Happy Reading
Seorang wanita muda berjalan dengan langkah yang tegas dengan dagu terangkat. Membawa beberapa map untuk di serahkan kepada atasannya yang saat ini sudah menunggunya di ruang rapat.
Hentakan suara sepatu hak tinggi terdengar secepat dia berjalan menuju ruangan itu, sedikit berlari karena sebentar lagi rapat akan di mulai.
"Ini berkas yang anda inginkan, sudah saya cek sebelumnya," ucap wanita itu sambil menyerahkan map yang di bawanya tadi.
"Terima kasih, Nafisa. Nanti kamu temani saya sampai rapat selesai," jawab sang atasan.
"Baik, Pak Devan," Nafisa duduk di kursi samping Devan dan mulai menyalakan laptop yang ada di depannya.
Ini adalah rapat kedua kalinya yang dilalui Nafisa bersama atasan barunya, Devan Wiratmaja, putra dari Morgan Wiratmaja selaku pemilik perusahaan tempat Nafisa bekerja selama empat tahun ini.
Devan mengakui bahwa sekretaris ayahnya ini sangat cekatan dan kompeten. Selain cantik dan pintar, Nafisa juga sangat mirip dengan seseorang di masa lalu Devan. Cinta pertama pria itu yang pergi meninggalkannya.
Rasa kagum dan tertarik seolah tidak terelakkan ketika melihat bagaimana kinerja wanita yang bernama lengkap Nafisa Salsabila itu. "Akhirnya rapat hari ini selesai dengan cepat, aku ingin mentraktir mu makan siang," ucap Devan membuat Nafisa menoleh.
Sudah sering sekali Devan mengajak dia makan siang di luar kantor, selama sebulan Devan menjadi atasannya. Dan hal itu membuat Nafisa tidak enak hati. "Ehm, saya jadi tidak enak kalau Bapak tiap hari mentraktir saya makan, sekali-kali saya yang akan mentraktir Bapak, bagaimana?" Devan menaikkan kedua alisnya mendengar permintaan wanita cantik itu.
"Boleh juga, kalau begitu ayo kita keluar, aku akan mencari restoran yang lumayan enak makanannya," jawab Devan kemudian berdiri dari kursinya dan di ikuti oleh Nafisa.
Kebersamaan inilah yang membuat mereka lama-lama menjadi terbiasa, bahkan Devan semakin merasa tertarik dengan Nafisa dan munculah perasaan cinta di hatinya. Meskipun Devan memandang Nafisa yang lebih seperti sang mantan tapi tidak dipungkiri bahwa mereka sepertinya cocok satu sama lain.
"Nafisa, mau ‘kan, jadi kekasih ku? Aku cinta sama kamu dan kamu harus jadi pacarku mulai dari sekarang?" Nafisa terkejut saat mendengar ungkapan dari mulut Devan. Ini bukan sebuah pertanyaan melainkan mengarah ke pernyataan.
Pipi Nafisa langsung merona, tidak di pungkiri bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama pada atasannya itu. Wanita itu hanya mengangguk dua kali dan itu artinya Devan dan Nafisa telah resmi menjadi sepasang kekasih.
Hari-hari mereka selalu bersama, berangkat dan pulang dari kantor bersama, makan siang selalu bersama bahkan hubungan mereka sudah bukan rahasia lagi di perusahaan. Semua orang bahkan menjulukinya sebagai pasangan yang romantis, karena memang sikap Devan yang terlihat sangat perhatian kepada sekretarisnya itu.
"Pak Devan ganteng, Bu Nafisa cantik, mereka memang sangat serasi," celetuk salah satu resepsionis saat kedua pasangan itu baru saja melewati mereka dan tidak lupa tersenyum ramah.
"Iya bener banget, Bu Nafisa sudah jadi idola sejak dulu waktu masih sama Pak Rudi, dia sering menolak ajakan makan siang para manajer di perusahaan ini, dan sepertinya hanya Pak Devan yang bisa meluluhkan hatinya," jawab salah satu temannya.
Namun banyak juga yang iri dengan Nafisa karena menjadi kekasih sang presdir. Tapi mereka semua juga tidak berani melakukan apa-apa dan hanya bisa julid di belakang.
Siang ini Devan mengajak Nafisa ke sebuah restoran mewah yang ada di pusat kota, pria itu selalu memperlakukan sang kekasih sekaligus sekretarisnya itu dengan lembut dan romantis.
