Namaku Kasih Dinanti, iya 'Dinanti' karena aku lahir 15 tahun setelah orang tuaku menikah. Kelahiran yang sangat dinanti-nantikan. Aku bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang garmen dan karena kecintaanku kepada fashion, aku saat ini menduduki kursi manajer di departemen CAD (Computer Aided Design) yang bertanggung jawab menentukan pattern dan mini marker walaupun usiaku baru 25 tahun. Saat hobimu menjadi profesi, di situlah kamu bisa berkembang pesat. Sudah lama aku bekerja di sini, sejak aku kuliah semester ketiga sampai detik ini.
Awan Pradta Jayantaka lelaki yang beberapa hari terakhir ini membuat hatiku resah. Kami saling kenal sejak TK, dia duduk di belakangku dan punya kebiasaan menarik rambutku. Sangat lucu kalau mengingat peristiwa itu. Kadang aku menangis karena tingkah usilnya dan membuat dia dimarahi oleh orang tuanya. Kami berpisah setelah lulus TK dan bertemu lagi saat kuliah, walaupun kami beda jurusan namun kami kuliah di kampus yang sama. Setelah lulus kuliah, kami masih sangat dekat dan selalu pergi bersama. Entah hubungan apa yang sedang kami jalani, terlalu dekat jika disebut teman, namun bukan juga sepasang kekasih.
Awan adalah CEO di perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata yang hotel dan resort hampir berada di seluruh Indonesia. Mudah bagi Awan untuk menduduki posisi ini karena dia adalah anak dari komisaris dan pemegang saham terbesar di perusahaan itu. Namun, di samping faktor keberuntungan, tentu saja kemampuan dan kecerdasannya juga menunjang pekerjaannya.
Beberapa hari yang lalu kami bertengkar hebat. Kalau dipikir-pikir pertengkaran ini karena hubungan kami yang belum jelas arahnya. Kami hanya berteman namun kadang rasa cemburu membuat kamu saling sindir. Puncaknya adalah saat Awan mengatakan bahwa aku satu-satunya perempuan yang tidak punya perasaan hanya karena aku pergi dengan teman yang kabarnya naksir padaku. Lalu apa kabar dia yang digandeng mesra oleh Chloe, gadis yang mengaku-ngaku kekasihnya? Dia juga sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Gantungnya hubungan ini membuat aku serba salah untuk mengambil sikap. Beberapa hari ini kami saling tidak memberi kabar. Tentu saja aku gengsi untuk menghubunginya terlebih dahulu walaupun ada rindu dan penyesalan yang mendalam di benakku. Sangat tidak dewasa sama sekali.
Tiba-tiba aku mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumahku lalu menyusul suara bel berbunyi. Aku bergegas membuka pintu untuk tamu yang membuatku penasaran. Ternyata Awan datang dan dia langsung memelukku saat pintu ku buka. Bisa kurasakan tangan Awan melingkar di pinggangku dan dagunya menempel di puncak kepalaku. aku merasakan kecupan lembut mendarat di puncak kepalaku. Aku lalu membalas pelukannya. Ku benamkan wajahku di dada Awan. Sikap Awan sangat hangat, terasa luapan kerinduannya. Ku nikmati hangat peluknya. Sesekali terasa tangannya membelai rambutku. Tangan yang biasanya menarik rambutku dengan usil namun di hari ini memperlakukanku dengan lembut. Perlahan aku mendongakkan kepala, menatap wajah tampan Awan lebih lekat lagi. Sedikit terkejut, ternyata air mata juga membasahi pipi Awan. Ku hapus air matanya dengan lembut dan ku berikan senyum kebahagiaan untuknya. Tidak ada kata yang mampu ungkapkan perasaanku saat ini. Lama Awan menatapku dengan senyum dan mata berbinar. Tangannya terus menggenggam jemariku seolah tidak ingin melepaskannya.
"Aku sayang kamu, sangat sayang kamu, aku mencintaimu Kasih" bisik Awan perlahan yang membuat aku merasa tersihir, seluruh tubuhku rasanya lemas tak berdaya.
"Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku sayang kamu. Terserah kamu mau mengartikan sayangku seperti apa. Bisa dianggap teman sebaya, mungkin adik kakak atau bahkan kekasih" lanjut Awan.
