NovelToon NovelToon

Intoxicating Disaster

Prasangka

Wanita itu hanya sedang menikmati candunya melihat sebatang rokok yang menjadi ke favoritannya sejak beberapa tahun terakhir. Matanya sangat menyukai kala batang yang awalnya indah berbentuk sempurna perlahan memudar menjadi asap dan akan menghilang bersama hembusan angin.

Anna Park; baginya, bisa lenyap tanpa pesakitan itu tidak seru, ia ingin merasakan terbakar sehingga sakit yang menjalar disekujur tubuh bisa menggantikan sengatan kecil yang membuat hatinya semakin rapuh.

Beberapa orang berpendapat terluka oleh cinta adalah hal yang sangat sulit disembuhkan daripada luka-luka basah lainnya. Namun ada beberapa orang berpendapat tak serupa, luka bisa sembuh tergantung seberapa kuat kamu menghendaki untuk sembuh.

Tapi Anna mengabaikan satu teori itu, yang mencangkup banyak arti—merelakan, mengikhlaskan, dan memaafkan.

Semua tak semudah seperti bibir berbicara, menyusun kata lalu di sampaikan begitu saja. Masalahnya ada di hati yang terlanjur lebam oleh pukulan.

Memang tidak mudah. Tidak ada sesuatu yang bisa di dapatkan dengan mudah di dunia ini. Namun, melupakan, merelakan memang benar adalah salah satu jalan keluar.

Tapi, Anna tetap tidak bisa. Jika ada jalan praktis yang bisa membawanya sembuh total tanpa rasa sakit yang berkepanjangan, ia sangat rela.

Mati misalnya.

Terkadang juga, wanita yang berbalut dress hitam mempesona itu suka menantang maut hanya untuk menjemput ajalnya sendiri. Namun, Tuhan tidak mau memberikan kesempatan untuknya mati dengan mudah. Diam-diam ia juga selalu berdoa kapan sang pencipta mengambil nyawanya, sudah bosan hidup jika boleh dikata.

Anna menghembuskan napas pelan sembari meletakkan kembali satu gelas minuman di atas meja lalu ia menatap hingar bingar lampu yang menjadi cahaya di kegelapan.

Malam ini, rasanya masih sama, dingin.

Hari-harinya masih sama, sepi.

Dirinya pun masih sama, memendam sakit hati.

Anna menggeleng kepala mengingat asal muasal bagaimana ia menaruh hati padanya, pria masa lalunya, hingga tak mampu lagi kembali merasakan hal sama untuk pria lainnya.

Bodoh.

Anna tiba-tiba tersenyum.

"Jeff, ayo ke arena!"

"No, thank you." Sarkas Jung Jeffry sembari membentuk bunyi klotak pada gelas yang baru saja ia letakkan di meja.

Anna mendengus. "Ayolah, Jeff," rengeknya.

Jeffry mendelik. "Kalau kau mau mati, minum racun tikus juga bisa 'kan? Perlu ku belikan?" tawarnya retorik dengan mata melirik.

Pria yang berstatus menjadi sahabat setia Anna itu bagai tumpukan memori perjalanan hidup wanita itu dari piyik sampai masa kini. Terlalu limbung dan terlanjur masuk hingga mampu menerobos sampai bagian dalam kehidupan Anna.

Anna mendengus kesal dengan hembusan nafas gusar akibat tolakan mentah pria pemilik kulit bening dihadapannya. Selalu saja seperti ini jika menyangkut urusan jalanan.

"Anna, bisa tidak mulai sekarang berhenti bermain-main? Sampai kapan kau akan terus begini?"

"Jangan harap." Anna tersenyum miring sebagai tanggapan dan Jeffry sangat kesal melihatnya.

Tangan Anna kian sibuk dengan segelas minuman memabukkan dengan bongkahan es yang dipadukan di dalam gelas kaca bening sehingga menimbulkan dentingan gemeletuk saat benda itu digoyangkan.

Jeffry semakin jengah dengan kelakuan Anna. Wanita dengan surai pirang itu sadar jika pemuda dihadapannya menatap dirinya dengan intimidasi kuat. Satu hentakan terdengar saat tangan Anna menaruh gelas hingga beradu keras dengan meja.

"Aku janji ini yang terakhir kalinya, minggu depan aku menikah, ayolah Jeff."

Jeffry tersedak dengan mata membola sempurna. Jika saja pernyataan itu disuguhkan tidak bersamaan dengan dirinya meneguk vodka, pasti saat ini tenggorokannya tidak akan panas akibat batuk yang tak tertahankan.

"Me-nikah?" tanyanya terbata karena pernyataan sahabatnya memang tak pernah diduga.

Anna memutar bola matanya tanpa sedikitpun niat untuk menjawab. Menurutnya Jeffry sangat berlebihan, jika di ingat-ingat, pria itu pernah mengatakan jika keinginan terbesarnya melihat Anna menikah dengan dia yang rela mengabadikan segala momen indah di hari itu.

"Apa dia tampan sepertiku?" Sejatinya pria bernama lengkap Jung Jeffry itu mempunyai tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi.

