NovelToon NovelToon

Gairah Pria Patah Hati

Kehidupan Yang berbeda

Desa A terletak di pinggiran kota Z, di sanalah sebuah keluarga kecil tinggal hidup bahagia namun sangat sederhana, itulah keluarga Bapak Marjoyo dan Ibu Asmi bersama putri semata wayang mereka Spica utami sering mereka panggil Ica.

Ica sudah menerima amplop dari sekolah SMA nya, yang menyatakan dia resmi menjadi alumni SMA tersebut.

"Ibuk, ibuk..Ica sudah lulus Buk, Bersyukur Ica mendapat nilai tertinggi disekolahkan Ica." Ica berlari lari kecil menemui Ibunya.

"Syukurlah Nak, berarti sebentar lagi Ica bisa melanjutkan mimpimu ke jenjang perkuliahan Ca." Jawab Bu Asmi kepada anak kesayangannya itu.

Seminggu sudah berlalu, besok hari selasa tepatnya Ica akan berangkat ke kota Z dengan bekal uang hasil dari kebun sawit milik Bapaknya yang tidak seberapa itu, dan juga perhiasan Ibunya yang terkumpul sedikit demi sedikit selama ini.

Semua keluarga besar datang bermalam di rumah Bapak Marjoyo, mereka mensupport Ica yang akan berangkat besok, segala nasehat sudah diberikan kepada Ica. Tidak lupa mereka mendoakan Ica agar semua berjalan lancar di rantau orang. Yaah.. begitulah kira-kira tradisi kekeluargaan di desa, ada anak yang akan merantau ke luar daerah, berat mereka melepaskan apalagi seorang gadis perawan.

************

Di kota Z, ada beberapa rumah mewah yang salah satunya yang dimiliki keluarga David Wiraarga dan Lusiana, mereka memiliki seorang anak yang tampan, Marvinno Wiraarga yang bakalan nanti meneruskan perkebunan sawit milik keluarganya sekaligus mewarisi perusahaan tekstil milik Ayahnya.

Namun kenyataannya kemewahan dan nama besar keluarganya serta ketampanan yang dimiliki tidak membuat putra dari Lusiana merasa bersyukur apalagi berbangga.

Dalam ruang dengan nuansa natural putih tersebut, hanya ada beberapa poster motor gede, dan ada satu foto besar megah dalam bingkainya yang berwarna keemasan.

Marvin sudah empat bulan lamanya, berbaring dikamar, hanya kalau mau buang air saja dia bergerak menuju kamar mandi yang ada didalam kamar besarnya itu.

Dokter keluarga sudah sering didatangkan kalau-kalau putra mereka mengalami sakit yang dideritanya, namun hasilnya nihil anak tersebut ternyata tidak memiliki penyakit apapun yang terdeteksi olah dokter.

"Evin (panggilan sayang Lusi kepada anaknya), bangunlah nak.. yuk kita sarapan bareng, Ayah, Vano, Kakek dan Nenek sudah menunggu dari tadi." Entah sudah berapa kali Lusi membujuk putranya itu.

Marvin enggan menjawab ajakan Bundanya itu, bukan karena Marvin tidak sayang dengan orang tuanya, tetapi Marvin sudah kehilangan tenaganya untuk memikirkan sang pujaan hati yang telah meninggalkannya.

Diruang makan, Vano adalah adik angkat Marvin, yang sebenarnya anak dari anak kandung Lusiana, jadi Vano adalah sepupu Marvin. Usia mereka pun hanya berjarak satu tahun saja dibawah Marvin.

"Bunda, apa tidak sebaiknya abang Marvin dicarikan jodoh saja? Vano takut bang Marvin lama sembuh ingatannya tentang perempuan itu?" Lirik Vano kepada Ayah Bundanya.

"Bagaimana Yah?" Lusi berbalik bertanya kepada suami tercintanya.

"Yeah.. Ayah sih tidak masalah, atur-aturlah dengan kalian, untuk kebaikannya Marvin ayah setuju." Jawab David bijaksana.

"Van apa kamu punya teman, gadis yang cantik serta baik hatinya, cocok untuk abang mu yang sedang merana itu?" Tanya Lusi kepada putranya.