"Aku juga sayang kamu. Sayang Awan sebagai segalanya." jawabku sambil tersenyum dan menatap ke dalam matanya. Lega rasanya bisa mengungkapkan itu kepadanya.
Awan lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Terasa hangat hembusan nafasnya di kulit wajahku. Aku berusaha mengendalikan detak jantungku lalu aku memejamkan mata. Dapat aku rasakan bibir Awan menempel di keningku sangat lama. Perlahan Awan melepaskan ciumannya. Dia menatapku dengan tatapan yang hangat lalu menyentuh pipiku lembut.
"Duduk yuk" ajakku.
Kami duduk berdampingan di sofa. Awan menarik tubuhku agar lebih mendekat ke dirinya, melingkarkan tangannya ke bahuku, merengkuhku. Aku tersenyum kecil, merasa sangat hangat dengan perlakuan manis Awan. Aku lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. Bahagia rasanya karena malam ini aku resmi menjadi kekasih Awan.
"Maaf, sebenarnya kemarin aku cemburu. Tapi setelah aku pikir lagi aku ini seperti flat shoes," kata Awan.
"flat shoes, maksudnya?" tanyaku tidak mengerti.
"Nggak ada hak," jawabnya sambil tertawa.
"Kamu ini bisa nggak menikmati suasana romantis seperti di film-film?" protesku sambil tertawa dan mencubit pinggangnya.
"Iya deh. Jadi, aku merasa nggak berhak marah sama kamu hanya karena kamu jalan sama laki-laki lain, sedangkan aku bukan pacarmu. Aku yang kurang tegas sebagai pria," jawabnya dengan nada serius tidak seperti biasanya.
"Terus karena sekarang aku pacarmu, kamu jadi berhak marah-marah sama aku?" kataku menggodanya.
"Nggaklah, masak punya pacar untuk dimarahi? Nanti kamu sedih lagi. Bukan mencintai namanya kalau tidak bisa membuat bahagia," katanya yang membuat aku terlena.
"Aku selalu bahagia sama kamu," kataku sambil mengangkat kepalaku dari bahunya.
"Jalan yuk," katanya sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
"Ke mana?" tanyaku.
"Ku cafe, nanti aku kenalin sama Arka sebagai pacar yang baik," kata Awan sambil tersenyum.
"Aku ganti baju dulu," kataku.
"OK. Kamu dandannya biasa aja, takutnya malah Arka tergila-gila sama kamu," katanya sambil terkekeh.
Aku lalu meninggalkan Awan dan bergegas memantaskan diri untuk pergi bersama kekasih. Arka ini sahabat Awan. Awan sering menceritakan tentang dia, hanya saja aku dan Arka belum pernah bertemu. Awan bertemu dengannya saat menonton acara live music saat masih kuliah. Kurang lebih sudah lima tahun mereka bersahabat. Dan kata Awan banyak kecocokan diantara mereka yang membuat mereka selalu kompak bersama. Arka seorang penyanyi cafe, sangat mengherankan karena dia lulus kuliah jurusan ekonomi dengan predikat cum claude namun dia sepertinya enggan bekerja sesuai latar belakang akademisnya.
...****************...
Kami duduk sambil menikmati cappucino dengan latte art yang indah. Alunan suara Arka dengan petikan gitar akustiknya membuat suasana terasa sangat menyenangkan. Dua lagu diselesaikan dengan cantik dan kemudian Arka berjalan ke meja kami. Kulitnya putih bersih, terlihat sangat terawat. Dua lesung pipi menghiasi senyumnya, rambutnya yang kriwil agak gondrong tampak sedikit berantakan.
"Siapa ni ndan?" katanya sambil menyodorkan tangan ke arahku.
"Kasih," jawabku sambil menyambut jabat tangannya.
"Oh, Kasih? Cewek ganti terus ndan, udah kayak ganti ******," katanya sambil tertawa ngakak.
"Gila! jahatnya mulut!" kata Awan sambil meninju bahu Arka. Arka terus tertawa sambil menyeruput cappucino milik Awan.
"Suaramu bagus," kataku mencoba mengalihkan pembicaraan karena aku sadar kata-kata Arka tadi hanya candaan.