"Kenapa liatin aku terus, sih? Memangnya bisa kenyang?" ucap Nafisa saat melihat Devan yang tidak kunjung memakan makanannya, malahan pria itu menatap wajah sang kekasih.
"Kamu cantik, gak bosen liatnya," jawab Devan jujur.
"Gombalanmu udah gak mempan!"
"Enggak gombal, Sayang, tapi itu memang kenyataan," jawab Devan tersenyum.
Keduanya memang tidak memakai bahasa formal saat sedang berdua. "Aku makin cinta, kalau kamu ngambek kayak gini!" Devan mencubit hidung Nafisa yang mancung itu gemas.
Nafisa berlagak kesal padahal sebenarnya dia juga suka dengan sikap Devan yang seperti ini. Sangat berbeda jika mereka sedang berada di kantor.
Hari ini tepat setahun hubungan Nafisa dan Devan sebagai sepasang kekasih. Devan pun sudah memantapkan diri untuk melamar Nafisa malam ini.
Dilamar oleh orang yang begitu ia cintai tentu saja adalah hal yang sangat membahagiakan, itulah yang dirasakan oleh Nafisa saat ini.
"Will you marry me?" Devan bersimpuh sambil di hadapan Nafisa dengan membawa kotak beludru merah di dalamnya ada sebuah cincin berlian yang sangat cantik.
"Yes, I will!" jawab Nafisa tanpa ada keraguan sama sekali.
Devan langsung menyematkan cincin berlian itu di jari manis Nafisa kemudian mencium keningnya.
Malam itu Nafisa merasa sangat bahagia, impiannya seakan berjalan dengan yang ia inginkan, memiliki kekasih yang hampir sempurna, mencintainya sepenuh hati bahkan saat ini Devan telah melamarnya.
Nafisa merasa menjadi wanita yang sangat beruntung, namun dia tidak tahu bahwa sesuatu itu terkadang tidak berjalan dengan semestinya, dia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Mungkin inilah awal babak baru dari kehidupan yang rumit, kehidupan yang sebenarnya tentang cintanya.
Bersambung
Bab 2
Malam itu Devan mengantar pulang Nafisa ke rumahnya, setelah dia melamar wanita yang sudah setahun menjadi kekasihnya itu. Pada saat di perjalanan pulang tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.
"Halo, Rian, ada apa?"
"Van, lo sekarang ada di mana?"
"Gue di jalan, emang ada apa?"
"Ketemu di tempat biasa, ya? Ada yang kabar yang mau gue sampein."
"Oke!"
Setelah memutuskan panggilan itu Devan segera meluncur ke tempat di mana hanya orang-orang ber-uang yang bisa masuk ke sana.
Tidak sampai tiga puluh menit Devan sampai di depan gedung tiga tingkat itu dan langsung keluar dari dalam mobil.
Tempat itu adalah sebuah bar yang dikhususkan untuk para orang kaya yang membutuhkan tempat VIP untuk bersenang-senang.
Devan masuk ke dalam tanpa harus mengeluarkan tanda pengenal karena dia sudah dikenal di tempat itu. Pemilik bar itu adalah sahabatnya sendiri, Alex. Dan biasanya mereka berkumpul di saat akhir pekan.
Namun semenjak Devan menjalin hubungan dengan Nafisa, pria itu sudah jarang ke bar itu walau sekedar nongkrong dan menghabiskan secangkir kopi.
"Hai, bro! Wah sekarang udah jarang kelihatan," sapa Alex.
"Iya, gue sibuk akhir-akhir ini, biasalah, jadi presdir itu banyak tanggung jawabnya," jawab Devan.
"Iya, sibuk pacaran juga," sindir Vero.
"Jadi lo udah beneran move on dari Cintami?" ucap Rian membuat Devan langsung menatapnya.
"Wah gak nyangka, ternyata lo bisa juga ngelupain perasaan lo ke Cintami ya, padahal dulu lo kan cinta mati sama dia?" kini Alex yang berucap.
Devan hanya diam tanpa tau harus menjawab apa.
Cintami Aurora adalah cinta pertama Devan yang merupakan sahabat masa kecilnya, mereka berlima, Devan, Cintami, Rian, Alex, dan Vero sudah bersahabat sejak jaman SD hingga SMA. Cintami memutuskan untuk pergi studi ke luar negeri demi mengejar mimpinya. Cintami mengabaikan Devan dan memilih pergi, padahal waktu itu Devan sangat membutuhkannya.