Anna terkekeh. "Sejujurnya dia lebih tampan darimu, tapi aku lebih menyukaimu," jawabnya.

"Tapi kau tidak akan pernah mau menikah denganku 'kan? Dasar pembual." keluhnya merasa percuma dengan cibir manis dari bibir Anna.

Mereka tertawa bersama hingga perlahan Jeffry meraih telapak tangan Anna untuk di genggam, ekspresi kelewat dewasa dan serius nampak jelas menghiasi rautnya. "Datang padaku jika nanti dia menyakitimu. Aku akan membuka pintu rumahku lebar-lebar hanya untukmu. Kau dapat golden tiket ngomong-ngomong." Ucapnya diakhiri cengiran lebar.

Anna hanya mampu tersenyum dengan tingkah manis Jeffry. Pemuda itu bagaikan belahan jiwa tanpa gangguan kata cinta, tidak akan pernah ia memposisikan Jeffry lebih dari ini.

"Coba buka hatimu untuk orang lain, Anna. Sampai kau lelah dan tak sanggup lagi. Hingga saat itu tiba, datanglah padaku." Hingga di akhir kalimat, Jeffry menatap lurus bola mata Anna yang sudah berkaca bak menyimpan lara.

Susah payah Anna menelan ludahnya bagai duri mengganjal di tenggorokan. Lagi, kenangan itu muncul untuk menyeretnya hingga rasa luka yang masih menganga lebar itu semakin perih mengiris.

Anna mencoba tersenyum walau getir. "Cepat menikah, Jeff."

"Aku janji akan menikah setelah melihat kau benar-benar bahagia," jawabnya tulus pun jujur.

"Dasar keras kepala, aku ke toilet dulu."

Anna beranjak dari kursi lalu menuju ke toilet dengan membawa pikirannya yang kosong. Kendati minum terlalu banyak, wanita itu justru lebih daripada baik. Nyatanya meneguk alkohol sama sekali tidak mempan untuk tubuh Anna. Itulah mengapa ia sangat membenci keadaan ini. Ingin sekali mati rasa walau sebentar saja.

"Pernikahan yang sangat konyol." desis Anna sebal.

Matanya menyorot tajam pada cermin, mempertontonkan wajah dengan ekspresi penyakitan. Wanita itu frustasi total jika saja semua orang tahu. Sayangnya peringai luar biasa yang ia bangun dapat membohongi siapapun—dingin, angkuh; yang nyatanya hanyalah seseorang yang rapuh.

Menengadah sebentar dengan menutup mata, menghembuskan nafas begitu pelan, Anna segera mencuci tangan dan beranjak setelah menetralkan pikiran.

Hal tak terduga terjadi begitu saja, tubuh Anna terperojok akan hantaman dari seseorang yang sedang mendorongnya kuat di lorong toilet. Anna mendesis kuat merasakan punggungnya yang bertabrakan dengan dinding.

"****, apa yang kau lakukan bodoh?" bentak Anna saat nyeri masih menguasai sekujur tubuhnya. Bibirnya masih meringis dengan mata memejam menahan sakit.

"Apa begini adapmu saat sebentar lagi kau akan menyandang gelar sebagai Nyonya Kim?" Bisik seseorang tepat di daun telinga, suara itu berat dan mengintimidasi. Anna seperti ingat pembawaan vocal yang seperti ini.

Anna tersenyum remeh sesaat setelah mendongak guna menangkap presensi seseorang dihadapannya. Namun, fokus Anna terseret habis-habisan saat matanya memeta keparipurnaan pria di depannya. Pahatan sempurna wajahnya sangat mempesona ditambah hanya cahaya temaram yang menempa. Jika saja wanita lain yang diberikan kesempatan untuk menjamah pemandangan indah lewat mata seperti yang Anna dapat saat ini, bisa dipastikan seseorang itu sudah dimabuk cinta.

"Ada apa denganmu Tuan Kim Vee yang terhormat?" tanya Anna penuh penekanan.

Vee, pria itulah yang tempo hari ada pada pertemuan keluarga, pria yang akan menjadi pendamping hidupnya. Tidak ada kata ataupun sesuatu yang berbelit saat itu. Keduanya hanya mengangguk setuju untuk merespon para tetua yang akan menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan.

Vee melepas cengkramannya pada bahu terbuka milik Anna yang tak tertutup sehelai kain karena memang menggunakan strap dress. Pria itu mundur sedikit menjauh dengan tangan melipat di bawah dada dengan angkuh.

"Kelap malam! Merokok! Memiliki kekasih disaat kau memiliki calon suami!" Ungkap Vee tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.

Anna hanya membuang pandangan kesamping, lagi-lagi wanita itu hanya tersenyum miring menanggapi omong kosong yang menguar mengusik indra dengarnya. Namun, semua harus cepat dibereskan bukan?

Mengambil kesempatan selagi bisa untuk menghindar dari kehidupannya yang terasa konyol untuk kedepannya.

"Lalu apa? Kau ingin membatalkannya?"

