Anak Perempuan Maduku 1
“Suami kamu mana, On?” tanya Gani, pada seorang wanita yang berada di sampingnya. Saat itu dia masih memilih jeruk di toko buah pinggir jalan. Dia baru sehari sampai di Kota Atapani dan sore itu, tanpa sengaja dia bertemu Usfi, teman sekaligus wanita yang dulu pernah dicintainya.
Namun, sekarang Usfi sudah menikah dengan pria lain. Itulah, yang menjadi penyebab Gani pergi, dan setelah tiga tahun, dia pulang ke kampung itu lagi karena punya utang.
“Kamu salah orang Bang!” sahut wanita itu datar, tanpa melihat orang yang menyapanya, dengan kalimat yang tidak enak di dengar.
Mereka melakukan hal sama, memilih buah jeruk yang bentuknya kecil-kecil, untuk dibawa pulang.
“Eh, kamu Oon, kan? Takutnya aku salah orang, kamu jadi beda sekarang!” Kata Gani, dia menelisik lebih cermat pada wanita yang berdiri di sampingnya. Dia tadi yang lebih dulu datang ke tempat itu.
Usfi menoleh dengan wajah cemberut, karena tidak suka dipanggil begitu. Dia perempuan yang tergolong manis, meskipun, wajahnya biasa saja, sedikit bulat dengan hidung yang tidak mancung, matanya sipit dan bibirnya tipis.
Dia kemudian membuang muka, dan kembali memilih jeruk di hadapannya dan dia berkata, “Bang Gani ... Kapan Abang pulang?”
“Kemarin.” Gani menjawab singkat dan melanjutkan aktivitasnya, sedangkan Usfi tidak bicara lagi.
Tak lama setelah itu, mereka sama-sama selesai dan pemilik toko menimbang buah jeruk pilihan mereka secara bergantian.
Nama wanita itu Musfironah Hanum, dia biasa dipanggil dengan nama Usfi. Namun, Algani, tetangganya yang biasa di panggil Gani itu, lebih sering memanggilnya Onah, bahkan lebih di singkat lagi jadi Oon.
Tentu saja gadis itu tidak suka dan, langsung cemberut jika dirinya dipanggil demikian. Sebutan itu seperti memanggil orang bodoh, atau o-on. Cuma Gani yang terlalu berani menyebutnya begitu. Namun, akhir-akhir ini Gani menyesal, kenapa wanita yang sering dicandainya itulah yang justru membuatnya jatuh cinta.
Saat itu wajah mereka masih menyisakan luka, akibat mereka pernah punya masalah sebelumnya.
“Begitu sulitnya lupa, hingga setelah sekian tahun pun, takdir belum rela kalau hati ingin sembuh dengan sempurna, ini mungkin yang dinamakan luka di mana pun berada tetap ada bekasnya.” Suara hati keduanya.
Gani diam-diam jatuh cinta, tapi dia meninggalkan Usfi, karena sakit hati. Gadis itu mau saja dinikahkan dengan Juragan Anwar, orang paling kaya di kampung mereka. Padahal, sang juragan tanah sudah punya seorang istri. Itu artinya, wanita yang dicintainya akan jadi istri kedua. Gimana tidak marah, coba.
Namun, kesalahan bukan terletak pada Usfi saja yang merahasiakan masalahnya dari Gani. Sementara pria itu tidak berani mengatakan perasaannya sendiri.
Saat lamaran Juragan Anwar senter terdengar, Gani pun, kalang kabut dan tidak ada orang yang tahu apa masalahnya, tiba-tiba saja dia marah-marah lalu, kabur dari rumah.
Bahkan Usfi juga belum melakukan ijab kabul, dia sudah pergi entah ke mana. Sampai-sampai Mak Bapak dia, bingung dan melibatkan orang sekampung untuk mencarinya, seperti anak kecil saja.
“Anakmu itu, Pak! Apa dia gak tahu, ayat dalam Al Qur’an, bilang ah, pada orang tua saja tidak boleh, kenapa bikin aku pusing begini!” keluh Amy—emak Gani waktu itu dan Amin—bapaknya, hanya bisa menenangkan istrinya.
“Sabar, Mak. Sabar!”
“Kau tahu, Pak. Walaupun sabar itu disebut sebanyak 300 kali dalam kitab suci, aku ini tetap gak sabar sama anak itu!” keluh wanita itu lagi. Dan, Amin hanya mengelus dada. Dia mungkin yang harus sabar, karena Ami terlalu menyayangi anaknya.
