Alexandria Setiady
Alexa sedang menatap laptop di meja kerjanya ketika bunyi pintu kaca di ruangannya terbuka dengan kasar. Matanya mengernyit di balik lensa kaca mata berbingkai hitam itu ke arah suara yang mengganggu konsentrasinya.
Di hadapannya berdiri Dirga Pangestu yang merupakan Assistant Head of Business Analyst orang tertinggi kedua di ruangan itu dengan membawa sebundel dokumen yang langsung dilempar kasar ke meja Alexa.
Alexa menjauhkan jemarinya dari keyboard dan menutup layar laptop, menaikan kaca mata berbingkai hitamnya ke atas kepala dengan tatapan datar menatap Dirga yang telah menghempaskan tubuhnya di sofa di depan meja kerja Alexa.
Kenapa lagi ini, batin Alexa.
“Pusing gue," ujar Dirga sambil mengusap kasar rambutnya.
Pelan Alexa mengambil dokumen yang tergeletak di atas mejanya. Membaca judul dokumen itu dan langsung tersenyum tipis. Meletakan kembali dokumen itu tanpa membuka lebih lanjut ke halaman lainnya.
“Ditolak?” tanya Alexa ke laki-laki bertubuh agak gempal di depannya itu.
“Yah ga ditolak sih, tapi minta revisi. You know lah Lex," jawab Dirga kesal.
“Parahnya, mereka kira kita lagi mencoba menggiring opini agar Core Team menunda proyek ini!" terang Dirga berapi-api.
Alexa diam dan tak menyahut. Dia sudah hapal dengan bagian Business Development yang selalu dikejar target untuk meng-goal-kan lead baru tanpa pertimbangan data yang telah disajikan oleh timnya.
“Lo revisi ya, Lex!" perintah Dirga sambil berusaha mengangkat tubuhnya dari sofa dan langsung berjalan ke arah pintu kaca tanpa menghiraukan Alexa yang langsung melongo.
Belum sampai tangan Dirga meraih handle pintu kaca itu terdengar suara Alexa yang hampir setengah berteriak.
"Loh..kok gue sih Ga? Ini masih banyak kerjaan gue yang deadline. Belum lagi periksa kerjaan Rico CS," tolak Alexa sambil tergesa beranjak dari kursi kerjanya.
“Lex, kalo gue ada waktu ga akan minta elo yang revisi. Kan elo tau, gue mesti nungguin nyokap di RS. Ga keburu gue ngerjainnya," jelas Dirga.
Mendengar alasan Dirga, hati Alexa luluh. Dia tahu kalau Ibu Dirga sudah hampir satu bulan rawat inap di rumah sakit setelah kecelakaan. Sambil menghela napas, Alexa membalikan badan untuk kembali ke meja kerjanya. Melihat hal itu Dirga tersenyum.
“Thanks ya Lex, revisinya ditunggu besok pagi," ujar Dirga dari depan pintu kaca yang belum sempat ia buka.
“Hah!! Besok pagi!” jawab Alexa menepuk jidatnya sendiri. Sementara Dirga telah beranjak kembali ke ruangannya sendiri.
Alexa segera membuka laptopnya kembali dan mencari file data analyst proyek take over perumahan di daerah Bandung Selatan di share folder timnya. Mencermati semua data yang tertera di tiap sheet, membaca ulang semua dengan teliti. Tidak ada data yang bisa dipoles agar terlihat bagus untuk sekedar menyenangkan hati Pak Nugraha sang pimpinan Business Development yang terkenal ambisius.
Dia tidak berniat merevisi data sebelumnya, tetapi membuat kajian baru dari sudut yang berbeda dan menambahkan beberapa hints yang bisa jadi pertimbangan dan jalan keluar jika terjadi beberapa hal yang bisa membuat kerugian pada proyek tersebut.
Hal ini membuat Alexa harus bekerja ekstra dan tentu saja membuat dia terpaksa mengabaikan makan malamnya yang telah dipesankan oleh Ninda sang sekretaris sebelumnya. Alexandria memang seorang workaholic yang sangat bertanggung jawab dan bisa diandalkan oleh Theo dan Dirga.