Oh.

Apakah wanita ini sungguh ingin bermain-main?

Mendengar penuturan kelewat santai tentang pembatalan yang tidak masuk akal membuat Vee total muak. Rahang pria itu mengeras dengan gigi yang memberetak.

"Kau pikir ini lelucon?"

"Sejak kapan aku bilang ini lelucon, Tuan Kim!"

Sampai disini emosi Vee sudah diambang batas. Vee merasa Ibunya sudah salah menilai, menjunjung dan membanggakan calon menantu di depannya yang ternyata hanyalah kedok semata.

Apakah Vee harus berakhir dengan wanita rusak seperti ini?

Seakan mesin otaknya berhenti untuk mengolah kata. Seorang Kim Vee dengan perangai angkuh itu hanya bisa terdiam tak bicara. Membawa hati yang mati untuk rasa cinta membuatnya tanpa berat hati menerima calon istri. Perintah Ibu yang tak mampu ditolak pun juga menjadi alasan dirinya tak bisa berkata tidak. Tapi, bagaimana jadinya jika wanita yang paling dihormatinya itu tahu jika calon menantunya mempunyai kehidupan yang liar tak terkendali.

Sedang Anna yang tak mendapat respon hanya bisa diam menunggu, sebenarnya dirinya ingin cepat beranjak dari tempat ini. Sangat tidak etis berbicara di lorong kamar mandi, oh ayolah, masih banyak tempat duduk di luar sana. Kakinya pun juga sudah pegal untuk terus berdiri menyangga badan.

Anna bukanlah orang yang bisa sabar menunggu. Oleh sebab itu, dirinya harus melakukan sesuatu, ia berdehem singkat untuk pembukaan sebelum dirinya mengajukan pertanyaan lagi.

"Bagaimana Tuan Kim?"

Vee mengerjab sadar jika dirinya sedari tadi hanya melamun dengan sekerubung spekulasi jika saja semua tidak berjalan mulus adanya. Membatalkan pernikahan sama saja menggali lubang yang sama. Saat satu dibatalkan, maka ada satu lagi untuk disodorkan. Dan seorang Kim Vee sudah sangat lelah untuk mendapat itu secara berkala.

"Aku harap kau dapat menjaga sikap setelah menikah Nona Anna."

Kenangan

Sorot matanya menjamah kumpulan awan yang tengah menggantung dan berlarian bersamaan dengan molekul udara yang menciptakan warna biru muda yang amat terang.

Apakah hatinya memiliki rona yang sama?

Rasanya terlalu gamblang jika mengatakan iya. Pasalnya rindu yang mendera bagaikan kesakitan yang menumpuk tanpa jua. Terlampau pekat yang tak mampu teruraikan dengan kata-kata.

Suara ketukan pintu mengganggu ketenangan pria yang sedang memandang cakrawala lewat celah jendela. Mendengar suara itu berulang hingga ke tiga kalinya, terpaksa, Vee menghembuskan nafas pelan lalu meraih kacamata dengan lensa warna hitam dari kantung jas untuk disampirkan ditempatnya, lalu ia menekan tombol hijau yang tersimpan di balik meja, seketika melakukannya, pintu bermaterial besi itu terbuka.

Setelah memastikan tubuhnya terlahap habis oleh pintu. Pribadi dengan setelan jas dipadukan warna emas menyala; menunjukkan kesan nyentrik itu mengerutkan alis, lalu bertanya, "lagi?"

"Jangan tanya apapun, Hyung!" Jawab Vee sedikit acuh.

Pria yang lebih tua dari Vee itu lantas tak heran. Pertanyaan itu tidak begitu saja terucap jika saja tidak mendapati Vee yang terduduk dengan kaca mata membingkai rupanya. Tahu betul bagaimana keadaan mata dibaliknya.

"Hari ini 'kan?"

Vee hanya mengangguk. Ibu jarinya mulai mengelus gambar dibalik bingkai kaca di atas mejanya. Seorang laki-laki dan perempuan berbalut seragan sekolah menengah atas sedang melahap permen lollipop bersama; terlihat bahagia dalam tangkapan kamera.

Lihatlah. Dengan begitu saja cairan yang mengumpul di balik kacamata mulai jatuh lagi di pipi. Itulah mengapa pribadi yang memandangnya dari arah sofa bertanya pertanyaan yang memang sudah dapat ditembak jawabannya.

Pria bernama lengkap Jung Hobi itu sudah mengira bahwasanya pria dengan penampilan mengenaskan didepannya pasti semalam penuh menangis sebab kekasih yang tak bisa ia sentuh lagi meski sekedar bayanganya saja.

***

10 tahun yang lalu.

"Sweet heart, coba tebak apa yang aku bawa!"

"Aku tidak suka main tebak-tebakkan, Vee."

Laki-laki berseragam sekolah menengah itu mengerutkan bibirnya lucu. Merasa kekasihnya terlalu cuek dengan kejutan yang akan ia diberikan.

