Pernahkah kamu tersayat pisau?
Rasanya sakit bukan?
Namun, apa yang kurasakan saat ini jutaan kali lipat lebih sakit dibanding tersayat pisau atau tersengat lebah.
Sakit sekali, seolah anak panah menghujam jantungku. Mengoyaknya hingga hancur lebur, tak berbentuk lagi. Rasanya sangat menyesakkan seolah ada batu besar yang menghantam dan menindih dadaku, hingga membuatku sulit bernafas.
Seperti berada di tengah-tengah badai di gurun pasir dengan mata terbuka. Panas dan pedih, itulah yang kurasakan saat menyaksikan adegan menjijikan yang terpampang di depan mataku.
"Apa yang kalian lakukan!" Dengan suara bergetar, kalimat yang sejak tadi tersangkut di tenggorokan itu, akhirnya terlontar juga. Itu pertanyaan bodoh dan tidak berguna, tapi aku tetap mengatakannya.
Kedua orang yang sedang beradu di atas ranjang itu menoleh ke arahku dengan mata terbelalak.
"Kakak! Lily!" seru keduanya, bersamaan.
Seperti orang bodoh, aku masih berdiri di sana. Menyaksikan dua orang itu berebut selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Marah, sakit hati, sedih dan kecewa. Semua emosi tercurahkan melalui air mata yang keluar dari kedua sudut mataku.
Mengenakan sepotong kain yang melilit pinggangnya, Kevin turun dari tempat tidur dan berjalan ke arahku. "Ly, Aku--"
"Berhenti di sana! Jangan mendekat," aku memperingatkannya sambil mundur ke belakang, memperlebar jarak diantara kami.
Namun, Kevin tak mengindahkan perintahku. Dengan langkah panjangnya dia terus bergerak mendekatiku. Lengannya yang besar dan berotot terulur ke depan, hendak meraih tubuhku.
"Jangan sentuh aku! Kamu kotor!" Kataku seraya menepis tangannya yang besar dan berotot, saat dia hendak memelukku. Itu cukup keras hingga tanganku sakit.
...
Seolah ikut merasakan kesedihanku, langit begitu gelap meskipun saat itu masih siang. Sesekali terdengar guntur yang memekakkan telinga. Seluruh tubuhku basah kuyup dan kakiku mulai terasa sakit setelah berjam-jam berjalan di bawah guyuran hujan.
Aku merosot ke bawah saat kakiku mulai lemah dan tak sanggup menopang tubuhku lagi. Rasanya sakit ketika lututku membentur tanah dan rumput liar itu menusuk kulitku, tapi hatiku jauh lebih sakit. Saat itu aku mulai terisak.
Entah dari mana, sepasang kaki panjang yang terbungkus sepatu kulit tiba-tiba berdiri tepat di depanku. Detik berikutnya terdengar suara bariton. "Apa kau baik-baik saja?"
Aku mendongak, menatap pria yang menjulang tinggi di atasku. Dia seperti vampir dengan warna kulitnya yang seputih salju. Sangat kontras dengan rambutnya yang hitam pekat. Kerutan halus muncul di dahinya yang semulus porselen.
Kami beradu pandang dalam diam selama beberapa saat. Cukup lama hingga leherku terasa pegal.
Menekuk salah satu lututnya, pria itu berjongkok di hadapanku. Masih memandangi wajahku, dia bertanya lagi. "Apa kakimu sakit?"
Aku menggelengkan kepala. "Bukan kaki, tapi hatiku yang sakit. Sakit sekali." Tanpa sadar, air mata kembali menetes saat aku mengatakannya.
Tanpa di duga, pria itu tiba-tiba melingkarkan kedua tangannya di sekitar tubuhku. Dia membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. "Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja."
Aku mulai menangis lagi. Kali ini bahkan lebih keras dari sebelumnya. Aku menumpahkan seluruh kesedihanku di sana, dalam dekapan pria asing itu.
...****************...
Sekeras apapun aku mencoba menghentikan dan menentangnya, pada akhirnya pernikahan itu tetaplah terjadi.