"Iya dong, kalau nggak bagus pasti jadi koki," potong Awan sebelum Arka sempat menjawab.
"Kamu tuh jadi kasirnya," kata Arka ke Awan.
"Spongebob dan Squidward dong," kataku mencoba mengimbangi pembicaraan mereka.
Malam ini kami lalui dengan saling lempar candaan dan membuat kami bertiga terus tertawa. Aku mulai tahu mengapa mereka bisa klop. Karena mereka sama-sama suka bercanda dan candaan mereka sangat absurd.
Karena malam semakin larut, akhirnya Awan mengantarku pulang kemudian mengantar Arka ke rumahnya yang katanya di pinggiran kota dan berencana menginap di sana. Setelah basa basi dan lambaian tangan, aku langsung ke kamar, membersihkan riasan wajah, mencuci kaki dan tangan, memakai piyama dan bersiap-siap tidur. Selamat malam kekasih, selamat tidur, mimpi indah dan semoga esok kita semakin indah, bisikku pelan berharap bintang menyampaikan kata-kataku untuk Awan. Aku terlelap dengan hati diselimuti oleh kebahagiaan.
"Kas, Kasih. Ayo bangun," suara Rayi dengan gedoran keras di pintu membangunkan dari mimpi indahku.
"Jam berapa?" tanyaku dengan mata masih terpejam.
"Sudah jam tujuh, kurang sepuluh menit," kata Rayi masih dengan berteriak.
"Kenapa baru dibangunin? " protesku sambil berlari membawa handuk ke kamar mandi.
Masih terdengar omelan Rayi yang tidak jelas di telingaku karena tertutup oleh suara guyuran air. Aku berlari lagi ke lemari mengambil seragam yang ternyata masih kusut dan aku buru-buru menyetrika. Ah sudahlah, tidak perlu berdandan yang penting ketiak aman pakai deodoran. Tanpa sarapan aku lalu bergegas menaiki sepeda motor yang sudah dinyalakan dan digas terus menerus oleh Rayi sebagai pertanda aku harus bergegas.
"Makanya kalau tahu besok kerja, malamnya jangan keluyuran. Tidur awal, tidur cukup delapan jam, seragam disiapin dari sore jadi pagi tinggal pakai" Rayi mulai ceramahnya.
"Fokus dong nyetirnya, jangan nyanyi terus," protesku tidak mau tahu.
Rayi adalah teman kerjaku, hanya saja dia di departemen fabric. Dia mengontrak di depan rumahku dan setiap hari kami berangkat dan pulang kerja bersama-sama. Dia adalah teman baikku saat ini.
Kami tiba pabrik dan presensi tepat waktu. Hanya saja aku kurang pede dengan penampilanku hari ini. Sangat awut-awutan tanpa make up.
"Yang sudah baikan sama Awan, lupa waktu," kata Rayi dengan nada khas nyinyirnya.
"Kok tahu?" tanyaku sambil merapikan rambut.
"Iyalah, semalam kalian pelukan lama banget di depan pintu. Belum tahu rasanya digrebek warga sih," kata Rayi.
"Ngintip ya, kamu?" tuduhku sambil memonyongkan bibir
"Ndak lah, kebetulan aku di depan pintu, ngesis, sumuk aku nonton sinetron eh malah dapat yang live" kata Rayi membela diri dengan nada medok bercampur bahasa Jawa khas ala Rayi.
"Udahlah, nanti pas makan siang aku cerita. Kerja dulu, kerja dulu." kataku sambil berlari kecil memasuki ruang kerjaku.
...****************...
"Jadi semalam aku jadian sama Awan," kataku sambil setengah berbisik.
"Hah? Kok iso ki lho?" tanya Rayi seakan tak percaya.
"Ya bisa dong, kan kami saling mencintai," jawabku sambil menyuapkan soto daging ke mulutku.
"Terus kalian pergi ke mana?" tanya Rayi yang semalam pasti memantau kegiatanku dan Awan.
"Ke cafe," jawabku singkat
"Ke cafe tenan? Ah, mosok?" katanya meragukan ucapanku.
"Kamu maunya kami ke mana?" tanyaku dengan nada menantang.