Mendapati perubahan ekspresi si laki-laki, Rubby membalik pandang. "Kau lucu sekali, Vee." Lantas perempuan yang duduk disampingnya mencubit kedua pipi yang mengembang dibuat-buat.

Duduk di kursi kayu dengan pemandangan danau didepan, membuat keduanya hanyut dalam lautan pikiran. Angin semilir seakan membisikkan sesuatu yang mungkin akan memberi sedikit sengatan keterkejutan bagi gadis yang sedang memejamkan mata menikmati kesejukan.

Vee menoleh pada gadisnya, jika sedang seperti itu, wajah dengan mata kucing itu membuat pemuda pemilik senyum kotak menjadi candu berkali-kali lipat. Memikirkan masa depan yang mendadak datang mengoyak, Vee dengan senyum sedihnya harus merelakan jika sebentar lagi akan ada perpisahan.

"Rubby, seminggu lagi aku berangkat ke Kanada."

Sontak Rubby menoleh pada sumber suara, memasang ekspresi tidak percaya, dirinya menggeleng tanda tak terima. "Baru saja kita lulus, dan kau pergi secepat ini. Vee, tidak bisakah kau tunda? Sebentar saja." Gadis itu memohon dengan sedihnya.

Vee menggeleng lemah, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan dari sang Ayah tidak bisa dibantah begitu saja—mutlak.

Berpindah tempat, Vee bersimpu dengan lutut menjadi penyangga tubuh di bawah gadisnya yang masih terduduk di kursi. "Kau bisa menunggu 'kan? Aku sangat mencintaimu, kau harus menungguku. Hm!!"

"Apakah itu sebuah pertanyaan yang harus dijawab? Ha!! Hiks, aku masih belum bisa berpisah denganmu, Vee. Bagaimana nanti jika aku merindukanmu, hiks."

Tidak bisa ditahan lelehan air mata itu terjun bebas dan membasahi pipi gembulnya. Rubby menunduk dengan kesedihan yang teramat dalam.

Vee mencoba mencari tatapan mata indah dari gadisnya, meraih dagu untuk saling memandang dengan kesenduhan. "Hanya lima tahun. Aku janji akan segera pulang setelah kelulusan." Bersamaan itu jemari panjang Vee menangkup untuk mengusap air mata yang tidak tertahankan untuk keluar dari gadis di depannya.

Masih dengan seseguknya, Rubby mencoba untuk menetralkan suara. "Lima tahun sangat lama. Disana banyak gadis cantik, nanti kau menca-"

Satu kecupan mendarat empuk untuk membertemukan dua ranum itu. Vee tidak tahan jika tuduhan mengenai wanita terus diucapkan; hal itu sangat mustahil untuk dilakukan seseoramg seperti dirinya.

"Tidak akan sweet heart."

Dengan begitu, penyatuan itu kembali lagi dengan nyamannya. Ranum saling beradu dengan decapan kenikmatan yang menggebu. Saling bertukar slavia untuk meredam lara akibat perpisahan yang akan membuat mereka saling merindu.

Rubby lebih dulu memundurkan kepala untuk melepas ciuman. Tangannya merogoh saku dari kemeja yang membalut pria di depannya. "Aku tidak suka bibirmu, lebih manis ini." Satu lollipop itu sudah ditangannya. Benda dengan kemanisan tiada tara yang dibawa oleh laki-lakinya.

Vee mendengus kesal, bisa-bisanya Rubby membandingkan bibir yang di idam-idamkan kaum hawa seantero jagat raya hanya dengan sebuah lollipop. Ingatkan Vee untuk tidak membawa benda itu lagi.

Namun, kekesalan itu ditepis habis-habisan oleh Vee, sebab melihat kekasihnya senang tiada tara membuat dirinya cukup lega.

"Rubby, ayo habiskan seminggu ini dengan bersenang-senang."

***

Memandang hamparan luas di depannya, Vee meniti langkah pelan menuju batu pilihan dengan ukiran nama yang mencocol di atasnya. Hari memang sudah sore, sangat jelas dengan bentangan langit menguning bersiap menyembunyikan cahaya mentari untuk dimunculkan besok lagi.

Vee bersimpuh dengan tangan mengelus batu muaram yang tertancap dari dua tahun yang lalu. "Selamat sore sweet heart," ucapnya bersamaan itu menaruh bunga pilihan yang dibawanya untuk hiasan. "Maaf, aku sengaja datang sore," lanjutnya lagi seperti kebiasaannya selama ini.

"Ah! Aku membawa lollipop ini untukmu. Tapi aku saja ya yang makan?" tangannya meraih permen manis dengan rangkaian warna-warni dari kantung jasnya.

Vee berbicara sendiri seolah kekasih yang sudah terkubur dan membaur jadi satu dengan tanah itu menampakkan telinganya untuk mendengar segala ocehannya.

Pria dengan kaca mata hitam membingkai keparipurnaan wajahnya itu mulai membuka bingkisan permen dan memakannya seperti anak kecil. "Kau benar, ini memang manis, tidak seperti bibirku. Pantas kau sangat menyukainya."

