NovelToon NovelToon

Terjerat Hasrat CEO Gila

Mahkota yang Terenggut

"Kau sangat nikmat, Sayang."

Deru napas pria itu beradu seiring dengan rasa kenikmatan yang membuncah dalam dirinya. Kecupan manis tersematkan di kening sosok wanita di sebelahnya yang sudah berhasil melepaskan hasrat yang sempat menggelora.

"Kau berengsek!" umpat seorang wanita yang kesuciannya direnggut paksa oleh seseorang yang sama sekali tidak ia kenal itu.

Kejora terisak pilu. Dalam kuasa penuh pria asing tersebut, ia tidak bisa melakukan apa pun. Kesuciannya yang dijaga selama dua puluh dua tahun itu seakan-akan hanya terbuang sia-sia karena seseorang yang merenggutnya dengan paksa.

Kejora bekerja sebagai pelayan di salah satu hotel besar yang ternama. Awalnya Kejora tengah membersihkan salah satu ruangan, lalu oleh salah satu staff hotel menyuruhnya untuk mengantarkan salah satu koper tamu yang tertukar. Kejora pun menurut dan menuju sebuah kamar untuk mengembalikan koper tersebut.

Namun, siapa sangka perihal koper tersebut membawanya menuju pada petaka yang besar. Tanpa tahu apa yang terjadi, tiba-tiba pemilik kamar tersebut menariknya dan membantingnya ke ranjang. Merenggut apa yang telah ia jaga selama ini dengan mudahnya.

Kejora tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri. Tenaganya tidak sebanding dengan pria yang tengah mendominasi dirinya itu. Cakaran bahkan jambakan pun sudah Kejora lakukan sebagai perlawanan, tapi tetap tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan kekuatan pria tersebut.

Cukup Kejora akui bahwa pria itu memang tampan. Badan menjulang tinggi penuh dengan otot-otot kekar yang nampak menantang. Rahang tegas, hidung mancung, juga struktur wajah yang sangat menggoda. Kejora pun sempat terpesona ketika waktu awal pintu kamar hotel terbuka, tapi rasa kagumnya pada pria itu langsung sirna ketika dirinya malah diperkosa dengan kasarnya.

"K-kau biadab! Tidak punya hati!" umpat Kejora sambil berlinangan air mata. Memberontak dalam pelukan seorang pria di sebelahnya yang tengah menyembunyikan wajah di ceruk leher milik Kejora.

"Diamlah. Jangan berlagak tidak pernah mengangkangi seorang pria!" ungkap pria itu dengan nada serak basah. Kian mengeratkan pelukannya pada seorang wanita yang terus saja memberontak minta dilepaskan.

Kejora memberontak. Memukuli tangan pria yang berada di atas perutnya tadi dengan kasar. "Aku bukan wanita panggilan, sialan!"

"Baru kali ini aku bertemu wanita panggilan yang sok suci sepertimu," kata pria itu sinis. "Berapa tarif yang kau pasang? Aku dengan senang hati membelimu kesucianmu itu."

"Sudah kukatakan aku bukan wanita seperti itu! Lepaskan aku!"

Kejora menggigit tangan pria di perutnya dengan kuat sampai tercetak jelas giginya membekas di sana. Pria tersebut meringis kesakitan, menarik tangannya dan melihat bekas gigitan itu.

Kejora yang melihat kesempatan itu segera mendorong dengan kasar tubuh pria itu sampai terdorong ke lantai lalu meraih lampu tidur di nakas dan memukulkannya pada kepala pria itu.

"Berani-beraninya kau——Akhhh!" jerit pria itu ketika kepalanya di hantam benda keras dengan kuat. Kesadarannya perlahan mulai menghilang, sampai akhirnya ia terbaring di lantai dengan kondisi tidak sadarkan diri.

Napas Kejora naik turun memerhatikan pria tadi yang sudah tidak sadarkan diri. Kejora menurunkan lampu tidur yang tadi ia gunakan untuk memukul pria tersebut secara perlahan. Kejora kalut, rencana itu bahkan terlintas saja di benaknya. Berharap saja tidak akan timbul masalah setelahnya.

