...M O O N...
..."Seperti menggenggam bunga mawar dalam pelukan, semakin erat, semakin duri menancap dengan tajam."...
...p r o l o g u e...
Matahari menyongsong agak terik saat kaki jenjang berbalut sepatu—Betty Pumps on Patent Leather—dengan desain mengkilap berjalan melewati setapak tanah yang disamping sisinya tumbuh rumput hijau segar. Kaca mata hitamnya ditarik kebawah, menelisik dari kejauhan, bola mata cokelat cerah itu menatap segumbulan orang melayat yang satu-persatu mulai bersiap untuk meninggalkan tempat.
"Hampir sepi. Untung saja nggak telat."
Pijakan demi pijakan ia lanjutkan, rambut pirangnya pun ikut terbuai akibat hembusan angin. Tubuh dengan kulit cerah itu terbungkus baju hitam. Huft. Memang benar, warna gelap sangat cepat menyerap panas. Terbukti, peluh di dahi bercucuran tanpa henti.
Seakan menjumpai titik temu, satu tangan itu menjulur ke depan, menepuk sebidang bahu. "Sky." panggilnya pelan, sangat pelan.
"Kak Sea!!!" gadis bernama Sky menoleh lantas terpekik, tapi untung bisa ditahan. Jika tidak, bisa mengganggu ketenangan.
Rose Sea Martin, baru tiga puluh menit yang lalu menginjakkan kaki di pintu utama rumahnya, seorang bibi pembantu rumah tangga langsung memberikan kabar duka; bapak Daren Calvin Ardibrata, kepala keluarga yang menempati hunian tepat disamping kanan rumahnya telah berpulang akibat serangan jantung. Lantas Sea bergegas untuk ikut berbela sungkawa karena Mama, Papa dan Adik perempuannya sudah berada di sana.
"Kok kamu atau lainnya nggak ngabarin kakak kalau Om Daren berpulang?"
"Harusnya aku yang tanya. Kenapa kak Sea nggak ngabarin kalau mau pulang ke Indonesia? Gila!!"
Mulut Sea praktis mengatup. Rencananya memang untuk kejutan, makanya ia enggan memberi kabar. Ya sudah. Namanya juga musibah, meski belum bisa berpelukan senang karena tidak sopan bahagia di atas kesedihan orang lain, Sea beralih menatap tanah dibawah untuk mengucapkan doa.
Sea tahu, adik perempuannya itu masih melihatnya dengan tatapan tajam. Ya bagaimana tidak. Sea pantas mendapatkannya. Pasalnya memang ia yang kelewatan. Pulang ke Indonesia adalah hal paling langka yang akan dilakukan oleh Sea. Setidaknya, menurut Sky, ia harus memberitahu, agar si Adik bisa memberi penyambutan dengan baik.
Pundak Sky tertarik keatas lalu kebawah, bersamaan itu, ia meloloskan helaan napas halus. Meski kesal, Sky juga teramat bahagia.
Satu tetes air mata turun di pipi Sea saat suara isak masih saja ia dengar. Jika Sea ingat, istri Almarhum Om Daren-lah yang menagis sembari bersimpuh diatas gundukan tanah, tante Kirana namanya. Meski belasan tahun tak bertatap muka, wajah awet muda tante Kirana tidak Sea lupa.
"Mama." gumam Sea.
Tatapan Sea tak berpaling saat wanita paling dicintainya terekam jelas di depan sana, menenangkan Tante Kirana, menaruh kepala Tante Kirana dibahunya. Itulah gunanya sahabat. Sea juga tidak pernah lupa asal muasal bagaimana rumah besar orang tuanya bisa bersejajar dengan keluarga Ardibrata, tak lain dan tak bukan karena sudah direncanakan, dengan dalih—persahabatan—cukup klasik.
"Kakak nggak mau kesana?" Sky bertanya.
"Nanti saja kalau kerumunan sudah sedikit longgar. Kamu mau kesana dulu?"
Sky mengangguk. Pikir gadis itu sudah cukup bersembunyi dibalik punggung para pelayat lainnya. Alasan Sky melakukan itu karena ia tidak kuat melihat Tante Kirana yang tidak bisa berhenti menangis. Sky memikirkan hal yang iya iya, seperti, bagaimana jika Papa-nya yang saat ini berdiri gagah sembari menepuk pundak Bang Jared mengalami hal yang sama? Meninggalkan dirinya saat ia masih sangat muda.
Sky merinding lantas menggelengkan kepala cepat, menghilangkan bayangan mengerikan.
Sky berjalan lurus menuju kearah Blue, putra kedua keluarga Ardibrata. Laki-laki itu sok tenang, sok kuat, sok sabar. "Blue. Lo mau nangis nggak apa-apa kok. Sini gue peluk. Hari ini gue baik sama lo, nggak tau deh kalau besok."