Tidak sampai habis memakan. Vee menghembuskan nafasnya pelan sembari membenahi tatanan rambutnya yang terombang-ambing akibat hembusan angin. Memilin cincin yang masih setia melingkari jari manisnya sejak remaja—cincin pertunangan lebih tepatnya.

"Rubby, seminggu lagi aku akan menikah. Bolehkah sweety?"

Teringat waktu dahulu saat pria itu berpamit untuk menempuh pendidikan diluar Negeri. Saat itu, gadisnya menangis tersedu, lalu apa jadinya dengan hari ini saat tahu prianya akan menikahi orang lain. Meski sudah menutup mata untuk selamanya, Vee masih menganggap kekasihnya masih hidup disampingnya.

"Aku tidak rela cincin ini tergantikan. Kau juga begitu 'kan sweety?"

Perasaannya masih sama hingga sekarang. Tidak akan dan tidak ada yang bisa menggantikan posisi Rubby dihatinya. Vee sudah total jatuh yang tak mampu bangkit lagi. Perasaan cinta itu sudah terkubur dibawa pujaan hati hingga tak mampu diambil kembali.

"Aku harus melakukannya bukan? Kau tahu sendiri Ibu begitu pemaksa. Aku tidak bisa melawan untuk jadi anak durhaka."

Dirasa waktu semakin cepat untuk berlalu. Kesunyian tempat ini seakan menghantarkan titik pusat tata surya untuk tenggelam di ufuk barat, langit semakin menggelap dengan deruan angin yang semakin menggila.

"Aku mencintaimu Kim Rubby. Selamanya."

***

Suara mesin beradu dengan roda mobil yang bersinggung dengan aspal. Vee membelah jalan Seoul untuk menuju rumah besarnya sebelum sesuatu yang mendesak tiba-tiba mencomot tujuan awalnya.

Berhenti di sebuah minimarket hanya untuk membeli ramen; malam ini Vee ingin makan sesuatu yang hangat dan berkuah. Pintu minimarket terbuka dibarengi dengan dentingan nyaring diatasnya. Pria itu memilah bahan yang dibutuhkan di rak khusus mie instan.

Samar-samar terdengar suara dua orang saling berbincang. Bukan maksud untuk menguping dengan lancang. Hanya saja, gurauan yang tertangkap telinganya sangat menggelikan.

"Jeff, bagaimana dengan olahraga malam?"

Vee tersenyum miring mendengar penuturan gamblang dari mulut wanita yang entah itu siapa; radius satu meter darinya.

"Baiklah, belilah minuman yang banyak." Jawab pria yang berada disamping wanita itu.

Vee masih setia mendengar tanpa niatan menoleh atau semacamnya, karena memang itu bukanlah urusannya, unsur ketidak sengajaan yang memaksa indra dengarnya untuk terusik. Sampai sebuah nama terdengar jelas sampai membuat kepalanya untuk memutar guna menangkap atensi di samping kanan.

"Di rumah apa di apartemen, An?"

"Di apartemen saja bagaimana?" Jawab Anna dengan senyum merekahnya.

Vee melihat, memincingkan mata dan memastikan bahwa nama itu adalah sosok yang sama dengan calon istrinya.

****.

Seperi itu wanita yang akan hidup berdampingan dengan dirinya kelak?

Vee menampilkan senyum remeh. Tapi untuk berbagai alasan, pria itu membiarkan saja. Berpindah haluan, Vee hanya ingin memastikan kemana mereka berdua akan pergi bersama.

Vee masih setia berada di dalam mobil hingga dua jam. Memarkirkan tepat di bawah pohon untuk mengintai apartemen mewah di daerah Gangnam. Benar saja, Vee mengikuti Anna sampai wanita itu benar-benar masuk kedalam dengan pria yang akan berolah raga dengannya.

Mobil yang sama memasuki apartemen dua jam yang lalu kini keluar dari sebuah gerbang. Vee mengamati dengan jelas siapa pria dari balik kemudi hingga kendaraannya melintas di depan miliknya. Benar saja, pria itu sudah berganti pakaian juga. Jika Vee tidak salah lihat, sosoknya sama seperti pria tempo hari yang berada di kelab malam bersama calon istrinya.

"Jika kau punya kekasih kenapa mau menikah denganku? Kau ****** apa bagaimana, Anna?" Gumam Vee dengan meremat setir dengan kuat.

Tak lama, pria itu meninggalkan area untuk pulang ke kediamannya dengan membawa perasaan yang sangat murka. Bukan karena kecewa atau semacamnya. Hanya saja, Ibunya sangat berharap banyak pada wanita yang menurutnya sangat tidak pantas untuk menjadi menantu keluraga Kim.

Bunyi notifikasi dari ponsel mengganggu aktifitas menyetirnya. Dengan terpaksa, Vee membanting setir ke kanan guna menepikan mobilnya di pinggir jalan.

Matanya kian memanas kala membaca pesan dari benda plasma miliknya.

Ibu:

Cepatlah pulang, besok pagi-pagi sekali kau harus fitting baju dengan calon menantuku.

