NovelToon NovelToon

Jejak Cinta RAHWANA

Kuara 1.

Halo warga. Ketemu lagi di novel ke-4 ku. Kali ini, aku belajar buat pov. Dan mohon bantuan dari kalian ya. Soalnya aku masih belajar. Kalau nanti ada yang bikin bingung atau ada kekurangan, tolong kasih tau aku. Jangan segan-segan.

Semoga kalian suka sama cerita ini. Sebenernya cerita ini lebih dulu ku tulis daripada Semesta Rai. Waktu itu mandeg ide. Syukurlah sekarang idenya udah ngalir lagi.

Untuk jadi perhatian. Di novel ini, aku bakalan ngadain doorprise hadiah berupa pulsa buat kalian yang nangkring di tiga besar rangking top fans pembaca. Caranya gampang. Kalian tinggal kirim hadiah sebanyak-banyaknya. Like, komentar, dan jangan lupa votenya di setiap hari senin juga. dan, tolong beri novel ini bintang lima. supaya aku tambah semangat nulisnya.

follow juga Ig ku yaa..

@ini_piel

Selamat membaca...

*****

Perpustakaan Yayasan Budaya Halim Abimanyu.

Panas terik tidak menyurutkan minat para mahasiswa dan mahasiswi untuk mendatangi gedung yang berada di area Universitas Halim Abimanyu. Universitas swasta paling bergengsi di kota Jogja ini. Di depan konter peminjaman kunci loker, antrian sudah mengular bahkan hampir sampai di depan pintu masuk utama.

Namaku Intan Kuara, umurku 20 tahun dengan tinggi 175 cm. Wajah putih bersih yang kudapat dari ayahku yang merupakan seorang artis berhasil menonjolkanku. Aku adalah salah satu mahasiswi jurusan Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya di kampus ini. Masa perkuliahanku baru menginjak pertengahan semester pertama.

Di masa-masa ini, aku sedang asyik-asyiknya menekuni dunia perkuliahan. Berusaha menyelesaikan tugas dengan baik sebagai imbalan nilai-nilaiku yang selalu sempurna.

Hari ini cuaca terik seperti hari-hari biasanya. Rambut pendek sepunggungku kubiarkan tergerai yang ternyata menambah gerah suasana. Keringatku sudah hampir mengucur deras membasahi baju. Aku mengibas-ngibaskan kartu keanggotaan perpustaan berharap dapat mengurangi rasa gerahnya. Tapi ternyata percuma.

Aku segera maju saat orang di depanku sudah selesai. Setelah menerima kunci loker, aku segera pergi ke ruang penyimpanan yang terdapat disisi kiri meja resepsionis. Menaruh barang-barangku disana, kecuali laptop.

Udara sejuk mulai terasa saat aku masuk ke lantai dua. Ruangan dengan dinding kaca yang mengitarinya itu terdapat pendingin udara di dalamnya. Dan akhirnya aku bisa memaksa keringatku untuk masuk kembali kedalam tubuhku.

Suasana ruangan itu sepi. Tidak ada orang yang berbicara dengan suara keras karna takut akan mengganggu pengunjung yang lain. Aku lantas melangkah mendekati sebuah komputer yang ada di dekat pintu masuk. Disana aku mencari buku-buku yang kubutuhkan kemudian mencatat nomornya kedalam kertas.

Setelah mendapatkan semua yang ku butuhkan, aku segera pergi ke salah satu meja yang kosong untuk meletakkan laptopku. Kemudian aku berjalan ke deretan rak buku yang ada di dekat dinding. Aku mulai mencari buku-buku itu dengan meneliti nomor bukunya dengan seksama.

Aku tersenyum saat melihat salah satu buku yang kucari ada di rak paling atas. Aku hendak meraihnya saat tiba-tiba sebuah tangan panjang mendahuluiku.

“Oh? Itu punyaku.” Ujarku menoleh kepada pria yang berdiri disampingku dengan memegang buku itu. Pria yang mengenakan sweater hoodie berwarna abu-abu itu hanya melengos saja kepadaku. Membuatku kesal setengah mati.