Blue praktis menggeleng saat Sky membuka lebar tangannya, laki-laki seperti dirinya tidak boleh menangis. Ia tidak mau dicap cengeng seperti Abang-nya. Lihat, pemuda berumur 26 tahun itu tak berhenti mengeluarkan air mata, sama persis seperti Mama-nya. Tak sampai disitu saja, Om Davis sampai ikut campur hingga melibatkan tangannya untuk menepuk pundak yang katanya gagah itu berkali-kali.
Sky masih tak mengubah posisi. "Beneran nggak mau? Gue nggak pernah ngasih penawaran kedua."
Lantas, entah angin dari mana, atau bisikan setan yang mendengung di telinganya mengingat tempat ini adalah pemakaman, Blue menerima pelukan yang ditawarkan oleh Sky. Masih dalam kontek aman, tidak macam-macam, sekedar sentuhan menguatkan, bukan sentuhan akibat hasutan setan yang akan berlari ke arah yang tidak benar.
"Life goes on, Blue. Masih ada mama lo, abang lo, keluarga gue. Lo nggak usah pura-pura kuat, nggak jago akting bodo. Nangis aja, gue nggak bakal bilang ke anak-anak kok, dengan lo nangis bukan berarti lo cowok lemah. Lo tetep ketua basket SMA Hype yang keren dan jago, yang selalu menang di setiap pertandingan, selalu menyabet MVP di setiap turnamen."
Bukannya tenang menangis dalam diam. Setelah Sky mengatakan kalimat cukup menggelikan itu, alih-alih mengabaikan, Blue justru terisak dalam pelukan, punggungya naik turun, suaranya berubah parau, alhasil, lendir yang sudah bercampur air mata menempel dan bersahabat baik dengan rambut kecoklatan milik Sky.
Ya Tuhan, beri hamba kesabaran yang berlipat ganda. Itu adalah doa Sky yang hanya terucap di dalam hati saja. Sebab, tubuh ingin memberontak namun otak menolak. Sembari menepuk-nepuk pelan punggung Blue dengan sabar, diam-diam Sky merelakan rambut wanginya basah, anggap saja hadiah dari Surga karena membantu anak tetangga menuntaskan kesedihannya.
Sedangkan Sea terpaku dengan pemuda yang berdiri di samping Papa-nya.
Dulu, saat malam datang. Di atas hamparan hijaunya rumput yang sedikit lembab akibat embun. Dua anak manusia merelakan bokongnya basah hanya untuk menikmati tempaan cahaya bulan yang sedang menyamar menjadi penerang.
Sea sempat menyalah-pahami bahwasanya orang yang selalu dipikirkan dengan perasaan suka yang tersimpan tepat saat ia menatap bulan adalah dia, namun nyatanya tak bertahan begitu lama, hingga berlarut dan meninggalkan kenangan yang biasa saja, rasa itu telah terlupa dengan mudahnya.
Itu semua bukanlah kisah istimewa. Hanya pertemanan masa kanak-kanak yang patut terhapus oleh masa.
Seperti sekarang. Tak saling mengenal, dan terasa asing untuk menyapa.
Tapi, Sea mendapati sesuatu yang berbeda.
Tampan.
Hanya satu kata itu yang terlintas di otak nakalnya. Rencana bercabang lantas muncul tanpa ampun. Sea seperti tahu bagaimana caranya pulang, bagaimana caranya memulai permainan, bagaimana caranya membuat hatinya senang.
Meski hanya sementara.
Karena Sea butuh obat segera. Maka, pilihan ia jatuhkan kepadanya. Kepada dia yang selalu Sea ingat hanya tiap kali ia memandang bulan—Arve Jared Ardibrata.
"Red," gumamnya, kedua sudut bibir Sea tertarik keatas sembari menatap pemuda yang ia sebut namanya dengan dalam, kedua pergelangan tangannya yang memar membiru namun tertutup balutan panjang ia elus dengan pelan. "Sorry, I'll trouble you after this."
Waktu bersenang-senang sudah habis, peluh yang keluar dari seluruh tubuh akibat olahraga di ranjang juga sudah membasahi penuh, Red tidak bisa berleha-leha dan terus mendekam kepala kekasih kedalam dada bidangnya meski kakinya enggan beranjak.
Kalau ditanya Rubby marah apa tidak?
Jawabannya tentu saja marah.
Marah besar, pasalnya ini terjadi bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Siapa yang tidak marah jika akhir pekan yang seharusnya dihabiskan berdua dengan kekasih tercinta harus terusik oleh Sea yang manja. Cuih. Gadis bernama Sea memang musuh nomer satu bagi Rubby.
Sejak enam bulan yang lalu.
Sejak Sea memperkenalkan diri sebagai kenalan Red waktu kecil.
Sejak Sea mengatakan di depan Rubby jika gadis itu menyukai Red.
Gila.
Sea memang gila untuk orang senormal Rubby.
"Kamu nggak bisa menolak? Sekali aja."
