...Move on tidak perlu terburu, move on hanya perlu waktu. ...
----CallMeVi
...»»---Sҽʅαɱαƚ MҽɱႦαƈα---««...
***Gerombolan*** siswa-siswi berseragam putih abu-abu kompak berjalan membelah Koridor Sekolah yang nampak sepi dengan beberapa buku tebal di genggaman, jas hitam yang membalut atasan putih menjadi simbol bila mereka merupakan siswa Unggulan dari kelas dua belas matematika dan sains yang sudah tidak diragukan lagi kepintarannya.
Dalam gerombolan itu terdapat sosok gadis kuncir kuda yang nampak serius membaca buku tebal di tangan, Laras Friscanara namanya. Remaja tujuh belas tahun yang mempunyai tubuh lebih pendek dari anak seusianya, wajah mungil, kulit seputih susu serta, rambut lurus yang senantiasa diikat satu.
"Laras! Lihat siapa itu yang lagi dihukum!" celetuk salah seorang sahabat Laras sembari merentangkan sebelah tangan agar orang disampingnya berhenti berjalan sekaligus ikut mengikuti arah pandangnya.
Aneska Madelaine, atau yang kerap disapa Aneska oleh orang yang mengenalnya, remaja dengan tubuh tinggi, rambut hitam yang panjangnya mencapai punggung dan senantiasa di gerai rapih, kulit putih yang seragam dengan Laras serta, lesung pipit yang menambah kesan manis semakin menjadikan mantan ketua OSIS itu terlihat begitu mempesona.
Laras menurunkan buku yang menutupi wajah, mengikuti arah pandang Aneska menuju halaman sekolah yang kini terdapat empat remaja badung yang sedang melaksanakan masa hukuman namun, sedetik ketika mata menangkap wajah dari sosok yang sudah dirinya damba sejak lama, tanpa aba jantung berdetak tak karuan.
"Astaga!"
"Gue heran, kenapa orang-orang kayak mereka bisa dipertahanin di sekolah ini." komentar gadis yang berdiri di samping Aneska sembari menatap ketiga lelaki serta seorang perempuan yang sedang melaksanakan hukuman di halaman seperti sebuah kebiasaan.
Ava Scarlett. Sahabat yang dimiliki Laras selain Aneska, mulut pedas Ava layaknya komentar netizen didunia maya. Gadis itu memiliki rambut keriting sebahu dan senantiasa dililit bando kain, kulit khas masyarakat Indonesia serta tahi lalat kecil di atas bibir menjadi daya tarik tersendiri untuk Ava, sahabat Laras ini menjabat sebagai ketua Pramuka tahun lalu.
Laras tadinya memperhatikan objek yang membuat dadanya bergemuruh hebat namun, mendengar kata yang terlontar dari mulut Ava sontak menyebabkan dirinya menundukan kepala, dia bukan takut lebih tepatnya merasa sedih mendengar komentar sang sahabat mengenai pujaan hati.
Aneska merangkul pundak Laras yang kini sedang menunduk dalam. "Ras! Semperin gih! Kasihan panas-panas gini dijemur kayak ikan."
Ava menatap Laras aneh, ia heran sekaligus bingung karena sahabatnya masih saja menyukai orang badung yang tidak mengindahkan aturan hingga detik ini. "Lo masih suka sama Arkan? Apa bagusnya dia si?"
Mendengar kalimat nyinyiran lagi-lagi keluar dari mulut Ava tangan Laras menaikan buku yang sempat ia tutup untuk melihat pujaan hati kemudian, pergi dari tempat itu. "Laras mau belajar."
Ava mendengus lalu ikut berjalan di samping Laras. "Ayolah Ras! Cari cowok yang bener dikit emang engga bisa?"
Aneska merasa muak mendengar kalimat pedas dari Ava hingga berdecak keras dan berkata. "Eh mulut cabe! Suka-suka Laras mau suka sama siapa."
Ava memutar kelereng mata. "Ayolah! Ini bukan dunia orange dimana seorang badboy bisa bersikap uwu apalagi setia."
"Arkan itu bukan Gavin yang tukang tebar benih sembarangan, jangan asal menilai seseorang dong Va." Komentar Aneska yang kini sudah mengungkit hal yang tidak ingin Ava ingat.