Kejora segera turun dari ranjang. Memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai akibat kebrutalan pria tadi yang memerkosanya. Kejora mengangkat baju kerjanya yang sudah robek parah.

Kejora bingung, ia tidak mungkin bisa keluar tanpa mengenakan busana. Dia melihat sebuah koper yang berada di dekat pintu. Lantas ia menarik koper yang dibawanya tadi dan mengambil salah satu sweater lalu memakainya.

Kejora membawa semua barang-barangnya dan segera keluar dari kamar tersebut sebelum pria tadi kembali sadar dan menyakitinya lagi. Kejora merasa dirinya kotor, sudah tidak berharga lagi.

Kejora memilih lewat tangga darurat, lalu melewati jalur belakang hotel agar tidak ada siapa pun yang melihat bagaimana kacaunya dirinya.

Kejora tidak mengindahkan rintik hujan yang kian deras membasahi tubuhnya, malahan ia terus menerobos dan berharap air hujan itu bisa menghilangkan noda-noda hitam dalam tubuhnya.

"Aku menjaganya untuk suamiku, tapi kenapa kau membuatnya merenggut kesucianku, Tuhan?" tanya Kejora pilu.

***

"Akhh ... kepalaku," ringis seorang pria memegangi bagian kepalanya yang berdenyut nyeri. Bangkit dari lantai dan duduk sambil mengamati sekitar.

Pria tadi mengedarkan pandangan ke area sekitar. Dia tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam. Waktu dirinya bangun, kepalanya sudah terasa sakit seperti dihantam batu besar.

Pria itu mengamati tubuhnya yang berada di lantai tanpa mengenakan busana apa pun. Dia mengamati ranjang yang terlihat acak-acakan dengan selimut yang sudah teronggok di dekat jendela. Pria itu merasa bingung, tapi semakin ia mengingatnya semakin sakit kepalanya.

Dalam rasa kebingungannya, deringan ponsel berbunyi dari dalam saku jas yang berada di atas sofa. Pria itu segera berdiri, meraih bathrobe untuk membungkus tubuhnya lalu mengangkat panggilan itu.

"Bagaimana? Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya seseorang di seberang sana.

Pria tersebut menaikkan alis. "Memangnya aku kenapa?"

"Lah, bukannya kau bilang semalam dijebak oleh seseorang dengan obat perangsang? Kau bahkan memintaku untuk menyewakan seorang wanita."

Pria tersebut mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Merasa penasaran ia berjalan menuju ranjang dan melihat seprainya yang masih acak-acakan. Pria tersebut meyakini bahwa kemungkinan tadi malam memang dirinya bermain dengan wanita panggilan kiriman temannya itu.

"Tapi, sayangnya wanita yang kusewa mendadak tidak bisa datang. Dia terbukti terjangkit HIV. Untung saja dia tidak jadi datang, nasibmu aman kali ini, Nich."

Nicholas bukannya senang, tapi malah merespon dengan berbeda. Ia melihat ada noda merah di atas seprai putih yang nampak kontras di sana. Nicholas jadi bingung, jika tadi malam ia tidak tidur dengan wanita panggilan temannya, lantas siapa yang ia tiduri semalam?

"Tunggu, tunggu, maksudmu kau tidak mengirimkan seorang wanita ke kamarku?" tanya Nicholas resah.

"Iya. Aku sudah mengirimkan pesan ke ponselmu untuk memberitahu bahwa dia tidak datang. Apa kau tidak membacanya?"

Nicholas mengecek pesan di ponselnya, benar saja memang ada satu pesan dari temannya yang tidak ia baca. Nicholas sedikit ingat bahwa kemarin ia memang kepanasan dan sudah tidak tahan lagi dengan obat yang merangsang tubuhnya. Kemungkinan nada pesan tersebut tidak sampai ia dengar.

"Nich, ada apa? Apa ada masalah?"

"Tidak. Aku akan menghubungimu nanti," putus Nicholas menghentikan pembicaraan. Ia menaruh ponsel di saku bathrobe yang dipakainya, lalu mengamati kondisi ranjangnya yang sudah acak-acakan.