Dengan begitu, Vee memukul keras setir di depannya.

Kencan

Anna memandang lekuk tubuhnya di depan cermin, memandang penuh arti jika sebentar lagi akan ada kewajiban untuk membaginya bersama orang lain. Baru saja beberapa menit yang lalu wanita itu terbangun dari tidurnya. Sedikit tergesa untuk membasuh diri mengingat jika hari ini adalah waktunya untuk berkencan.

Kencan?

Iya kencan, oleh sebab itu, Anna segera mandi lalu pulang kerumah megah keluarga Park. Mengingat jika pasangan kencannya hari ini akan menjemput dirinya di rumah orang tuanya, maka dengan langkah seribu, ia harus cepat menyelesaikan acara mandinya atau orang di balik ponsel yang sedari tadi mengoceh berubah pikiran untuk datang kesini dan menyeretnya tanpa belas kasihan—ya tidak juga, nyonya Park atau bisa di sebut Dara Park tidak mungkin tega kepada putrinya, punya kaki untuk berjalan kenapa juga harus repot-repot menyeret.

Anna memekik kesakitan, akibat olahraga semalam membuat pegal di seluruh badan sampai ketulang bahkan di area pinggul yang mempunyai efek begitu kuat. Salahkan Jeffry karena kecerobohannya, jika mencekik manusia sampai mati tidak bisa membuatnya hidup di balik jeruji maka tadi malam lah waktu yang tepat untuk menghabisi Jeffry.

Mungkin rencana itu akan dipikirkan lagi oleh Anna, yang terpenting saat ini adalah pulang dan memenuhi permintaan orang tuanya.

"Mom," teriak Anna seperti tak punya aturan dan lupa jika umurnya sudah hampir memasuki dua puluh delapan.

Dara menoleh dimana putrinya berada, melipat tangan dengan tatapan curiga. "Tadi malam pergi ke klub lagi?" Tanyanya.

"Tidak. Siapa yang mengatakannya?" Elak Anna.

"Jeffry."

Saat ini juga, Anna ingin terbang ke rumah Jeffry dan melempar pemuda itu ke hutan tropis agar dilahap hewan buas sampai habis.

"Mom, kenapa bukan keluarga Jung saja yang menjadi jodohku?"

"Memang kau mau menikah dengan Jeffry?"

"Aku maunya dengan Hobi oppa."

"Anna!" Geram Dara sembari memekik memanggil nama anaknya.

Jung Hobi adalak kakak Jung Jeffry yang sudah menikah, bahkan istrinya sedang mengandung anak kedua.

Apa Anna bercita-cita ingin menjadi penghancur rumah tangga orang?

Anna mendegus lalu menapaki tangga menuju kamarnya dengan segurat senyuman karena berhasil mengerjai Ibunya. Jika tidak bisa mengelak lagi, maka Anna hanya akan diam dan berlalu. Kelakuan CEO muda itu memanglah begitu, terkadang tidak tahu aturan dan semaunya sendiri; seakan masa depan sebagai pendamping seorang pria memanglah hal yang harus dikesampingkan.

"Pakailah gaun yang sudah mommy siapkan di ranjang, Anna," teriak Sandara.

"Iya, mom," jawab Anna tak kalah berteriak.

Hanya Dara lah kelemahan Anna. Walau bagaimanapun wanita paruh baya dengan wajah muda itu adalah orang yang paling dihormati dan dicintainya. Anna akan menurut jika Dara sudah berkata dengan sarat perintah maupun meminta.

Pernah suatu hari Anna ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi, bayangan Dara dengan senyum merekahnya talak membuat Anna berhenti dari tindakan gilanya. Membayangkan senyuman pudar dari ranum Ibunya jika ia mati tiba-tiba pasti akan sangat menyedihkan.

Bunuh diri; pasti akan membuat Dara menyalahkan diri sendiri karena tak berhasil membahagiakan putrinya—setidaknya itu lah yang terlintas dalam benak Anna.

Memandang duplikat dirinya di depan cermin dengan balutan dress dari Alexander McQueen seri belted biker dress, mempertontonkan keindahan kakinya karena gaun itu sepanjang atas lutut. Sentuhan terakir berada pada sepatu model pumps dari merk yang sama dengan seri pointed toe pumps yang membalut telapak kakinya, membuat Rose tersenyum—perfetto.

"Honey. Cepat turun," panggil Dara.

Nampaknya dengan panggilan kelewat manis melebihi madu itu menandakan jika hati Dara sangat berbunga.

"Yes, Mom," saut Anna dari atas.

Nampaknya keluarga Park memang sangat suka dengan vocal tinggi sampai Park Toby kepala keluarga menggelengkan kepala, istri dan anaknya itu sama saja, lantas kenapa sering sekali mereka berdua saling menyalahkan jika suara berisik mengganggu telinga.

Anna menuruni anakan tangga dengan sesekali meringis karena punggunggnya benar-benar sakit, jika absen dari kencan bisa dilakukan maka saat ini ia masih terbaring di ranjang empuknya, tapi itu hanyalah seandainya.