Hal itu membuat Devan patah hati yang sedalam-dalamnya, sang wanita pujaannya lebih mementingkan karir daripada cintanya.
"Gue udah move on dari dia, sekarang gue punya Nafisa di hidup gue," jawab Devan datar.
"Lo yakin cinta sama Nafisa sekretaris lo itu, atau lo hanya menganggap dia sebagai pengganti Cintami karena mereka berdua sangat mirip?" tanya Rian.
Deg!
Jantung Devan tiba-tiba berdetak kencang, benar yang dikatakan oleh Rian, bahwa Nafisa memang sangat mirip dengan Cintami. Bahkan bukan hanya wajahnya namun sikap dan sifat Nafisa hampir serupa.
Jujur awalnya Devan memandang sosok Nafisa itu seperti Cintami, tapi berjalan dengan seiringnya waktu Devan jatuh cinta dengan Nafisa yang seperti Cintami.
"Jadi sebenarnya kamu jadian sama Nafisa karena memang kamu beneran cinta, ‘kan?" Vero ikut bertanya.
Di sini Devan hanya diam saja, hatinya tiba-tiba merasa bimbang. Dia juga tidak bisa menjawab pertanyaan para sahabatnya itu.
Apakah dia mencintai Nafisa hanya karena wanita itu mirip dengan Cintami, ataukah memang dia memang benar-benar mencintai Nafisa dari lubuk hatinya.
"Gue punya kabar, Cintami udah kembali ke Jakarta dan dia hubungi gue dua hari yang lalu, Cintami nanyain lo, bro!" Rian menepuk bahu Devan.
Membuat pria itu menoleh seketika. "Kenapa dia gak langsung ngabarin gue? Kenapa ke elo?" tanya Devan.
Rian, Vero, dan Alex saling memandang. "Lo udah mutusin kontak sama dia selama bertahun-tahun, Cintami tahu kalau lo marah sama dia, dan waktu dia mau balik ke sini, dia ngabarin gue karena gak berani kasih kabar ke elo langsung, Van!" jawab Rian.
Devan mengusap wajahnya kasar, jujur setelah mendengar kabar Cintami yang sudah ada di Jakarta membuatnya ingin bertemu dengan wanita itu.
Sejatinya Devan tidak benar-benar bisa move dari sosok Cintami Aurora, wanita yang begitu baik, cantik, cerdas, dan perhatian. Hanya Cintami yang membuat Devan bucin dan menggila.
Tiba-tiba terdengar bunyi panggilan di ponsel Rian.
"Cintami telepon gue, kalau lo masih mau ketemu sama dia dan memaafkannya, angkat teleponnya!" ujar Rian menyodorkan ponsel pada Devan.
Akhirnya setelah beberapa detik berpikir keras, Devan mengambil ponsel Rian.
"Halo, Rian!"
Deg!
Suara itu, Devan sangat merindukannya.
"Halo, Cintami!"
*
Devan menatap wanita di depannya ini dengan tatapan yang sulit diartikan. Sudah sepuluh tahun berlalu, Cintami nampak semakin dewasa dan cantik. Auranya semakin terpancar dan tentu saja membuat Devan terpana.
Masih ada sisa-sisa perasaan cinta itu di hati Devan untuk wanita di hadapannya ini. Namun dia juga sudah memiliki Nafisa di hidupnya, bahkan Devan sudah melamar Nafisa.
"Apa kabar, Devan?" sapa Cintami tersenyum.
Devan hanya bisa tersenyum. "Kabarku baik-baik saja," jawab pria itu kaku.
Bersambung
Happy Reading
Setelah pertemuan itu, Devan dan Cintami mulai sedikit terbuka. Bahkan mereka saling bertukar nomor telepon untuk bisa saling berkomunikasi.
Devan sekarang lebih sering menghabiskan waktu di luar tanpa Nafisa dan hal itu membuat Nafisa mulai merasa ada yang aneh dengan sikap kekasihnya itu.
"Hari ini kita makan siang bareng, ya?" Nafisa masuk ke dalam ruangan Devan.