Nicholas tidak ingat bagaimana kronologisnya semalam. Seingatnya, waktu ia menginjakkan kaki di hotel ada salah satu staff pria memberikan minuman dengan alasan sebagai hadiah penyambutan karena menjadi tamu ke seratus yang menyewa hotel malam itu.

Karena haus juga, Nicholas akhirnya menerima dan menenggak hingga tandas minuman tersebut. Tanpa sadar bahwa dalam obat tersebut sudah dicampuri dengan obat perangsang.

Hal yang membingungkan lagi adalah siapa yang dia tiduri semalam jika temannya tidak jadi mengirimkan wanita panggilan. Nicholas pun tidak tahu siapa wanita yang ia tiduri, tapi yang jelas wanita itu masih menjaga kesuciannya, alias masih perawan.

"Jika bukan, lantas siapa yang aku tiduri semalam?" gumam Nicholas kebingungan memikirkan siapa yang sudah ia gagahi di ranjang itu.

Nicholas memijit pelipisnya. Kepalanya masih sakit dan sekarang tambah sakit memikirkan siapa wanita itu. Ketika Nicholas hendak beranjak, tidak sengaja ia menemukan sebuah tanda kartu pekerja di bawah kolong ranjang lalu mengamatinya dengan seksama. Terlihat foto seorang wanita dan sebuah nama terpampang jelas di sana.

"Kejora Ayodya? Siapa wanita ini?"

....

Cerita ini hadir dalam versi baru dan ada perubahan nama tokoh dan alur cerita..

Semoga suka...

Menghilangkan sisa percintaan

"Kejora, cepat keluar. Nenek sudah memasak. Sarapanlah dulu."

Kejora diam tidak menjawab. Ia menggosok-gosong tubuhnya dengan kasar dan kuat lalu menyiramkan air berulang kali untuk menghilangkan sisa-sisa cumbuan tidak beradab pria asing yang merenggut kesuciannya itu. Namun, berulang kali ia melakukannya, Kejora masih merasa dirinya kotor, dan tetap kotor.

"Kejora, sedang apa kamu di dalam? Apa kamu baik-baik saja? Sudah satu jam kamu di sana, apa tidak kedinginan?" Pintu diketuk berulang kali oleh seorang wanita tua renta karena khawatir dengan cucunya.

Kejora menoleh. "Kejora mandi, Nek. Sebentar lagi Kejora keluar."

"Baiklah. Nenek tunggu di meja makan."

Kejora tersenyum sinis kala mendengar suara langkah menjauh dari arah pintu kamar mandi. Isak tangis Kejora semakin keras. Berulang kali ia memukul dan menggosok tubuhnya untuk menghilangkan noda di tubuhnya, tapi sama sekali tidak membuat dirinya merasa lebih baik. Untung saja air keran di kamar mandi ia buka sehingga suara tangisannya tidak akan terdengar dari luar.

Kejora merasa dirinya hina. Ia merasa kotor dan tidak pantas lagi hidup. Kejora sudah membuat malu dan memberikan aib pada keluarganya jika sampai tahu masalah ini. Kejora tidak berani memberitahu masalah ini kepada neneknya karena khawatir bahwa neneknya akan membenci, membuangnya ke jalanan dan menelantarkannya. Sama seperti yang dilakukan oleh orang tuanya.

Kejora memejam. Rasa sesak di dadanya kian menjadi. Sudah satu jam dia di dalam kamar mandi, tapi sama sekali tidak merasakan kedinginan atau menggigil. Kejora mati rasa. Hatinya begitu hancur sampai tidak tahu harus melakukan apa.

Kejora meraih handuk, mengelap sisa air di tubuhnya. Memakai baju yang sudah ia siapkan tadi dan segera keluar dari kamar mandi. Bagaimanapun Kejora tidak mau membuat neneknya merasa khawatir dengan keadaan dirinya.

"Akhirnya kamu keluar juga, Kejora. Nenek sampai berpikiran negatif kenapa kamu tidak segera keluar dari kamar mandi," tukas sang nenek merasa khawatir. Namun, merasa lega ketika sang cucu sudah duduk di kursi dekat meja makan.

