitu, aku benar-benar berterima kasih karena telah menyelamatkanku."
"Aku ingin secepatnya mengusirmu dari rumah ini namun kurasa kau perlu cukup waktu memulihkan diri."
"Maaf merepotkan, lalu siapa nama Nona?"
"Elizabeth Highwel itulah namaku."
Pria itu dalam sekejap tahu bahwa gadis yang telah menyelamatkannya memiliki sifat buruk, ia tidak keberatan diperlukan seperti itu lagipula menolong orang asing begitu saja cukup mengejutkan untuk dilakukan oleh seorang gadis.
Dia memperkenalkan dirinya sebagai Leonardo dan bekerja sebagai seorang kesatria, ia tidak mengatakan lagi soal kenapa dia berada di sana dan ditemukan seperti itu, itu nyaris mencurigakan bagi Elizabeth namun dia memilih untuk mengabaikannya.
"Sebagai kesatria aku ingin mengucapkan terima kasih sudah menyelamatkanku dengan benar, kalau ada satu permintaan aku akan mengabulkannya selama itu masih berada dalam kemampuanku."
Elizabeth melirik ke arah pedang yang ditaruh di sudut ruangan.
"Tolong ajari aku teknik berpedang yang bisa membunuh seekor naga."
Mendengar itu Leonardo terbelalak terkejut, dia merasakan lukanya akan terbuka lagi jika dia memaksakan dirinya untuk bergerak.
"Aku tidak memiliki teknik seperti itu, namun jika berpedang untuk menjaga diri dari monster atau orang jahat kurasa aku bisa melakukannya, apa tak masalah."
"Tolong ajari aku."
"Setelah kondisiku membaik aku akan segera mengajarimu."
"Aku mengerti, kalau begitu silahkan dimakan."
Saat Leonardo memakan makanan buatan Elizabeth wajahnya memucat dan ia sedikit mual.
Itu jelas tidak enak.
"Apa aku harus buat makan malam juga?"
"Sebaiknya aku yang memasak aku tidak enak karena menumpang di sini lagipula aku cukup ahli memasak juga."
"Baiklah jika kau mengatakan itu."
Untuk pertama kalinya Elizabeth bisa menikmati makan malam enak biasanya.
Leonardo perlu tiga hari untuk memulihkan dirinya meski tidak berada dalam tahap dia bisa bertarung paling tidak ia bisa melatih Elizabeth untuk meningkatkan fisiknya.
"Sekarang lepas pakaianmu dan hanya mengenakan pakaian dalam saja."
"Kau berani juga pak tua, apa aku harus menusukmu sekarang."
"Jangan salah paham, ini latihan, latihan.. jika kau tidak ingin dilihat aku tidak masalah untuk tetap berada di dalam pondok, hal yang perlu kau lakukan adalah meningkatkan fisikmu termasuk ketahanan diri dalam lingkungan. Setiap pagi aku ingin kau berlari dari sini ke puncak gunung itu lalu kembali ke sini."
"Itu akan memakan waktu seharian."
"Jangan membantah lakukan saja dan aku akan menunggu di dalam."
Elizabeth memastikan bahwa Leonardo sudah masuk ke dalam rumah, ia melepaskan gaun terusan miliknya dan hanya menyisakan pakaian dalam sederhana untuknya.
Daerah pegunungan memiliki hawa dingin yang menusuk seolah tulang-tulangmu menjerit secara bersamaan, mengatupkan mulutnya Elizabeth mulai berlari.
Medan yang dilewatinya menanjak karena itulah semakin dia meningkatkan kecepatan maka beban yang diterimanya menjadi berkali-kali lipat sebagai balasan, jika dia berjalan ia akan mati kedinginan, keringat juga berfungsi untuk menghangatkan dirinya.
Tak hanya terfokus pada lari Elizabeth juga harus sesekali melawan hewan buas dalam perjalanannya dan dia baru bisa sampai di puncak setelah 10 jam dan harus kembali pada waktu yang sama. Ia tidur selama 4 jam dan kembali melakukan hal sama selama tiga bulan berturut-turut.
Ketika dia mulai bisa memangkas waktu dari yang dibutuhkan, sebuah beban akan ditambahkan di tubuhnya, sesekali Elizabeth juga harus telanjang bulat karena seluruh pakaian dalamnya kotor.
Ia mulai menyadari satu hal dari pak tua yang melatihnya.
"Orang itu benar-benar melatihku, sebenarnya apa yang dia ingin ajarkan padaku?"
Elizabeth membiarkan tubuh telanjangnya diguyur oleh air terjun, suhunya cukup membuat seseorang membeku namun baginya itu bukan masalah.