“Tapi aku lebih dulu mengambilnya. Jadi ini punyaku.” Jawab pria itu acuh.

Dan aku tidak bisa membela diri. Memang pria itu lebih dulu mengambilnya. Aku kalah cepat darinya.

“Tidak bisakah kau mengalah? Aku sangat membutuhkan buku itu.” Pintaku kemudian. Aku benar-benar membutuhkan buku itu untuk menyelesaikan tugas rangkuman Mata Kuliah Kebudayaan.

“Kenapa aku harus mengalah? Aku juga membutuhkan buku ini. Kau bisa mencari buku yang lain.” Jawab pria itu santai.

“Tapi bukunya sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa satu itu.”

“Kalau begitu, kau bisa menunggu dua hari lagi sampai aku mengembalikan buku ini.” Pria itu nampak tidak peduli dengan tatapan bingung milikku. Ia hanya berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku.

Tentu saja dengan sigap aku mengikuti pria itu dan berhenti di depannya. “Tidak bisakah kau meminjamkannya padaku sebentar saja? Aku harus mengumpulkan tugasku besok. Aku tidak bisa menunggumu sampai lusa. Tolong pinjami aku buku itu sebentar. Satu jam saja, tidak, tiga puluh menit. Pinjamkan aku buku itu selama tiga puluh menit. Setelah itu, kau boleh membawanya pulang.”

Pria itu nampak berfikir sejenak. Ternyata dia sedikit merasa kasihan juga dengan tatapan memohon dariku.

“Dua puluh menit.” Ujar pria itu kemudian bernegosiasi. Ia menyodorkan buku yang ia pegang itu kepadaku.

“Oke. Dua puluh menit.” Jawabku cepat yang langsung sumringah dan mengambil buku itu kemudian berlari menuju ke meja tempat laptopku berada.

Dan ternyata pria itu juga mengikutiku kemudian duduk di kursi di hadapanku. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya dan terus fokus mengerjakan tugasku.

Aku seperti sedang di kejar waktu, jadi aku sama sekali tidak mempedulikan pria yang duduk di hadapanku itu. Aku merasa kalau pria itu sedang memperhatikanku dengan serius. Aku tidak berani mengalihkan pandanganku padanya.

Tuk, tuk, tuk..

“Hei, permisi... Halo?” Suara pria itu mengejutkanku. Aku mulai menatapnya dan pandangan kamipun bertemu.

Pria itu nampak mengetuk jam tangannya dengan jari telunjuk. “Sudah dua puluh menit, lewat tiga belas detik” pria itu kembali mengingatkan.

“Apa? Benarkah? Kenapa cepat sekali? Aku belum selesai. Bisakah kau menunggu sebentar lagi saja? Tinggal sedikit lagi.” Aku kembali memohon. Berharap dia akan kembali menyetujuinya.

Tapi ternyata pria itu tidak menggubris permohonanku. Dia bangkit dari duduknya dan langsung menyambar buku itu dari sampingku kemudian pergi begitu saja.

Dan aku hanya bisa terduduk lesu di kursi sambil menatap kosong kepada kalimat yang belum selesai ku ketik di laptop.

Bagaimana aku bisa menyelesaikan tugas itu sekarang?

Aku sudah kepalang kecewa dan putus asa. Lantas aku menenggelamkan wajahku di atas meja dengan perasaan prustasi. Bingung memikirkan cara bagaimana aku akan melanjutkan mengerjakan tugas itu.

Buk!

Suara benda di jatuhkan di atas meja membuatku langsung bangun. Ku dapati buku yang jadi rebutan itu kini sedang bertengger di atas meja di tempatnya semula. Dan pria itu, kembali duduk di kursinya lagi.

“Cepat selesaikan. Aku tidak punya banyak waktu.” Ujar pria itu dengan terus menyimpan ke dua tangannya di saku hoodienya dan bersandar di sandaran kursi. Menatap sombong kepadaku yang langsung kembali mengerjakan tugasku.

Saat mataku terasa perih akibat terlalu lama melotot di depan laptop, aku melihat kepada pria itu yang ternyata sedang memejamkan matanya. Di lihat sekilas, tampan juga. Garis rahang yang tegas membuatnya terlihat maskulin.