Vano memang terbilang playboy di kampusnya, Ia memiliki banyak teman cewe yang kece cantik-cantik menurutnya, tapi untuk mencarikan abangnya yang super cool dan super setia ini susah rasanya.

"Iya Bun, sekarang belum nemu yang pas buat Bang Evin, nanti kalau sudah ada kandidatnya, Vano kenalkan sama bunda." Kata Vano cengengesan.

Itulah mereka Marvin dan Vano yang dibesarkan bersama, memiliki ketampanan yang hampir sempurna, dari orang tua yang masih satu darah, namun dilihat dari sifat mereka sangatlah berbeda.

********

Di desa Ica.

"Dah.. Buk, Bapak... semua Dahh.." Ica masuk kedalam mobil travel yang telah menjemputnya.

Perjalanan dari Desa A ke kota Z sebenarnya tidaklah jauh hanya memakan waktu 7 jam saja, Ica yang dari tadi malam bercengkrama dengan sepupu-sepupunya. Merasakan kantuk yang sangat berat dimatanya. Tidak perlu waktu yang lama, Ica sudah lelap tertidur, syukurlah sebelah kiri kanan Ica adalah penumpang perempuan.

Setelah enam jam berlalu, pak sopir mengingatkan para penumpangnya, agar mempersiapkan diri, agar tidak terlewat alamat yang dituju.

"Dek.. dek, bangun dek." Seorang ibu paruh baya membangunkan Ica. Beliau lah penumpang yang berada di samping Ica.

"I-iya Bu." jawab Ica gelagapan dalam keadaan setengah sadar.

"Saya berhenti di alun-alun pusat kota yaa Pak." Lanjut Ica memulihkan kesadarannya.

"Iya dik." Pak sopir singkat.

Mobil travel terus melaju dengan kecepatan rata-rata. setelah menurunkan seorang penumpang. Sekarang saatnya giliran Ica turun berhenti. Setelah menurunkan barang yang ada yaitu koper berwarna coklat berukuran sedang didalamnya berisikan pakaian Ica dan beberapa surat-surat penting.

Sedangkan sebuah tas kecil ada ditangan Ica,

Ica merapikan baju dan rambutnya yang berantakan karena tertidur di mobil tadi. Baru saja mau mengalungkan tas kecilnya agar tidak repot. Tiba-tiba.....

srettttt

Seorang berbaju serba hitam mengambil paksa dan berlari membawa tas kecil Ica.

"Tolongggg... copet, tas ku dirampas." Teriak Ica

"Tolongggg..." Ica berteriak sekeras mungkin sambil mengejar laki-laki yang merampas tasnya tadi.

Di seberang jalan Vano dan dua temannya Agung dan Dian lagi santai menikmati kopi yang mereka pesan, seiring mereka memainkan gitar bergantian.

"Vano, Dian..kalian mendengar teriakan itu?" Tanya Agung langsung berdiri dan mencari sumber suara.

Diikuti oleh Vano dan Dian, susah mencari pakai mata mereka karena memang banyak orang lalu lalang dengan segala aktivitas mereka.

"Gadis itu." kata Dian menatap tajam kearah seberang jalan.

"Ayok, kita ke sana." Sahut Vano dan Agung bersamaan.

Ica yang sedari tadi sudah menyerah untuk mengejar copet, Ia duduk bersandar di tembok pagar sebuah kantor di samping alun-alun.

"Ada apa mbak?" Tanya Agung hati-hati.

Ica yang kaget melihat ada tiga orang didepannya. Siapa mereka dalam hati Ica, tidak mungkin orang jahat semua kan di kota ini? batinnya bertanya. Lagian kalau dilihat-lihat mereka orang baik-baik dan berpendidikan.

"Ini Bang, saya baru saja kecopetan." kata Ica sambil mengusap sisa air matanya.

"Mbak mau kemana, biar kami antar kan." Dian menawarkan diri.

Memang kalau dilihat-lihat memang Spica utami itu cantik sih, dengan rambut lurus sebahu, tinggi sekitar 165cm dan berat badan 50kg, kulit kekuningan tapi terlihat bersih.

"hm.." Ica berfikir sejenak.

"Sebenarnya saya kesini mau memulai kuliah tahun ajaran ini, sekalian mau cari kos-kosan juga, tapi..."

Belum sempat Ica melanjutkannya, Vano yang sedari tadi berdiam diri.