"Cepat, ditunggu di mobil depan," suruh Dara.

Dahi Rose mengkerut heran. "Hah?" tanyanya tidak mengerti.

"Tidak ada waktu, cepat keluar."

Segera Anna keluar. Terasa aneh saat sang penjemput kencan tidak menunggu di dalam rumah. Ada apakah gerangan—mencurigakan.

Saat Anna sampai di samping mobil mewah dengan warna hitam mengkilat, terlihat mahal. Seorang pria sedikit tua membuka pintu penumpang, lantas mempersilahkan Anna untuk masuk ke dalam.

Anna membungkuk untuk melesatkan tubuh rampingnya, namun kala mata terbukanya menatap presensi seseorang di dalam; Anna terkaget lalu segera membungkukkan badan tanda hormat.

Nyonya Kim atau jika Anna tidak salah ingat namanya, Kim Shinha berada di dalam sana, teman kencan Anna bukanlah anaknya yang bernama Kim Vee melainkan calon mertuanya.

"Annyeong haseyo," sapa Anna santun.

"Masuklah," pinta Shinha.

Anna sedikit gugup, jujur saja, pawakan wanita paruh baya dengan rambut digelung rapi keatas itu sangat menakutkan. Tipikal wanita bangsawan yang sangat hati-hati dalam berbicara. Untung saja Anna punya adab yang sama, jadi untuk sementara, Anna hanya merapal doa agar bisa mengatasinya.

Setelah buntalan empuk itu terduduk di jok samping dimana Shinha disebelahnya, Anna sedikit kikuk dan tidak nyaman, beberapa kali meremat telapak tangan untuk menenangkan debaran jantungnya. Sejak perkenalan pertama memang tidak ada obrolan yang berarti di antara mereka, yang ada adalah obrolan antusias antar orang tua. Jadi, berhadapan dengan nyonya Kim sendirian membuat Anna dilanda gugup luar biasa.

"Ayo jalan," intrupsi Shinha pada supirnya.

"Semalam kau mabuk?" tanya Shinha datar, sedatar permukaan air dalam gelas.

Tak terduga.

Anna seakan mati saja, nyawanya sedang mencari alasan di luar sana, mencari kosa kata yang tepat untuk dilemparkan sebagai jawaban.

"Iya, Nyonya Kim," jawab Anna akhirnya, hanya itulah yang mampu Anna katakan. Menjalin hubungan dengan orang baru harus dimulai dengan kejujuran bukan? Anna bukan tipikal orang munafik yang suka cari muka dengan topeng cantik.

"Hwahahahhahahha."

Tawa Shinha menggelegar seiring perjalanan menuju butik saat mendengar jawaban yang teramat kaku dari calon menantunya. Sedang Anna membolakan mata, tak henti menatap Shinha yang masih menghapus air mata akibat ledakan tawanya.

Apakah Anna tampak sangat lucu? Ia berkaca pada spion depan yang berada di tengah, mungkin riasannya berantakan, atau lipstik yang digunakan belepotan sampai keluar area bibir.

Nope.

Anna tidak menemukan keganjalan, melainkan mendapati wajahnya yang rupawan, wah, ia terlalu percaya diri.

"Ana, panggil Ibu. Aku bukan majikanmu, aku adalah Ibumu mulai sekarang. Mengerti! Ya Tuhan, kau lucu sekali," ucap Shinha dilanjutkan dengan cubitan di pipi Anna yang gembul di akhir kalimat.

Anna mengangguk. Sepertinya Shinha memang sengaja mempermainkannya. Jika sudah konyol kenapa menampilkan raut menyeramkan seperti hantu di awal tadi? Anna tidak mengerti pun tidak menduga jika Ibu dari Vee sangat berbeda dari calon suaminya.

"Kau pasti membedakan bagaimana sikapku dan sikap Vee bukan?"

Wah.

Anna ketahuan, atau mungkin Shinha yang memang canayang? Semacam peramal dengan kedok Nyonya besar.

"Aku bukan canayang atau peramal."

Lagi.

Anna berkeringat dingin akibat teralu banyak membatin dengan spekulasi yang tertebak sampai akhir. Anna akhirnya hanya tersenyum seperti orang bodoh. "Maafkan aku Nyo—,"

"Ibu, panggil aku Ibu," potong Shinha.

"Ibu," ucap Anna pada akhirnya.

Terlihat Shinha menghela nafas teratur, masih menoleh untuk memandang Anna yang tertunduk. "Tenang saja, waktu muda Ibu juga suka minum. Apalagi saat berkumpul bersama kerabat atau teman, hal pertama saat itu sudah pasti minum bersama. Kau mengerti!!" jelas Shinha agar Anna tahu jika minum-minuman memabukkan bukanlah sesuatu hal yang besar dan tidak harus dihindari jika menjadi menantu keluarga Kim, akhirnya Anna lega, teramat lega sampai menderukan nafas kuat.

Anna tersenyum simpul. "Aku mengerti, Bu," jawabnya.