"Ya terserah kalian, wong kalian yang pacaran," katanya tanpa rasa bersalah.
"Ya udah, kami ke cafe. Kamu nggak usah protes kalau aku cerita," kataku sambil menggelengkan kepala.
"Terus pulang jam berapa sampai bangun kesiangan?" tanya Rayi menginterogasi.
"Nggak tahu, aku pulang langsung tidur." kataku
"Mosok?" Rayi mulai protes lagi
"Kamu ni lho, mosak mosok, mosak mosok terus," aku tidak kalah protes juga ke Rayi.
"Jadi kami ke cafe, dikenalin sama temannya yang nyanyi di situ, namanya Arka," kataku menjelaskan
"Si Arka ganteng ndak?" tanya Rayi mulai keluar dari topik awal.
"Kok malah bahas Arka sih?" protesku dengan nada tinggi dan disambut Rayi dengan ngedumel entah apa.
Beginilah kami, selalu heboh dan ribut setiap kali bertemu tapi kamu saling nyaman berteman satu dengan yang lainnya. Kami menyelesaikan makan siang dan obrolan kami yang tak tentu arah karena jam istirahat sudah selesai dan kami harus kembali bekerja.
...****************...
Lumayan lelah untuk hari ini. Betapa tidak, ada beberapa model pattern baru yang harus diselesaikan. Aku dan Rayi melangkah malas menuju parkiran.
"Nanti mampir ke minimarket sebentar ya," kataku ke Rayi yang dijawab dengan anggukan.
Sampai di gerbang luar, tampak di seberang jalan seorang laki-laki yang berpakaian rapi berdiri bersandar pada mobilnya dan sedang asyik dengan ponselnya.
"Awan tuh," kata Rayi sambil menghentikan sepeda motor dan menunjuk dengan bibirnya.
"Ngapain dia? Rapi amat kayak mau kondangan," kataku seakan tidak percaya.
"Jemput kamu toh ya, mosok yo mau melamar kerja jadi satpam? Beneran pacaran nggak sih?" Kata Rayi urung menjalankan sepeda motornya kembali.
"Tunggu di sini sebentar," kataku kepada Rayi lalu turun dari sepeda motor dan berlari kecil menyebrangi jalan.
"Awan, kamu ngapain di sini?" tanyaku begitu tiba di depannya.
"Jemput kamu," jawabnya singkat.
"Aku kan sama Rayi, kasihan kalau dia harus naik motor sendiri." kataku menjelaskan.
"Ya udah, kamu sama Rayi, aku tunggu di rumahmu ya," jawab Awan sambil menepuk lembut puncak kepalaku.
Aku lalu bergegas kembali ke lokasi di mana aku meninggalkan Rayi dan kagetnya aku, dia sudah tidak ada di situ. Aku mulai mengacak-acak poniku dan sesekali menggaruk-garuk kepalaku, hal yang sering aku lakukan saat panik. Rasanya ingin mencakar-cakar tanah. Astaga, Rayi ini benar-benar tidak jelas, kurang cerdas, nggak etis, jadi teman nggak ada akhlak, masak aku ditinggalkan begitu saja.
Aku lalu mengambil ponselku dan menelponnya, tapi tidak diangkat. Lama aku mencoba namun tidak ada jawaban. Pasti Rayi meletakkan ponselnya di dalam tas sehingga dia tidak sadar kalau aku menghubungi. Masa' iya aku harus menghubungi Awan padahal tadi aku yang menolaknya menjemputku. Terpaksa aku memesan ojek online sambil terus menggerutu mengenai tingkah Rayi.
Aku hampir sampai di depan rumah dan tampak dari kejauhan Rayi dan Awan berdiri di depan rumahku. Setelah berterimakasih pada bang ojek, aku mendekati Rayi dengan muka cemberut yang pasti sangat jelek.
"Maksudmu apa?" tanyaku galak ke arah Rayi.
"Lho, lha wong tak kiro kamu pulang sama Awan," katanya berusaha membela diri.
"Tadi akan aku bilang tunggu bentar, kok malah ditinggal?" aku masih melayangkan protes tidak terima dengan perlakuan Rayi.