"Uang mu diambil copet tadi ya?" Tanya Vano asal menebak.

"Iya abang benar, HP, uang, perhiasan pemberian Ibuk yang rencana mau saya jual, KTP dan kartu-kartu diambil sama copet tadi." Jelas Ica. Matanya hampir menangis lagi.

Dian dan Agung yang sedari tadi bisik-bisik. Tidak memperhatikan Ica yang sedang menjelaskan masalahnya.

"Gimana Bro?" Tanya Vano.

"Apanya?" Sahut Agung dan Dian bersamaan.

"Mbak ini bingung mau pulang kemana? uangnya semua hilang, padahal rencana dia mau kuliah disini?" Tanya Vano.

"Namaku Ica." Mengulurkan tangan ke Vano, Agung, dan Dian.

"Eeh.. iya lupa kenalan." Dian cengengesan.

"Gimana yaa? Aku tinggal di kontrakan, sebenarnya gak masalah di tempatku ada dua kamar, tapi takutnya warga salah paham." Terang Agung, kasihan tapi takut juga.

"Apalagi aku bro, kos-kosanku cuma sepetak.. aku sih senang-senang aja, hehehe." Timpal Dian.

Vano berpikir sejenak, Bunda pasti tidak tega melihat seorang anak gadis dijalan tanpa keluarga seperti gadis ini.

"Sebentar saya telpon Bunda dulu yaa." Vano agak menjauh dari teman temannya.

Drrtt Drrrrrrttttt

HP nyonya Lusiana bergetar.

"Halo Vano, ada apa sayang?" Tanya Vano dari sambungan telepon.

"Bunda boleh gak kalau Vano bawah seorang gadis ke rumah bunda, bukan apa-apa bunda Vano menemukannya dijalan habis kecopetan." Jelas Vano.

"Gpp Nak, Bawa kemari. kalau dia mau kan bisa bantu-bantu bunda, mbok ina kan lagi izin pulang ke desa anak lagi sakit." Terang Lusiana mengizinkan.

"Terimakasih Bunda, Love you." Sahut Vano mematikan sambungan telponnya.

"Gimana bro?" Tanya Agung yang sedari kasihan terhadap gadis yang baru ditemukannya itu.

"Boleh sama Bunda." Sahut Vano pendek.

"Sementara mbak Ica tinggal bersama kami dulu, ayok saya bawakan kopernya.. itu mobil kami." Kata Vano menunjuk ke seberang jalan.

Pandangan pertama

Spica yang dari tadi berdiam diri dalam kebingungan, akhirnya menyetujui ajakan Vano. Mereka berempat, Vano, Agung, Dian, dan Spica menaiki mobil Terios milik Vano.

Agung duduk di samping Vano yang sedang menyetir sedangkan Dian di kursi belakang bersama Ica, yang sedari tadi berdiam diri.

Dian yang aslinya senang bercanda dan jahil terhadap teman-teman merasa tidak nyaman berdiam diri.

"Bro nanti kalau mba cantik sudah di rumah mu, jangan di goda yaa.. Ica untuk saya aja." Pinta Dian tanpa rasa malu.

"Hahaha.." Gelak Agung dan Vano bersamaan.

"Aman bro." Timpal Vano.

Ica hanya senyum-senyum kecil melihat candaan tiga sekawan itu. Namun kalau di perhatikan dari wajah Ica masih terlihat kesedihan yang mendalam mengingat apa yang terjadi dengan dirinya saat ini.

Ica tidak tau apa yang harus dikatakan nanti kepada kedua orang tuanya. Mimpi yang selama ini ia usahakan belajar dan berdoa, kadang Ica tidak berat tangan untuk membantu ibunya semampu dia.

Pada saat ini jangan kan untuk memikirkan apa yang akan dikatakan kepada orang tuanya. Untuk menelpon orang tuanya saja Ica kebingungan karena handphone nya hilang dan tidak memiliki uang sepersen pun.

Jauh Ica memikirkan akan nasibnya hari esok. Tidak terasa mobil Vano sudah berhenti di depan rumah megah bernuansa putih. memiliki pagar tembok yang kokoh, itulah rumah milik pengusaha David dan nyonya Lusi, Bibi sekaligus orang tua angkatnya Vano.

