Namaku Almira, usiaku 35 tahun tepatnya hampir 36 tahun. Aku ibu dari dua orang anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Merekalah semangatku, harapanku, dan bintang yang menyinari hatiku setiap hari.
Suamiku bernama Zack, dia seorang bankir di salah bank ternama di kota tempat aku tinggal saat ini. Dia sangat menyayangiku dan mencintai keluarga kecil kami. Dia pekerja keras, loyal dan sangat disiplin dalam segala hal.
Kedua putra ku sangat dekat dengannya. Seperti layaknya ayah yang menjadi panutan bagi anak lelakinya. Zack melimpahi keluarga kecil kami dengan kasih sayang dan cinta yang luar biasa.
Semuanya begitu sempurna, hingga suatu hari badai menimpa keluarga kecilku. Badai yang aku ciptakan sendiri karena kesalahan. Yah, satu kesalahan.
Membiarkan cinta lain tumbuh dihatiku.
Aku belajar banyak hal dari badai yang menghantam, aku menyadari bahwa dalam setiap kebahagiaan akan ada celah dimana kita merasa kesepian. Kehidupan yang sempurna bukan jaminan dari bahagianya hati.
Sebuah pembelajaran dalam kehidupan berumah tangga. Jangan jadikan ini contoh dan jangan coba untuk menirunya. Percayalah kau tidak akan sanggup dan mampu menjalani kisah yang begitu menyesakkan dada.
Ini adalah kisahku, sebuah kisah bodoh yang seharusnya tidak terjadi. This is my Stuppid Affair.
...❄️❄️❄️❄️❄️❄️❄️...
Pagi ini seperti biasa, keributan selalu saja terjadi saat kedua putraku bangun tidur.
"Mom, dimana handukku?" tanya Ken putra keduaku yang baru saja menginjak usia sembilan tahun.
"Ken, jangan tanya melulu! Coba lihat semuanya sudah Mom siapin di kamar mandi!" jawabku sedikit kesal.
Aku yang sedang menyiapkan bekal makan siang mereka selalu saja dibuat kewalahan dengan tingkah putra keduanya yang begitu manja.
"Mommy, dimana kaus kaki dan seragam sekolahku?!" Putra pertamaku Rey ikut berteriak dari dalam kamarnya.
Aku mendengus kesal, tak bisakah mereka diam sejenak dan membiarkanku memasak dengan tenang?
"Rey, semuanya sudah ada di kamar! Kapan sih kalian bisa mandiri dan mencari semuanya dengan baik!" aku berteriak menahan emosi.
"Hei, ada apa ini? Kenapa marah-marah begitu cantik." Zack, seperti biasa menenangkan ku dengan ciuman paginya.
Ia memelukku posesif dari belakang dan memberikan kecupan di leher,meredakan emosiku.
"Zack, hentikan! Aku sedang memasak!" Protesku padanya saat ia mulai menggila.
Jika dia tidak aku hentikan, bisa-bisa kami bercinta di dapur saat ini juga!
Begitulah Zack setiap pagi dan disetiap tekanan darahku tinggi menghadapi kedua putraku, ia selalu menenangkan dengan sentuhan lembutnya.
"Tenanglah cantik, kau semakin cantik saat wajahmu memerah seperti itu." Kekehnya melepas pelukannya.
"Aargh, bisakah kau membantuku menyiapkan Ken dan Rey?! Mereka bisa berjam jam disana jika tak ada yang membantunya Zack!"
"Ya, ya baiklah! Apalagi yang kau butuhkan?" Ia kembali bertanya seraya mengambil sepotong roti diatas meja.
"Tas sekolah dan pelajaran, mereka selalu melupakan jadwal harian!"
"Ok! Ehm, sayang?" Zack berbalik setelah beberapa saat melangkah.
"Apa?" tanyaku heran.
"Mmmuah …," Zack memberikan ciuman dari jauh yang membuatku geli.