Ava menghentikan langkahnya lalu menatap Aneska. "Gue cuma engga mau Laras berakhir kayak gue. Putus cinta itu engga seenak jatuh cinta." Ia menjeda kalimat beberapa detik. "Lagian dulu Gavin satu genk 'kan sama Arkan? Mereka itu engga mungkin bisa sahabatan kalau kelakuannya beda."
Aneska makin geram dengan Ava. "Eh kalau-----"
Dengan cepat Laras berdiri di antara kedua sahabatnya yang kini sudah siap pasang badan untuk saling bertarung bahkan, saking paniknya Laras sampai mencampakkan bukunya. "Udah! Kalian kayak anak kecil."
Ava menghela nafas lalu menatap Laras. "Gue cuma takut lo berakhir kayak gue Ras. Engga cukup ya mencintai dalam diam selama dua tahun? Lebih baik lo lupain Arkan mulai detik ini!"
Laras terdiam sejenak sebelum mengatakan kalimat balasan. "Laras juga pingin lupain apa yang hati rasain." Kepalanya bergerak menatap Ava. "Tapi engga segampang itu."
Setelah mengatakan hal itu Laras berjalanan mendahului kedua sahabat yang masih tetap diam di tempat. Ia menutup mata sejenak ketika mengingat ribuan luka pada hati kala mencintai dalam diam, ingatannya terlempar jauh hingga teringat hari dimana untuk kali pertama jantung dalam dada berdetak lebih kencang, mata menunduk karena gugup serta euforia bahagia kala mendengar suara itu.
Flashback on.
Tαԋυɳ ρҽɾƚαɱα Sҽƙσʅαԋ.
Lorong Sekolah yang berwarna putih gading nampak sepi karena langit sudah berubah warna menjadi Jingga, suara dari sepatu fantofel milik Laras bergesekan dengan lantai menyebabkan suasana hening itu terdengar kian menyeramkan.
Gadis kutu buku itu pulang terlambat karena harus mengerjakan soal latihan di perpustakaan seorang diri hingga tidak memperhatikan waktu.
Laras meremas ujung bawahan merasa gugup karena di depannya kini terlihat segerombolan siswa yang berpenampilan menyeramkan nampak bercanda, ini kali pertama dirinya pulang sendiri karena biasanya gadis pendek itu senantiasa bertiga dengan sahabatnya.
"Laras harus gimana?" batinnya, ia merasa takut meski hanya sekedar melewati gerombolan laki-laki itu walaupun tidak akan kurang dari satu menit.
Suara keras gelak tawa kian membuat Laras mati kutu, belum lagi saat ia mendengar salah satu pembahasan yang sangat tidak enak di dengar oleh telinga suci miliknya, keberanian yang sekuat tenaga ia bangun runtuh detik itu juga layaknya bangunan tanpa pondasi kuat.
Sementara itu, seorang lelaki dengan satu anting di telinga tersadar jika terdapat seorang gadis yang sedari tadi berdiri tak jauh dari tempat mereka. Ia mengangguk paham setelah melihat adanya raut ketakutan yang terpancar dari bola mata sekaligus wajah itu lalu, beranjak dari duduk untuk menghampiri gadis dari kelas unggulan yang nampak menyedihkan.
"Mau pulang?"
Laras tersentak kaget kala gendang telinga mendengar suara berat dari orang yang entah sejak kapan berdiri di hadapan, gadis kuncir kuda itu semakin ketakutan bahkan untuk mengangkat kepala pun rasanya teramat berat di lakukan. "Ka-kamu mau apa?"
Lelaki yang bernama lengkap Arkan Bhagawanta itu tertawa kecil melihat kegugupan yang dipancarkan dari gadis unggulan di depannya. "Kita engga bakal ngelakuin hal aneh kok. Kalau mau lewat, lewat aja."
Meski sudah mendapat jaminan tak langsung, Laras masih belum percaya bahkan kini ia beringsut mundur karena merasa terancam, sementara Arkan harus menahan tawa sekuat tenaga agar tidak pecah sekaligus membuat rasa takut gadis kelas unggulan itu meningkat.