“Selamat malam Mbak Alexa, hati-hati di jalan!” ucapkan Pak Sobri kepala security yang bertugas jaga di kantornya pada malam itu ketika Alexandria yang terlihat melambaikan tangan sambil tersenyum dan melangkahkan kaki memasuki mobil berlogo Brahmana Corp. yang akan mengantarkannya pulang ke apartemennya.
“Lembur lagi, Mbak?” sapa Pak Nanang ketika Alexa sudah duduk di jok belakang mobil sedan itu.
Alexa hanya mengangguk. “Langsung pulang aja ya Pak, saya sudah ada makan malam," ujar Alexa sambil menunjukan meals box makan malam yang belum disentuhnya.
“Siap!” ujar Pak Nanang sambil melajukan mobil sedan itu ke jalan raya menyatu dengan kendaraan lain yang masih memadati jalanan ibukota sementara Alexa terlihat duduk nyaman dan mulai memejamkan mata.
Setelah hampir satu jam Alexa sampai di apartemennya. Alexa terbangun setelah sayup - sayup mendengar suara yang memanggil namanya.
“Sudah sampai ya? Makasih Pak Nanang," ujar Alexa sambil mengambil tas dan meal boxnya yang tergelak di sebelahnya.
Langkah kecil Alexa di lobby apartemen diikuti oleh tatapan security yang sedang berjaga yang masih sempat melemparkan senyum ke arah Alexa saat ia melakukan prosedur pengecekan seperti biasa. Walaupun sudah hafal dengan hampir semua penghuni apartemen berlantai 20 ini, tapi Alexa menjadi salah satu penghuni favoritnya karena sikapnya yang patuh dan tidak mempersulit pekerjaan para security di sana.
Sampai di kamar apartemennya di lantai 10, Alexandria memencet kombinasi angka untuk akses masuk, meraba dinding sebelah kiri dan mencari saklar lampu, mulai berjalan ke meja makan meletakan tas dan meal box-nya. Ia kemudian membuka pintu kulkas untuk mengambil air minum dan kembali ke meja makan memulai makan malam yang sudah sangat telat.
Hufftt!
Alexa menghembuskan napas kasar.
Tidak terasa beberapa hari pekerjaan kantor sangat menguras tenaganya, karena atasannya Theo sedang cuti dan Dirga wakilnya sedang mendapat musibah sehingga otomatis dia harus mengambil alih beberapa pekerjaan yang sedang kejar tayang termasuk memperbaiki analisa proyek take over apartemen tadi.
Eh…tapi kan besok sudah hari Jumat!! Yippiie….weekend is on the way senangnya, gumam Alexa dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
Walau pun dia seorang pekerja keras tapi Alexa sangat tahu cara balancing life, begitu kira-kira istilahnya. Ada waktunya bekerja mengejar rupiah tentunya harus ada waktu untuk menikmati hidup. Memanjakan diri, me time kata anak sekarang. Mewujudkan semua bucket list-nya tahun ini.
Pekerjaan dan bucket list itulah hidupnya selama lima tahun belakangan ini, tidak ada yang lain termasuk memikirkan pendamping di usianya yang sudah mencapai kepala tiga.
Pendamping? Ah..sudahlah.
Alexa selalu membuang jauh semua hal yang berbau 'pendamping'. Dia tidak mau terlalu memikirkan hal yang telah dikuburnya hampir lima tahun lamanya,
Ya. Kegagalan pernikahannya lima tahun lalu dengan Mahesa, yang telah menjalin cinta monyet sejak masa SMA dengan segala lika-liku. Sempat putus ketika tahun awal kuliah karena berbeda kota dan kesibukan sebagai mahasiswa membuat komunikasi menjadi faktor utama renggangnya hubungan mereka.
Bertemu lagi ketika masa magang di perusahaan yang sama walau pun beda divisi. Menumbuhkan kembali benih cinta di awal masa kedewasaan dan memutuskan LDR setelah menyelesaikan masa magang sampai sama-sama menamatkan kuliah. Keputusannya untuk meninggalkan kota kelahirannya dengan menerima tawaran kerja di kota yang sama dengan kekasihnya.
Pekerjaan sebagai sekretaris Theo yang merupakan suami dari sahabatnya Arika. Tiga tahun lamanya setelah tinggal di kota yang sama dengan Mahesa yang telah sukses menata karir di salah satu Bank BUMN Alexa memutuskan untuk mewujudkan pernikahan dengan satu-satunya lelaki yang mengisi hatinya.