Tiittt tiiiitt

Suara klakson Vano. Dari balik Gerbang ada seorang Bapak setengah baya sekitar 40 tahunan, badannya masih sehat dan tegap. Dia adalah Pak Yon satpam kepercayaan keluarganya Vano.

"Sudah sampai mbak, Ini rumah Bunda." Kata Vano sambil keluar mengambilkan koper milik Ica yang berada didalam bagasi.

"Pak ini tolong bawakan kopernya mbak ini, sekalian tolong bilang sama bunda, ini teman yang Vano maksud, Vano menghantar teman-teman Vano dulu." Kata Vano kepada Pak Yon.

"Siap Den." Jawab Pak Yon singkat.

"Ayo neng saya antarkan." Pak Yon sambil berjalan diikuti Ica dari belakang.

"Iya Pak." Sahut Ica.

Mereka berdua masuk di ruang tamu yang megah bernuansa putih dan ada sedikit corak keemasan di sudut ruangan. Dengan lampu gantung terpasang mewah dan anak tangga yang berwarna silver, menambah kesan megah di rumah tersebut.

"Nyonya.." Panggil Pak Yon kepada pemilik rumah.

"Iya, ada apa Pak Yon?" Seorang muncul dari lantai atas menuruni anak tangga.

"Ini Nya, teman nya Den Vano, Den Vano nya masih mengantar dua temannya yg lain." Jelas Pak Yon.

"Saya Ica Bu." Ica mengulurkan tangan.

"Iya, saya Lusi Ibu nya Vano." Lusi bersalaman dengan Ica.

"Mari saya antarkan ke kamar, sekalian Pak Yon tolong bawakan kopernya Ica ke kamar tamu." Lanjut Lusiana.

"Baik Nyonya." Jawab Pak Yon.

"Ini kamarnya silahkan istirahat, Saya nanti mau pergi,makanan sudah disiapkan Bi Nina silahkan di dimakan." Jelas Lusi mengakrabkan diri.

"Iya Bu, terimakasih kasih banyak Bu." Jawab Ica sambil sedikit menundukkan kepala tanda tanda Terimakasihnya.

"Oh ya satu lagi nanti habis kamu makan gak usah cuci piring yaa nak, biar Bi Nina yang kerjakan, hanya saja Ibu minta tolong antar kan makanan ke kamarnya anak Ibu di atas, namanya Marvin." Jelas Bunda Lusi.

"Iya Bu, sekali lagi terimakasih." Jawab Ica.

Setelah Itu Nyonya Lusi pergi meninggalkan Ica di kamar. Ica yang sudah sangat lelah akhirnya berbaring sejenak ranjang yang menurutnya sangat luas berbeda jauh dengan yang di milikinya di rumah di desa. Ica terus membayang kan perjalanan hidupnya sekali-sekali ia mengeluh lalu bersyukur sampai akhirnya Ica tertidur pulas.

Setelah hampir dua jam Ica datang ke alam mimpi, Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya dan mengangkat tubuhnya yang masih terasa lelah.

Ica masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya, setelah itu berganti pakaian. Ia juga memakai sedikit make up di wajah nya agar terlihat segar dan natural.

Tiba-tiba Ica teringat pesan orang tua Vano itu kepadanya. Seperti apa sih keadaan saudara Vano itu.

Ica segera keluar kamar, dilihatnya Bi Nina sedang beres-beres ruang dapur. Ica mencoba menyapa wanita setengah baya itu agar ia tidak kaget.

"Selamat sore Bi, oh iya dimana makanan untuk tuan Marvin?" Tanya Ica hati-hati dan sopan.

"Dimeja meja makan nak, hanya saja Den Marvin jangan dikasih sup soalnya dia alergi sama kol." Jelas Bi Nina.

"Iya Bi sudah, Saya antar dulu yaa Bi." sahut Ica.

Ica langsung naik ke lantai atas tanpa mendengar jawaban dari Bi Nina lagi. Ada empat kamar dan satu ruang tamu di lantai ini. Ica bingung kamar yang mana milik tuan Marvin. Syukur ada gantungan kecil di atas pintu Marvin yang bertulisan huruf M, mungkin pintu yang ini pikir Ica karena malas turun lagi untuk bertanya dengan Bi Nina.