Tidak ingin membuang waktu lagi, aku segera menepiskan fikiran aneh itu kemudian fokus kepada tugasku. Dengan sesekali melirik kepada pria itu yang nampak benar-benar tertidur lelap.

Satu jam kemudian, aku telah berhasil menyelesaikan tugasku dengan baik. Aku membacanya kembali untuk mencari kesalahan. Dan aku baru bisa merasa puas dengan hasil pekerjaanku kali ini.

“Permisi. Hei.” Ujarku mencoba membangunkannya. Namun dia tidak berkutik, sepertinya dia benar-benar sedang tertidur lelap.

“Aku sudah selesai.” Kataku lagi. Namun masih belum mendapatkan tanggapan.

Ah, rasanya aku ingin pergi saja meninggalkan pria itu disana, namun hati kecilku menolak rencanaku itu. Aku merasa tidak enak karna dia sudah menolongku dan menungguku sampai selesai  mengerjakan tugasku.

Dengan memberanikan diri, akhirnya aku berdiri dan berjalan menghampirinya. Aku berniat untuk membangunkan pria itu dengan menggerak-gerakkan bahunya.

Sap!

Aku terkejut bukan main saat pergelangan tanganku di tangkap oleh pria itu bahkan sebelum aku sempat sempat menyentuhnya. Jantungku hampir saja melompat keluar.

“Aku sudah bangun.” Ujarnya kemudian melepaskan tanganku.

Kuara 2.

Aku yang masih terkejut, berusaha mengendalikan ekspresi wajahku sebisa mungkin. Kemudian berjalan kembali ke kursiku.

“Terimakasih sudah meminjamkanku buku itu.” Ujarku.

“Kisah cinta Ramayana dan Sinta.” Ujar pria itu membaca judul buku itu. “Apa hubungannya kisah cinta mereka dengan perkuliahan?”

“Bukan kisah cintanya, tapi budaya dan perjalanan mereka. Mereka adalah sejarah. Banyak pelajaran yang bisa di ambil dari buku itu.” Jelasku kemudian. Kini aku telah selesai mengemas laptop dan merapikan buku-buku.

“Kalau begitu, kau pasti juga tau tentang Rahwana?” Tanyanya. Ternyata dia setertarik itu dengan bukunya.

“Tentu saja. Siapa yang tidak tau tentang kisahnya? Dia jatuh cinta pada Sinta yang merupakan reinkarnasi dari wanita yang di cintainya. Sudah ya, aku harus pergi. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya.” Ujarku dengan segera. Aku ingin segera mengakhiri kebersamaan canggung itu secepat mungkin. Lantas aku segera beranjak meninggalkannya. Sebelumnya, aku telah menyodorkan buku itu kehadapannya terlebih dahulu.

Dua hari sudah berlalu sejak pertemuanku dengan pria yang bahkan lupa kutanyakan namanya itu.

Hari ini, seperti biasa, aku kembali ke perpustakaan untuk sekedar membaca buku di sela-sela waktuku menunggu jam pelajaran berikutnya. Karna aku malas untuk pulang ke rumah yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampusku.

“Hai. Ketemu lagi.” Sebuah suara mengejutkanku saat aku sedang duduk di salah satu meja di dekat jendela. Aku melihat kepada pria yang menyapaku itu. Wajahnya seperti familiar bagiku. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.

Salah satu kelemahanku adalah, aku sulit menghafal wajah orang yang baru kutemui sekali dua kali. Tapi garis rahang tegas itu, mengingatkanku pada pria perpustakaan kemarin lusa.

“Oh, hai.” Sapaku kemudian. Kini aku sudah mengingatnya. Hal yang jarang terjadi padaku setelah bertemu sekali dengan pria itu. Aku bahkan tidak tau namanya.

“Sedang apa?” Tanyanya.

“Mengerjakan tugas, lagi.” Jawabku. “Apa kau kemari untuk mengembalikan buku?”

“Bagaimana kau tau?” Dia nampak heran dengan tebakanku.