Semua orang pasti beranggapan bahwa hubungan Alexa dan Mahesa sudah sangat jauh mengingat lamanya masa kebersamaan mereka. Apa lagi jaman sekarang di mana hubungan pacaran bisa sangat terbuka, pergaulan bebas bukan hal yang mengejutkan di kota Jakarta. Namun itu tidak berlaku pada Alexa, selama bersama Mahesa dari jaman cinta monyet sampai cinta gorilla pun mereka hanya saling berpegangan tangan selama jalan atau nonton.
Berpelukan dan mengecup kening atau pipi saat hari special atau saat salah satu dari mereka sakit atau sedih. Bukannya Mahesa tidak pernah mencoba menggodanya meminta lebih tapi Alexa dengan manis selalu mampu menolaknya. Bukan sok suci atau berlagak religius, baginya semua ada porsi dan waktunya, saatnya tiba pasti dengan suka hati ia akan menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk kekasih hatinya itu.
Flashback lima tahun yang lalu.
Di hari bahagia itu Alexa telah sangat siap menjadi istri Mahesa. Hampir seluruh keluarga mereka telah hadir di kota kelahiran Alexa. Cukup banyak keluarga Mahesa yang hadir walau pun tidak semua. Mengingat sebagian keluarganya di pulau Jawa sudah tidak ada lagi yang tinggal di Pulau Sumatera karena memang orang tua Mahesa yang juga bekerja di BUMN selalu berpindah tugas. Hanya tiga tahun selama SMA Mahesa tinggal di kota kelahiran Alexa.
Semua terlihat sangat bahagia, Alexa terlihat sangat manis dalam balutan kebaya tradisional dengan cepol cantik di kepalanya. Semua sudah siap, bahkan jadwal rencana bulan madu telah terancang rapi untuk keesokan harinya mengingat Alexa dan Mahesa hanya mendapat cuti satu minggu dari pekerjaan masing-masing.
Sudah waktunya, tinggal satu helaan napas lagi. Rapal janji suci itu saja, maka kita akan menyatu gumam Alexa dalam hatinya sambil memejamkan mata menghirup napas dalam.
Ragu ia membuka mata dan memalingkan wajahnya ke sumber suara yang memecah kehenginan momen sakralnya.
"Hentikan!"
Teriak seorang wanita tinggi semampai yang berlari mendekati Mahesa dan langsung memeluk lelaki itu. Semua mata tertuju ke adegan yang seperti sebuah sinetron bersambung di TV. Lama sekali Alexa membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang sedang terjadi, sampai kemudian Anthony adiknya menarik paksa tubuh Mahesa ke luar ruangan yang disusul oleh Agung ayahnya dan wanita itu.
Alexa hanya terpaku terdiam sekian lama dan kemudian segera memaksa tubuhnya untuk menggapai ruangan di mana Anthony, Mahesa dan beberapa keluarga inti mereka berada.
Sayup-sayup dari luar ruangan Alexa mendengar kata-kata setengah terisak dari wanita itu.
"Aku hamil!"
Deg!
Dada Alexa sesak naik turun dengan, tangannya menekan dadanya. Mahesa mencoba meraih tubuh Alexa tapi Anthony menghalanginya. Tatapan Anthony sangat geram, tangannya mengepal siap untuk menghajar Mahesa.
“San...," ujar Mahesa dengan suara putus asa.
Hah Sandra, nama kecil panggilan sayang Mahesa untuknya yang selalu bisa meluluhkan hatinya, tapi tidak kali ini.
“Ini bohong 'kan, Sa? Kalian bercanda 'kan?” cercanya ke arah lelaki yang terlihat kusut dan tidak berani menatap kepadanya.
Riak di ujung mata itu sudah tidak bisa ditahan. Kebisuan lelaki itu telah menjawab semuanya. Tubuh Alexa yang seperti sedang terhisap ke dalam pusaran air yang sangat deras segera dirangkul oleh Marina ibunya.
Marina mendekap putrinya itu dengan erat mencoba mengalirkan energi agar ia kuat menghadapi kenyataan ini. Agung tampak berusaha kerasa menahan emosinya, sangat terlihat dari raut wajahnya yang menegang.
Sementara Anthony sudah tidak bisa menahan lagi, sebuah pukulan mendarat di wajah Mahesa yang membuat lelaki itu sempoyongan.