Meski dengan nada teramat lembut. Percikan marah yang terpancar dari mata Rubby tidak bisa ditampik begitu saja. Demi Tuhan. Red juga enggan beranjak sebenarnya.
"Bisa. Sangat bisa. Tapi mama pasti marah."
Oke. Rubby mengalah. Untuk kesekian kalinya. "Lain kali, sumpah ya, aku jambak rambut Sea."
Red yang sedang membenahi tampilan karena memang benar-benar baru saja mandi besar itu lantas tertawa mendengar Rubby yang dengan lucunya mempraktekkan bagaimana cara menjambak rambut Sea.
Red mendekati Rubby yang sedang duduk di tepi ranjang. "Kamu percaya sama aku 'kan?"
Rubby mengangguk, mengulum senyum. Semarah apapun ia dengan kekasihnya. Mau bagaimana, Red sudah benar-benar meyakinkan Rubby jika pemuda Ardibrata itu sama sekali tidak menaruh hati kepada Sea ataupun gadis lain di luaran sana.
Red menilai jika Sea hanyalah angin lalu saja, yang tak harus dianggap omong kosongnya. Jika dipikir kembali, gadis itu tak tahu malu. Disini Indonesia. Tapi Sea menerapkan budaya barat yang bisa nemplok ke siapa saja. Termasuk kepada dirinya dan terang-terangan menyatakan perasaan suka.
"Oh. Lupa. Ada titipan dari Sky, katanya buat kamu." ucap Red tiba-tiba, karena memang hampir lupa jika matanya tak melirik ke arah sofa dimana bingkisan berwarna cream ada disana.
Rubby memang akrab dengan Sky si gadis SMA cantik tetangga kekasihnya, yang Rubby tahu hanyalah anak tunggal dari keluarga Martin, eh, tahunya punya Kakak modelan mak lampir.
Rubby menerima benda yang diulurkan oleh Red. "Apa?"
"Nggak tau. Buka aja."
Sumpah demi kantong Rubby yang sangat minim dan susah buat ngeluarin untuk beli barang-barang tak berguna, gadis seumur Sky bisa memberikan hadiah mewah meski hanya terlihat dari bungkusnya saja.
"Aku kembaliin aja ya. Nggak mau buka."
"Nggak usah, nanti anaknya tersinggung. Cuma itu doang sih terima saja."
Satu buah jam tangan Cartier berwarna gold, Rubby membaca di box mewah benda itu, lalu membuka google, fantastis, harganya kurang lebih 500 juta. Rubby tampak lesu. Tapi jujur dadanya mencelos dengan ucapan Red—cuma itu doang.
Rubby tahu. Red keluarga konglomerat, begitupun dengan Sky yang seenak jidat suka membelikan Rubby barang-barang mewah seperti ini. Tapi sumpah demi apapun, Rubby tak bisa sesantai dulu, sesantai sebelum tahu Sky adalah adik dari Sea yang berpotensi merebut Red dari pelukannya.
Mau dilihat dari sisi manapun, menurut Rubby, Sea tidak ada kurangnya.
Cantik, iya.
Kaya, sangat.
Rubby sadar diri mengingat ia hanyalah seorang model dari perusahaan besar, hanya model yang jika sudah tua nanti bakalan tak laku di pasaran.
"Aku berangkat dulu. Janji, minggu depan aku habisin waktu buat kamu. Ngertiin aku ya. Pelan-pelan aku ngomong ke mama biar nggak begini terus."
"Jangan libatin aku."
Maksud Rubby jangan melibatkan dirinya saat nanti Red akan menuai protes ke sang Mama.
"Iya." Jawab teduh Red.
Maka dengan begitu Red tenggelam dilahap pintu keluar. Bergegas menuju lantai satu dengan perasaan teramat menyesal.
Red harus memutar kemudinya lagi setelah tepat keluar dari hunian gadis yang sudah sejak lama menjadi kekasihnya—Rubby Jane Abdigara.
Red memukul setir. Bagaimana tidak. Ia masih sangat emosi sekali saat ini. Disaat ingin menambah ronde kedua dengan Rubby di kamar mandi sembari membilas diri. Satu pesan mengharuskan Red untuk pergi.
+62xxxxx
Aku di mall Sentra Ardibrata, tersesat, tidak bisa pulang, tidak mau naik taxi. Kamu harus menjemputku. Atau aku bilang papa.
Nomer yang sangat enggan untuk Red beri nama di ponselnya adalah milik dari Rose Sea Martin, anak dari Om Davis. Jika bukan karena dia putri kesayangan dari keluarga Martin, Red tidak akan menurut seperti ini.
Tancapan gas Red kencangkan, sedikit lagi mobil SUV hitam miliknya memasuki arena mall. Belum sempat Red membelokkan benda bermesin itu, tiga sosok yang sedang bercengkrama membuat ia harus menghentikan mobilnya secara mendadak.
Red menurunkan kaca. "Nggak bisa pulang sendirian? Tersesat?" sarkasnya.