Sekarang Usfi dan Gani bertemu lagi setelah tiga tahun terpisah oleh jarak dan waktu. Mak Bapakl pun sudah lelah mencari, tapi kemarin, tak angin tak ada hujan anak itu muncul sendiri.
Gani masih bingung dengan hatinya, karena perasaan cinta itu masih ada. Namun, Usfi sudah punya suami dan dirinya juga sudah menikah. Kalau bukan karena hutangnya yang menggunung, dia tidak akan pulang. Malu.
Gani berniat menjual Empang miliknya pada Pak Juna, peternak lele yang cukup terkenal di Antapani, siapa tahu kolam itu bisa laku, untuk membayar hutang.
Empang itu pemberian dari bapak yang dibagi dua dengan Alghizali—abangnya. Namun, sang kakak sudah menghibahkan pada adik perempuannya, Altiana yang sekarang sudah menikah, dan tinggal di atas tanah itu. Suaminya membangun rumah mungil mereka di sana.
“Kenapa Abang baru pulang sekarang? Gak kasihan apa sama Emak, sama Bapak? Mereka cari Abang siang malam selama satu tahun penuh!” tanya Usfi sambil merapikan kerudungnya yang tidak miring.
“Memangnya aku ke mana? Aku gak ke mana-mana kok!”
“Tapi, kata Mak Ami, Abang Gani itu gak pulang-pulang sudah tiga tahun ini!”
“Eh, kamu memang ngitung waktu aku gak ada gitu? Buat apa ...? Mau tahu urusan orang saja! Apa kamu gak punya suami yang harus kamu urus?”
Mendengar ucapan Gani, kembali lagi Usfi cemberut. Dia bukannya mau ikut campur urusan orang, tapi, apa salahnya memberi perhatian pada teman sekaligus tetangga. Apalagi Emak Bapak Gani sudah seperti orang tua sendiri.
“Apa salahnya sih, Bang. Aku cuma tanya, jadi, gak usah marah begitu! Kita, kan pernah hidup bertetangga, saling menyapa dan saling menghargai antar tetangga itu baik dan juga sunah, Bang!”
Gani terdiam tak menanggapi Usfi, dia menenteng kantong jeruk, sambil menaiki motor milik Alpin, adik iparnya.
Lalu, Gani bertanya, “Kamu mau pulang? Sini, biar aku antar ... Eh! Gak jadi, takutnya nanti ada yang marah atau cemburu sama aku!”
“Siapa yang cemburu, Bang?”
“Suami kamu, lah!”
Usfi mencebik sambil mengangkat bahunya, seraya tersenyum, “Gak usah di antar juga gak apa, Bang. Terima kasih, salam saja sama Mak Ami!"
“Oh, kamu pasti di jemput suami kamu, kan?”
Sekali lagi Usfi hanya menatap Gani sekilas, dia tersenyum sambil mengeluarkan kunci mobil dari balik sakunya.
“Aku duluan ya, Bang!” katanya sambil berjalan ke arah mobil yang terparkir, tepat di samping toko buah dan mengarahkan kunci, hingga pintunya terbuka secara otomatis.
Gani melongo. Pria itu tidak menyangka kalau mobil yang sedari tadi terparkir tak jauh dari mereka adalah kendaraan wanita yang tadi, sempat diremehkannya.
Usfi sedang memasuki mobilnya, ketika ponsel dalam tasnya berbunyi. Setelah menutup pintu, dia mengambil telepon genggam, menempelkan ke telinga, sambil membuka jendela.
“Halo, Kak! Ada apa?” katanya seraya melirik kaca spion, melihat Gani yang menjalankan motor dan berhenti tepat di sampingnya.
“Tante, jangan korupsi waktu ya! Sebentar lagi giliran Mamah! Awas kalo Papa sampai terlambat gara-gara Tante gak becus!” kata suara dari balik telepon.
Ada Gani di sekitarnya, meskipun demikian, dia tidak bisa mendengar apa-apa dari sana. Pria itu menoleh dan menundukkan kepalanya ke arah jendela mobil sedan yang pendek.
Pada saat yang sama, Usfi berkata, “Tapi, Kak ... Papah gak sama Tente, kok!”
