NovelToon NovelToon

The Assassin'S Transmigration

Familiar Namun Asing

"Kau tidak akan pernah bisa merencanakan masa depan di masa lalu." —Edmund Burke

'Aroma yang harum.'

Bau harum ruangan memasuki Indra penciuman Evelin. Dia sedikit menggeliat saat mencium aroma asing di hidungnya.

'Aku yakin tidak menyemprotkan pengharum ruangan.'

Evelin mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba membiasakan matanya terhadap sinar matahari yang menembus gorden.

Dia bangkit dan menggeliat, merilekskan tubuh yang kaku. Setelah beberapa menit mengumpulkan kesadarannya Evelin melihat sekeliling ruangan.

'Ini.. di mana?'

itu adalah ruangan yang di dominasi warna hitam dan putih. Di dinding terdapat foto seorang gadis dengan berbagai pose dan ukuran.

Evelin mengambil foto yang terletak di atas nakas. Itu adalah foto ukuran 3R dengan bingkai warna putih. Gadis dalam foto tersebut menggunakan seragam sekolah yang berlatar belakang sekolah.

Dia memiliki kulit putih pucat dengan rambut hitam panjang bergelombang yang tergerai. Bibirnya melengkung bagai bulan sabit, matanya berwarna hitam pekat bagai kegelapan di malam hari.

Siapa pun yang melihatnya pasti akan enggan memalingkan wajah dari pemandangan indah itu. Namun, Evelin mengerutkan keningnya melihat foto tersebut.

Bagaimana tidak, gadis di foto itu sangat mirip dengannya. Tapi, dia yakin dia tidak pernah berfoto menggunakan seragam sekolah. Bahkan foto yang pernah dia ambil bisa di hitung dengan jari.

Apalagi bagaimana bisa dia berfoto menggunakan seragam sekolah jika dia saja tidak pernah sekolah? kerutan di dahi Evelin semakin bertambah melihat kembali ruangan yang terlihat asing.

saat kepalanya sedang memproses semua informasi yang tak terhitung jumlahnya. Suara pintu yang di ketuk terdengar dari luar ruangan diikuti suara seseorang yang diperkirakan Evelin sebagai wanita paruh baya.

"Selamat pagi, Nona Evelin."

Evelin tidak pernah mendengar suara tersebut di mana pun namun dia tetap membalas.

"Masuk."

Benar saja, seorang wanita paruh baya yang menggunakan seragam pelayan memasuki ruangan. Keriput yang terlihat di wajahnya memperlihatkan wajahnya yang terlihat sudah tua. Dia membungkukkan badannya dengan hormat setelah memasuki ruangan.

"Apakah Anda ingin sarapan di kamar lagi hari ini?"

Evelin memperhatikan lagi wanita paruh baya di depannya. Umurnya mungkin sekitar 50-an dan di lihat dari ucapannya yang mengatakan 'lagi' Evelin pasti sering makan di kamarnya daripada ruang makan.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?"

Evelin tidak tahu dimana dia berada sekarang, namun dia tidak mungkin menanyakan hal tersebut secara blak-blakan. Apalagi jika dia terlihat mencurigakan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi.

Pelayan tersebut sedikit mengerutkan kening heran dengan pertanyaan majikannya namun dia segera menjawabnya ketika melihat tatapan Evelin yang mengintimidasi.

"30 tahun.. Nona."

Jika dia sudah bekerja selama itu, dia pasti tahu banyak tentang keluarga ini. Jadi, Evelin bertanya lagi.

"Apa pekerjaanmu sebelum bekerja di sini?"

Pelayan tersebut kembali mengerutkan kening bingung dengan pertanyaan majikannya. Dia tidak pernah melihat gadis sombong yang merupakan majikannya begitu penasaran dengan seorang pelayan.

Evelin biasanya sangat abai dan tidak peduli dengan pelayan di rumah ini. Bahkan dia tidak pernah ingin repot-repot mengingat nama dan wajah pelayan.

Dia bahkan tidak akan ingat wajah pelayan yang pernah dia usir atau hal kasar yang dia lakukan kepada pelayan. Karena, dimata Evelin mereka hanyalah orang rendahan yang tidak berguna yang bisa di pakai dan di buang kapan pun dia mau.

Butuh beberapa detik sebelum pelayan tersebut menjawab pertanyaan Evelin.