Sea, gadis itu langsung membuka pintu mobil yang sudah tidak dikunci oleh Red, duduk di samping Red, lalu disisul Blue dan Sky yang menempati jok belakang.
Kenyataan memang menyebalkan bukan?
Red sungguh ingin melempar tiga orang ini ke planet...entahlah. Darahnya mendidih, kepalanya pun sudah mengepul mengeluarkan berbagai asap atau semacamnya.
"Sorry. Aku mau ajak kamu liburan. Dua hari. Harus mau."
"Gue nggak mau. Habis ini gue anter lo pulang. Gue harus balik nemenin pacar gue."
Blue dan Sky sebagai pengamat tenang-tenang saja dibelakang, tidak mau ikut campur. Pasalnya mereka tahu jika si rambut pirang pasti bisa memaksa dengan ancaman yang selalu saja ada dan si pemuda tukang menolak pasti akhirnya kalah talak.
"Atau....."
"Lo nggak punya kerjaan?"
"Punya."
"Nah." Red mulai menyalakan mesin SUV hitam miliknya lagi. "Gue anter pulang lo sekarang, urusin kerjaan lo itu."
"Kerjaan aku ya gangguin kamu." Jawab Sea polos, yang lantas membuat Red memejamkan mata sejenak. "Oke. Seperti permintaan kamu, aku turutin, sekarang go bandara Ardikara" dan jawaban Sea selanjutnya membuat Red tambah gila.
Bandara?
Ardikara?
Sesuai namanya yaitu Ardikara, yang berasal dari bahasa Jawa, yang mana itu adalah kakek dari Rose Sea Martin dari sang ibu yaitu Rara Sekar Ardikara, maka bisa dipastikan Bandara itu adalah kepemilikan keluarga besar Martin. Red bisa tahu karena ya memang sudah tahu sejak dulu.
Tapi pertanyaannya.
Memangnya mau liburan kemana?
"Lo memangnya mau kemana?"
"Lombok, Oberoi Lombok."
Red sudah tidak mau menjawab lagi, matanya hanya masih melihat Sea dengan datar, dan gadis yang selalu memakai pakaian hitam serba panjang itu hanya mengangkat kedua alis bersamaan, sumpah demi weekend yang sialan, Sea sama sekali tidak merasa jika permintaan liburan konyolnya ini sangat tidak diinginkan oleh Red.
Terlebih Red harus meninggalkan Rubby yang merana di apartemen, sendirian.
"Lo memang hobi nyusahin orang."
"Makasih Red buat pujiannya. Kamu ganteng kalau marah-marah terus. Sering-sering ya."
Setelahnya Red menancap gas dengan perasaan dongkol tak tertahankan.
***
Bentangan langit menguning, sangat indah dan menyejukkan mata. Di depan sana ada kolam renang super besar dengan pemandangan pantai lepas, sangat pas untuk tempat healing bagi manusia-manusia pecinta senja.
Red duduk sendirian, masih pening dengan amukan Rubby yang baru saja terurai lewat panggilan suara. Seakan pemandangan di depannya itu tak berarti apa-apa, definisi healing di saat langit menguning hanyalah omong kosong belaka, nyatanya Red merasakan kepalanya memberat.
"Rubby marah sama kamu?"
"Lo masih sempet tanya itu?"
Sea yang berjalan dari belakang mendekat dengan sepenggal pertanyaan yang sama sekali tidak butuh jawaban. Red total muak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa saat sang Mama menitip pesan untuk menjaga Sea yang sudah ada disampingnya dan kedua anak remaja yang sedang asik bermain di pantai sana.
"Aku nggak akan minta maaf." Bersamaan itu Sea mendudukkan diri persis disamping Red, menenggelamkan lutut sampai telapak kaki di air kolam.
"Gue tahu lo emang nggak tau diri."
Sea hanya tersenyum saat Red menatapnya dengan marah. Pemuda Ardibrata tak habis pikir dengan Sea yang selalu tenang saat ia mengumpat, berkata kasar bahkan meneriakinya dengan keras, tanpa bosan dan lupa, Sea hanya diam dan sesekali tersenyum sebisanya.
Sekali saja, Red ingin Sea berbalik memarahinya atau paling tidak membalas umpatannya, maka, saat itu terjadi, Red bersumpah akan melempar Sea keluar angkasa, biar adil.
Red kembali menatap arah depan, persis di genangan air yang terdapat pasir pantai. "Lo masuk nggak cuci kaki dan langsung kesini? Ngotorin kolam?" tanyanya tersungut lagi.
Astaga.
Apapun yang dilakukan Sea tampak salah. Nanti juga di bersihin oleh petugasnya. Sea membayar mahal untuk menyewa tempat ini, jadi gadis itu bisa melakukan apa saja.
"Ini kan lagi di bersihin, Red. Kamu lihat sendiri 'kan. Nih." Sea tambah menggoyangkan kakinya di dalam kolam.
"Berdiri nggak!! Keluar, mandi sana."