"Zack?" aku protes juga percuma, Zack akan selalu melakukannya lagi dan lagi.
Suamiku tersayang yang selalu bertingkah konyol dan penuh kejutan. Aku mencintainya, sangat mencintainya.
Akhirnya setelah drama yang sedikit melelahkan dan membuatku stres di pagi hari, Ken dan Rey siap juga. Mereka berdua duduk tenang di meja makan bersama Zack menikmati sarapan serealnya.
"Mom, ada pertemuan dengan wali kelas besok apa mom akan datang?" tanya Ken sembari mengunyah sereal dimulutnya.
"Iya tentu saja, siapa lagi yang akan datang jika bukan Mom? Apa kau mengharapkan Dad yang datang?" tanyaku dengan lirikan pada Zack yang masih asik memainkan gadget pintarnya.
"No! Jangan Dad! Please!" jawab Jen cepat.
Aku terkekeh mengingat kejadian saat Zack datang menggantikan ku ke pertemuan orang tua di sekolah. Zack justru menjadi pusat perhatian karena keluwesannya bicara dan tentu saja wajah tampannya yang selalu segar membuat para ibu dan guru terpesona padanya.
Entah mengapa kedua putraku justru tidak menyukai hal itu, mereka membenci ketenaran ayahnya yang bak selebritis dadakan. Sementara aku?
Aku cukup bangga memilikinya, meski terkadang ada rasa khawatir jika ia berpaling dariku.
"Ok, come on boy sudah hampir jam tujuh. Daddy tak mau terlambat tiba di kantor! Let's go!"
Zack menggiring kedua putraku untuk segera berdiri dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah berpamitan dan tak lupa menciumku Zack bergegas ke mobil kami yang sudah terparkir di halaman rumah.
"Bye, mommy!"
Kedua jagoanku melambaikan tangannya bersamaan. Aku membalasnya dengan ciuman jauh dan juga lambaian tangan. Menatapnya hingga berbelok ke pertigaan di ujung gang.
Akhirnya, kegiatan pagi yang cukup menguras tenaga berakhir sudah. Aku merebahkan tubuhku di sofa empuk. Membuka ponsel dan mengecek email sejenak. Beberapa pesan masuk dari sahabat aku balas satu persatu.
Dan akhirnya aku menemukan sesuatu yang cukup menarik perhatianku saat membuka salah satu berita di media sosial. Tertulis disana sebuah rumah yang dijual murah.
Dilihat dari penjelasannya dan beberapa foto yang terlampir, aku jatuh hati pada tempat itu. Aku memang berniat membuka coffee shop untuk menunjang perekonomian keluarga.
Zack dan aku sudah memikirkannya baik - baik dan kami sudah membicarakan dengan matang semua persiapan mulai dari dana hingga karyawan mungkin aku butuhkan untuk membantu. Bahkan Ken dan Rey sangat antusias membantuku mewujudkan coffee shop.
Keduanya bahkan sudah melamar sebagai karyawan tetap ku, menggemaskan bukan?
Aku segera menghubungi nomor yang tertera di sana. Michael, nama itu tercetak jelas disana.
Sebuah nama yang akan menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupku. Nama yang akan membuat hari hariku berantakan di masa depan.
Seperti biasa hari ini aku pergi ke kantor tempatku bekerja. Sebuah konsultan di bidang bisnis dan perumahan. Namaku Michael, usiaku 40 tahun masih single dan belum berminat untuk menikah.
Aku pria mapan dengan segudang kemampuan, tampan, cukup harta meski tidak melimpah tapi lumayan untuk bersenang-senang. Aku tipe pria yang tidak menyukai suatu ikatan dalam hubungan.
Kenapa? Karena aku malas diributkan dengan hubungan remeh temeh khas pasangan bucin akut lain.