"Bro! Anak unggulan mau lewat! Kalian jangan macem-macem!" teriak Arkan menarik perhatian teman serta Kakak kelasnya.
"Monggo neng!" seruan kompak itu terdengar hingga ke gendang telinga Laras.
"Baiklah. Mau lewat bukan? Mau gue antar?" tawar Arkan.
Laras menutup mata sembari mengangguk, ia benar-benar tidak berani melewati kerumunan itu seorang diri. "Ka-kalau engga keberatan."
Setelah jauh dari tempat gerombolan tadi Laras akhirnya bisa menghela nafas lega, dirinya bersyukur karena di antara laki-laki badboy tadi masih ada seseorang yang memiliki simpati untuknya.
"Lega juga 'kan?"
Laras kembali merasa gugup saat mendengar suara Arkan lalu dengan segera ia membalikan badan hendak secepatnya pergi namun lengan tangannya berhasil dicekal oleh orang yang membantu barusan. Degupan jantung kian bertalu, gadis itu benar-benar takut sampai tubuhnya gemetar hebat.
Arkan sendiri menjadi gemas sekaligus merasa aneh melihat kelakuan gadis kutu buku di depannya, tak lama melepas cekalan tangannya dari gadis kelas unggulan itu. "Maaf. Tapi lo engga bilang makasih nih? Gue udah bantuin kalau lupa."
"Terima kasih," ujar Laras sebelum mengambil langkah lebar, dirinya tidak ingin lebih lama terjebak dalam keadaan menegangkan itu.
"Dasar anak unggulan, sombongnya minta ampun." Arkan meletakkan kedua telapak tangan mengelilingi bibir, membentuk silinder sebelum berteriak. "Nama gue Arkan! Anak IPS tiga!"
Sementara itu, gadis unggulan yang dibicarakan Arkan kini tengah senyum-senyum sendiri memikirkan kejadian layaknya di sebuah drama yang baru saja dirinya timpa, mungkin kini Laras akan menarik ucapannya ketika mengatakan jika seorang badboy yang baik hati hanya tertuang dalam cerita fiksi.
Flasback off.
»»--⍟--««
Terima kasih yang udah mampir, dan semoga betah sampai ending:)
19 Juni 2022
...Pasangan itu layaknya puzzle, berbeda namun menyatu secara sempurna....
---CallMeVi
...»»---Sҽʅαɱαƚ MҽɱႦαƈα---««...
Sebuah angkot berhenti tak kala seorang siswi kuncir kuda menyeru kata kiri, selepas membayar ongkos remaja pintar itu berjalan kaki agar sampai di rumah yang terletak beberapa meter dari tempat pemberhentian angkot.
Gadis yang memiliki nama lengkap Laras Friscanara membuka gerbang kecil di samping gerbang utama untuk sampai ke dalam bangunan bertingkat dua dengan warna cream yang elegan.
Setelah berhasil melewati halaman yang berisi aneka bunga serta sebuah pohon cemara besar, tangan gadis itu mendorong gagang pintu utama dan segera menaiki anak tangga untuk tiba kamar pribadinya.
"Selamat sore Arkan!"
Laras memegang dada refleks ketika mendapat sambutan tak biasa dari orang yang menjajah kamar miliknya.
Mata gadis pendek itu kian melebar setelah sadar jika buku diary yang berisi tentang curhatan hati mengenai seseorang yang sangat sulit ia gapai berada di tangan yang salah, dengan segera Laras berusaha merebut kembali yang sialnya malah diangkat tinggi oleh gadis yang telah lancang membacanya.
"Ara! Kembaliin engga?!" ancam Laras dengan mata menyipit, niat hati ingin bermesraan dengan kasur namun sebuah pengganggu datang tanpa undangan.
Orang yang dipanggil Ara hanya tertawa sembari mengangkat tinggi-tingi buku di tangan, bahkan kini sudah berlarian untuk menghindari kejaran Laras hingga akhirnya Ara mengalah dan memberikan kepada gadis pintar itu seteleh dirasa puas menjahili.
Setelah mendapat buku diarynya kembali, Laras berkacak pinggang menatap Ara dengan tatapan mengintimidasi. "Ara! Membaca diary orang itu melanggar privasi."