"Saya pengangguran sebelum bekerja di kediaman Nelson.. Nona."

'Nelson' sepertinya dia pernah mendengar nama tersebut di suatu tempat. Namun, untuk mengkonfirmasi tebakannya dia berkata lagi.

"Sebutkan nama ayahku."

Saat dia mengatakan itu, dia berharap dalam hati bahwa tebakannya salah dan itu hanya imajinasinya saja namun suara yang dia dengar berikutnya menghancurkan harapannya bagai kaca yang pecah dan hancur berkeping keping.

"Tuan James Fortes Nelson."

Pelayan itu sedikit gemetar saat menjawabnya karena Evelin menatapnya dengan tajam.

'Ah... Tidak.. Bagaimana ini bisa terjadi?'

Batinnya berteriak mendengar nama tersebut. Itu hanya tebakannya namun dia tidak pernah berharap kalau itu benar.

Setelah beberapa menit hening, Evelin kembali melihat pelayan di depannya yang masih membungkuk hormat.

Evelin melambaikan tangan kanannya untuk menyuruh pelayan keluar dan tangan kiri menekan pangkal hidungnya.

Pelayan yang melihat itu akan segera keluar ketika dia mengingat alasan dia datang kesini.

"Jadi, apa Anda akan makan di kamar?"

Pelayan bertanya sekali lagi untuk mengkonfirmasi. Suaranya sedikit bergetar saat menanyakannya karena dia tahu majikannya tidak suka pelayan yang tidak mendengar perintahnya.

Tapi, jika dia pergi begitu saja tanpa menanyakannya, bagaimana jika dia membawa makanan ke kamar tapi majikannya ingin makan di ruang makan dan begitupun sebaliknya.

Dia pernah mendengar pelayan yang di pecat karena Masalah sepele oleh Evelin. Jadi, dengan keberanian yang di kumpulkannya dengan susah payah dia berhasil mengeluarkan suaranya.

Namun, bertentangan dengan ketakutannya Evelin hanya menjawab dengan santai.

"Aku akan makan di ruang makan."

Untuk sekarang Evelin akan mencari tahu semua informasi termasuk 'keluarganya' dan untuk itu dia harus melihat wajah mereka.

"Baik.. kalau begitu saya permisi."

Pelayan kembali membungkuk hormat sebelum keluar dan menutup pintu dengan pelan.

Evelin merebahkan badannya ke atas kasur setelah pintu tertutup. Dia melihat jam di atas nakas yang menunjukkan angka 07.06 yang berarti dia harus segera bersiap dan pergi ke sekolah.

"Huft.."

Evelin menghela nafas berat memikirkan situasinya saat ini.

Sekarang mau tidak mau dia harus menerima kenyataan dia telah masuk ke dalam sebuah novel yang dia baca. Itu adalah satu-satunya novel yang pernah dia baca.

Karena pekerjaannya sebagai pembunuh dia jarang bersantai karena dia jarang memiliki waktu luang.

Bahkan jika dia memiliki waktu luang, dia akan melihat senjata yang dia gunakan untuk membunuh dan memodifikasi mereka.

Jika tidak membunuh, yang dia lakukan adalah memeriksa, memperbaiki dan memodifikasi senjata karena dia tidak tahu kapan seseorang akan menyelinap dan menancapkan senjata mereka di jantungnya.

Jadi, dia harus selalu siap jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi.

Namun suatu hari, sahabatnya yang merupakan seorang gadis normal dari keluarga kaya memberikan sebuah novel sebagai hadiah ulang tahunnya.

Dia mengatakan kalau itu adalah novel yang dia buat sendiri. Dia juga mengatakan jika dia memasukkan nama Evelin ke dalam novel tersebut walau bukan sebagai pemeran utama.

Evelin hanya mengatakan tidak apa-apa dan menerima novel tersebut.

Meskipun karakter yang memakai namanya mempunyai akhir tragis, dia tidak pernah marah atau kesal kepada sahabatnya.

Karena dia tahu alasan kenapa sahabatnya melakukan itu.

'Ah.. Apa ini hukuman untuk semua yang telah aku lakukan?'

Evelin menutup matanya merasakan matanya sedikit memanas. Dia tidak pantas meneteskan air mata dengan semua hal yang telah dia lakukan dan dia bahkan..