Aku malas memanjakan wanita yang ujungnya senang sekali dibanjiri hadiah, bunga, pujian, lalu berakhir di ranjang uuups …,
Aku tipe one night stand, maybe anggaplah demikian. Tapi aku bukan tipe brengsek yang begitu mudah mempermainkan wanita. Aku menyukai wanita cantik, pintar, dan juga seksi. Apalagi jika mapan, karena biasanya wanita mapan itu sedikit jual mahal.
Yah, itu tidak selalu benar memang karena nyatanya wanita mapan ketika sekali meminta, aku harus siap merogoh dalam kantongku. Tapi itu tidak masalah, asalkan mereka membuatku bahagia dan nyaman bersamanya.
Pagi ini aku mengecek email dan chat-chat masuk dalam ponselku. Wendy partner merangkap sekretaris sudah berkali-kali meneriakkan agar membuka email darinya. Dia benar-benar cerewet, tapi aku bersyukur untuk itu, karena Wendy berhasil menaklukkan sifat teledorku yang parah.
Seperti pagi ini hampir saja aku melupakan janji bertemu calon pembeli sebuah ruko yang sudah hampir tiga bulan aku pasang di berbagai media sosial. Belum ada peminat yang cocok pada ruko itu, aku juga tidak mengerti kenapa ruko itu begitu sulit terjual. Padahal harga yang aku berikan tergolong murah dan lokasinya sangat strategis.
Membeli ruko atau investasi lainnya dalam bentuk benda tak bergerak memang susah-susah gampang. Jadi ketika ada buyer yang berminat aku menyambarnya dengan cepat.
"Mike, dia akan datang jam sembilan pagi dan kau baru datang?" Wendy masuk ke kantorku dengan segelas kopi di tangannya.
Seperti biasa dia akan terus mengoceh hingga aku berkata, "Apa ada masalah?"
Menyebalkan bukan? Well, that's me!
Aku melihat Wendy mengerucutkan mulutnya membentuk huruf O sempurna, aku dibuat gemas ingin mengecupnya saat ini juga. Tapi … tidak, Wendy bukan tipeku.
"Aaaargh, I'm not your mother Mike! Sampai kapan kau akan memelihara penyakit lupa itu!" serunya dengan berkacak pinggang, lihatlah dia tampak semakin manis jika merona dalam amarahnya.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum tanpa dosa. Aku melihat jam dan sekarang baru pukul delapan sementara janji kami pukul sembilan, lalu dimana salahku?
Kadang aku tidak memahami pemikirannya tentang waktu. Ah, persetan dengan itu yang penting Wendy sudah menyiapkan segalanya dan satu bendel penuh berkas ruko dan calon pembelinya sudah tersedia di mejaku.
"Maaf Wen, tapi aku kan belum terlambat. So baiklah, apa yang kita punya sekarang?!" tanyaku santai tanpa memperdulikan keluhan Wendy.
Wendy seperti biasa, mengalah demi mood baikku. Ia mendekatiku lalu mulai berbicara panjang lebar tentang Almira, calon pembeli rukoku.
"Jadi Almira akan membeli ruko untuk coffee shop? Apa dia sudah tahu berapa pembukaan harga tokonya?!"
"Yup, aku sudah memberitahukan semua detail padanya. Termasuk mempromosikan mu sebagai konsultan bisnisnya." Wendy tersenyum puas setelah memberikan penjelasan panjang bak kereta.
"Good, aku suka kerjamu! Dia datang jam sembilan kan? Aku harus sarapan dulu, energiku sedikit terkuras habis semalam."
"Uuuh, my Boss is so incredible! Bermain dengan wanitamu lagi semalam, berapa kali?!" sindiran sarkas padaku, aku tertawa mendengarnya dia benar-benar memahami kebiasaan ku.
"Ehm, tidak berkali kali cukup dua kali dengan pelepasan maksimal!" sahutku dengan kerlingan mata sebelah.