Kejora tersenyum pias menanggapi.

"Astaga, bibirmu pucat sekali. Apa kamu sedang sakit?"

"Tidak, Nek. Mungkin karena airnya dingin jadi membuat bibirku pucat," kilah Kejora berusaha meyakinkan keraguan dari neneknya.

"Lagian kamu berada di dalam kamar mandi selama itu melakukan apa saja, Kejora?" Ratih——neneknya Kejora——menghela napas. "segeralah sarapan. Nanti keburu dingin."

Kejora mengangguk. Lauk sederhana, ada sayur dan tahu tempe sebagai menu andalan. Maklum, Kejora belum gajian bulan ini jadi hanya makan dengan lauk seadanya.

"Di mana Bimo, Nek? Apa dia tidak sarapan?" tanya Kejora karena tidak melihat sang adik datang di meja makan. Biasanya bocah itu yang datang paling awal untuk sarapan.

"Entahlah adikmu itu. Tadi Nenek sudah ke kamarnya. Tapi kapan dia akan keluar, Nenek juga tidak tahu." Ratih menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Bimo! Keluar, Dek! Ayo sarapan!" teriak Kejora dari meja makan. Kebetulan kamarnya dekat dengan meja makan, makanya Kejora hanya berteriak tanpa mendatangi kamar tersebut.

Tidak lama seorang anak kecil datang dari kamar dan langsung duduk dengan wajah murung. Kejora yang melihat itu merasa kebingungan. Tidak biasanya adiknya itu murung seperti ini.

"Bimo, ada apa dengan wajahmu itu? Lalu, kenapa masih baju santai, apa kau tidak akan berangkat sekolah?" heran Kejora sambil melihat adiknya yang masih menunduk.

"Benar kata kakakmu. Sebenarnya kamu itu kenapa, Bimo? Tidak biasanya kamu seperti ini," sahut Ratih juga merasa bingung dengan tingkah cucu keduanya itu.

Bimo mendongak. Linangan air mata itu masih jelas menetes dan mengalir di pipinya. Kejora membulatkan mata, melihat adiknya yang menangis membuatnya kalut. Tidak biasanya bocah itu menangis seperti ini.

"Kenapa kamu menangis? Katakan pada Kakak," desak Kejora.

"Aku diolok-olok oleh teman-temanku karena memakai sepatu yang robek, Kak. Aku tidak mau sekolah. Aku malu!" ungkap Bimo sambil terisak.

Kejora tercekat. Hatinya tersayat mendengar pengakuan adiknya. Kejora tidak tahu bahwa adiknya menanggung rasa malu selama itu. Ia pikir dengan keceriaan Bimo selama ini memang nyata, ternyata hanya topeng saja.

"Aku iri pada teman-temanku yang punya keluarga lengkap. Mereka dimanja dan diantar jemput oleh orang tua mereka ke sekolah menggunakan mobil, sementara aku? Aku harus mengayuh sepeda butut ke sekolah sendirian lalu diejek-ejek karena tidak punya orang tua. Sebenarnya kenapa orang tua kita begitu jahat sampai membuang kita, Kak?"

Kejora tidak bisa lagi membendung air matanya. Bangkit dari kursi dan mendekatkan diri kepada adiknya yang sudah berlinangan air mata lalu memeluknya erat. Memberikan kekuatan pada bocah kecil itu.

"Aku rasa Tuhan tidak adil sama kita, Kak. Kita sudah miskin, tidak punya orang tua. Apa Tuhan mau membuat kita hancur lagi dengan membuat semua orang menghina kita?" tanya Bimo pilu.

Kejora menggeleng. Menghapur air mata adiknya. "Tidak, Bimo. Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk kita. Tuhan hanya memberikan jalan yang sedikit berbeda pada kita."

"Tapi jalan yang diberikan Tuhan pada kita sangat sulit, Kak," balas Bimo mampu membuat Kejora bungkam seribu bahasa.