Bukan tanpa alasan Red menyuruh Sea untuk segera beranjak. Selain mengganggu pemandangan dan suasana hatinya. Red gatal mata melihat penampilan Sea yang terbuka.
Oke.
Masalah bikini seharusnya tidak membikin ribet pemuda yang notabennya sudah sering melihat tubuh seksi telanjang Rubby. Tapi lebih daripada itu, gadis di depannya adalah Sea, bukan kekasihnya.
Red itu pemuda normal, masih bisa terangsang meski bersumpah setia dengan Rubby seorang. Makanya ia kerab sekali membatasi hal-hal yang berpotensi membuatnya berpaling, bukankah asal ketertarikan itu berasal dari mata lalu turun ke hati. Jangan sampai Red tertarik dengan Sea yang begini.
Sedangkan Sea masih tidak menggubris. Meninggalkan Red yang sudah berdiri duluan dan pemuda itu tetap setia menungguinya tepat di belakang punggung.
"Se. Berdiri nggak lo? Atau gue tarik tangan lo."
Sumpah demi mata keranjang para lelaki di luar sana. Jika saat ini disuguhi tali bra yang nampak jelas meski Sea sudah berusaha menutupi dengan kardigan panjang yang menerawang, maka sudah bisa dipastikan, Sea akan habis di ranjang.
"Se..."
"Aku nggak mau, Red. Kamu aja sendiri sana yang mandi. Mau mandi bareng aku emang?"
Astaga. Mulut gadis ini minta di gaplok pakai sandal.
"Nggak sudi."
Sea menoleh kebelakang, kepalanya mendongak, "Yaudah, sana kamu duluan." usirnya dengan tangan melambai-lambai.
Meski dipaksa begitu. Red tak menuruti. Pemuda itu memilih membungkuk, lalu tangan kekarnya mencengkram pergelangan tangan Sea. Dalam hitungan detik, Sea berhasil berdiri karena Red menariknya dengan cepat.
"Aw." Pekikan keras terdengar. "Red, sakit." adunya.
Red sudah mengira-ira jika yang ia lakukan tak sampai bisa menyakiti Sea. Reaksi gadis ini sungguh berlebihan. Tapi sedetik kemudian, Red memandang wajah Sea yang memerah, air mata juga sudah berjatuhan.
"Anjing, tangan lo kenapa?"
"Le-lepasin!!" Sea merengek, pun raut wajahnya kebingungan.
"Jawab gue, kenapa pergelangan tangan lo memar?" Red mengangkat tangan kiri Sea, kebetulan yang lebih mengerikan adalah, tangan kanan Sea yang mencoba menolong tangan kiri mendapat tanda memar yang sama.
Sea menggeleng. Tetap tak mau menjawab dan mencoba untuk melepaskan diri. Red tidak tega dan mengendurkan cengkramannya. Disaat semua sudah terlepas sempurna, Sea berlari menuju kamar penginapan.
Red yang masih syok hanya memandangi punggung Sea yang akhirnya sudah masuk seutuhnya ke dalam kamar. "Itu alesan lo selalu pakai baju lengan panjang?" gumamnya.
Tak tahu pasti akan praduganya. Tapi jika diingat-ingat, Sea memang tak pernah memakai lengan pendek, seperti memakai bikini barusan tadi, Sea masih melapisinya dengan kardigan lengan panjang, meski menerawang, mata Red tetap bisa teliti mendapati memar yang begitu membiru di kedua pergelangan tangan Sea.
Red yang begitu penasaran dan merasa punya tanggung jawab seperti pesan sang Mama, maka ia segera berlari menyusul Sea. Mau bagaimanapun, Red harus mendapatkan jawaban.
+62xxx
Red. Kamu dimana?
Seminggu sudah berlalu. Nomer ponsel gadis pengganggu itu selama enam hari tidak aktif. Kenapa baru sekarang, di akhir pekan pula Sea harus menghubungi Red segala.
Kekhawatiran pemuda Ardibrata sudah kadaluarsa ngomong-ngomong.
Bagaimana tidak.
Masih ingat liburan menyebalkan di lombok pekan lalu? Dimana Red mendapati kedua pergelangan dengan memar membiru pada gadis itu? Disaat Red kebingungan menggedor pintu kamar Sea untuk menuntut penjelasan, gadis itu seakan tuli, tidak perduli.
Red sampai menunggui ber-jam-jam dan berakhir sia-sia sebab kedua remaja yang super riweh yang hampir kelupaan atensinya memaksa Red untuk menemani keluar buat jalan-jalan. Sepulang ketiganya dari acara malam mengasyikkan, tanpa disangka, satu pesan membuat darah Red naik pitam—Sea berpamit duluan, gadis itu mengatakan bahwa dirinya sudah berada di Negara sebelah—Singapura—meninggalkan Red, Sky dan Blue di Lombok dalam keterkejutan, sialan bukan.
Red:
Gue lagi bareng Rubby. Jangan ganggu.