Jawaban Usfi, membuat Gani mengerutkan alis, dia tahu apa yang mungkin terjadi pada wanita yang masih menambat hatinya itu.
“Tante gak bohong, kan?” kata suara itu lagi.
“Gak, Tante gak bohong!” telepon di tutup secara sepihak oleh Usfi, pikirannya berkecamuk karena memikirkan ucapan anak perempuan tadi.
“Kalau Pak Anwar gak ada di sana, terus ke mana dia?” lirih Usfi, dan tentunya Gani mendengar ucapannya.
👍❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️👍
Kisah ini murni cerita kehidupan sehari-hari masalahnya juga ringan dan memang terjadi sehari-hari. Sengaja ada selingan berupa poligami adalah hal yang ditarik sebagai pemikat dan pembeda saja. Tokoh utamanya laki-laki, karena author mencoba mengasah kemampuan dan mencoba hal baru. Begitu juga tokoh wanita yang di ambil dari sisi istri kedua atau yang sering di anggap sebagai pelakor. Semua sebagai pembeda saja. ❤️ semoga kalian suka! ❤️
Anak Perempuan Maduku 2
“Kamu bener jadi istri kedua Juragan Anwar? Gak nyangka aku, On!” Gani menggelengkan kepala sambil berlalu, bibirnya menyunggingkan senyum kecutnya.
Usfi melihat punggung Gani yang terus menjauh hingga hilang tertutup oleh kendaraan lain di belakangnya. Gadis itu menarik napas panjang, sambil mengusap layar ponselnya untuk mencari nama Pak Anwar.
Setelah menemukan, dia berapa kali mencoba menghubungi nama yang sama, teleponnya tersambung, tapi, tidak diangkat.
Tidak lama setelah itu, dia menutup telepon dan hendak memajukan mobil. Di saat yang sama, dia mendapat notifikasi pesan masuk, karena penasaran, dia segera melihat pada layar ponsel. Saat itu pula dia membelalakkan mata, guna memastikan kalau penglihatannya pada pesan yang baru saja diterima, tidak salah.
“Coba lihat, ini Pak Anwar apa bukan?” bunyi pesan yang disertai foto itu.
“Bukan menuduh, sih, tapi kayaknya kok mirip ya?” Bunyi pesan itu lagi, setelah notifikasi selanjutnya.
Usfi memastikan jika yang dilihatnya adalah benar foto Anwar—suaminya, dia membesarkan ukuran foto, walaupun gambar tampak dari belakang, tapi penampakan punggung, rambut dan tangan yang tengah merengkuh bahu seorang wanita itu adalah Anwar. Dia kenal betul dengan tubuh suaminya.
“Ini di mana?” tanya Usfi. Dia langsung menghubungi Sari, teman yang mengiriminya foto melalui pesan tadi.
“Aku masih di Buana Water Park! Benar, kan itu suamimu?”
“Kamu sudah lama di sana?”
“Aku baru aja mau pulang, ini, kan udah sore, Fi. Kebetulan aku lagi jalan terus lihat itu, langsung aku kirim deh!”
“Makasih ya! Udah kamu fotoin?”
“Benar gak itu Mas Anwar? Apa dia punya istri lagi?”
Usfi tidak mungkin mengiyakan, apakah foto itu adalah suaminya atau bukan. Lebih baik membiarkan Sari dalam keraguan, karena jika itu tidak benar, artinya aib bagi suami hingga dia harus menutupi. Kecuali kalau yang sedang bersamanya adalah istrinya yang sah secara agama, maka tidak akan jadi masalah, karena apa yang dilakukan Anwar halal adanya.
“Maaf ya, Sari! Aku gak bisa mastiin, kayaknya sih bukan, soalnya aku ragu!”
Uafi menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih dan meyakinkan temannya itu kalau dia akan baik-baik saja. Lalu, mengucapkan salam.
Tiba-tiba telepon Uafi berbunyi lagi, padahal dia baru saja menginjak pedal gas dan hendak pergi.
Panggilan video itu dari Naura, anak perempuan Anwar yang sangat provokatif padanya.
“Tante, beneran deh, sekarang Papa mana?” katanya dari balik layar.
Gadis berusia sekitar 17 tahun itu, terlihat tidak sabar. Dia masih sekolah dan menjadikan Anwar sebagai sosok idola. Naura, seperti kebanyakan anak perempuan lainnya, menjadikan ayah mereka sebagai cinta pertamanya. Dia menggantungkan harapan yang begitu besar pada papanya, seolah pria itu tidak memiliki dosa.