Tok tok tokkk

Ica mengetuk pintu yang ada gantungan kecil berinisial tersebut. sebenarnya Ica agak takut karena sedari tadi Ica belum melihat Marvin yang katanya sakit. apa mungkin dia sakit parah pikir Ica.

"Iyaaa Masuk." jawab suara berat dari dalam.

Spica segera membuka pintu dengan pelan, ditangannya ada piring besar berisikan makanan untuk anak pemilik rumah tempat dia tinggal sekarang.

"Ini tuan makanannya." Kata Ica hati-hati.

Ica tak sengaja melihat wajah orang yang terbaring di depannya tersebut. Hm.. ganteng juga pikir Ica dalam hati, tapi sakit apa dia. Mukanya pucat dan sembab seperti itu.

"Iya.. Suapin saya Bi." Jawab Marvin tanpa menoleh.

"Iya tuan..." Ica menjawab agak merasa takut.

Marvin seolah baru sadar mengapa bibi Nina yang sudah bertahun-tahun hidup dengan keluarganya biasa memanggil dengan sebutan Den bukan tuan. Dia sadar akan hal itu tapi otot nya seakan tidak berdaya untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Itu dipengaruhi pikirannya yang terus memikirkan kekasihnya Jasean, yang telah meninggalkannya tanpa kabar setelah Marvin melihat Sean bermesraan di sebuah kafe.

Ica mengarahkan sendok berisi makanan kearah muka Marvin. Marvin kaget melihat bukan Bi Nina yang menyuapinya.

"Siapa kamu?" Tanya Marvin marah.

"Maaf tuan, saya Ica pembantu baru disini, habis tuan tidak melihat ke arah saya dari tadi." Kata Ica menyebutnya pembantu baru untuk cari aman.

"Letak di meja saja makanannya." Perintah Marvin dengan nada tinggi.

"Iya tuan." Jawab Ica buru-buru.

Ica yang hendak cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, Tiba-tiba saat ia hendak berdiri kakinya tersandung kursi yang ia duduk tepat di samping ranjang dimana Marvin tidur.

Naas tubuh Ica yang terbilang Langsing terpelanting ke depan, dan bibirnya yang kenyal bewarna pink keorenan tepat mengenai mata milik Marvin.

Dada Ica begitu Marvin berdegup kencang, namun Marvin seolah menutupinya. Ica berusaha bangkit untuk berdiri.

"Apa-apan ini? Cepat keluarrrrr..!" Teriak Marvin.

"I-ya tuan, maafkan saya." Kata Ica sambil keluar ketakutan.

Jalan Keluar

Ica sudah keluar dari kamar Marvino, perasaan cemas dan disertai takut. Ia segera menemui bibi Nina yang terlihat sedang mengerjakan sesuatu di dapur.

"Sedang apa bi?" Tanya Ica hati-hati agar tidak membuat bi Nina kaget.

"Oh, sudah selesai neng?" Bi Nina balik bertanya.

"Sudah bi, tapi sayang tuan Marvin tidak mau makan." Jawab Ica dengan perasaan sedih.

"Ayo, Neng duduk dulu, nikmati nasi goreng yang bibi buat tadi."

Bi Nina menarik tangan Ica kemeja dekat dapur yang biasanya tempat para pembantu menikmati makan bersama. Ica yang sedari tadi penasaran dengan penyakit yang di derita pemilik rumah ingin segera menanyakan kepada pembantu yang puluhan tahun kerja di rumah ini.

Sepiring nasi goreng dengan telur dan ayam goreng serta sayur dan tomat segera disodorkan Bi Nina kehadapan Ica.

"Ini makan dulu nduk, pasti kamu lapar." Ucap Bi Nina mengakrabkan diri.

Ica yang sedari tadi penasaran dengan sakitnya Marvin segera bertanya kepada Bi Nina.

"Bi sebenarnya tuan Marvin sakit apa sih Bi?" Selidik Ica.

"Sebenarnya Den Marvin tidak sakit apa-apa neng." Jelas Bi Nina dengan raut wajah sedih.

"Trus..Kenapa dia kayak gak bisa untuk sekedar gerakan tangannya kalau gak sakit Bi?" Timpal Ica semakin penasaran.