“Kemarin kau yang memberitahuku. Apa kau lupa?”

“Ah, begitukah? Aku kurang ingat.” Ujarnya.

Jawaban polosnya itu membuatku terkekeh kecil. Dia lantas mengambil duduk di depanku seperti kemarin.

“Apa kau mendapat nilai bagus untuk tugasmu kemarin?” Tanyanya.

Kali ini, sikap pria itu terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kalau kemarin dia terkesan angkuh, tapi kali ini, dia ramah sekali dengan menyapaku terlebih dahulu.

“Hem. Berkatmu.” Jawabku sambil mengangguk.

“Tapi ngomong-ngomong, siapa namamu?” Tanya pria itu pada akhirnya. Sepertinya ia sedikit tertarik denganku.

“Kuara, Intan Kuara.” Jawabku sambil mengulurkan tangan. Aku baru ingat kalau kami belum tau nama satu sama lain.

“Awan.” Jawabnya sambil menyambut uluran tanganku di atas meja.

“Awan?” Apa aku salah dengar? “Awann.....” Aku menunjuk ke arah langit. Karna saat dia menyebutkan kata ‘Awan’, Awan di langitlah yang pertama terlintas di kepalaku.

Awan hanya terkekeh saja melihat ekspresiku yang seperti tidak mempercayainya. Ya aku memang tidak mempercayainya.

“Ya, bisa dibilang begitu.”

“Namamu tidak umum.” Ujarku

“Kan?” Awan nampak bangga dengan itu.

“Jadi, Awan, apa kau menikmati kisah Ramayana dan Sinta?” Tanyaku kembali. Aku penasaran tentang caranya menangkap buku yang dia baca.

“Tidak terlalu. Aku lebih tertarik dengan Rahwana.”

“Rahwana? Kenapa?” Jawabannya di luar ekspektasiku. Bagaimana bisa dia tertarik dengan tokoh ‘antagonis’ itu? Bukan tokoh utama, tapi tokoh antagonis? Sungguh hal yang tidak biasa menurutku.

“Bukankah kisah cintanya terdengar tragis? Ia adalah pria setia yang hanya mencintai satu wanita. Dan ia kembali jatuh cinta pada wanita yang sama saat wanita itu bereinkarnasi menjadi Sinta. Cintanya konsisten, tapi kenapa ia harus mati demi cintanya itu? Aku sama sekali tidak habis fikir.” Dengus Awan tiba-tiba. Membuatku ternganga. Ternyata pandangan dan simpatinya terhadap sosok Rahwana begitu dalam.

“Hahahahahaha.” Aku hanya bisa tertawa lirih melihat Awan yang nampak sebal itu.

“Jadi, apa kau fikir Rahwana harusnya bisa hidup bahagia dengan Sinta? Kalau begitu, lantas jodohnya Rama siapa dong?” Tanyaku sambil menahan tawa. Pria ini, lucu sekali.

“Rama bisa cari wanita lain kan?” Bela Awan. Jelas dia berada di sisi Rahwana.

“Rahwana juga bisa mencari wanita lain dan memberikan cintanya kepada wanita lain itu, kalau dia mau. Masalahnya dia tidak mau.” Jawabku asal.

Perasaan menggebu untuk berdebat dengan pria itu sedang memenuhi dadaku. Aku merasa tertantang dengan ungkapannya. Bukan karna kau membela salah satu tokoh buku itu. Tapi aku merasa pendapat Awan berbeda dengan yang lain dan itu memberiku tantangan tersendiri.

Dan kami memperdebatkan hal itu sampai satu jam lebih. Kalau perutku tidak terasa lapar, mungkin kami masih akan melanjutkannya sampai entah kapan. Rupanya Awan juga merasakan hal yang sama. Ia juga lapar.

Akhirnya, Awanlah yang lebih dulu mengajakku untuk makan di cafe di seberang perpustakaan. Dan disana, aku masih penasaran dengan kelanjutan perdebatan kami. Dan sampailah kami pada pembahasan nama.

“Tapi, aku masih tidak percaya dengan namamu.” Ujarku pada akhirnya. Aku benar-benar meragukan namanya.