“Papamu itu gak sama Tente, kok! Coba lihat kalau gak percaya!” kata Naura sambil mengedarkan ponselnya ke segala arah di mobilnya.
“Tadi, Pap pulang jam berapa dari rumah Tante?”
“Hari ini Papa gak ke rumah Tante!”
“Jangan boong lagi, deh! Kemarin Papa bilang mau pulang telat, soalnya mau mampir ke rumah Tante dulu!”
Usfi hanya menghela napas kesal.
Terkadang seperti itulah seseorang yang terlalu mendamba, seperti yang dilakukan Naura pada papanya. Mereka mengira orang yang didambakannya itu seperti dewa, sempurna, gagah dan tidak mungkin menyakitinya.
Anwar memang sosok yang baik, ramah, berkulit bersih, wajahnya teduh dan bentuk tubuhnya proporsional meski sedikit gemuk. Satu hal terpenting adalah kekayaannya, inilah daya tarik tertinggi bagi wanita yang membutuhkan kasih sayang di mana pun berada.
Sebenarnya, Naura sempat kecewa saat mengetahui ayahnya itu sudah menduakan mamanya. Namun, karena mamanya sendiri yang mengizinkan Anwar untuk menikah lagi, gadis itu pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan, sebagai akibatnya, dia sangat cerewet pada Usfi, wanita yang dianggapnya sudah mengganggu rumah tangga sang mama. Bahkan, dia sering menjadikan istri kedua papanya itu, sebagai sasaran kekecewaannya.
“Masa Papa boong sama aku, sih, Tante?” Naura bicara lagi, karena Usfi diam.
“Ya! Mana Tante tahu ... Kamu coba selidiki dulu, Papa ada di mana? Telepon sana!”
Usfi masih menyembunyikan berita tentang Anwar pada anak perempuan madunya itu.
“Sudah, tapi gak diangkat!” Naura terlihat kesal.
“Mungkin Papa masih sibuk, jangan Suuzhon dulu!”
“Tapi, kan sekarang hari Sabutu, Tente ... Mana pernah Papa kerja hari Sabtu, besok kan giliranku! Mama juga gak tahu, mana masih sakit lagi!”
Naura memang membuat kesepakatan sendiri, di mana akhir pekan adalah gilirannya dengan sang papa, Anwar akan menghabiskan waktu dengan gadis itu dan dua adik laki-lakinya yang lain seharian penuh.
“Mbak Mai sakit?” tanya Usfi.
“Ya!”
“Oh. Sakit apa?”
“Mama demam dari semalam!”
Maisha—mamanya Naura, mengizinkan Anwar menikah lagi dengan sebuah kesepakatan, dan juga karena wanita itu menilai Usfi bisa mengendalikan Anwar soal wanita lain, yang mengantre untuk mendapatkan suaminya.
Sebagai orang terkaya di salah satu kampung tanah Pasundan itu, semangat untuk memiliki pasangan hidup lebih dari satu sangat kuat. Godaan datang bagai air bah dan gelombang pasang di lautan yang tak pernah surut.
Tawaran, sindiran atau candaan untuk mendua, sudah biasa di kalangan para pria dewasa, apalagi bagi mereka yang memiliki jabatan, dan tergolong laki-laki berada.
Mereka menganggap memiliki istri banyak bukanlah sesuatu, yang harus disertai tanggung jawab di hadapan Allah. Menyalurkan hawa napsu, daripada zina, membantu para janda, cinta itu buta, dibolehkan dalam agama, dan masih banyak lagi alasan mereka untuk mendukan cinta.
“Mbak! Bagi saya, bukan karena Mas Anwar mampu menanggung jawab semua kebutuhan saya saja, tapi, yang paling penting adalah menanggung jawaban di hadapan Allah!” kata Usfi, saat Maisha mengatakan kalau Anwar tertarik padanya, waktu itu, tiga tahun yang lalu.
“Ya! Aku tahu, tapi, aku gak masalah kalau Mas Anwar nikahnya sama kamu, Fi! Anggap saja ini balas Budi Ustadz Sholeh padaku!”