"Dulu Den Marvin punya seorang kekasih namanya Non Sean, sepengetahuan Bibi Non Sean sering main ke rumah ini. Mereka sering bercanda sambil bernyanyi bersama diruang tamu lantai atas, kadang Den Marvin terdengar menyanyikan lagu untuk Non Sean, setelah Non Sean tidak pernah terlihat lagi kesini, Yeaahh...begitulah kondisi Den Marvin." Cerita Bi Nina.

"Hm...Gitu yaa bi." Ica mengangguk-angguk.

Hari sudah hampir magrib Vano, Ibu Lusiana dan Pak David, diikuti Bi Sunem dari belakang masuk dari arah pintu utama. Ica yang terlihat sungkan menghampiri mereka.

"Selamat sore Bu, Pak, Tuan Vano." Sapa Ica.

Ica menyalami Pak David dan Bik Sunem dengan kepala sedikit menunduk.

"Ealah.. Tadi siang kamu panggil abang, sama Vano yang keren ini." Kata Vano sambil cengengesan.

"Hush.. Vano mulai dehh." Timpal Bunda Lusi.

"Gadis ini siapa Bunda?" Tanya Pak David.

"Ini Pak, tadi Vano ketemu dijalan, dia dari desa, habis kena rampok. Tadinya dia ini berniat untuk kuliah di sini. Vano kasihan dan telpon Bunda, boleh gak tinggal di rumah kita untuk sementara waktu, ya udah Bunda bolehkan." Jelas Bunda Lusi.

"Oh, gitu Bun. Tidak apa-apa, semoga kamu betah yaa." David segera berlalu, meninggalkan Lusi dan Ica, membuntuti Vano yang sudah duluan ke naik ke atas.

"Terimakasih Bu, atas kebaikan keluarga Ibu kepada saya." Ucap Ica dengan mata berkaca-kaca.

"Iya tidak apa-apa nak, mungkin ini hikmah dari kejadian kemarin." Kata Lusi sambil berlalu mengikuti suaminya.

***************

Ica masuk ke kamar dan segera membersihkan diri. Setelah itu ia membantu Bi Nina, Bi Sunem, dan Bi Siti untuk menyiapkan makanan karena Bunda Lusi ingin makan malam bersama. Menurut cerita Bi Nina sore tadi, biasanya kalau tuan rumah sudah meminta menyiapkan makan malam seperti ini, ada sesuatu yang akan dibahas keluarga besar itu. Tanpa terkecuali baik pembantu, Tamu, maupun satpam, siapapun ada di rumah itu harus satu meja makan dengan para tuannya. Itulah keharmonisan menurut Pak David.

Di meja makan sudah terhidang segala makanan yang enak-enak menurut Ica. Tidak lupa Bi Siti yang bertugas memanggil semua tuanya maupun Pak Yon yang masih di pos jaga dekat gerbang.

"Ayok.. semua tanpa terkecuali duduk la, kita makan bersama." Ajak Pak David yang sudah duluan sampai dimeja makan.

Bunda Lusi di ikuti Vano dari lantai atas, sedangkan Pak Yon, Bi Sunem, Bi Siti, Bi Nina dan Ica segera mengambil tempat duduk masing-masing.

"Yuk..silahkan di nikmati, oh yaa Bun, Marvin mana?" Kata Pak David.

"Sudah Bunda ajak Pak, Vano juga..tapi begitu lah anak itu sekarang, Bunda sudah habis akal." Jelas Bunda Lusi.

Mereka makan bersama kecuali Marvin yang masih berbaring dik kamar tanpa gairah hidup. Sehabis makan, Pak Yon kembali ketempat gardu jaga dekat gerbang rumah. Sedangkan para pembantu membereskan bekas makan mereka tadi. Ica mau membantu Bi Nina ke dapur tapi belum sempat beranjak dari tempat duduk, Bunda Lusi mencegahnya.

"Ica, Saya dengar kamu ke kota mau berkuliah?" Tanya Bu Lusi kepada Ica.

"Iya Bu, tapi sekarang uang untuk bekal kuliah sudah tidak ada, kalau boleh saya mau pinjam handphone nanti Bu, mau nelpon orang tua saya, mau pulang ke desa saja Bu." Jelas Ica menunduk karena air matanya mau jatuh tapi ditahan.

"Tapi kan sayang Bunda." Ujar Vano ikut prihatin.

"Vano...Kwatir, atau?" Goda Bu Lusi.