Entah apa yang terjadi setelah itu, Alexa sudah tidak memmedulikan. Saat matanya terbuka perlahan, ia mendapati tubuhya telah terbaring di sebuah kamar yang banyak dihiasi bunga - bunga yang cantik.
Kemudian ia memalingkan wajahnya ke arah sebuah tangan yang tengah memegang tangannya, perlahan manik matanya menangkap bayangan seorang perempuan yang sangat ia kenali.
"Arika!" pekiknya sambil menghamburkan diri ke pelukan sahabatnya itu.
Ya. Alexa sangat membutuhkan pelukan hangat dari sahabatnya itu, tak ada suara hanya dalam hening mereka berpelukan seolah batin mereka telah berdialog tanpa kata.
Setelah membersihkan diri, Alexa menyusul Arika yang telah turun terlebih dahulu untuk makan malam. Sayup ia mendengar percakapan setengah berbisik antara Arika dan Marina. Dia kemudian tahu jika Mahesa dan Arumi nama wanita itu, telah lama menjalin hubungan di belakangnya dan mereka akan segera menikah kemudian pindah ke Kalimantan tempat tugas Mahesa yang baru.
Entahlah kenapa hatinya tidak terlalu sakit mendengarnya, apa secepat itu ia bisa melepaskan. Alexa memang seperti Agung ayahnya yang tidak terlalu menampakan emosinya.
Lamunannya buyar ketika Anthony menepuk pundaknya.Mereka pun turun dan bergabung untuk makan malam. Setelah selesai menyantap makan malam, Alexa mengemukakan keinginan untuk kembali ke Jakarta bersama Arika dan melanjutkan hidupnya.
Keluarganya sangat mengerti dengan keadaan Alexa. Meraka sangat bersyukur kejadian yang tak terduga beberapa jam yang lalu itu tidak membuat Alexa mengambil jalan yang membahayakan diri sendiri. Mereka juga sangat percaya dengan bersama Arika sahabatnya Alexa tidak akan sendiri.
Devon Brahmana Putra
Di sebuah apartemen di sudut kota Melbourne, Devon Brahmana Putra yang sengaja dikirim oleh Edward Brahmana untuk kuliah bisnis manajemen di Negeri Kanguru itu agar kelak dia bisa membantu usaha Brahmana Corp bersama kedua kakaknya, masih tertidur pulas setelah menghabiskan malam panjang dengan teman-temannya di sebuah klub malam.
Pemandangan ini bukanlah hal yang baru, alih - alih serius menempuh pendidikan, Devon yang dari kecil selalu dimanja oleh ibu dan omanya malah tidak memedulikan semua target yang telah diberikan oleh ayahnya. Devon tidak terlalu tertarik dengan dunia bisnis, impiannya adalah menjadi seorang pilot pesawat tempur, namun tidak pernah disetujui oleh orang tuanya.
Drrrt drrttt drrtt!
Terdengar getar suara panggilan di handphone Devon yang terletak di dekat meja kecil di sebelah ranjangnya. Entah di deringan keberapa, jerit telepon pintar tersebut berhasil membuat kesadarannya terusik. Dengan mata yang masih terpejam, tangan laki-laki itu berusaha menggapai benda pipih itu dari atas meja, meraba - raba dengan kasar sehingga membuat alat komunikasi tersebut terjatuh ke lantai parket kamarnya.
Shit! Siapa sih yang mengganggu pagi-pagi begini. Umpat Devon dalam hati.
Dengan malas dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya yang bertelanjang dada dan menurunkan kakinya dari ranjang besar itu kemudian membungkuk meraih handphone yang tergelatak di dekat kaki meja. Dengan gusar dia melihat layar smartphone berlambang buah sompel itu.
Terlihat banyak notifikasi dari semua platform social media yang ia punya. Tanpa membaca lebih jauh Devon membuka notifikasi miscalled dan mendapatkan ada panggilan tidak terjawab dari 'Bawel 1', panggilan Devon untuk Natasya kakak perempuannya.
Drrt drrt drrt!
Handphone itu kembali bergetar dan Devon menekan tanda terima panggilan dengan mimik muka malas dan mata yang hampir terpejam kembali.