“Namaku Rahwana.” Jelas Awan sambil menyeruput es teh yang baru saja di antarkan oleh pelayan.

“Uhuk. Uhuk.” Aku tidak jadi meminum minumanku setelah mendengar jawabannya. Aku sangat terkejut. Aku fikir, dia masih ingin bercanda denganku lagi. “Rahwana?” Tanyaku meminta kepastian. Pertama Awan, dan sekarang malah Rahwana? Yang benar saja.

“Kenapa? Tidak percaya?” Tanya Awan sambil tetap memakan makanannya.

“Kau punya selera humor yang tinggi.” Aku sama sekali tidak mempercayai Awan.

“Kau benar-benar tidak percaya?” Dia menatapku sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

“Bagaimana aku bisa percaya? Namamu Awan saja aku sudah sulit percaya. Sekarang malah di tambah dengan Rahwana? Apa karna kita sedang membahas Rahwana? Jangan bercanda begitu.”

“Aku tidak bercanda.” Dan wajahnya nampak sangat serius saat berkata seperti itu. Aku jadi mengernyit ragu padanya.

Awan mengeluarkan kartu tanda pengenalnya. Sebelumnya ia menutupi hampir seluruh identitasnya kecuali nama depan dan fotonya. Ia menunjukkan padaku kartu itu sampai aku benar-benar bisa membaca namanya dengan jelas.

“R a h w a n a.” Aku mengeja namanya dengan setengah bergumam. “Benar? Waaahhhh...” Aku merasa malu sendiri karna sudah menganggap Awan berbohong perihal namanya. Dan ternyata itu adalah namanya yang sebenarnya.

Bukan apa, aku kagum dengan orang tuanya yang berani menyematkan nama Rahwana padanya. Itu sama sekali bukan hal yang umum apalagi Rahwana terkenal dengan sosok antagonisnya.

“Apa sekarang kau percaya?” Ujar Awan sambil memasukkan kartu tanda pengenalnya ke dalam dompet.

Aku hanya bisa mengangguk sambil ternganga. “Iya. Aku percaya. Hahahahaha.” Aku tertawa dengan sumbang.

Aku dan Awan kembali menikmati makanan kami. Namun tiba-tiba Awan menyodorkan ponselnya tepat di hadapanku.

“Apa?” Tanyaku heran.

“Berikan aku nomor ponselmu.” Pintanya kemudian.

“Untuk apa?”

“Untuk membahas masalah Rahwana.” Seloroh Awan sambil tersenyum.

“Rahwana?” Tanyaku memastikan. Maksudnya dia ingin membahas tentang dirinya? Begitu?

“Rahwananya Sinta, bukan aku. Tapi kalau kau ingin membahas tentangku, akan dengan senang hati. Hahahaha.”

Aku baru memperhatikan kalau ada lesung pipi di kedua pipi Awan. Membuatnya terlihat tambah manis saja.

Kuara 3.

Kagumku akan ketampanan Awan masih berlanjut. Wajahnya manis dengan garis rahang yang tegas. Postur tubuhnya juga tinggi. Aroma wangi yang menyeruak darinya terkesan menyengak tapi pada saat yang bersamaan juga menenangkan. Aku tau kalau jenis farfum yang di gunakan berharga mahal.

“Aku tidak tertarik membahas Rahwana yang ini.” Balasku sambil terkekeh. Pria ini benar-benar lucu.

Baru bertemu dua kali, namun kami berdua sudah sangat akrab. Hal yang sebetulnya baru kali ini kualami dengan keterbatasanku mengingat wajah yang baru ku kenal.

“Apa kau salah satu mahasiswa disini?” Tanyanya kemudian.

Aku mengangguk seraya menyuapkan suapan terakhir makananku.

“Jurusan?”

“Ilmu Sejarah. Semester pertama. Kamu?”

“Aku? Cuma pria biasa. Hahahahha.” Seloroh Awan. Menyebalkan sekali jawabannya.

“Apa itu? Kau tidak mau memberitahuku?” Aku mendesak.

 “Apa?”

“Waah. Apa kau sedang bermain menyembunyikan identitas?”