Kali ini Red tidak akan sudi untuk menuruti kemauan Sea lagi. Red segera memasukkan ponselnya kembali saat selesai membalas pesan dari nomer yang masih belum dipersilahkan diberi nama dalam ponselnya.
"Siapa?"
"Nggak penting."
Rubby diam. Gadis itu tak mungkin akan bertanya jika tak melihat raut kesal wajah kekasihnya setelah satu dentingan ponsel mengganggu acara mereka berdua yang sedang menikmati movie dari aplikasi Netflix.
Red sepagi tadi sudah mendatangi apartemen Rubby. Meminta makan, halah, itu hanya alasan, pasalnya Red sangat merindukan gadis pujaannya. Tapi jika itu menuntut urusan perut seperti awal, Red tetap memaksa Rubby untuk memasak makanan.
"Kamu ditanyain mama, kapan mau main kerumah, lama nggak main katanya." Red mengalihkan topik.
"Nggak dulu ya." jawab Rubby, gadis itu memalingkan muka lagi pada layar besar di depannya. Red total dianggurkan.
Red praktis Bingung. Pasalnya Rubby nampak ragu dalam menjawab meski gadis itu telah menolak. "Kenapa?"
"Yang jelas, aku pasti bakal lempar Sea pakai panci mama Kirana kalau sampai cewek itu tiba-tiba muncul dirumahmu. Dan aku belum siap buat ngelakuin hal keji itu."
Sontak Red tertawa. Perkara Sea belum berakhir di benak Rubby-nya. Ya mana ada sih yang rela pacarnya di sandera terus-terusan.
"Kamu gemesin tau."
"Iya gemesin. Terus kalau misal aku jadi lempar Sea pakai panci, bisa jadi mama Kirana masukin aku dalam daftar hitam calon menantu, dan aku nggak mau itu terjadi. Kamu ngertiin dong, aku sudah sabar banget ini."
Red hanya mengulum senyum, jemarinya menyisir rambut hitam legam milik Rubby. Red paham dan tak mau menjawab atau menambahi apapun. Jika Rubby sudah cerewet begini, gadis itu cuma ingin di mengerti tanpa Red harus menasehati.
Sedangkan hati Rubby masih berkecamuk benci. Meski sudah berkali-kali Red mengatakan jika Sea hanya dianggap teman biasa, tetangga dekat dan hanya akan berakhir menjadi kerabat, tapi tak menampik kemungkinan jika kekasihnya itu berjodoh dengan Sea. Takdir mana ada yang tau.
Tapi, ngomong-ngomong soal takdir, mau Rubby menali erat benang merah bersama Red, jika Tuhan memutus paksa mau bagaimana?
*+*62xxx
Aku lagi di cafe. Kamu nggak mau kesini, bagus tempatnya. Aku tunggu.
*+*62xxx
Share location
Kali ini Rubby menyaut ponsel Red yang baru saja pemuda itu keluarkan dari celana. Gadis dengan overprotective tinggi itu kian meradang melihat pesan masuk yang sudah dipastikan dari Sea.
"Kali ini, kamu mau pergi?"
Senyum kotak khas pemuda Ardibrata kesayangan Rubby melebar, membuat gadis itu tambah semakin panas di dadanya. Tapi gelengan pelan dari kekasihnya membuat Rubby mendadak lega.
"Kalau sampai kamu pergi. Aku nggak tau mau gimana lagi."
"Misalnya?"
"Ya nggak tau. Kan aku ngomongnya nggak tau lagi."
Red mengangguk-angguk. "Berarti aku boleh pergi dong. Kamu kan nggak akan ngapa-ngapin."
"Kamu masih berani mau pergi, ya udah sana pergi, kita pu.."
Satu kecupan mendarat, membungkam Rubby yang akan melemparkan badai mengerikan. "Jangan pernah ngucapin kata itu. Aku nggak suka." suara dalam dan aura mematikan membuat Rubby hanya mengedipkan mata berkali-kali, jika sudah begini, maka Rubby tak harus menimpali, tahu betul jika kekasihnya lebih dari pada serius.
Red sangat tidak suka jika harus mendengar kata putus dari Rubby. Apapun, apapun sudah Red lakukan. Jika ditanya kenapa akhir pekan Red selalu datang menemui Rubby daripada hal lainnya? Misal bertemu dengan teman-temannya atau menghabiskan waktu bersama keluara, ibu atau adiknya?
Semua hanya demi Rubby.
Alasan Red tidak punya teman banyak, khusunya perempuan hanya karena Rubby yang terlalu cemburu dan suka menaruh curiga, bahkan sejak keduanya duduk di bangku SMA, siapapun yang mendekati Red, tak segan-segan Rubby damprat secara langsung.
Parahnya, sampai sekarang, Red tidak bisa memiliki teman perempuan, yang selalu berada di dekatnya dari dulu hanya Sky. Tapi semenjak enam bulan yang lalu hadirlah Sea yang memang tak bisa ia abaikan seperti gadis-gadis lainnya.