"Iya deh, sepurane! Maaf! Salah paham!. Habisnya kamu ya aneh, dijemput pacar malah ndak mau," kata Rayi sambil melangkah menuju rumahnya.
Awan malah tertawa saat melihat pertengkaran kami. Seperti menikmati acara lawak di TV.
"Nggak dikejar tuh Rayinya?" kata Awan masih menyisakan tawa.
"Nggaklah, nanti juga ke sini sendiri. Kamu sih, jemput tapi nggak ngabarin dulu," kali ini aku malah protes ke Awan
"Kan mau kasih surprise," balasnya.
"Luar biasa aku benar-benar terkejut. Tunggu sebentar ya, aku mau mandi dulu," katamu sambil masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Awan.
Aduh, pasta gigiku sudah habis, sabun juga tinggal sedikit. Gara-gara peristiwa tadi aku batal ke minimarket untuk membeli keperluanku. Sudahlah, gosok gigi nanti malam saja dan mandi dengan sabun seadanya. Sabun mandi dikocokin air dikit pasti busanya jadi banyak Nanti malam sebelum tidur aku akan mandi lagi. Tidak nyaman juga tidak bisa berlama-lama di kamar mandi karena Awan sudah menungguku.
"Kamu wangi, tahu nggak aku suka banget sama cewek yang wangi," kata Awan saat aku menemuinya di ruang tamu.
"Kenapa nggak pacaran aja sama sabun GIV, kan wangi terus tuh sepanjang hari," candaku yang disambut tawa oleh Awan.
"Kayak lagu dangdut aja," kata Awan sambil tertawa terkekeh.
"Lagu tentang pacaran sama sabun gitu?" tanyaku penasaran.
"Bukan, lagu judulnya cinta sabun mandi," jawab Awan.
"OOO,," jawabku singkat tanda mengerti.
"Sudahlah, malah jadi bahas itu. Ke rumahku yuk, aku kenalin ke orang tuaku," kata Awan menggebu-gebu.
"Lho, kan aku sudah kenal," jawabku apa adanya.
"Aku kenalin sebagai calon istri," katanya mantap.
"Apa? Apa tidak terlalu cepat?" tolakku halus. Astaga aku belum siap untuk ini.
"Kan usiaku sudah cukup, sudah sesuai undang-undang," katanya sambil tersenyum
"Apa lain kali aja ya, aku kan masih capek baru pulang kerja. Biar kalau ketemu terlihat fresh, bersemangat. Ya." kataku beralasan.
Untung saja Awan menyetujui penolakanku. Kami lalu berbicang-bincang sebentar dan tidak lama kemudian Awan pulang.
"Besok aku anterin kerja ya," kata Awan menawarkan.
"Nggak usah, aku sama Rayi aja seperti biasa," jawabku.
"Nanti ditinggal lagi, kalian bertengkar lagi" katanya sambil tertawa.
"Kalau Rayi nggak lihat kamu ya pasti nggak ditinggalin," jawabku sambil bergelayut manja di tangan Awan.
"OK deh, pacarku yang kayak jaelangkung," katanya sambil menepuk lembut puncak kepalaku.
"Kok jadi jaelangkung?" tanyaku penasaran.
"Datang tak dijemput, pulang tak diantar" katanya santai sambil masuk ke dalam mobil.
"Bisa aja," aku menbalas sambil tertawa.
Awan pergi setelah aku melambaikan tangan ke arahnya. Dan tampak Rayi berjalan mendekatiku lalu aku berpura-pura menghindarinya dengan berjalan cepat kembali ke rumah.
Rayi berlari menyusul masuk ke dalam rumah sambil terus memanggilku.
"Kas, aku mau ngomong ni lho, kamu berhenti dulu," katanya sambil menarik bagian belakang bajuku.
"Kowe marah?" tanyanya
"Nggak! Kan lebih enak kalau bicara di dalam," kataku sambil menarik tangannya dan mendudukkannya di sofa.
"Aku tuh cuma mau minta shampo, ada?" tanyanya dengan muka tanpa dosa.
"Gara-gara kamu, tadi aku nggak gosok gigi," protesku.
"lha?? opo salahku?" tanyanya lagi dengan muka bengong.