“Devon!! Kamu di mana? Mbak telpon dari kemaren ga diangkat, WA ga dibales. Kamu ngapain lagi sih? Ga tau kalo daddy lagi cariin kamu? Kok kamu diam aja? Kamu kenapa? Sakit?”
Tanpa jeda Natasya memberondong Devon dengan segudang pertanyaan.
Devon selalu membuat Natasya khawatir. Ulah apa lagi yang dia lakukan sampai sampai Edward ayah mereka memerintahkan Natasya untuk menjemput paksa adik bungsu kesayangannya tersebut agar segera pulang ke Jakarta.
Kesibukan Riana mamanya yang juga berkecimpung dalam bisnis keluarga tersebut benar - benar telah menyita banyak waktunya sehingga kadang terlupa akan perkembangan kuliah anak bungsunya. Akhirnya Natasyalah yang selalu mendapat tugas memeriksa Devon karena memang mereka lebih dekat satu sama lain. Berbeda dengan Adrian kakaknya yang sudah angkat tangan dengan kebandelan adiknya tersebut sejak zaman SMA.
“Hmmm," jawab Devon sekenanya dengan nada malas.
Hal tersebut membuat Natasya langsung mengalihkan panggilan ke video call. Melihat Devon yang masih bertelanjang dada dan muka mengantuk di kamar tidur pada hari kuliah benar-benar membuat Natasya kehabisan kata-kata.
“Devon, dengar! Mbak sudah ga bisa handle Daddy ya. Kamu kenapa lagi sih? Daddy minta kamu sekarang balik ke Jakarta," ucap Natasya.
“What the hell!" ucap Devon terkejut. "Ah ga mau.. males. Devon kan masih kuliah Mbak. Masak balik. Daddy kangen aja kali. Bilang aja, ntar libur semester Devon pulang ya," rayu Devon dengan menampilkan senyum tak berdosanya.
“Kuliah apa Devon, ini sudah hampir empat tahun dan kamu masih gitu - gitu aja ga ada tanda-tanda mau tamat," ujar Natasya lagi.
Dari kejauhan terdengar tangis anak kecil memanggil-manggil ibunya.
"Mommy mommy hiks hiks hiks!"
Natasya memalingkan mukanya dari layar HP ke arah suara anak kecil tersebut. Ternyata itu Michiko anaknya yang sedang merajuk berlari kecil ke arahnya.
“Devon, Mbak tutup dulu ya. Nanti mbak telpon lagi," ujar Natasya memutuskan sambungan telepon tersebut.
Saved by the bell*!*
Devon girang dan langsung melempar HP tersebut ke atas ranjang.
Terlepas dia dari omelan kakaknya untuk hari ini. Perkara perintah Edward Brahmana yang meminta dia untuk pulang nanti saja dipikirkan. Begitu gumamnya dalam hati.
Seperti itulah Devon, anak bungsu manja dari keluarga kaya yang selalu menggampangkan segala sesuatu.
Sejak cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur dihalangi oleh orang tuanya, membuat Devon menjadi seenaknya dan pembangkang. Paksaan kedua orang tuanya agar Devon mengambil kuliah manajemen bisnis ia diterima dengan segala macam persyaratan. Salah satunya dia hanya mau kuliah di luar negeri. Tujuannya satu yaitu kebebasan. Bebas dari keluarga yang selalu mengatur hidupnya tanpa pernah menanyakan apa yang dirasakan oleh anaknya.
Devon mulai bergerak ke kamar mandi dan berniat untuk menyegarkan tubuhnya yang ternyata masih diselimuti bau rokok dan alkohol. Hampir setiap hari dia begitu. Tidak terlalu serius kuliah, Devon lebih sering nongkrong dengan teman-temannya di café atau klub malam. Gonta ganti teman kencan, berlibur bersama, pesta, menjajal olah raga esktrem dan kegilaan lainnya yang tentu bisa dilakukannya dengan mudah. Karena sokongan keuangan dari Riana ibunya yang selalu mengirim uang esktra setiap kali Devon kehabisan dana yang sengaja dibatasi oleh ayahnya.
Dan benar saja, sebulan kemudian Devon sudah kembali ke Jakarta. Dengan terpaksa tentunya. Bagaimana tidak, semua akses keuangannya ditutup oleh ayahnya, sementara ibu dan kakak-kakaknya sudah tidak bisa berbuat apa - apa lagi. Semua urusan administrasi kuliahnya telah diurus oleh ayahnya untuk dipindahkan ke Jakarta
dengan jurusan yang sama tentunya.