Orang yang ditatapan begitu hanya masa bodoh dan lebih memilih tiduran di kasur sembari memainkan ponsel. "Iya."
Laras mendengus kasar melihat respon sepupu yang hanya berjarak dua bulan dari dirinya itu.
Ayyara Lemuella, gadis dengan rambut gradasi hitam-hijau yang panjangnya mencapai bahu, hidung mancung, mata berwarna coklat serta tubuh profesional yang membuat remaja itu masuk ke dalam jajaran gadis cantik sekolah.
Ara melirik Laras yang masih berdiri memandangi dirinya. "Kenapa? Lo capek 'kan habis les? Istirahat gih!"
Laras menghela nafas berat, menutupi wajah menggunakan telapak tangan karena malu sekaligus takut jika banyak yang akan mengetahui perasaannya. "Ara jangan bilang sama siapapun tentang ini ya?
Mendengar permintaan Laras yang nampak lucu dimata Ara, ia tidak bisa menahan tawa. "Santai! Kayak sama siapa aja."
Laras menubrukkan tubuh ke kasur, berbaring di samping sepupu yang tinggal di samping rumah yang ia tempati. "Laras malu."
Ara meletakan gawainya dan tertawa lebih keras, dirinya benar-benar tidak bisa menahan tawa melihat ekpresi yang ditunjukkan keponakan dari Ibunya itu. "Apa yang harus lo maluin? Jatuh cinta itu indah Ras." Ara mengalihkan tatapannya kepada Laras. "Cie yang suka sama Arkan."
Laras tengkurap untuk menyembunyikan pipi yang kini memerah. "Laras malu."
Ara kembali menatap langit kamar di atasnya. "Kirain lo sukanya sama cowok kutu buku yang membosankan. Selera lo oke juga. Badboy lebih menggoda bukan?"
Laras memilih duduk sembari menekuk lutut, menyembunyikan wajah dilekukan kaki. "Bukan itu yang membuat Laras suka sama Arkan."
Ara menaikan satu alis. "So?"
Dengan pipi memerah serta ke-dua sudut bibir yang terangkat ke atas, Laras berusaha menjawab. "Perlakuan Arkan tempo lalu yang bikin hati Laras berdetak lebih kencang."
Ara tertawa lepas mendengar alasan sepupunya jatuh cinta. "Cie yang jatuh cinta."
Laras melempar sebuah bantal ke arah Ara, dirinya sudah tidak kuat jika terus diejek seperti itu. "Kayak Ara engga pernah jatuh cinta aja. Mantan Ara juga banyak tuh."
Ara mengedikan bahu acuh. "Percaya engga? Gue pacaran karena gengsi. Cinta? Huh gue engga kenal."
Laras mengangkat wajahnya dan menatap Ara tak percaya. "Jadi, kenapa Ara mau pacaran kalau engga cinta?"
Ara tertawa kecil. "Lo terlalu naif Ras. Ayolah! Kalau memang mereka serius juga engga bakal ajakin pacaran." Laras menganggukan kepala, membenarkan opini sepupunya. "Jadi gimana? Lo mau kayak gini aja?" lanjutnya.
"Maksudnya?"
"Doi lo. Emang lo engga mau dapetin dia? Berjuang kek!" cibir Ara.
Tubuh Laras lemas seketika hingga, raga gadis pendek itu terbaring kembali. "Laras engga percaya diri, lagian kayak Arkan mau nengok serpihan debu kayak Laras."
Ara berdecak sebal mendengar tingkat pesimis Laras. "Kalau aja lo kasih tahu gue sejak dulu, lo lupa kalau gue sama Arkan deket dari SMP? Udah, lo tenang aja! Ada gue yang bakal makcomblangin kalian."
"Tapi Laras malu Ara, Laras engga secantik dan sesempurna perempuan yang deket sama Arkan."
"Ayolah! Daripada kelamaan lo simpen perasaan itu, lama-lama sakit hati." Ara menjeda kalimatnya. "Lagian Arkan juga engga lagi deket sama siapapun. Kesempatan emas tuh!"
"Laras terlalu biasa buat orang kayak Arkan."
Ara menaikkan satu alis, merasa aneh dengan pemikiran sepupunya. "Lo aneh! Yang ada dia kali yang merasa minder. Lo Einsteinnya sekolah, dia biang onar, lo mengharumkan sekolah, dia tukang tawuran."