Bagi Red saat ini hanyalah bagaimana ia harus tetap dekat dengan Rubby dan tak membuat gadis itu kecewa padanya, karena jujur, Red sudah jatuh terlalu dalam.
"Edward minggu depan mau ngajak main, eh bukan main sih, tapi ninjau lokasi sekalian pulang kampung."
"Ke Bandung?"
Red mengangguk. Edward adalah mitra bisnis sekaligus teman. Rubby kenal, sangat malah, ketiganya satu SMA di Bandung dulunya.
Perlu digaris bawahi. Hanya teman laki-laki yang bisa menempel kepada Red, itupun harus dengan persetujuan Rubby.
"Edward nggak ada niat cari pacar?"
Red praktis menoleh. Tumben kekasih cubby-nya ini perhatian akan nasib Edward yang menjomlo sejak embrio.
"Ada niat, tapi ya susah dapetnya, katanya nggak ada yang buat dia tergoda."
"Sejelek-jeleknya Edward aku yakin setan juga pernah godain dia."
Red hanya tertawa, kenapa Rubby jadi random begini. Apa benar efek cemburunya kepada Sea membuat Rubby benar-benar terserang zelophobia?
Kalau begitu, Red harus lebih tegas lagi untuk membentengi diri.
***
Red memarkir mobilnya, waktu menunjukkan pukul lima sore saat ia baru saja sampai di depan rumah. Hari sabtu ini sangat sukses ia habiskan dengan Rubby meski memang mengharuskan pemuda itu untuk tetap pulang, tapi lumayan bukan, sedari pagi buta sampai jam lima. Setidaknya masih ada sisa waktu untuk bercengkrama dengan Kirana, ibunya.
Red lebih bijak dibandingkan dulu. Sudah tidak pernah lagi menginap sesuka hati di apartemen Rubby. Semenjak Daren, ayahnya, berpulang ke pangkuan Tuhan. Red seperti mendapat teguran, seakan diingatkan jika waktu bersenang-sedang sudah habis.
Umur semakin bertambah, tanggung jawab juga semakin besar. Peninggalkan Ardibrata tidak main-main, jika Red ceroboh sedikit saja, ia tidak akan punya apa-apa untuk menunjang kehidupannya.
Diawal memang sangat mengawatirkan, kurang lebih sejak enam bulan yang lalu, semenjak ayahnya meninggal, ia harus kelimpungan mengurusi perusahaan, tapi untung seribu untung, ada Davis, sahabat ayahnya sekaligus tetangga yang suka rela membantu.
Ngomong-ngomong soal Davis, pria paruh baya itu sedang bejalan menuju ke arah Red yang baru saja keluar dari mobilnya.
"Sore om."
"Lho. Sea mana? Om ada perlu, om telfon hp-nya mati, om juga telfon kamu, tapi hp-mu juga mati."
"Sea nggak sama aku om."
"Gimana to? Tadi katanya pamitan mau pergi sama kamu."
Mampus. Red benar-benar mengabaikan Sea ternyata. Pasalnya semenjak pukul sembilan pagi Sea mengajak Red untuk bertemu di cafe.
Apa gadis itu masih disana?
"Enggak om. Aku nggak ketemu Sea."
Davis tak menuntut penjelasan apapun lagi, pria agak kebulean tapi berbicara dengan aksen jawa itu langsung merogoh ponselnya, menghubungi Bambang, pihak kepolisian untuk segera mencari Sea. Terkesan berlebihan, tapi anak gadisnya yang satu ini memang sesekali harus mendapatkan kejutan, Davis sudah teramat sering dibuat geram karena Sea sering sekali mendadak hilang, dan beberapa hari baru pulang.
Sedangkan Red membuka ponselnya yang memang sengaja ia matikan agar tak diganggu oleh Sea, ternyata keputusan Red adalah kesalahan besar. Sial. Benar kata Om Davis, ponsel Sea tidak bisa dihubungi.
"Om, aku cari di tempat-tempat dekat, atau yang biasanya dikunjungi Sea."
"Iya, cepat kamu cari sana, seret pulang kalau perlu."
Red bergidik ngeri mendengar kegeraman Davis. Tapi Red juga merasa bersalah. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Sea. Dada Red tiba-tiba nyeri saat membelokkan mobil ke arah kiri, ingatannya kembali pada pekan lalu, dimana ia menemukan pergelangan tangan Sea yang membiru, mendadak perasaan tidak enak berkumpul jadi satu dan membuat hati Red ngilu.
Red takut.
Red berhenti. Membuka ponselnya kembali. Melihat lokasi cafe terakhir yang dikirimkan Sea untuknya. Tidak terlalu jauh dan Red segera bergegas untuk mendatangi tempat itu.
Nihil.
Sea tidak ada di tempat.
Red:
Lo kemana bangsat?
Pending.
Red:
Brengsek, jawab gue.
Pending.