'..Tidak pantas hidup.'

Keluarga Nelson

“Kehidupan adalah 10 persen apa yang terjadi pada Anda dan 90 persen adalah bagaimana Anda meresponnya.” - Lou Holtz.

Evelin melangkahkan kakinya satu persatu menuruni tangga. Dia sekarang telah siap dengan seragam sekolah yang di pakai dan tas di punggungnya.

'Aku menyukai senyummu. Jadi, kuharap kau bisa selalu tersenyum.'

Sebuah suara lembut melintas di kepalanya dan pada saat itu juga sudut bibir Evelin perlahan terangkat membentuk sebuah lengkungan yang indah.

langkah yang awalnya pelan, perlahan semakin cepat. Evelin menuruni tangga dengan cepat dan saat sampai di bawah.

"Good morning all. Evelin kesayangan semua orang udah tiba."

Dia sedikit mengeraskan suaranya saat mengucapkan kalimat tersebut yang membuat beberapa pasang mata langsung melihat ke arahnya.

"Good morning too dear."

Ayah Evelin, James Fortes Nelson duduk di kursi dengan senyuman lembut sambil melihat anaknya yang sedang berjalan ke arahnya.

Evelin mencium pipi ayahnya sebentar dan melangkah pergi menuju ke kursinya.

"Sepertinya mood kamu sedang baik hari ini."

Evelin biasanya tidak mau sarapan bersama mereka dan akan sarapan di kamarnya sendiri atau dia bahkan tidak akan sarapan di rumah dan langsung pergi sekolah.

Apalagi, melihat kelakuan anaknya barusan yang mungkin agak sedikit berbeda dari biasanya. James menyimpulkan jika sesuatu yang baik telah terjadi kepada anaknya yang cantik itu.

"Evelin kan selalu baik tiap hari."

Di selimuti tawa ceria dan senyum hangat di bibirnya Evelin menjawab ayahnya dengan penuh semangat.

Semua orang terdiam saat mendengar hal tersebut.

Evelin melihat sekeliling, ada empat orang di meja makan seorang pria muda yang memakai seragam sekolah sama sepertinya dan yang lainnya adalah seorang wanita paruh baya yang di perkirakan Evelin sebagai ibu tirinya.

Salah satu alasan Evelin menjadi antagonis adalah karena ibu tirinya. Evelin tidak suka ayahnya menikah lagi dengan orang lain. Dia menganggap jika ayahnya tidak mencintai ibunya, karena itu dia menikahi wanita lain.

Seorang pria muda di depan Evelin adalah anak yang di bawa ibu tirinya, dia satu tahun lebih tua dari Evelin dan dia juga bersekolah di sekolah yang sama di sekolah Evelin.

Berkali-kali Evelin pernah mencoba melukai dan mengusir mereka. Tapi, semua rencananya selalu gagal karena di ganggu ayahnya.

Evelin menganggap ayahnya tidak menyayanginya lagi dan dia pun mulai berbuat nakal di sekolah, luar sekolah bahkan di rumah saat ayahnya tidak ada.

Bolos sekolah, Bullying, pergi ke bar, merokok, minum-minuman keras, boros dan segala macam hal buruk lainnya dia lakukan.

Jadi, tidak aneh jika mereka menatapnya dengan aneh.

"Dad.. hari ini Evelin berangkat sama bang Reyhan.. ya?"

Setelah berkelana dengan pikirannya untuk waktu yang lama. Dia kembali melihat ayahnya yang sedang makan.

"Uhuk.. "

Reyhan yang mendengar hal tersebut tersedak makanannya sendiri.

"Makanya kalo makan itu pelan-pelan."

Selia Amelia Nelson yang merupakan ibu kandung Reyhan Nelson dan ibu tiri Evelin Keyrie Nelson memberikan air kepada anak laki-lakinya.

"Iya.. Mom."

Reyhan sedikit cemberut saat ibunya mengatakan itu. Padahal dia tersedia karena terkejut.

"Oke.. kamu bisa berangkat sama Reyhan kalau dia setuju."

Ayahnya menyayangi Evelin lebih dari apa pun di dunia ini bahkan saat Evin berbuat nakal dia selalu mengirim orang untuk mengawasinya.

Jika ada yang bertanya kenapa dia tidak menghentikan anaknya yang berbuat nakal maka bukan karena dia tidak melakukannya.