"Lalu, apa tanggapan teman-teman Arkan kalau tahu Laras sama Arkan nantinya? Tampang Laras sama sekali engga bisa dibanggakan."
Ara berdecak. "Ayolah, bukannya pasangan itu saling melengkapi? Jangan patah semangat!"
"Terus? Engga mungkin 'kan tiba-tiba Laras sok kenal dan sok dekat sama Arkan, yang ada jadi ilfeel nanti."
Ara tersenyum bangga. "Lo ini! 'kan ada gue!"
"Engga deh, lihat gerombolan Ara nongkrong di kantin aja udah bikin nyali ciut. Dan, apa kata orang kalau tahu Laras pedekate sama Arkan? Laras malu."
Ara geram sekarang, tidak paham dengan apa yang diinginkan sepupunya. "Lo mau Arkan atau engga si? Perduliin amat apa kata orang."
"Kita ini makhluk sosial, meski enggan. Tapi kita berhubungan satu sama lain dengan mereka."
"Terserah lo deh! Tapi gue janji bakal bikin lo deket sama Arkan."
"Kalau Arkan engga suka sama Laras gimana?"
"Ngapain bikin Arkan suka sama lo? Buang-buang waktu."
Laras mengerutkan kening, tidak mengerti kalimat yang dilontarkan Ara. "Loh? Jadi."
Ara menjentikan jarinya di depan wajah Laras. "Bukan suka tapi, bikin dia jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya."
Laras merenggut. "Tapi Ra, kalau gagal gimana?"
"Belum juga mulai, cinta butuh perjuangan Laras."
"Iya si, tapi Laras mulai darimana?" desah Laras, dirinya benar-benar tidak memiliki pengalaman soal percintaan apalagi dekat dengan laki-laki selain keluarga.
"Lo tenang aja, ada Ayyara Lemuella. Sepupu lo yang paling cantik sejagat raya ini bakal pastiin kalau kalian akan bersatu."
Senyum mengembang di bibir Laras, gadis itu merasa senang, setidaknya ia memiliki Ara yang bisa menjadi jembatan antara dirinya dengan Arkan. "Terima kasih Ara."
"Santai, tapi besok lo harus istirahat bareng gue!" putus Ara sepihak membuat Laras melongo.
Laras menggelengkan kepala, membayangkan satu meja dengan genk Ara serta Arkan membuat bulu kuduk meremang. "Engga! Itu sama aja bunuh diri."
Ara menatap Laras aneh. "Mau deket sama Arkan engga?"
Kedua mata Laras ke atas berberapa detik sebelum berbicara. "Mau, tapi Laras takut. Lagian emang engga aneh ya kalau Laras tiba-tiba gabung sama kalian?"
"Selow aja! Entar gue yang jelasin sama mereka!" ungkap Ara membuat Laras sedikit tenang, dia juga merasa sudah saatnya keluar dari zona nyaman.
...»»--⍟--««...
19 Juni 2022
...Bahagia itu ketika dia, orang yang kita cinta berlaku manis melebihi gula Jawa....
---CallMeVi
...»»———Sҽʅαɱαƚ MҽɱႦαƈα——-««...
Tangan Laras menggerakkan bolpoin untuk menulis kata yang menurutnya penting dari omongan guru perempuan yang tengah menerangkan di depan papan tulis.
Semua murid yang berada dalam kelas unggulan itu kompak menutup mulut, mendengarkan serta mencatat seperti halnya yang dilakukan Laras.
Teng!
Teng!
Teng!
Suara bel menggema di setiap sudut tembok Sekolah, menandakan jika waktu istirahat telah tiba, guru yang tadinya sibuk menjelaskan kini telah menutup buku lalu menatap semua anak murid di kelas favorit itu. "Minggu depan kita akan ulangan harian, saya harap ni-----"
"Laras!" Suara panggilan yang berasal dari seorang gadis memangkas paksa kalimat guru yang belum sepenuhnya usai.
Kepala semua orang yang berada di kelas dua belas matematika dan sains kompak menoleh ke ambang pintu sedangkan, orang yang tak lain bernama Ara kini berdiri canggung karena tatapan semua orang tertuju padanya.