Sebenarnya bukan Cuma sekali, dan bukan Cuma Usfi yang di sukai, tapi, setiap kali Anwar mengatakan akan menikah lagi, Maisha selalu menolak dan mencegahnya, dengan berbagai cara. Dia tahu suaminya kaya dan mampu menafkahi istri lebih dari satu, tapi, mana ada wanita yang tega jika belahan jiwanya di bagi dua?
Bukankah nyawa hanya ada dalam satu raga, bagaimana nyawa bisa di bagi kecuali sebelah nyawa lainnya pasti akan mati. Itulah sulitnya berbuat adil, apabila hati seorang lelaki dianggap sebagai nyawanya seorang wanita.
“Oh, ya sudah, Tante ke sana sekarang, kebetulan tadi Tante beli jeruk kesukaan Fadil!” kata Usfi sambil meneruskan mengemudi. Ponselnya dia letakkan begitu saja di kursi kosong sebelahnya.
“Tante mau ke sini?” tanya Naura lagi seolah tak percaya, sebab sebelumnya dia bersikeras kalau Usfi berbohong.
“Ya! Udah dulu, teleponnya Tante tutup ya, masih di jalan, nih!”
“Ya, Tante!”
Usfi tidak punya rencana setelah itu, hingga memutuskan untuk menengok Maisha di rumah mewahnya. Sementara pikirannya masih terpaut pada Gani, yang baru saja ditemuinya. Perasaannya tiba-tiba kacau, melihat penampilan pria yang kini tampak kusut dan, lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu, tiga tahun lalu.
👍❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️👍
Kaburnya Gani
Tiga tahun yang lalu, Gani merasa dilukai, hingga memutuskan untuk meninggalkan Usfi demi mengobati lukanya yang tidak terlihat tapi terasa begitu menyayat.
Saat itu dia berpikir jika tindakan itu tepat, seperti orang yang kalap pada umumnya, tidak pernah bisa berpikir dewasa.
Sakit rasanya membayangkan wanita yang dicintainya dijamah pria lain yang usianya jauh lebih tua dibandingkan dirinya, apalagi pria itu sudah beristri. Kalau tidak haram, mungkin dia akan bunuh diri saja.
Dia memang terlambat menikah, tapi sebenarnya semua demi Usfi, dia rajin menabung dari uang gajinya menjadi pegawai desa, agar pantas bersanding dengannya.
Saat itu kakaknya berkata, “Cepatlah kau kawin, Gan! Tak perlulah kau nikahi anak Pak Sholeh itu!” Maksud Gizali adalah Usfi, dia anak bungsu Ustadz Sholeh, yang sering ceramah ke mana-mana.
“Gak, Bang! Pokoknya aku maunya sama dia!” jawab Gani mantap.
“Ah, kau ini ... masih banyak perempuan lain yang lebih cantik, tapi tak macam-macam kayak dia!” kata Gizali—abangnya, waktu itu, sebelum merantau ke Kalimantan dan menjadi pegawai negeri sipil di sana. Dia bertugas di kantor Pemerintah Kota, dan sukses menjadi pegawai yang baik. Sekarang dia sudah punya anak dua, dan tinggal di salah satu kompleks perumahan sederhana.
“Tidak, Bang! Dia tidak macam-macam,” kata Gani membela wanitanya.
“Tapi, dia bikin takut orang ngomong cinta sama dia! Makanya aku bilang dia macam-macam!” Gizali berkata sambil tertawa.
“Nantilah, Bang ... aku ngomong kalau aku sudah siap nikah. Semua orang tahu, anak ustaz, mana boleh pacaran!”
“Ya! Bukan anak ustaz saja yang tidak boleh pacaran, Gan! Semua orang muslim pun tak boleh! Ya sudah, kau bekerja saja yang benar sana!”
Gani juga sudah jadi pegawai negeri, tapi, hanya bekerja di lingkungan desa, tidak ada proyek besar dan mendatangkan uang, hingga hidupnya begitu-begitu saja.
Setelah dia pergi meninggalkan orang tua dan membawa semua uang tabungannya, jadilah dia pengangguran, di kota paling besar dan paling terkenal di seantero negeri. Kerjaannya hanya ngojek dengan motor pinjaman.
Kebetulan ada orang baik yang baru saja di kenal dan mau menolongnya, dia adalah Anas, ayah seorang gadis bernama Asma, wanita yang kemudian dinikahinya. Selama tiga tahun, dia tinggal dan hidup dengan keluarga itu.