Wendy mengerjap tak percaya dengan jawabanku, ia tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. "Kau lebih baik segera menikah Mike. Aku khawatir dengan staminamu yang luar biasa. Itu bisa … menyiksamu!"
"Hei, apa yang kau katakan? Aku masih bisa mengontrolnya Wendy, aku juga melakukannya dengan kekasihku bukan dengan sembarang wanita!" protesku keras pada perkataan Wendy.
"I know that Mike, but you do that every night? Are you crazy, you're suck! Nggak bosan tiap hari bercinta?"
Uuuh, perkataan Wendy menohok hatiku seketika. Aku baru menyadari jika hampir seminggu ini aku tak pernah melewatkan malam tanpa bercinta dengan Vivian. Kami tidak pernah bertemu selama tiga bulan terakhir.
Vivian seorang pramugari penerbangan internasional jadi dia selalu sibuk dengan jadwal penerbangannya jadi ketika dia off selama beberapa hari kami menghabiskan waktu bersama, dengan bercinta tentu saja.
Menahan kerinduan selama berbulan bulan, bukankah wajar jika aku melampiaskannya pada Vivian? Apalagi tubuh indahnya yang sempurna bak bintang film dewasa, siapa yang tahan untuk tidak menyentuhnya? Aku laki-laki normal yang masih berhasrat pada wanita.
Satu hal yang tidak bisa dipahami Wendy, karena dia masih betah hidup sendiri tanpa kekasih. Wendy pergi meninggalkan ruangan ku tanpa banyak bicara lagi. Dia kesal memarahiku karena aku tak pernah merespon amarahnya. Bagiku dia adik kecilku.
Aku melirik piring yang sedari tadi diletakkan di mejaku dengan paper wrap. Itu sarapan untukku, Wendy pasti menyiapkannya, lagi. Entahlah aku rasa dia menyukaiku diam-diam, aku sering melihatnya memperhatikanku dari kejauhan. Aku juga memergoki Wendy tengah menggigit bibirnya sendiri saat aku sedang bermesraan dengan Vivian.
Mungkin hanya perasaanku saja tapi terkadang sikap Wendy sedikit berlebihan. Aku tak peduli sepanjang itu tidak mempengaruhi kinerjanya bersamaku. Profesionalitas itu segalanya bagiku.
Aku menikmati sarapanku sambil memeriksa laporan perkembangan perusahaan yang aku miliki. Trend yang cukup bagus membuat moodku baik pagi ini terlepas dari omelan Wendy tentu saja.
"Mike, kau sudah selesai? Tamunya datang!" Wendy tanpa permisi membuka pintu ruangan ku.
Aku buru-buru membersihkan mulutku dan menemuinya di ruangan meeting. Wendy segera mengikutiku dengan berkas ditangannya.
Entah mengapa jantungku terasa berdesir aneh saat beberapa langkah hendak memasuki ruang meeting. Mungkin karena aku terlalu bersemangat dengan calon pembeli baru atau … entahlah.
Aku hanya merasa sesuatu hendak terjadi hari ini. Sesuatu yang menggetarkan jiwaku, jantungku, dan mengoyak hariku.
Sepertinya aku terlalu berlebihan menghadapi situasi ini. Sadarlah Mike!
Wendy membukakan pintu ruangan untukku. Wangi vanila menyeruak dari ruangan berpendingin ruangan, aku tersentak. Wajah ayu terbingkai rambut ikal hitam melebihi bahu, matanya membulat sempurna dengan iris mata coklat terang. Bulu matanya lentik dan bibir yang terpoles lipstik coklat bata membuatku terpesona.
Ya Tuhan dia mempesona!
"Senang bertemu denganmu tuan Michael!" Ia langsung menyapaku dengan suara indahnya.
Aku tersenyum padanya berusaha memberikan kesan menarik dan setampan mungkin di matanya. "Hai, aku juga nona Almira!"