"Mati gue," gumam Ara menuruki kecerobohannya.
Guru yang tengah berbadan dua menarik perhatian anak muridnya kembali. "Saya harap nilai kalian bisa lebih baik dari minggu kemarin. Saya akhiri pertemuan kali ini. Terima kasih."
Ara menyengir kuda ketika guru yang kalimatnya ia pangkas menatap dirinya ketika tiba di hadapan. "Lain kali ketuk pintu dulu Ara. Jangan lupa juga, rambutnya jangan diwarnai!"
Ara menganggukan kepala. "Iya Bu!"
"Kenapa?" tanya Laras yang kini sudah berdiri di depan Ara bersama kedua sahabat, Ava serta Aneska.
Ava menekuk kedua tangan di depan dada sembari menilai penampilan Ara yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai peserta didik, sedangkan orang yang dinilai, balik menatap Ava malas.
"Gue ada urusan sama Laras!" kata Ara to the point sembari menatap Ava, jika bukan karena sepupunya, gadis itu tidak akan sudi berhadapan dengan anak unggulan sombong seperti sahabat Laras.
Gadis berambut keriting panjang membusungkan dada seolah menantang Ara. "Mau apa?!"
Remaja dengan tampilan baju ketat menyunggingkan senyum sinis. "Gue itu sepupunya Laras bodoh!"
Mendengar kalimat itu Ava serta Aneska melongo tak percaya bahkan, kini Aneska menatap Laras dengan tatapan tanya yang diberi anggukan mantap oleh si empu.
"Kok lo engga pernah cerita Ras, atau lo malu ya anggap cewek cabe kayak dia sebagai sepupu lo?" wajah Ava tersenyum sinis pada Ara yang melolot tak percaya.
Ara mendorong bahu Ava cukup kuat. "Jaga mulut lo!" menggenggam pergelangan tangan Laras sebelum menariknya pergi. "Kita pergi!"
"Ava, Aneska. Laras hari ini ke kantin bareng Ara!" pamit Laras sembari berjalan di belakang sepupunya.
Aneska menggeleng tak percaya melihat punggung Laras yang kian kecil dari pandangan. "Gue engga nyangka kalau Ara itu sepupuan sama Laras."
Ava mendengus kasar, dirinya tidak suka melihat kalakuan gadis badung yang membawa Laras tadi meski kenyataannya mereka saudara sepupu. "Gue takut Laras jadi ikutan buruk karena Ara."
Aneka menatap Ava aneh. "Ayolah. Cuma sehari tanpa Laras engga bikin matahari terbit dari barat bukan? Dunia dia bukan cuma tentang kita Va."
Ava hanya bisa mengerucutkan bawah bibirnya. "Gue harus ikutin mereka!"
Aneska melongo menyaksikan kelakuan sahabatnya. "Seriously?! Ava! Tunggu!"
Sementara itu, gadis ber kuncir kuda yang bernama lengkap Laras Friscanara tengah gugup sebab kini, dirinya duduk di antara pentolan sekolah yang terkenal akan kebandelannya, tangan serta kaki seketika terasa dingin saat semua pasang mata menatap dengan tanda tanya besar dikepala.
Melihat euforia ketegangan yang terpancar membuat Ara berinisiatif berdehem agar semua sahabatnya tidak terus menatap Laras dan kian membuat gadis itu ketakutan. "Kalian kenapa lihat sepupu gue gitu? Cantik 'kan dia?"
Seorang remaja berjenis kelamin laki-laki bernama lengkap Evan Agnibrata terkekeh mendengar kalimat Ara, dirinya menilai bila Laras tidak ada yang menarik perhatian kecuali penampilan yang super rapih, berbeda dengan yang ia serta genk kenakan sekarang.
Evan, dengan wajah galak lagi dinginnya berkata. "Dia sepupu lo? Jadi lo juga keponakan kepala sekolah? Baru tahu gue."
Seorang laki-laki yang duduk di samping Evan terkekeh selepas mengeluarkan asap dari dalam mulut. Ezra Adiwangsa namanya. "Kok lo engga jadi kutu buku kayak dia Ra?"