"Kalau tadi kamu nggak ninggalin aku, kita sudah mampir ke minimarket, jadi kita punya sabun, odol, shampo dan seperangkat alat mandi dibayar tunai," kataku
"Oalahh..ya udah kita ke minimarket sekarang," kata Rayi sambil menarik tanganku.
Dengan sepeda motor andalan kami, kami melaju menuju ke minimarket yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Karena sudah terbiasa berbelanja di sini, kami hafal dengan baik lokasi rak untuk semua keperluan yang kami beli sehingga tidak membutuhkan waktu yang banyak. Kami segera pulang karena nyanyian kelaparan sudah berkumandang. Kami mampir di warung kaki lima langganan kami untuk menikmati ayam penyet favorit.
"Besok aku sudah mulai pindah ke departemen merchandiser langsung disuruh berhubungan sama buyer besar. Jantungku iki lho, ndak berhenti berdetak," kata Rayi menggebu-gebu.
"Ya jangan berhenti berdetaklah, bahaya itu," kataku mengoreksi kata-kata Rayi.
"Maksudku iki, berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Wis kayak lagune Ahmad Dhani," katanya sambil mengelap meja dengan tisu.
"Siapa sih buyernya?" tanyaku mulai penasaran.
"Aku lupa lagi. Pokoke info-infone beliau mau pesan seragam untuk karyawannya. Sekitar lima ratusan gitu," jelas Rayi.
"lima ratusan udah kayak tahu bulat aja," kataku bercanda.
"500 pieces, 25 kodi non, kalau nggak lolos bisa diceramahi sama ibu ratu," katanya dengan nada sangat serius dan terlihat nervous.
"Kamu nggak didampingi Bu Linda?" tanyaku juga serius. Ini bukan waktunya bercanda.
"Bu Linda kan mendadak resign toh? Jadi ya aku iki otodidak," jawab Rayi
Kami lalu diam sejenak saat pesanan kami dihidangkan.
"Makan sek lah, daripada pingsan," ajak Rayi.
Kami sibuk sebentar mengambil sedotan, rebutan kobokan dan mulai makan dengan tangan. Sangat nikmat makan pedas tanpa sendok. Pantang bagi Rayi untuk berbicara saat makan pedas sehingga suasana menjadi sedikit tenang.
Selesai makan, kami buru-buru tancap gas dan pulang karena Rayi mengeluh sakit perut. Begitu sampai di rumah, tanpa ba-bi-bu Rayi langsung berlari membabi-buta menyerang WC. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Rayi yang tidak jelas sama sekali.
"Terus kamu sama Awan gimana?" tanya Rayi begitu selesai buang air.
"Tadi dia ngajak ke rumahnya, mau dikenalin sama orang tuanya," aku menjelaskan apa adanya.
"Mosok? Bukane kowe wis kenal?" tanya Rayi sedikit ragu.
"Iya, tapi kenalnya sebagai temannya Awan. Awan mau kenalin aku sebagai calon istri," ku katakan ke Rayi tanpa ada yang ku tutup-tutupi.
"Edan, baru pacaran semalam sudah main panggil calon istri aja," kata Rayi sambil berteriak.
Aku lalu berusaha menutupi mulut Rayi yang tidak terkendali. Bisa-bisa teriakannya terdengar oleh warga se RT.
"Opo toh yo? Aku ndak bisa napas ki lho," kata Rayi sambil berusaha melepaskan diri.
"Ya kamu nggak usah teriak-teriak gitu, bikin panik tau nggak?" kataku dengan nada yang ketus.
"Terus kamu gimana?" tanyanya sambil berusaha mengatur napas.
"Aku belum siap, mungkin lain kali," kataku santai.
"Mosok?" kata Rayi menggunakan kata yang sering digunakannya untuk memastikan kebenaran info yang diterimanya tanpa banyak bicara.
"Mosak mosok terus," protesku.
"Ah sudahlah, aku sudah mengantuk. Aku pulang dulu. Kamu juga tidurnya jangan kemaleman biar besok pagi bangunnya ndak kesiangan," kata Rayi sambil berlalu pergi membawa barang belanjaannya.
Aku lalu ke kamar mandi untuk gosok gigi dan mandi ulang. Segar rasanya, aku lalu masuk ke kamar tidurku, menyetel televisi untuk menonton berita namun akhirnya aku tertidur.