Tapi, dia sudah mencoba berkali-kali tapi semakin dia menegur Evelin semakin keras Evelin memberontak.

"Bolehkan.. bang Rey?"

Evelin memberikan tatapan seperti seorang anak yang meminta di belikan permen. Siapa pun yang melihatnya tidak akan bisa untuk menolaknya.

"Oke.."

Reyhan yang melihat pemandangan tersebut tidak bisa menahan senyum bahagia di bibirnya.

Saat tahu dia akan memiliki adik perempuan dia sangat senang. Namun, berbeda dengan harapannya adiknya sangat membencinya hingga setiap mereka bertemu Evelin akan menghindarinya atau terkadang bahkan menghinanya.

"Kalau begitu.. Evelin berangkat ya dad."

Evelin kembali mencium pipi ayahnya. Namun, kali ini dia juga mencium pipi ibu tirinya.

Selia yang mendapat ciuman di pipi sedikit terkejut namun dia juga bahagia mendapat perlakuan seperti itu dari Evelin.

***

Evelin sekarang sibuk melihat gedung-gedung tinggi di kota Jakarta. Banyak mobil berlalu lalang, ada orang yang mengenakan setelan kantor dan ada yang mengenakan pakaian santai.

Evelin bisa melihat bagaimana sibuknya kota. Dia terus melihat pemandangan dari jendela mobil dengan bosan.

"Stop.."

Teriakan Evelin membuat Reyhan menginjak rem mendadak. Orang di belakang mobil langsung berteriak marah dan mengeluarkan kata-kata mutiaranya kepada mereka.

Namun, Evelin hanya mengacuhkannya. Dia melihat Abang tersayangnya dengan mata berbinar.

"Ada apa? kenapa teriak?"

Reyhan menepikan mobilnya dan bertanya kepada adik tersayangnya.

Jadi telunjuk Evelin menunjuk ke seberang jalan. Reyhan memperhatikan arah yang di tunjuk Evelin, di sana ada toko es krim.

"Ya udah.. kamu tunggu di mobil Abang beliin."

Reyhan yang mengerti apa maksud Evelin langsung keluar dari mobil menuju ke toko es krim.

Dia tidak tahu kenapa sikap adiknya bisa berubah seperti ini tapi jika itu adalah hal positif dia akan menerimanya dengan senang hati.

Apalagi, perubahan adiknya membuat dia menerima Reyhan sebagai kakaknya.

Evelin menunggu di mobil seperti seorang bocah yang menunggu orang tuanya. Dia sedikit bermain-main dengan kakinya karena bosan.

Dia tahu sikapnya sekarang kekanakan namun dia tidak bisa dan tidak ingin menahan dirinya.

Dulu, saat dia masih seorang pembunuh bayaran dia pernah ingin memakan es krim. Namun, entah kenapa es krim tersebut terlihat seperti darah di matanya.

Pada saat itu juga dia memuntahkan semua isi perutnya dan tidak pernah menyentuh es krim lagi.

Sekarang mengingat hal tersebut membuat matanya yang berwarna hitam kehilangan binarnya. Itu terlihat seperti mata seseorang yang sudah kehilangan harapan dan jatuh ke dalam jurang keputusasaan.

"Ini es krimnya.. Abang nggak tahu kamu suka rasa apa. Jadi, Abang beli rasa yang Abang suka."

Di ikuti suara pintu mobil yang tertutup dia mendengar suara Abangnya. Dia kembali seperti semula seolah tidak ada apa pun yang terjadi.

"Makasih Bang Rey."

Evelin mencium pipi Reyhan dan mengambil es krim di tangannya.

Reyhan yang mendapat ciuman mendadak hanya diam, berusaha tenang dan kembali menjalankan mobil. Dia menahan diri mencoba untuk tidak terlihat terlalu senang.

Evelin melihat es krim dengan seksama namun itu terlihat seperti es krim normal. Dia sedikit menjulurkan lidahnya untuk menjilat es krim dan rasa manis menghampiri mulutnya.

'Ah.. Jadi, begini rasanya.. pantas semua orang sangat menyukainya.'

Dia hanya ingin mengetes apakah dia masih memiliki trauma tentang hal tersebut namun sepertinya dia tidak memilikinya lagi.

'Apa dia sangat suka es krim?'