Ara melirik tangan yang sudah digenggam di bawah sana oleh Laras. "Ezra, lo bikin sepupu gue engga nyaman."
Evan mengambil satu batang rokok kemudian menikmatinya seperti yang dilakukan kedua sahabat laki-laki di dekatnya. "Loh bener 'kan? Dia itu temannya buku. Hidupnya monoton dan membosankan."
"Setuju si!" seru Ezra.
Mendengar kalimat penolakan membuat Laras tak tahan dan memutuskan berdiri namun, sebelum ia berhasil pergi pergelangan tangannya dicekal oleh seseorang yang menjadi penyebab jantung berdetak lebih kencang. "Mau kemana?"
Laras menatap tangan Arkan yang menyentuh kulit miliknya untuk kali pertama. "Pe-pergi."
Arkan, remaja pemilik alis tebal dengan satu batang rokok di tangan menilai Laras dari atas hingga bawah. "Duduk dan bilang apa tujuan lo gabung ke meja kita!"
Laras membuka kedua matanya lebar, dirinya merasa sangat beruntung bisa bercakap secara langsung dengan Arkan. "Ma-maksudnya."
Evan menaikkan satu alis menatap Arkan bingung. "Kenapa lo ajak dia gabung?"
Arkan melepas tangan Laras lalu mempersilahkan gadis unggulan itu duduk di sampingnya. "Dia kesini pasti ada tujuannya."
"Kalau gitu apa tujuan lo? Bukannya orang kayak kalian paling males berhadapan sama kita-kita?" tanya Ezra.
Laras dirundung kebingungan, matanya bergelirya kesana-kemari saking gugupnya bahkan, kini ia sudah mencari sinyal pertolongan pada Ara yang sialnya ditolak oleh sepupunya itu.
"La-Laras mau ngucapin makasih. Iya makasih."
"Makasih karena apa?" tanya Evan tak paham.
Laras berusaha mengendalikan dirinya, ia tidak boleh terlihat gugup saat ini. "Laras mau bilang makasih sama Arkan karena waktu itu udah bantuin Laras."
"Bantu? Kapan? Memang gue pernah bantuin lo?" tanya Arkan tak paham, dirinya sering melihat Laras namun hanya dalam sebuah papasan tak berarti, ia mengenal Laras juga karena namanya sering disebut para guru saat upacara atau dalam kelas, ia tidak benar-benar kenal dengan gadis kuncir kuda itu.
Sedikit kecewa karena Arkan sama sekali tidak mengingat pertemuan pertama mereka namun, dirinya memang harus sadar diri akan hal ini. "Waktu kelas sepuluh, Arkan nolongin Laras bukan? Ingat?"
Ketiga lelaki yang menyimak baik kalimat Laras seketika menganggap gadis itu aneh bahkan kini Arkan bingung harus apa untuk menjawab kalimat luar biasa tadi.
"Udah lumayan lama ya. Pantes gue engga inget."
"Ya elah, kejadian itu kapan dan lo ngucapin makasih kapan," cibir Evan pedas, sedikit membuat nyali Laras menciut pasti.
Laras tersenyum menatap Arkan. "Maaf karna sudah sangat terlambat, Laras baru punya keberaniam buat ngucapin ini ke Arkan sekarang."
Arkan mengangguk saja untuk menghormati keberanian gadis itu. "Iya sama-sama."
"Urusan lo udah selesai 'kan? Lo bisa pergi? Gue paling alergi lihat anak unggulan yang sok polos kayak lo," titah Evan dingin, dirinya sama sekali tidak menyukai gadis bernama Laras itu meski masih bersaudara dengan Ara.
Laras yang merasa waktunya telah habis berdiri, pergi meninggalkan ke tiga remaja yang sudah bersahabat dari masa putih biru itu dengan senyum lebar hingga memperlihatkan gigi gingsul miliknya, ini sebuah kemajuan yang sangat signifikan karena biasanya Laras hanya bisa melihat serta memperhatikan Arkan dalam sepi, kini telah bisa berhadapan, bercakap bahkan menyentuh.
...»»——⍟——««...
Gimana menurut kalian part ini? Masih belum terkesan ya?
Apapun respon kalian akan aku tunggu:)
19 Juni 2022
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!