Wanita bernama Almira itu tersipu, "Well, sepertinya anda salah tuan, aku bukan nona tapi nyonya!"
What's?! Nyonya? Dengan tubuh seramping dan wajah secantik ini? Ya Tuhan, hukum aku karena sudah mengagumi milik orang lain!
Wendy, sekertaris Michael membuatkan janji bertemu dengannya pada jam sembilan pagi. Aku sangat antusias mendengar respon positifnya. Wendy bahkan menawarkan ku jasa konsultan yang juga bisa diberikan perusahaannya.
Aku yang masih awam tentang bisnis tentu saja menyambut baik tawarannya. Dan disinilah aku pagi ini. Setelah selesai mengurusi anak-anak dan Zack, aku meluncur ke kantor konsultan yang berada tak jauh dari pusat kota.
Kantornya begitu artistik, dengan penataan cahaya yang bagus. Sepertinya tagihan listrik kantor ini cukup hemat. Aku terpesona dengan atap tembus pandang yang ada di sentral gedung, belum lagi taman buatan yang asri di tengahnya. Rasanya senyaman rumah sendiri.
Aku disambut hangat oleh salah satu karyawan wanita yang berdandan santai dengan rambut digelung berantakan dan kacamata bertengger di hidung tingginya. Ia mengantarku ke ruangan meeting, menunggu kedatangan Michael.
Tak butuh waktu lama seorang lelaki tampan dan wanita cantik tinggi semampai bak model masuk ke ruangan meeting.
My first sight is … wow, he's gorgeous!
Tampan, matang, dan punya senyuman yang meluluhkan hati wanita manapun juga. Termasuk aku?
Hmm, not really! Aku masih punya sedikit kewarasan untuk menyadari siapa aku dan dimana posisiku. Dia memanggilku nona? Sepertinya mata Michael perlu dikoreksi, apa aku tidak terlihat seperti ibu dengan dua anak? Ah, whatever!
"Silakan duduk, nyonya Almira." Michael dengan sopan memintaku kembali duduk.
"Panggil, Almira saja," pintaku tanpa sungkan, entahlah sebutan nyonya terasa begitu kaku di telingaku.
"Oh baiklah, Almira?" Michael memastikan dan aku mengangguk dengan seulas senyum. "Harga yang kami tawarkan apa sesuai dengan budget? Kami masih membuka peluang lain jika anda merasa itu, sedikit mahal."
Hhmm, sopan sekali …,
Aku mengangguk dan mencoba bernegosiasi dengannya. Siapa tahu harga yang kami sepakati bisa dibawah harga penawaran. Kami pun terlibat obrolan yang serius. Michael benar-benar memahami seluk beluk bisnis, selain pintar dia juga pandai menempatkan diri
I like him! Dalam arti yang sebenarnya tentu saja tidak ada perasaan lebih.
Michael juga tak segan menjelaskan apa yang aku tidak mengerti seperti pembayaran pajak dan mengurus akta notaris untuk toko yang akan aku beli ini. Yah, akhirnya kami sepakat dengan harga yang ditawarkan dan jasa konsultan yang diberikan Michael secara cuma-cuma.
Aku selalu menyukai lawan bicara yang pintar, sama seperti aku jatuh cinta pertama kali pada Zack Sanders suamiku. Tapi kali ini kenapa aku merasa Michael sedikit berbeda, tapi aku tak tahu apa yang membuat dia terlihat berbeda di mataku.
Entahlah, aku tak mengerti mengapa setiap gerakan Michael membuatku … gelisah?
Oh my, sepertinya aku harus minum sedikit kafein untuk menetralkan rasa aneh yang terus menyiksaku. Setiap kedipan matanya, setiap gerakan bibirnya membuatku terpesona. Belum lagi wangi aroma Woody yang menggelitik hidung, dia benar-benar berkarakter.
Fix, I need a cup of espresso!
Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu lagi lusa untuk menyelesaikan semua urusan yang berkaitan dengan jual beli. Aku memilih segera pergi dari kantor Michael. Pikiranku semakin tak karuan, seumur hidup aku baru mengalami hal aneh seperti ini. Bahkan saat bertemu dengan Zack dulu, aku tak pernah mengalami desiran aneh seperti ini.
Aku memutuskan untuk pergi ke toko bunga milik Samantha, dia sahabatku sejak kami berkenalan tanpa sengaja di sebuah toko buku.
Kami sedang berburu buku yang sama untuk anak-anak, karena hanya tersisa satu buku saja aku dan dia memutuskan untuk berbagi. Sejak saat itu kami menemukan bounding (ikatan) yang membuat aku dan Samantha tak bisa melewatkan satu hari tanpa obrolan.
"Pagi Sam," sapaku saat melangkah masuk ke dalam toko bunganya.
Wangi baby rose kualitas terbaik menyapaku, Samantha sedang merangkai satu buket besar bunga mawar berbentuk beruang.
"Wow, amazing! Siapa yang pesan?" tanyaku lagi seraya duduk di depan mejanya.
"Hmm, seorang pengusaha kaya yang kelebihan uang untuk hadiah kekasihnya!" jawabnya dengan menaikan kedua alisnya padaku.
Aku selalu dibuat penasaran kenapa laki-laki acapkali bertingkah konyol saat jatuh cinta pada wanita. Membuang uang hanya untuk bunga berbentuk big Teddy?
Itu konyol sekali, aku ingin lihat reaksi mereka saat harus membayar tagihan sekolah anak-anak atau tagihan listrik dan air setiap bulannya. Pasti akan mereka akan menjerit histeris melihat angka fantastis yang jumlahnya jauh dari harga buket Teddy ini.
"Jadi, gimana pertemuan mu dengan pihak penjual? Berjalan lancar?" Samantha bertanya, tangannya sibuk menggunting dan menancapkan tangkai bunga pada floral foam yang sudah dicelup air pengawet khusus.
"Aah, aku butuh espresso Sam! Apa kau masih menyimpan satu untukku?" Samantha hanya mengangguk tanpa menjawab, ia asik dengan tangkai berduri di tangannya.
Aku langsung menuju dapur kecilnya. Mengambil satu cup kecil bubuk kopi bertulis espresso lalu memasukkannya dalam mesin kopi otomatis. Kurang dari lima menit obat pusing ku siap.
Aku kembali duduk disamping Samantha yang menatapku heran.
"Espresso sepagi ini? Something happen?" tanyanya penasaran dan aku hanya tersenyum masam.
"Yup, kepalaku sedikit pusing melihat pemandangan pagi yang meresahkan?"
Samantha mengernyit, "Why? Harga ruko itu nggak sesuai?"
"No, bukan itu Sam."
"Lalu?"
Aku menyesap kopiku, menikmati pahit dan aroma alaminya menjelajah lidahku sempurna lalu turun melalui kerongkongan yang menyebarkan zat adiktif ke seluruh aliran darah. Ini sangat menenangkan.
"Michael … he's hot!" jawabanku disertai seringai jenaka.
Samantha tergelak, ia meletakkan alat pemotongnya. "No way, how hot?!"
See, Samantha pasti akan terpancing dengan ucapanku apalagi dia belum menikah. Maksudku belum untuk yang kedua, dia janda muda.
Aku mengangguk dan tersenyum, lalu dengan sedikit berbisik kukatakan padanya. "Dia tampan beraroma Woody, dan … saat matanya berkedip dia tampan sekali!"
Kami berdua pun tak bisa menahan diri dan tertawa membayangkan sosok Michael.
"Kau curang, harusnya kau mengajakku kesana Mira?!"
"Well, mana aku tahu jika pria bernama Mike itu mempesona!" jawabku membela diri.
Ya, memang benar kan aku tidak tahu bagaimana rupa Michael!