Kevin, kekasihku tercinta, yang telah menemaniku selama hampir lima tahun, yang berjanji akan menikahi ku tahun depan, kini justru bersanding dengan wanita lain di pelaminan.
Kuharap ini hanya mimpi. Sehingga semuanya akan kembali ke keadaan semula ketika aku membuka mata. Sayangnya itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan.
Kevin, tunanganku, calon suami yang sangat aku cintai, kini telah menjadi milik orang lain. Suka ataupun tidak, mau tidak mau aku harus melepaskannya. Aku harus merelakannya.
Aku menengadahkan kepala, menatap ribuan bunga yang bergelantungan di langit-langit. Aku menatapnya bukan karena mengagumi keindahannya, melainkan untuk mencegah air mata yang hampir tumpah.
Jangan menangis, kamu wanita kuat, Kamu pasti bisa, Alea.
Seperti mantra, aku merapalkan kalimat itu berulang kali, mencoba menguatkan diri sendiri. Sementara kakiku terus melangkah mendekati pelaminan.
Akhirnya, aku berada di panggung ini juga. Panggung kecil yang sudah sejak lama aku impikan. Sebuah panggung yang didekorasi dengan ribuan bunga beraneka macam dan warna. Serta kursi kerajaan yang berada di tengahnya, di bawah lampu kristal berukuran besar yang menggantung di langit-langit.
Aku mengusir rasa sedih yang tiba-tiba muncul itu. Buru-buru melangkah dan menghampiri dua orang tua yang hampir saja menjadi ayah dan ibu mertuaku.
Keduanya berdiri berjajar di pelaminan, mendampingi putra kesayangannya yang mungkin sedang berbahagia.
"Kau datang, Nak." Ibrahim Sanjaya, ayah Kevin menyambut kedatanganku dengan hangat. Aku mengecup punggung telapak tangannya sebagai bentuk penghormatan.
"Tentu saja, P... Maksudku, Om." Aku lupa, sekarang aku bukanlah calon menantunya lagi. Aku tidak bisa memanggilnya papa lagi, seperti biasanya.
"Ini pernikahan adikku. Sebagai anggota keluarga, Lea harus datang," kataku, tersenyum.
"Jangan panggil papa seperti itu, Lea. Meskipun Lea tak menikah dengan Kevin, Lea akan tetap menjadi anak Papa dan Mama. Mengerti?"
Aku mengangguk. "Lea mengerti, Pa. Terima kasih."
Papa Ibra mengulurkan kedua tangannya ke atas, membelai kepala dan juga pipiku. "Berbahagialah, anakku," ucapnya sebelum aku beralih ke sisi sebelah kirinya.
Di sana, seorang wanita cantik menatapku dengan mata berkaca-kaca. Kuangkat kedua sudut mulutku ke atas. Berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
Aku menghambur dalam pelukannya saat wanita itu membentangkan kedua tangan, menyambutku.
"Maafkan Kevin, ya, Sayang," ucapnya sambil terisak.
"Tanpa perlu diminta, Lea sudah memaafkannya, Ma," kataku.
"Terima kasih, Sayang." Nadia, ibu dari Kevin melepas pelukannya.
Aku mengulurkan tangan, menyeka air mata mama Nadia yang kian membanjir.
"Kenapa Mama menangis? Seharusnya Mama bahagia--sebentar lagi Mama punya cucu," hiburku.
"Mama akan bahagia jika cucu itu berasal darimu, Sayang."
"Jangan seperti itu, Ma. Dari wanita manapun cucu Mama dilahirkan, Mama harus bahagia. Alia dan Lea tak jauh berbeda. Dia gadis baik dan juga manis. Mama pasti akan menyukainya."
"Mama lebih menyukaimu, Lea."
Aku tersenyum. Merasa bahagia karena masih menerima banyak cinta dari kedua orang tua Kevin. "Terima kasih sudah menyayangiku, Ma."
Mama Nadia tampak terharu. Ia kembali memelukku sebentar, setelah itu mendaratkan kecupan di kedua pipi dan keningku.