Selama satu tahun penuh dia hidup menumpang dan bekerja menggunakan motor tua, secara bergantian dengan Anas, untuk mencari nafkah. Keluarga kecil itu tidak keberatan dengan kehadiran Gani, yang sangat membantu, karena dengan kehadirannya ada orang yang mau mencari nafkah selain Anas untuk menghidupi keluarga mereka.
Anas sering sakit-sakitan, terkadang uangnya habis untuk berobat dari pada buat makan. Lilis—istrinya, Asma dan adik laki-lakinya yang masih sekolah, tidak tahu harus bagaimana mencari nafkah. Penghasilan mereka dari berjualan jajanan pun, tetap saja tidak cukup, untuk menopang biaya hidup di kota besar itu.
Setelah beberapa bulan, berada di kota, Gani dengan cepat bisa menyesuaikan diri, bahkan dia sudah bisa memulihkan ekonomi keluarga ditahun pertamanya. Dia bekerja keras siang dan malam mencari penumpang.
Niatnya bukan karena uang saja, tapi, juga demi melupakan sakit hatinya pada Usfi. Ingin menghapus rasa kecewa pada dirinya sendiri, dan keadaan. Walaupun akibatnya berimbas pada semua orang, termasuk Emak dan Bapak di kampung.
“Berat rasanya menjadi dewasa,” pikir Gani, saat dia tengah menunggu penumpang waktu itu, “Buktinya, umur yang banyak tidak menjamin pemiliknya bisa berpikir jernih dan elegan dalam bersikap.”
Dia membicarakan dirinya sendiri, yang main kabur saja saat tahu kekasihnya bakal direbut orang. Seharusnya, dia bertahan dan membawa Usfi pergi juga, bukannya lari dan tak tahu diri meninggalkan pekerjaan serta orang tua tanpa kabar apa-apa.
Namun, kaburnya kini menyisakan penyesalan dan juga utang. Bukan Cuma utang budi tapi juga uang sejumlah 300 juta ... itu jumlah yang tidak sedikit, tapi, dia tetap harus membayar bagaimana pun caranya.
Ini adalah tanda cintanya pada Asma, gadis yang dianggap sudah membantunya saat dia terpuruk dalam kesedihan, juga patah arang karena cintanya terhalang nasib dan kekayaan. Wanita itu juga yang sering mencucikan pakaiannya, kalau sudah menumpuk karena dia tidak punya waktu melakukannya sendiri.
Saat itu, Gani juga memikirkan tentang ucapan orang bijak, “Sebenarnya, siapa yang bilang jika kebahagiaan itu bukan karena uang?”
Padahal, yang tampak di hadapannya sekarang, uanglah yang bisa membuatnya bahagia.
Dia pun berkata sendiri, “Kalau ada uang, aku bisa melunasi hutang-hutangku, kalau ada uang, aku tidak perlu menjual Empang peninggalan bapak, dan kalau ada uang aku bisa menjadi lebih kaya dari Juragan Anwar, siapa tahu Usfi mau menikah denganku!”
Ya, mungkin bukan hanya dirinya yang sependapat bahwa uang adalah salah satu sumber kebahagiaan, tapi, ada banyak orang lain juga yang berpikir sama. Kalau bukan dengan uang, lantas bagaimana dia bisa membahagiakan orang lainnya.
Melupakan orang yang dicintai nyatanya tidak semudah membuang ludah sendiri. Apalagi kalau ditambah rasa bersalah, karena memanggilnya dengan nama yang tidak baik, sakit di atas sakit, mungkin seperti itu istilahnya.
Sebenarnya, dia berniat membahagiakan Usfi kalau kelak jadi menikah dan, menggantikan panggilan Oon dengan sebutan penuh kasih sayang. Dia akan menebus kesalahannya itu.
“Aku akan menyebut kamu seperti nabi kita memanggil istrinya Aisyah, Humaira ...!” janji Gani dalam hati.
Namun, ternyata benar jika kebaikan itu sebaiknya jangan ditunda-tunda, sebab tidak ada yang tahu kapan nyawa akan pergi dan tidak ada yang tahu, kapan kesempatan itu akan datang.
Awal-awal saat mendengar kabar Usfi akan segera menikah dengan Juragan Anwar, Gani sempat heran, kenapa Ustadz Sholeh yang terkenal religius itu, buktinya mau menikahkan anaknya dengan orang yang katanya sangat semena-mena di kampung mereka.
👍❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️👍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!