Pak David yang sedari tadi diam terlihat sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya beliau mendapat ide yang cemerlang mengingat Ica sepertinya anak yang baik dan sopan menurutnya.

"Hm.. begini Nak Ica, saya memberikan kesempatan untuk Nak Ica memilih, saya bisa kuliah kan kamu sampai selesai, semua biaya kuliah dan tempat tinggal kami yang tanggung. Nanti setelah tamat kuliah mu sebagai bayarannya kamu bisa bekerja di perusahaan saya, bersama Marvin dan Vano nantinya. Gimana Bun? Kasian anak ini." Pak David melirik kearah istrinya.

"Bunda setuju-setuju saja Pak." Jawab Bunda Lusi kepada suaminya.

"Gimana Nak Ica?" Lanjut Pak David.

"Saya sangat senang Pak, Bu. Saya sangat bersyukur atas kesempatan ini. Terimakasih banyak." Jawab Ica dengan mata berkaca-kaca.

"Mulai besok kamu berkuliah di kampus nya Vano, nanti Vano akan menemani mengurus pendaftaran mu." Kata Bunda Lusi.

"Siappp...Bunda cantik." Kata Vano sambil mencium pipi Bunda nya sambil berlalu.

Vano sudah pergi ke kamar nya. Sedangkan Pak David sudah pamit ada pertemuan dengan rekan bisnisnya habis magrib ini. Tinggal Bunda Lusi dan Ica yang masih ngobrol di meja makan sambil minum teh.

"Ica, Tolong antar kan makanan ini ke kamar Marvin yaa, Tolong buat dia suka sama kamu, nanti Bunda akan berikan beasiswa kamu sampai S2, seandainya Marvin berubah." Pinta Bunda Lusi sambil menggenggam tangan Ica.

" Iya Bu, tanpa Ibu minta pun saya akan berusaha, keluarga Ibu sudah begitu baik kepada saya, tapi saya tidak yakin karena saya Tuan marvin bisa ceria seperti dulu" Jawab Ica ragu.

Dalam hati Ica jangan kan untuk membuat Marvin sembuh, mengantar makanan saat dia terbaring lemah saja, saya di usir nya. Memang nasib ini, tidaklah mudah yang mereka pinta pikir Ica.

"Ya sudah, tolong antar kan makanan ini ke kamar Marvin yaa Ca." Kata Bunda Lusi.

"Iya Bu." jawab Ica pelan.

Ica langsung memutar badan, menaiki tangga. Berharap dalam hati Tuan Marvin hari ini berbaik kepadanya.

Sepanjang melamun ternyata Ica sudah tepat berdiri di depan pintu kamar Marvin.

"Tuan, saya mengantar makanan." Kata Ica.

"Iya masuk lah." Sahut suara serak dari dalam.

Ica membuka pintu dengan hati-hati menuju meja kecil yang ada di dekat ranjang besar milik Tuan Marvin. Sebenarnya Ica mau cepat-cepat keluar dari kamar itu, tapi berat langkahnya.

"Ini Tuan makanannya sudah saya letak di atas meja, saya permisi." Kata Ica pelan.

Baru memutar badan hendak pergi. Tiba-tiba pergelangan tangan Ica di cengkram kuat dengan tangan yang besar.

"Ada apa Tuan?" Tanya Ica hati-hati.

"Sini, ambilkan makanannya dan suapin saya." Perintah Marvin.

Tanpa menjawab Ica langsung mengambilkan makanan yang tadi di letaknya di atas meja dan menyuapkannya kepada Marvin. Setelah tiga suapan, mata Marvin terlihat menangis.

"Sean mengapa engkau tinggalkan saya?" Lirih Marvin.

"Tuan, anda baik-baik saja?" Tanya Ica.

Marvin menoleh dan memandang Ica, Marvin melihat Sean didepannya, entah kekuatan apa yang merasukinya, kerinduan akan Sean benar-benar membuatnya gila.

Marvin memeluk Ica dengan sangat erat, tanpa mau melepaskannya, Ica yang berusaha melepaskan diri sedari tadi nampaknya sia-sia belaka.

"Tuan tolong lepaskan saya." Kata Ica sambil menangis.

Marvin menciumi Bib*r Ica dengan rakus, merah merona dari lipglosse tadi sore habis seketika.

"Sean.." Lirih Marvin

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!