Rasa ingin tahuku terhadap pria tampan ini sangat besar. Kalau ada kemungkinan, aku ingin mengenalnya lebih jauh dan kalau kesempatan, aku ingin berteman dengannya. Ya, hanya berteman. Karna aku punya komitmen tersendiri untuk rencana masa depanku.

“Hahahahahha. Kau akan tau pada waktunya.” Jawabannya lagi-lagi sangat menyebalkan. Mengambang tidak jelas.

Kami sudah menyelesaikan makanan kami. Dengan tidak mengurangi rasa kesanku padanya, aku menyarankan untuk membayar makanan kami. Aku fikir dia akan menolak saranku. Seperti di drama-drama itu. Pria yang akan membayar semua makanan. Romantis bukan? Kulihat Awan sudah hampir mengeluarkan dompetnya. Ternyata dugaanku benar. Aku tertawa dalam hati.

Aku memang tidak mengharapkan Awan akan melakukan hal itu. Memikirkannya bahkan membuatku merasa geli sendiri.

“Biar aku yang mentraktirmu. Sebagai ganjaran karna kau telah membantuku tempo hari.” Ujarku.

Mendengar ucapanku, Awan langsung memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celananya. Aku terkekeh lucu melihatnya.

“Oke kalau begitu. Sepertinya aku harus sering-sering membantumu agar aku bisa makan enak.” Seloroh Awan kemudian. Aku fikir dia akan menolaknya.

“Hahahaha. Boleh, boleh.”

Selesai membayar makanan di kasir, kami kemudian keluar dari cafe. Kami sama sekali tidak menyadari kalau ternyata rintik hujan mulai turun. Yang akhirnya memaksa kami berhenti di depan cafe untuk menunggu hujan mereda.

“Gawat.” Gumam Awan sambil menengadahkan wajah menatap langit.

“Kenapa?”

“Aku tidak suka hujan.” Imbuh Awan.

“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Karna suaranya berisik. Membuatku tidak bisa mendengar apapun. Aku merasa hidup seorang diri di dunia ini.”

“Kau terlalu berlebihan, Awan.” Aku terkekeh mendengar jawabannya. Jawaban-jawaban yang terlontar dari mulutnya sama sekali tidak bisa ku prediksi. “Padahal hujan itu menenangkan. Lihat rintiknya, cantik bukan?”

“Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya karna mereka ada terlalu banyak. Yang mana yang kau bilang cantik?” Seloroh Awan kemudian. Ia pura-pura menajamkan matanya untuk mencari rintik yang cantik. Benar-benar menyebalkan.

“Hahahahahaha. Kau ini pria yang lucu.”

“Aku setuju.” Dan dia juga sangat percaya diri sekali.

“Dan kau besar kepala.” Ejekku.

Awan mengernyit. Ia kemudian memegangi kepalanya dengan tangan. “Apa terlihat jelas kalau kepalaku sebesar itu?”

“Astaga. Itu kiasan, Awan. Bukan berarti kepalamu benar-benar berukuran besar. Jangan berpura-pura bodoh seperti itu.” Aku mendengus kesal. Kesal karna tidak bisa mengimbangi candaannya.

Udara dingin mulai menembusi pori-poriku. Hujan yang di sertai dengan angin membuatnya tersapu ke arahku. Aku yang berdiri di depan Awan reflek memundurkan langkah saat terpaan air hujan berjatuhan ke arahku.

Namun hal yang membuatku langsung membeku adalah, punggungku yang mendarat tepat di dada Awan. Ada perasaan aneh yang tidak bisa di jelaskan yang mampir ke ulu hatiku. Perasaan tidak enak dan canggung.

Seketika aku langsung memajukan langkahku kembali. Namun lenganku di cegah oleh Awan. Dia memegangi lenganku dan menghentikan langkahku.

“Basah.” Ujar Awan yang menarik lenganku untuk kembali ke posisi semula. Memaksa tubuhku untuk kembali mundur dan sedikit menempel padanya.

Aku hendak menolak tapi kakiku tidak bisa di gerakkan. Jujur aku menikmati perhatian aneh itu dari Awan.