Kejora jadi berpikir, apakah memang Tuhan tidak berlaku adil padanya? Ditelantarkan orang tua, hidup kekurangan juga dicemooh oleh banyak orang, kesuciannya direnggut paksa oleh orang yang tidak dikenal. Masalah seakan terus saja berdatangan sampai Kejora muak untuk bertahan.

"Kamu yang sabar, Bimo. Kalau Kakak sudah gajian nanti, Kakak akan membelikan sepatu baru untukmu. Agar kamu tidak lagi diejek oleh mereka," tutur Kejora penuh keyakinan.

***

"Sudah mendapatkan informasi tentang wanita itu?"

Nicholas menurunkan kacamata lalu meletakkannya ke meja. Sebelumnya ia sudah mengutus orang untuk menyelidiki siapa yang masuk ke kamarnya malam itu. Nicholas juga berpikir bahwa luka di keningnya pasti perbuatan dari wanita itu.

"Sudah, Tuan. Namanya adalah Kejora Ayodya, salah satu housekeeper yang baru bekerja selama dua bulan belakangan ini. Saya sudah merangkum semua riwayat hidupnya dalam berkas ini. Anda bisa menelisiknya sendiri." Asisten Nicholas bernama Hans memberikan berkas tersebut kepada atasnnya.

Nicholas membuka berkas itu lalu melihat riwayat hidup dan profile wanita yang ia tiduri malam itu. Nicholaa merasa terkejut ketika mengetahui usia dari wanita tersebut. Ternyata masih sangat muda.

"Usianya baru dua puluh tahun?" heran Nicholas.

"Benar. Dia hanya lulusan SMA, lalu bekerja di sebuah hotel atas rekomendasi seseorang di sana," jawab Hans menjelaskan.

"Siapa yang merekomendasikannya? Setahuku hotel itu tidak sembarangan memperkerjakan orang. Persyaratannya untuk bekerja juga lumayan sulit. Dengan kualifikasi wanita ini, aku yakin dia tidak akan diterima dengan mudah bekerja di sana tanpa bantuan orang dalam." Nicholas mengemukakan pendapatnya, karena dia lumayan tahu bagaimana grafik pekerja di hotel yang ia gunakan untuk bermalam waktu itu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa manager dari hotel—Tuan Zein—yang membawa dan merekrut secara pribadi Nona Kejora untuk bekerja di sana."

Nicholas mengelus rahangnya sendiri. Merasa aneh. "Seorang manager turun tangan merekrut pekerja? Aneh sekali."

Hans juga menyadarinya. "Lalu apa yang harus saya lakukan, Tuan? Apa memanggil Nona Kejora untuk datang ke mari?"

Nicholas menggeleng. Dia meletakkan berkas ke meja lalu berdiri dari kursi kebesarannya. Pria itu berjalan menuju kaca besar dalam ruangannya untuk melihat kondisi sekitar dari atas gedung.

"Tidak usah. Aku akan memeriksanya sendiri. Kau pergilah."

Hans segera pergi dari ruangan. Nicholas lantas mengambil kartu pekerja di saku jasnya lalu mengangkat tinggi-tinggi kartu itu.

"Kenapa kau bisa ada di sana waktu aku tidak sadar. Apa ini sebagian dari rencanamu?"

Terjerat Kembali

Kejora memutuskan untuk kembali bekerja setelah libur selama dua hari dengan berdiam diri di rumah. Pagi ini ia datang ke tempat kerjanya tanpa mengenakan seragam kerja dikarenakan seragamnya rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Tidak ada senyum semringah di bibir Kejora seperti biasanya. Wajah datar dan tatapan kosong begitulah ekspresi Kejora saat ini.

Kejora menapakkan kakinya di lobi hotel. Baru saja ia datang sudah disambut bisik-bisik kurang mengenakkan dari para pekerja lain sambil melihatnya. Kejora merasa risih, tapi sudah terbiasa disudutkan seperti ini.

"Kejora, ada apa denganmu? Kenapa kau dua hari ini tidak masuk kerja? Dan juga, di mana seragam kerjamu?" tanya salah satu teman kerja Kejora yang paling dekat dengan Kejora.