Reyhan melihat Evelin yang terlihat sangat menikmati es krimnya sepeti seorang anak kecil yang baru pertama kali makan es krim.

Sekolah Baru

“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.” - Mahatma Gandhi

"Huft.."

Evelin menghela nafas lelah sambil melihat guru yang sedang menjelaskan. Saat dia sampai ke sekolah dia langsung pergi ke kelas dan berbaring di mejanya.

Murid yang melihatnya menganggap kalau Evelin sedang dalam mood yang buruk. Jadi, tidak ada yang mengganggunya.

Evelin tidak pernah sekolah tapi dia tahu hal-hal umum yang di lakukan murid di sekolah. Walau Evelin tidak pernah sekolah dia juga belajar di tempat 'khusus' yang bukan untuk orang normal.

Di dalam kepalanya ada banyak pengetahuan tentang semua hal di dunia. Karena itu, dia bosan melihat guru mengajar hal yang sudah dia tahu. Rasanya sangat membosankan hingga dia ingin tidur.

Tepat saat dia akan memejamkan matanya suara bel tanda istirahat berbunyi yang membuat Evelin langsung sadar sepenuhnya.

'Akhirnya selesai..'

Evelin menggeliat sedikit untuk merilekskan tubuhnya yang kaku. Dia sedikit lapar karena tadi pagi dia sarapan sangat sedikit jadi dia berniat pergi ke kantin.

Namun sebelum Evelin bisa melangkahkan kakinya dua gadis menghalangi jalannya.

Dia pikir mereka ingin mencari masalah namun sepertinya dugaannya salah.

"Hai.. Evelin."

Ajak salah satu dari dua gadis di depannya.

"Evelin.. Lo cantik banget hari ini."

"Itu tas Branded yang baru keluarkan. Gue udah minta di beliin ayah gue tapi nggak di kasih."

"Iya.. Evelin. Lo hebat banget bisa dapetin tas itu."

"Om James baik banget. Dia pasti sayang banget sama Lo."

kedua gadis tersebut terus memuji-muji Evelin untuk membuatnya senang. Sekarang Evelin tahu siapa kedua gadis di depannya.

Mereka adalah tokoh sampingan yang menjadi pengikut Evelin di dalam novel.

Ayah mereka merupakan bawahan di perusahaan ayah Evelin jadi mereka menyuruh anak-anak mereka untuk menyenangkan Evelin agar mereka bisa naik jabatan.

Dan tentu saja Evelin yang sombong dan angkuh sangat senang saat dia di puji-puji. Dia bahkan meminta ayahnya untuk menaikkan posisi ayah mereka di perusahaan.

Walau awalnya ayahnya menolak karena dia tahu orang yang diminta Evelin bukanlah seorang karyawan yang rajin apalagi cerdas.

Mereka hanyalah orang yang suka menyuruh bawahan dan mengambil prestasi orang lain tanpa usaha sendiri. Mereka akan melakukan apa pun agar bisa mendapatkan keinginan mereka.

Tipe orang yang tidak akan di sukai orang. Karena itu ayah Evelin James menolak permintaan Evelin namun Evelin tetap keras kepala dengan keputusannya dan bahan sampai tidak pulang ke rumah karena permintaannya di tolak.

Setelah itu James dengan terpaksa menerima permintaan anaknya hingga Evelin kembali ke rumah. Seorang yang serakah tidak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya.

Meskipun James menerima permintaan Evelin tapi dia masih menyuruh orang untuk mengawasi ayah dari kedua gadis tersebut agar tidak melakukan hal yang merugikan perusahaan.

"Evelin.."

Sebuah tepukan di bahunya membawa Evelin kembali dari lamunannya. Dia melihat tangan gadis yang menepuknya di bahunya.

Pandangannya sedikit turun, matanya berkilat tajam yang membuat gadis yang memegang bahunya langsung melepaskan tangannya dan mundur selangkah.

"Kenapa?" Suaranya berat dan rendah, dia menipiskan bibirnya dengan ekspresi dingin, sangat berlawanan dengan yang dia tunjukkan saat bersama keluarganya tadi pagi dimana suaranya cerah dengan ekspresi ceria.

"Ka.. kamu nggak ke kantin." Gadis tadi berbicara dengan suara gugup, badannya gemetar. Walau hanya sesaat dia menatap mata Evelin dia sudah gemetar dengan keringat dingin. Bahkan gadis di sebelahnya juga ikut gemetar mendengar dan melihat Evelin.