Shinha tanpa terduga menarik telapak tangan Anna untuk digenggam. Tatapan hangatnya sangat jelas saat Anna balik memandang netra calon mertua.

"Bisakah kau berjanji padaku, Anna," pinta Shinha sarat meminta, terlebih memohon.

Hati Anna sakit, sungguh sakit melihat orang tua sedang tidak berdaya lewat sorotan mata. Apa yang bisa diharapkan dari Anna hingga Nyonya besar Kim yang terkenal dengan kewibawaannya sampai meminta bahkan memohon padanya yang sangat-sangat tidak pantas jika dijadikan menantu.

"Ibu, apapun, apapun akan aku lakukan," jawab Anna tanpa ragu sedikitpun.

Anna mengalah. Tidak sanggup untuk menjawab tidak. Mendadak ada yang menggedor hatinya untuk terbuka dan menerima permintaan itu.

"Vee. Pria nakal itu adalah pemilik senyum yang sangat indah, tapi sayangnya tidak pernah bisa Ibu lihat lagi. Bisakah kau membuat dia bahagia? Membuat dia tersenyum lagi? Ibu hanya meminta itu padamu, Anna."

Jika diminta mengelilingi Dunia sampai kehabisan uang, Anna sangat bisa, ia kaya. Jika disuruh mati sekarang juga, Anna juga bisa, itu cita-citanya. Tapi, jika untuk membuat si angkuh Kim Vee untuk tersenyum, jelas talak, Anna tidak bisa, sangat mustahil bahkan.

Anna membantah prinsip munafik dalam kamus hidupnya. Mengatakan, "Iya, Bu. Anna akan melakukannya untuk Ibu." jawabnya sangat bersebrangan dengan kemampuan dan kuasa yang dimilikinya.

Keheningan setelah itu terjadi sampai mobil yang membawa sepasang calon menantu dan mertua sudah berada di depan pelataran butik terkenal di Seoul. Tampilan megah dengan arsitektur modern tampak terlihat mewah dari luar.

Shinha dan Anna disambut oleh perancang sekaligus pemilik butik besar ini, sepertinya seseorang itu tidak mau melewatkan bagaimana perawakan calon menantu keluarga Kim.

"Selamat datang Nyonya Shinha dan—,"

"Anna, panggil saya Anna," sambung Anna dengan ramah.

"Nona Anna," sapa wanita itu akirnya, dan Anna mengangguk singkat.

Mereka digiring langsung ke ruangan yang disediakan khusus untuk customers, memperlihatkan gaun-gaun pengantin yang terlihat mewah dan elegant.

"Apa anak itu sudah datang, Jase?" Tanya Shinha kepada Jase, ya itu adalah nama wanita yang sedari tadi bersama mereka.

"Tuan Vee sudah menunggu disana," jawab Jase dengan jari menunjuk ke arah balik tirai yang tertutup dengan kain menjuntai ke bawah.

"Ck. Dasar anak itu, ayo ikut Ibu, Anna."

Shinha dan Anna berjalan menuju balik tirai yang ditunjukan oleh Jase. Membelah tengah kain sampai bunyi rekatan bersuara. Vee ada disana, duduk di sebuah sofa dengan nyamanya, kedua lengan tangan berpangku pada paha dengan telapak tangan yang disatukan.

Tatapannya begitu dingin yang mampu membekukan siapapun yang melihatnya. Walaupun begitu, rupawan wajahnya memang tidak bisa diabaikan. Sedang Vee menatap Anna dengan meneliti dari kepala sampai kaki, Anna cantik tapi Vee tidak tertarik.

Keduanya sama-sama menyangkal dan menolak untuk terpesona, hati mereka juga sama-sama tertinggal untuk urusan murahan seperti itu, perasaan mereka juga sama, mati untuk cinta.

"Aku sudah memilih, aku tidak mau gaun lain," ucap Vee egois. Setelah itu berlalu dan pergi mengurusi urusannya sendiri.

Shinha menghela nafas berat, sampai kapan putranya akan seperti itu, selalu saja tidak perduli seakan hidup sediri di Bumi ini.

Sedang Anna hanya menyisir langkah Vee sampai punggung pria itu menghilang dari pandangan. Anna tidak masalah, bahkan sangat berterimakasih karena tidak perlu repot-repot memilih gaun yang menurutnya sangat melelahkan dan membosankan, karena dulu Anna juga pernah merasakannya walaupun pada akhirnya berantakan.

Anna merogoh ponsel yang baru saja berbunyi. Membuka text yang baru saja dikirimkan padanya.

+822xxx:

Keluarlah, ikut aku beli cincin lalu makan bersama, tanpa ibu. Aku tunggu di dalam mobil. Vee.

Begitulah pesan itu saat dibaca oleh Anna. Wanita itu lantas memberitahu Shinha dan menunjukkan pada calon mertuanya. Mata Shinha berbinar dan langsung mengiyakan dengan mendorong Anna agar cepat keluar untuk menyusul putranya. Terbit senyum bahagia saat Anna melihat Shinha yang begitu senang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!