Dia mulai menyatu dengan hawa dingin tersebut yang bahkan membuatnya sedikit terkejut, setelah selesai membersihkan dirinya ia mengenakan kembali pakaiannya lalu berjalan ke arah pondok di mana Leonardo telah menunggunya.
"Aku sudah selesai dengan latihan fisikku lalu apa sekarang aku bisa berlatih pedang?"
"Tidak, sebelum itu aku ingin mengajarimu sebuah sihir."
"Sihir?"
"Selama ini tak hanya berlatih fisik aku juga ingin melatih hal demikian."
Leonardo mengarahkan tangannya dan dari sana sebuah lingkaran sihir muncul menghasilkan bola api yang berkobar ke udara.
Untuk pertama kalinya Elizabeth merasa berlari telanjang bukanlah hal sia-sia.
"Apa latihan yang kulakukan selama tiga bulan untuk itu?"
"Benar, aku ingin membiarkanmu terbiasa dengan sihir tapi bukan sihir api yang kumiliki melainkan membuatmu bisa menggunakan sihir es, bukannya kau ingin mengalahkan seekor naga jika api itu pasti kurang maksimal."
"Kau sungguh-sungguh ingin melatihku dengan sihir?"
"Sudah kukatakan aku hanya ingin berterima kasih dengan benar, sekarang aku akan mengajari apa yang kau butuhkan."
Elizabeth belajar berbagai pengetahuan umum tetang sihir, bagaimana energi yang disebut mana itu didapat dari tubuh dan luar serta bagaimana beberapa mantra digunakan.
Selama sebulan, itu berjalan lancar dan dalam waktu singkat Elizabeth mampu membekukan sebuah pohon dengan sihirnya.
"Dari sini aku akan melatihmu teknik berpedang."
"Mohon bimbingannya."
Keduanya menggunakan kayu sebagai ganti pedang.
"Perhatikan kakimu saat bergerak dan jangan alihkan pandanganmu pada pedang musuh."
"Dimengerti."
Setiap tebasan Leonardo menghasilkan rasa sakit kendati demikian Leonardo jelas menahan dirinya untuk membuat luka permanen di tubuh Elizabeth.
Dia seorang gadis jadi akan buruk jika ia memiliki bekas luka, paling tidak Leonardo juga ingin mengajarinya bagaimana mengantisipasi serangan.
"Sudah sore, latihan sampai di sini."
"Baik."
"Nah Elizabeth, aku tidak tahu apa yang telah kau alami tentang naga tapi sebaiknya kau belajar untuk menekan niat membunuhmu mungkin akan ada seseorang yang salah paham tentang itu."
Elizabeth mengangguk mengiyakan sebagai jawaban.
Tiga bulan dia gunakan untuk melatih tubuhnya, satu bulan untuk belajar sihir dan dua bulan untuk berlatih pedang. Ini adalah akhir dari latihannya, entah Leonardo atau Elizabeth akan berpisah sekarang.
"Maaf mengambil banyak waktu untukku."
"Tak usah sungkan, enam bulan bukan waktu yang lama.. ah benar, jika kau punya waktu paling tidak mampirlah ke ibukota kerajaan Tarnes, aku akan menyambutmu di sana."
"Aku akan memikirkannya."
"Apa kau masih mencoba mencari sesuatu untuk membunuh naga."
"Tentu saja, satu hal yang ingin kulakukan hanyalah itu."
"Dendam tidak akan menyelesaikan apapun aku harap kau bisa merenungkannya."
Elizabeth hanya melambaikan tangannya lalu berjalan pergi ke arah jalan berbeda yang diambil Leonardo.
"Gadis itu bahkan setelah dilatih sifatnya tidak ada imut-imutnya, aku ingin tahu akan seperti apa dia."
Elizabeth menemukan dirinya berada di sebuah kota indah dengan tembok mengelilinginya, setiap orang yang datang mengantri di depan gerbang selagi mengisi formulir pendaftaran.
"Namamu?"
"Elizabeth Highwel."
"Apa keperluanmu datang kemari?"
"Aku ingin mencari pekerjaan untuk melanjutkan perjalananku kembali, aku sebelumnya tinggal di tempat terpencil."
"Pasti sulit, tinggallah selama yang kau suka."
"Terima kasih, aku tidak memiliki uang untuk mendaftar."
"Jangan khawatir kami tidak keberatan."
Elizabeth mengangguk mengiyakan dan para penjaga mengizinkannya. Banyak orang yang telah kehilangan rumah mereka karena naga jadi hal seperti ini bukan sesuatu yang langka terjadi.
"Selanjutnya."
"Baik."
"Namamu?"
Elizabeth mengabaikan perkataan di punggungnya dan melihat bagaimana kota yang menakjubkan ditampilkan di depan wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!