Mereka tidak pernah melihat ekspresi menakutkan seperti itu sebelumnya apalagi dari Evelin. Mereka memang mendengar beberapa gosip tadi pagi bahwa mood Evelin sedang buruk karena itu mereka berusaha menenangkannya dengan berbicara manis.

Namun, siapa tahu hal-hal akan menjadi seperti ini. Jika, mereka tahu mood-nya seburuk ini mereka mungkin tidak akan datang hanya untuk mendapatkan sikap dingin dari Evelin.

Siswa yang masih tinggal di kelas juga tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini, yang mereka tahu kedua gadis di depan Evelin adalah pengikutnya yang paling setia dan Evelin selalu memperlakukan mereka dengan baik.

Ada beberapa siswa yang memberi tatapan kasihan kepada kedua gadis itu dan ada yang menutup mulut mereka berusaha menahan tawa melihat kedua gadis yang malang tersebut.

Evelin yang melihat mereka gemetar segera menghilangkan ekspresi dinginnya. Dia tidak suka penjilat seperti mereka karena keserakahan mereka banyak orang di luar sana yang menjadi korban dari perbuatan tidak bertanggung jawab mereka, hingga tanpa sadar dia kehilangan kendali.

"Gue mau ke kantin. Nggak usah ikutin gue."

Evelin berjalan setelah memperingati mereka. Dia melihat sekeliling kelas, tatapannya jatuh pada gadis berkacamata yang menyendiri. Dia berjalan ke arah gadis tersebut dan menarik gadis tersebut.

"Lo ikut sama gue..!"

Gadis yang di tarik hanya bisa dengan patuh mengikuti Evelin. Dia bahkan tidak memiliki keinginan untuk menolak.

Karena dia sudah melihat bagaimana menakutkannya Evelin tadi. Dia tidak tahu apa konsekuensi yang akan dia terima jika membuat suasana hati Evelin lebih buruk lagi.

Kedua gadis yang datang untuk mencari Evelin hanya bisa terdiam dengan wajah bodoh di tempat mereka. Siswa di kelas hanya menertawakan dan mengejek mereka.

Gosip dengan cepat menyebar ke seluruh sekolah. Seluruh siswa dengan cepat mengetahui kejadian saat di kelas tersebut.

***

"Hei.. Lo tau nggak dimana kelas kak Rey?"

Evelin berbalik untuk melihat gadis di belakangnya yang dia tarik di kelas tadi. Gadis itu mengenakan kacamata bulat besar, rambutnya di kepang dua.

Dari penampilannya saja, kau akan tahu kalau dia adalah gadis yang mudah di bully. Dengan penampilan sepeti kutu buku, akan membuat anak yang suka berbuat nakal menjadikannya target.

"Lo tau apa nggak?" tanyanya sekali lagi karena tidak mendapat jawaban.

"Ta-tau kok." gadis berkepang dua tersebut mengangguk kan kepalanya dengan cepat. Dia berbicara dengan terbata-bata karena gugup.

"Ya udah.. kalo gitu Lo tunjukkin jalannya."

"Iya.. kak."

Mendengar panggilan gadis tersebut alis Evelin berkerut.

"Lo sekelas sama gue kan?"

"Iya kak"

Kerutan di dahi Evelin semakin dalam mendengar jawaban yang sama.

"Terus kenapa Lo manggil gue kak?" Evelin berbicara dengan nada kesal.

"It.. itu.. emm.. karena.." Gadis itu berbicara dengan gelisah. Dia berusaha untuk tidak menyinggung Evelin karena itu dia memanggilnya seperti itu namun hal itu justru membuat Evelin tersinggung.

"Ah.. terserah Lo deh. Pokoknya mulai sekarang jangan panggil gue kayak gitu lagi." melihat gadis tersebut kebingungan Evelin dengan cepat berbicara.

"Iya.. kak.. Ah.. maksud aku iya Evelin."

"BTW.. nama Lo siapa?"

Sekarang Evelin baru ingat kalo dia tidak tahu nama gadis tersebut. Dia tadi terburu-buru hingga menarik sembarang orang.

"Nama aku.. Tasya."

Evelin diam membeku saat mendengar nama tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!