"Lusa, kami ada janji bertemu untuk menyelesaikan pembayaran. Apa kamu ada waktu?" lanjut ku bertanya pada Samantha.
"Lusa? Aku bisa kosongkan jadwal demi bertemu si Mike itu!"
Aku tertawa melihat ekspresi Samantha, dia penasaran dengan Michael. Samantha memang sudah lama sendiri, semenjak perpisahannya dengan Cliff tiga tahun lalu. Mengasuh putrinya yang cantik sendiri tanpa campur tangan Cliff yang sibuk dengan petualangannya bersama para wanita cantik.
Samantha harus merelakan Cliff demi kewarasan dirinya sendiri. Berkali kali dikhianati Cliff dan yang terakhir Cliff berbuat gila dengan seorang j*l*ng di rumahnya sendiri.
Aku sampai berteriak dan memaki Cliff ketika Samantha menceritakan hal menyedihkan itu padaku. Aku harap dia mendapatkan penyakit kelamin atau karma yang lebih buruk dari itu. Dia lelaki terbodoh di dunia yang menyia nyiakan wanita seperti Samantha.
Aku seringkali menjodohkan Samantha dengan beberapa pria tapi ia selalu menolak. Tapi akhir-akhir ini Samantha sedikit membuka diri dan mau menerima kehadiran laki-laki lain. Aku tak menampik seorang wanita sekuat apapun terkadang juga membutuhkan seorang pria untuk bersandar dikala lelah melanda.
"Baiklah, lusa aku jemput jam sembilan pagi. Bersiaplah dan berdandanlah secantik mungkin Sam!"
"Uuuh, apakah aku kurang menarik?" tanyanya dengan bibir seksi menggoda, tangannya mengacak asal rambut coklatnya lalu berpose sembari menaikkan aset berharganya agar membusung menggoda.
Aku tertawa melihat tingkah Samantha, begitu juga dengannya kemudian.
"Oh shiit, I'm acting like a b*tch!" ujarnya tergelak.
"No you're not babe, you just act like a girl!"
"Yeah, gadis beranak satu yang kesepian!" sahutnya masam.
"Oh come here Sam, jangan katakan itu! Aku benci melihat air mata lagi!"
Aku segera memeluknya hangat, Samantha sangat sensitif. Hampir saja air matanya yang menggenang itu jatuh.
"Kamu bisa menghadapinya Sam, aku yakin itu!" kataku sambil mengusap punggungnya.
"Thank you Almira, aku tahu hanya saja … aku sedikit terbawa emosi!"
Aku melepaskan pelukanku, lalu menatapnya. "Aku senang kau mulai bisa menerima keadaanmu. Kau layak untuk bahagia!"
Samantha tersenyum dan mengangguk. Kami kembali melanjutkan obrolan ringan. Banyak hal yang kami bicarakan dari masalah anak-anak hingga resep muffin blueberry kesukaan Rey, putraku.
Jam sudah menunjukan pukul dua siang, aku harus pergi menjemput kedua putraku. Aku pun meninggalkan toko Samantha dengan sedikit rasa lega.
Lega karena berhasil melepaskan bayangan Michael dari kepalaku dan juga lega karena lusa ada Samantha yang akan bersamaku menghadapinya. Aku butuh kewarasan sebelum menandatangani akta jual beli. Aku takut kelebihan menuliskan angka nol saat mendapat tatapan mata Michael.
Uups, ya Tuhan aku harap itu tidak terjadi dan Samantha akan menyelamatkan diriku!
...****************...
...maaf karena sedikit kasar sy tidak sertakan arti indo-nya yaa🤭🙏dikira2 aja sendiri artinya...maaf jg jika byk kalimat Inggris, jarinya gatel klo nda ngetik foreign language. kita belajar bersama yaa....silakan koreksi jika ada kesalahan......
...love u all, cium dari jauh karena masih batuk🤪😁...
...Lia❤️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!