Melihat kekasihnya masuk, Devan langsung menyambutnya dengan ciuman di pipi Nafisa. Memang akhir-akhir ini Devan selalu makan siang di luar bersama Cintami dan Devan selalu beralasan bahwa sahabatnya mengajak makan siang bersama.
'Sepertinya hari ini aku akan makan siang bersama Nafisa, sudah seminggu lebih aku menolak ajakan makan siangnya!' batin Devan.
"Apa kamu akan makan siang bersama sahabatmu lagi?" tanya Nafisa yang tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Devan.
"Baiklah, ayo makan siang bersama," jawab Devan memeluk pinggang Nafisa dan mengajaknya keluar.
"Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, ‘kan?" tanya Nafisa tiba-tiba.
Devan merasa sedikit gugup mendengar pertanyaan kekasihnya itu. Apakah dia harus cerita jujur soal Cintami, tapi pasti hal itu akan membuat Nafisa marah dan meninggalkannya. Devan tidak mau Nafisa pergi, dia masih sangat membutuhkan Nafisa.
Tapi Cintami?
'Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa sama dia, iya! Sekarang hubungan kita hanya sebatas teman, tidak lebih!' batin Devan mengingatkan.
"Tentu saja tidak ada, Sayang, memangnya aku menyembunyikan apa sama kamu?" jawab Devan.
"Sebenarnya beberapa hari yang lalu ada yang memberitahuku bahwa kamu keluar dengan seorang wanita, awalnya dia mengira bahwa itu adalah aku, saat dia mau nyapa ternyata itu adalah wanita lain dan bukan aku, siapa dia, Sayang?" tanya Nafisa.
"Itu adalah aku, mantan kekasih Devan!" tiba-tiba seorang wanita cantik berdiri di hadapan Devan dan Cintami.
Wanita itu sangat cantik, tinggi, putih, seksi, dan wajahnya memang ada kemiripan dengan Nafisa.
"Cintami? Kenapa kamu ke sini?" tanya Devan.
Cintami bisa melihat Devan merangkul pinggang wanita itu, dan hal itu membuatnya terbakar cemburu.
"Aku ke sini mau mengajakmu makan siang, bukankah sudah seminggu ini kita selalu makan siang bersama," jawab Cintami tersenyum lembut.
Nafisa yang mendengar hal itu langsung melototkan matanya ke arah Devan.
"Eh, itu ... I-iya karena Cintami baru pulang dari luar Negeri jadi di-dia— " Devan tergagap.
"Oh, jadi mau nostalgia sama mantan kekasih? Yang katanya mirip sama aku?" sindir Nafisa melepaskan tangan Devan dari pinggangnya.
"Bukan seperti itu, Sayang—"
"Devan, aku udah laper, katanya kamu gak suka liat aku kelaparan," sela Cintami.
Sepertinya wanita itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan merebut Devan kembali.
Nafisa semakin tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Jadi selama ini Devan diam-diam bertemu dengan sang mantan kekasih.
Sakit, tentu saja hatinya sangat sakit melihat pria yang selama setahun ini selalu bersikap jujur padanya, tiba-tiba berbohong hanya karena sang mantan kembali.
Tapi tentu saja Nafisa bukan wanita lemah yang bisa ditindas begitu saja oleh mantan kekasih dari kekasihnya.
"Kalau kamu gak mau kelaparan, ya sana! Makan di restoran, bukannya kemari!" seru Nafisa menatap Cintami dengan tatapan tajam.
Devan menghela napas saat melihat kedua wanita itu terlihat memanas.
"Cintami, kali ini aku akan makan bersama Nafisa," ucap Devan.
"Kenapa kita tidak makan bersama sekalian!" jawab Cintami masih berusaha untuk membuat Devan luluh padanya.
Nafisa berjalan mendekati Cintami sambil bersedekap dada. "Kamu dengar sendiri bukan, Devan ingin makan siang bersamaku, yang notabene adalah kekasihnya, dan kamu sang mantan sebaiknya cepat pergi dari sini!"
Cintami tersenyum sinis. “Apakah kamu berpikir bahwa Devan itu mencintaimu dengan tulus? Apakah kamu tidak melihat kalau wajah kita mirip, dan bisa saja Devan memilih mu karena kamu mirip denganku!"
Deg!
Nafisa mengepalkan kedua tangannya, sungguh kali ini dia tidak bisa menjawab pertanyaan dari mantan kekasih Devan yang sialnya memang sangat mirip dengannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!