Rintik hujan sudah mereda. Meninggalkan genangan di beberapa titik depan cafe. Satu dua pengunjung yang juga menunggu hujan reda sudah pergi.

“Sudah reda.” Lirihku memberitahu. Padahal aku yakin Awan juga mengetahui hal itu juga. Aku hanya ingin memecah kecanggungan yang terjadi. Kulihat Awan mulai bergeser ke sampingku.

Hembusan angin lembab khas setelah hujan mulai menyeruak. Aku merasakan tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Tapi anehnya, wajahku terasa panas sekali.

“Aku akan mengantarmu pulang.” Tawar Awan kemudian.

Aku tersenyum mendengar tawarannya. Kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 14. 22. Ternyata kami lama juga berada di cafe.

“Tidak perlu. Aku masih ada kelas lagi.” Jawabku.

“Sesore ini masih ada kelas?” Dia mengernyit heran.

“Pukul tiga sore. Kelas terakhir hari ini.”

“Waah. Sepertinya dunia perkuliahan sangat merepotkan.” Gumam Awan lagi.

Apa dia tidak kuliah? Apa dia putus sekolah?

“Apa kau akan pulang?”

Awan mengangguk. “Sepertinya aku sudah harus pulang.”

“Baiklah. Sampai ketemu lagi.”

“Aku antar sampai depan. Motorku juga ada disana.”

Lantas kamipun berjalan beriringan menyeberang jalan menuju ke perpustakaan.

Aku mengernyit heran saat Awan berjalan menuju ke sebuah sepeda motor mewah yang terparkir di depan perpustakaan. Dia bahkan mengambil helm fullface merk mahal yang bertengger di atasnya. Benar dugaanku, kalau Awan pastilah berasal dari keluarga berada.

“Waaahh. Kau berniat untuk meminta traktiran sementara sepeda motormu seperti ini?” Ejekku berseloroh. Semoga Awan tidak tersinggung dengan ucapanku.

“Hahahaha. Jangan tertipu. Motor ini orang tuaku yang membelinya. Aku hanya di pinjami. Aku benar-benar tidak punya uang. Belum. Hehehehe.”

“Apa kau pengangguran?”

“Anggap saja begitu.” Seloroh Awan kemudian. Ia tersenyum sampai memunculkan lesung pipinya.

“Baiklah. Karna kau sudah berbaik hati padaku, aku akan mentraktirmu kapanpun kau mau.”

“Aku tau kau gadis yang baik. Terimakasih.”

“Ya sudah. Pergilah. Aku hampir terlambat.” Padahal dalam hati aku masih enggan untuk mengakhiri pertemuan itu. Karna entah kapan aku bisa bertemu dengannya lagi.

Setelah berucap begitu, dengan perasaan setengah berat aku mulai membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Awan. Dalam hati aku berharap kalau pria itu akan memanggilku.

“Kuara!” Teriak Awan.

Senyumku otomatis mengembang saat mendengar dia memanggilku. Lantas aku segera menoleh kepada Awan. Pria itu sudah mengenakan helm dan hanya membuka kacanya saja.

“Apa?!”

“Nanti malam, bolehkah aku menelfonmu?!” Pertanyaan yang membuat senyumanku semakin mengembang.

Aku mengangguk pasti. Kulihat Awan mengacungkan jempolnya kepadaku. Kemudian dia menutup kaca helmnya dan mulai melajukan sepeda motornya. Aku masih menatapi kepergiannya sampai menghilang dari pandanganku.

Setelah memastikan aku tidak lagi melihat Awan, aku kembali melanjutkan langkahku menuju ke gedung Fakultas Ilmu Budaya yang berada tepat di  belakang gedung perpustakaan.

Sepanjang jalan, aku terus tersenyum pada diriku sendiri. Memikirkan tingkah Awan yang menurutku sangat lucu, sekaligus aneh. Aku merasa menemukan kecocokan di antara kami untuk menjalin pertemanan.

*

yuk warga,, hari senin nih... votenya... biar aku tambah semangat nabung bab. bulan depan bisa up dobel...yuuhhuuuu...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!