"Seragamku sudah rusak. Aku meninggalkannya saat menyetrika. Bolehkah aku meminta seragam baru lagi?" Kejora menatap teman kerjanya yang menatap dengan lekat.

"Oh, baiklah. Tunggu di sini dulu. Akan aku ambilkan." Teman kerjanya Kejora tadi segera beranjak untuk mengambilkan seragam baru di suatu ruangan.

Kejora menunggu sambil memainkan jari di depan paha. Ia begitu gugup berada di lingkungan kerja yang toxic ini. Dia berharap segera saja hari ini berlalu dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi.

"Enaknya, ya, jadi anak kesayangan manager. Absen dua hari saja dibolehkan. Pasti kalau kita-kita sudah ditegur tuh habis-habisan." Salah satu pekerja di bagian resepsionis menyeletuk.

"Ya, pastilah. Kalau kita yang berbuat seperti itu, pasti akan langsung dipecat. Kalau dia mah mau nggak kerja seminggu pun pasti tetap disayang." Seseorang lagi menyahut dengan sinis.

Kejora terdiam mendengarkan semua sindirian itu. Baru saja ia hendak berpikir tenang, malah sudah dibumbui sindiran sinis di pagi hari seperti ini.

"Eh, Kejora, sebenarnya apa sih yang kamu perbuat sampai Pak Zein tunduk sama kamu? Apa kamu menggodanya?" Seseorang mengamati Kejora dengan sinis.

"Pastilah dia menggodanya. Jaman sekarang kan maunya yang serba cepat. Kalau dia tidak menggoda, tidak mungkin Pak Zein akan merekrutnya menjadi pekerja di hotel ini."

Kejora mengepalkan tangan di samping badan. Perkataan mereka sudah sangat keterlaluan. Namun, Kejora tidak bisa berbuat banyak. Karena itu bisa mengancam karir kerjanya.

"Kejora!"

Kejora menoleh ke sumber suara. Ia menegakkan tubuh dan membungkuk hormat ketika seseorang memanggil namanya. Kejora cukup tahu siapa orang itu, orang yang sama yang sudah membantunya untuk bisa bekerja di hotel ini.

"Kau ke mana saja dua hari ini, Kejora? Katanya kau titip absen pada Vio." Zein menatap seorang wanita di depannya yang sudah dua hari tidak ia temui.

"Saya izin sakit, Pak. Jadi tidak masuk kerja," jawab Kejora.

Zein menaikkan sebelah alis. "Sakit? Sakit apa? Apa sudah minum obat?"

"Sudah. Sekarang saya sudah sembuh. Bapak tidak usah khawatir." Kejora tersenyum.

"Syukurlah kalau sudah sembuh. Sudah kubilang untuk makan teratur supaya tidak gampang sakit, tapi kau sangat sulit sekali diingatkan," keluh Zein sambil menatap gusar Kejora.

Kejora tersenyum pias. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak."

Zein berdehem. Memandang area sekitar di mana semua orang malah memandangnya aneh.

"Apa yang kalian lihat? Sudah tidak mau bekerja lagi?" gertak Zein penuh dengan nada ancaman.

Zein memang sangat berpengaruh. Buktinya semua langsung rajin dan pergi ke tempatnya masing-masing. Sebenarnya tanpa sadar perlakuannya itu membuat Kejora dikatai sebagai anak emas oleh pekerja lain. Lalu dibenci dan dihindari.

"Kejora, ini seragamnya——Pak Zein." Vio—Teman kerja Kejora tadi mengangguk hormat ketika melihat atasannya berada di dekatnya.

"Untuk apa seragam itu?" tanya Zein.

"Seragam milik Kejora rusak, Pak. Jadi saya mengambilkannya yang baru di loker."

Zein mengangguk. Melihat penampilan dan aura Kejora yang sangat berbeda dari biasanya. Kejora adalah tipe gadis yang periang dan pekerja keras, tapi di depannya sekarang hanya terlihat seseorang yang putus asa dan kehilangan harapan.

"Terimakasih," ucap Kejora kepada temannya.