"Sial."
Red memutar kemudi lagi. Sekarang pemuda itu menuju perpustakaan umum di penjuru kota Jakarta. Sea sangat gemar duduk berjam-jam di tempat surganya ilmu. Cih, sok rajin. Bahkan Red saja tidak tahu Sea itu kuliah apa tidak, atau sudah lulus apa belum, entahlah, setidak-perduli itu Red kepada Sea.
Satu-persatu sudah Red datangi, tapi nihil, tidak ada, bahkan Red sudah keluar semenjak dua jam hanya untuk memutari kota Jakarta.
"Sky, sudah ketemu?" Red mengangkat telfon dari Sky, tanpa basa-basi pasti adik dari Sea itu juga tahu dengan kabar menghilangnya Sea.
"Lo apain kakak gue, bang?"
"Gue nggak ngapa-ngapain, cuma nolak buat ketemu. Lo tahu sendiri, ini akhir pekan Sky. Nggak harusnya gue ninggalin Rubby seperti minggu lalu 'kan?"
"Ya-ya, gue tau sih bang, tapi kan lo nggak harus nolak, setidaknya temuin kek, anterin pulang kek, kak Sea baru aja balik dari Singapura dan cuma pengen nemuin lo doang, dirumah ribut nih, mama nangis tau. Gue nggak akan bilang kalau ini gara-gara lo. Tapi jaminannya lo harus nemuin kak Sea. Gue sayang lo, tapi gue lebih sayang kakak gue."
Sial.
Panggilan ditutup sebelum Red sempat menjawab atau setidaknya menyangkal. Semua memang gara-gara Sea. Tapi lebih daripada itu, atau marah saat ini tidak perlu, Red kembali menancap gas lagi untuk melanjutkan mencari Sea.
Lelah.
Red berhenti dibawah pohon. Mengurung kepala di atas setir. Sedikit meredakan pikiran khawatir. Pemuda itu membuka ponselnya lagi.
Red:
Se, lo kemana sih?
Read.
Line dari Red dibaca oleh Sea. Sialan memang. Red langsung menelfon gadis itu.
"Lo kemana aja sih?"
"Kamu kenapa? Kok teriak."
"Sialan, kemana lo? Gue jemput?"
Sea memang gadis tidak tahu diri. Sesantai itu menjawab teriakan keras dari Red. Tidak tahukan Sea jika Red saat ini sudah kelimpungan mencarinya.
"Jangan! Aku nggak pulang."
"Setidaknya ngomong. Ngomong sama om Davis, atau tante Sekar. Biar orang-prang nggak khawatir goblok."
Red total marah. Kata kasar memang sudah tidak bisa disaring lagi. Sea masih diam dan semakin membuat Red geram. "Kemana lo? Kenapa hape lo mati sedari tadi?"
"Maaf Red. Aku nggak sempet bawa wifi."
Dada Red seperti berhenti berdetak. "Lo sekarang dimana?" Tanyanya lebih tegas.
Lupa bawa wifi!!!
Kemana lagi? Pasti diluar Negeri. Gadis itu kelayapan kemana lagi? Ya Tuhan. Red semakin lama semakin harus ikut campur tangan kah? Kenapa hal-hal seperti ini harus ditemuinya lagi.
"Ak-aku di Thailand. Tapi aku punya alesan kok. Temenku Lala, orang Thailand tadi telefon, katanya besok ada Songkran Water Festival, aku pengen banget lihat secara langsung, jadinya..."
"Jadinya lo sampai lupa kalau semua orang bakalan khawtir dengan tingkah tolol lo itu. Sea, gue bener-bener muak sama lo. Lo pulang sekarang, atau gue susul, gue seret sampai ngesot tanah lo."
"Enggak. Jangan Red. Oke. Aku telefon papa buat ngabarin, sumpah, aku emang belum sempet dapet wifi. Kamu stay oke. Tapi kamu sekarang dimana?"
Sekali lagi, kenapa sih Sea tidak bisa berteriak sama seperti bagaimana Red meneriakinya. Red jadi bingung katena tidak bisa marah dengan terus-terusan.
Tutur kata Sea memang seperti gadis terhormat, tersusun rapi dan teramat berwibawa, berbeda dengan kelakuannya yang seenaknya saja. Terkadang Red sedikit luluh jika Sea hanya menimpali dengan khas kalemnya.
"Gue di pinggir jalan. Dua jam nyariin lo."
"Kamu pulang. Aku bener-bener minta maaf. Ya. Maafin aku. Ya udah aku tutup. Aku mau telefon papa dulu."
Red merebahkan punggung di di kursi kemudinya, memejamkan mata sembari menaruh ponsel yang baru terputus sambungan telephone.
Perasaan khawatir yang menyerbu dadanya dengan sangat mudah berganti menjadi murka. Red tidak tahu pasti, kenapa dirinya teramat risih dengan kehadiran Sea tapi juga sangat khawatir jika gadis itu kenapa-napa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!