Ruang keluarga itu menjadi ruang pengadilan dadakan buat Devon. Dia duduk di sofa single yang menghadap ke arah beberapa sofa panjang yang berjejer di depan samping kiri kanan meja kayu berlapis kaca yang telah dipenuhi beberapa cangkir teh. Formasi lengkap, bahkan kedua kakak iparnya, Katharina istri dari Adrian dan Keitaro suami dari Natasya pun ada tak terkecuali kakeknya Brahmana Sailendra.
Mengapa tidak sekalian saja Marcel dan Michiko ikut gumam Devon dalam hati.
Devon sudah bisa membaca situasi yang akan terjadi setelah ini. Tidak mungkin ia mengeluarkan jurus sok manja kepada Riana dan Natasya, dia akan kehilangan harga dirinya. Apa pun yang akan terjadi dia akan menyuarakan hatinya. Dia bukan anak kecil yang bisa diatur lagi, dia sudah berumur 22 tahun.
Dia mau hidup yang sesuai dengan keinginannya. Bukan skenario yang telah tersusun rapi dari keluarganya lebih tepat lagi ayahnya. Walau posisinya tawar, penutupan akses keuangan sudah cukup membuatnya tidak berkutik. Tapi dia sudah bertekad untuk membuat sebuah kesepakatan.
“Ok, aku akan magang di Brahmana Corp. dan melanjutkan kuliah di sini. Setelah itu aku akan buktikan kalau aku bisa menangani proyek di Brahmana Corp. Tapi dengan satu syarat, jangan atur kehidupan pribadiku!" balas Devon setelah mendengarkan keputusan keluarga yang disampaikan Adrian kakaknya.
“Devon, yang sopan kalo bicara dengan orang yang lebih tua!" ujar Natasya langsung menegur Devon setelah melihat gelagat Edward ayahnya makin terlihat jengkel.
Riana langsung mengusap lembut tangan Edward suaminya ketika Edward akan membalas ucapan Devon, menahan agar lelaki itu tidak naik darah yang akan berakibat buruk terhadap hipertensi yang dia idap.
Devon mengangkat tubuhnya dari sofa itu dan langsung meraih handle pintu tanpa melihat lagi ke belakang. Ia merasa sudah cukup mendengarkan semua penghakiman dan hukuman yang harus dia jalani. Adrian terlihat berdiri untuk menyusul Devon namun suara Brahmana Sailendra menghentikan langkahnya.
“Biar saja, tak usah kau kejar dia Adrian," ujarnya sambil memainkan cincin di jarinya.
"Setidaknya dia sekarang sudah ada di sini. Pastikan saja dia memulai magang dan kuliahnya dengan benar. Buat dia sibuk, jadi tak ada waktu untuk bergaul dengan teman-temannya yang kacau itu," tambah Brahmana Sailendra.
Ruang keluarga itu kembali sunyi, semuanya sibuk dengan lamunan masing-masing. Memang di antara ketiga keturunan Brahmana itu hanya Devon yang susah diatur. Berbeda dengan Adrian dan Natasya yang hampir tidak pernah membantah dan mengecewakan kakek dan orang tuanya bahkan untuk urusan jodoh sekali pun.
Apakah karena jarak umur Devon yang cukup jauh dari Adrian dan Natasya, entah karena kasih sayang yang berlebihan yang dia terima dari kakek neneknya dulu? Tapi bukankah hampir di setiap keluarga ada saja yang seperti itu?
Am single and am very happy
Tap tap tap!
Alexa berlari kecil menuju lift karyawan yang akan membawanya ke lantai 12 tempat tim Business Analyst berkantor. Tentu saja hari Senin adalah hari yang sangat fresh baginya karena selama akhir pekan dia telah mengisi ulang tenaganya. Weekend adalah waktu yang dipergunakan oleh Alexa untuk me time dan memenuhi *bucket list-*nya.
Ritual itu dimulai dari Jumat malam sampai Minggu malam. Jumat lalu dia hangout dengan Ninda sang sekretaris dan Femi si anak analyst officer yang baru bergabung satu tahun di timnya di sebuah café di daerah Kemang yang sedang menampilkan private show salah satu penyanyi favoritnya.