...****************...
Jam menunjukkan pukul lima pagi saat aku membuka mata. Aku lalu mandi dan kemudian ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Cukup segelas susu dan beberapa lembar roti tawar yang diolesi margarin. Selesai sarapan aku lanjut ke rumah Rayi. Ku kira dia belum apa-apa ternyata dia sudah rapi duduk melamun di teras rumahnya.
"Selamat ya, Ra!" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Selamat untuk apa?" katanya bingung namun tetap menyambut uluran tanganku .
"Selamat pagi," kataku sambil menjabat tangannya.
"Bocah gendeng," katanya judes sambil melepaskan tanganku.
Aku tertawa kecil, wajahnya terlihat sangat gugup. Tapi aku tahu, Rayi pasti bisa mengatasi masalahnya. Aku lalu mengajaknya segera berangkat. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini.
...****************...
Lelah rasanya setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Tadi siang aku makan siang sendiri karena Rayi harus keluar bertemu dengan buyer. Sepi juga sehari ini tanpa mendengar celotehan Rayi. Ternyata dia sudah bersiap-siap di parkiran menungguku. Mungkin dia sudah kembali sebelum jam pulang. Dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat ke arahku. Aku tersenyum lega, melihat keceriaannya itu berarti hari ini pekerjaannya beres. Wajahnya juga menyiratkan banyak hal yang tidak sabar ingin dia ceritakan.
"Kita pulang, aku mandi sek, terus ke rumahmu, kita podcast," katanya sambil menyalakan sepeda motor.
Sepanjang perjalanan Rayi bernyanyi riang mulai dari cublak-cublak suweng, gundul-gundul pacul dan diakhiri dengan lagu stasiun balapan. Semua mata tertuju pada kami, mungkin mereka terganggu dengan suara Rayi yang luar biasa cempreng. Aku hanya bisa menundukkan kepala namun dalam hatiku tertawa sangat keras mendengarkan suara Rayi.
...****************...
"Wuedan, anaknya itu Pak Surya itu gantenge pol. Cowok kok kulitnya putih, bersih kayak perawatan mahal gitu. Rambutnya gondrong dikucir rapi, kharismanya wis kayak Genji Takiya," kata Rayi sambil memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya.
"Bentar, bentar! Kita ini bahas apa?" tanyaku bingung.
"Anaknya Pak Surya," kata Rayi bersemangat.
"Pak Surya itu siapa?" tanyaku lagi memohon penjelasan.
"Buyer sing kemarin aku cerita itu lho," kata Rayi menjelaskan dengan ngotot.
"Bukannya kita mau bahas masalah orderan buyer?" tanyaku berusaha meluruskan topik pembicaraan malam ini.
"Order itu berjalan lancar tanpa kendala," kata Rayi sambil menepuk dada tanda bangga.
"Oke? lalu anaknya Pak Surya namanya siapa?" tanyaku mencoba mengikuti alur cerita Rayi
"Aku nggak tahu, tadi hanya berjabat tangan. Kita sebut saja Genji Takiya gimana? Ayolah, apalah arti sebuah nama," katanya setengah merayu.
"Tak kenal makanya tak sayang. Kenapa mesti nama jepang gitu sih?," kataku.
"Aku iki wibu lho," kata Rayi.
"Wibu-wibu PKK?" kataku meledeknya.
"Wis ora urus. Tapi kedepannya urusan seragam diserahkan ke dia, jadi aku punya banyak waktu untuk kontak-kontakan sama dia," kata Rayi penuh harapan.
"Ketinggian kamu mimpinya," kataku sambil memonyongkan bibir.
"Kowe iri ya?" balasnya tidak mau kalah.
"Ngapain?" kataku menolak pernyataannya.
"Iya, nggak boleh iri. Kamu sudah punya Awan," katanya sambil menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.
Ponselku lalu berbunyi dan itu adalah telepon dari Awan. Aku menunjukkan ke Rayi sebelum menjawabnya.
"Sana, jawab tuh panggilan mas yayang, aku mau pulang aja mimpiin Genjiku," kata Rayi sambil berlalu pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!