"Di mana tanda pengenalmu, Kejora?" Zein melihat tidak adanya kartu pekerja yang mengalung di leher Kejora.

Kejora membulatkan mata. Ia juga meraba bagian lehernya. Tidak tersematkan kartu pekerjanya. Kejora belum melihat benda itu sejak pulang malam dari hotel malam itu. Kejora yakin bahwa kartu miliknya pasti terjatuh saat ia tengah membersihkan kamar atau bahkan waktu pulang ke rumah.

"Maaf, Pak. Nanti saya akan mencarinya," tukas Kejora.

"Kejora, apa kau tidak tahu betapa pentingnya kartu itu? Segera temukan dan pakailah. Kalau tidak ketemu, laporkan padaku." Zein berkata dengan nada tegas dan berwibawa.

Kejora menunduk. "Baik, Pak."

Zein tersenyum. Kejora memang penurut dan mudah diatur. Terbukti waktu ia pertama kali melihat ketulusan Kejora di suatu jalan dekat kota. Karena merasa bahwa dia orang baik, Zein akhirnya membawa Kejora untuk bekerja di hotel tempatnya bekerja.

"Permisi," sela seseorang dari arah pintu bersama seorang asistennya.

Suara pantofel beradu dengan lantai membuat suara khas yang menyita pandangan.

Sosok pria bertubuh tinggi tegap, berjalan dengan dada membusung mendekati manager hotel tersebut. Kacamata yang bertengger di hidungnya dilepaskan lalu dimasukkan ke saku jas miliknya. Pesona dan aura pria berjas navy itu mampu membius tatapan semua orang. Pria itu adalah Nicholas Maferik, orang yang digadang-gadang akan menjadi penerus dari MP Corp.

Kejora menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi ketukan itu. Matanya membulat. Pria asing yang memerkosanya waktu itu tengah berjalan ke arahnya dengan aura angkuh dan sadisnya. Mendadak tangan Kejora bergemetar. Berkeringat dingin. Trauma akan pemaksaan malam itu kembali membayangi dirinya.

"Selamat pagi, Pak Zein. Kami adalah orang yang sebelumnya sudah membuat janji dengan Anda," ucap Hans memperkenalkan, memberikan kartu nama milik perusahaan.

"Selamat pagi. Kalau begitu, mari ikut ke ruangan saya," balas Zein sambil mempersilahkan kedua tamunya untuk menuju ke ruangannya.

Nicholas tersenyum, lantas ia menatap seseorang yang berada tidak jauh dari tubuh Zein.

"Aku juga membutuhkan salah satu pekerjamu untuk membantu sesuatu. Apa bisa kau memenuhinya?" tanya Nicholas.

Zein menaikkan sebelah alis. "Untuk apa? Bukankah kita hanya akan membahas pekerjaan?"

"Tuan Nich perlu pelayan untuk melayani keperluannya, Pak. Rasanya sangat aneh jika Anda yang melayani sendiri." Hans menyela supaya keraguan di hati Zein terhapuskan.

"Ah, baiklah. Kalau begitu ...."

Salah seorang pelayan tiba-tiba datang dan menawarkan diri. Wanita itu bernama Agnes. "Saya saja, Pak!"

"Mm, boleh saja. Mari, Tuan, kita pergi," ajak Zein sebelum perkataan Nicholas menghentikannya.

Nicholas menolak. Ia menolak putusan itu. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari Kejora yang nampak gugup dan bergerak mundur untuk pergi. Kegugupan itu bisa Nicholas rasakan meskipun tanpa ada perkataan apa pun.

"Tidak. Aku memilih dia untuk ikut denganku," ucap Nicholas sambil menunjuk Kejora yang nampak terkejut dengan perkataannya barusan.

Kejora membulatkan mata. Langkahnya seketika terhenti. Tangannya meremas seragam barunya yang ia peluk di depan dada. Kejora masih ingat bagaimana wajah pria yang sudah merenggut kesuciannya itu. Kejora pun tidak menyangka ia akan dipertemukan dengan kondisi seperti ini. Apalagi tiba-tiba ia dipilih tanpa alasan yang jelas.

"S-saya, Tuan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!