Walau pun mereka bertiga memiliki beda umur yang cukup jauh terutama dengan Alexa, tapi perawakan Alexa yang kecil dan wajahnya yang awet muda serta gayanya yang kasual membuat mereka seperti tiga dara yang seumuran. Jabatan Alexa yang lebih tinggi pun tidak mejadi penghalang untuk mereka bercengkrama di luar jam kerja melepaskan segala atribut dunia kerja mereka.
Sabtunya dia melanjutkan latihan muay thai di fitness center apartemen. Malam minggu dihabiskannya dengan nonton beberapa serial TV favorit yang tidak sempat ditonton selama hari kerja. Kesukaannya adalah Criminal Mind dan sejenisnya, sesekali drama korea yang sedang hits mengikuti hasil referensi dari Ninda dan Femi tentunya.
Minggu pagi beberes apartemen dan belanja ke super market atau mall yang terdekat dan kemudian dilanjutkan dengan relaksasi di spa langganannya bersama sahabat terbaik Arika.
What life! I am single and I am very happy.
Sebenarnya ada beberapa kali Theo dan Arika mencoba menjodohkan Alexa dengan kenalan mereka tapi Alexa selalu tidak menganggap serius para lelaki tersebut. Tak jarang juga beberapa bos dan karyawan dari divisi lain mencoba menggodanya karena penasaran dengan sikap pendiam Alexa terhadap orang di luar tim analyst.
Ya benar, yang tahu sifat asli Alexa hanya timnya di business analyst. Di luar itu ia akan bersikap seperti seorang wanita karir yang serius, miskin ekspresi dengan pemilihan kosa kata baku yang kaku.
Begitu juga ketika dia ditawari untuk pindah divisi, Alexa menolak karena dia sudah sangat nyaman dengan Theo. Memulai karir sebagai sekretaris Theo kemudian perlahan belajar cara menganalisa data perusahaan sampai kemudian dia bisa sampai di posisi supervisor.
Tak jarang ada saja suara nyinyir yang menggosipkannya di belakang jika dia dan Theo ada hubungan khusus, tapi Alexa menanggapinya santai, begitu juga dengan Theo dan Arika. Hal itu tidak membuat persahabatan mereka retak. Alexa tau rasanya dikhianati sehingga dia tidak akan menyia-nyiakan tulus persahabatannya dengan Arika, bahkan Theo sudah menganggap Alexa sebagai adiknya sendiri.
Tim inilah yang tau persis keterpurukan Alexa dari pengkhianatan Mahesa. Bagaimana ia bangkit menjadi pribadi yang lebih baik, kuat dan tidak meratapi takdir. Theo dan Arika yang membuka wahana cara berpikirnya untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Tapi mungkin agak sedikit over dosis karena Alexa jadi terlalu menikmati hidup dan lupa untuk memiliki pendamping.
“Morning..Guten Morgen..Annyunghaseyo…sugeng enjing!” sapa Alexa dengan suara cempreng ketika memasuki kantor Tim Business Analyst dengan senyum yang merekah.
Walau pun salamnya hanya dijawab sekilas oleh beberapa timnya yang terlihat sedang (sok) sibuk membuka PC dan laptop masing-masing, Alexa sudah maklum dengan monday madness syndrome momok para pekerja kantoran itu yang tidak berlaku untuknya. Dengan langkah riang ia menuju ruang kaca tempat dia menghabiskan waktu kerjanya dari Senin sampai Jumat.
Ruang kaca yang diberi sandblast atau stiker khusus, sehingga membuat ia tidak bisa melihat kehadiran sosok laki-laki yang sudah duduk di kursi meja kerjanya. Langkah Alexa terhenti begitu melihat pemandangan tak biasa itu, dengan mulut yang melongo dan raut muka bloon dia perlahan melakukan moon walk dan melepaskan handle pintu yang telah ia buka perlahan agar tertutup lagi.
Membalikan badan kemudian menatap seluruh ruang yang terdiri dari beberapa kubikel sebagai pemisah meja kerja para analyst di tim tersebut. Semua diam tidak menghiraukan sorot mata penuh tanda tanya Alexa, bahkan sebagian dari mereka pura-pura tidak melihat.
Siapa laki - laki asing yang sedang duduk di sana!?
Alarm tanda bahaya di kepala Alexa langsung bereaksi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!