Setelah selesai dengan kedua orang tua Kevin, aku bergeser ke samping. Mataku kini tertuju pada sepasang pengantin yang baru saja resmi menjadi pasangan suami istri. Tiba-tiba saja bayangan ketika mereka berdua beradu di atas ranjang kembali melintas di benakku. Aku memegangi dada saat kurasakan nyeri yang teramat menyakitkan dihatiku. Rasa sakit itu begitu kuat hingga membuat dadaku sesak dan aku sulit bernapas.
Kevin, yang berdiri dua meter jauhnya dariku, berlari ke arahku. Telapak tangannya yang besar menopang bagian belakangku dengan hati-hati. Seolah aku bisa jatuh kapan saja. Satu tangannya yang lain, menggenggam tanganku dengan erat. "Ada apa, Ly... Apa kau sakit?" tanyanya dengan wajah cemas.
"Aku baik-baik saja," kataku seraya menepis kedua tangannya yang masih memegangiku.
"Jaga sikapmu! banyak orang yang melihat. Apa kau ingin mempermalukan keluarga kita?"
Dengan begitu Kevin melangkah kebelakang dan kembali ke tempat semula. Berdiri bersebelahan dengan Alia yang memandangku dengan tatapan benci.
Lucu bukan? Seharusnya akulah yang membencinya. Dia yang telah mencuri segalanya dariku. Bukan hanya merebut tunanganku, tapi juga merampas kebahagian dan juga masa depanku.
Seperti kata pepatah. Darah lebih kental dari pada air. Begitulah hubunganku dan juga Alia. Bagaimanapun, dia tetaplah adikku. Terlepas dari apa yang telah ia lakukan terhadapku, aku memaafkannya.
"Jadilah istri yang baik. Jangan banyak membantah dan belajarlah bersikap dewasa," pesanku pada adikku itu.
Alia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Aku mendekat, memeluknya. Alia tetap diam, tak membalas pelukanku.
"Berbahagialah, Lia. Aku doakan semoga pernikahanmu langgeng hingga maut memisahkan."
Aku melepas pelukan dan berpaling darinya. Beralih menatap Kevin yang memandangku sendu.
"Selamat atas pernikahanmu, Mas. Titip Alia. Jangan pernah sakiti dia. Lahir maupun batinnya," pesanku pada mantan tunangan yang kini telah menjadi adik ipar.
"Kita harus bicara, Ly," ucap Kevin, lirih. Ia tak peduli meski Alia memelototinya.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas. Kita sudah selesai."
"Aku masih mencintaimu, Ly."
Aku juga mencintaimu, Mas. Ingin rasanya ku lontarkan kalimat itu padanya. Namun, hanya bisa ku ucapkan dalam hati.
"Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah." Aku melangkah pergi. Meninggalkan tempat itu setelah berpamitan pada kedua orang tua serta keluarga besar.
Ikhlas. Pesan ibu yang selalu terngiang di kepalaku. Satu kata yang sangat mudah diucapkan, tapi begitu sulit dijalankan. Jujur saja, sampai detik ini aku belum bisa merelakannya Kevin. Aku membencinya karena ia mengkhianatiku, mengkhianati cinta kami. Akan tetapi rasa benci itu tidak lebih besar dari rasa cinta dan sayangku padanya.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
Aku terbangun, setelah medengar pintu kamarku diketuk berulang kali. Kusingkap selimut yang menutup sebagian tubuhku. Kemudian bergegas turun dari ranjang. Berjalan terseok-seok menghampiri pintu kamar yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat tidur.
Kutarik slot yang mengunci pintu tersebut. Kemudian memutar kenop untuk membukanya. Saat pintu terbuka, sebuah tangan membekap mulut dan mendorongku kembali masuk ke dalam kamar.
"Jangan teriak," titah pemilik tangan tersebut. Ia segera menutup kembali pintu tersebut dengan tubuhnya. Kemudian menguncinya dengan satu tangannya yang bebas.
Mataku membelalak, kaget sekaligus takut. Namun ketakutanku mulai berkurang, ketika bisa menatap wajah sesosok pria yang masih membungkam mulutku. Kevin! Apa yang ia lakukan? Mengapa dia datang kemari, batinku bertanya-tanya.
Kevin menuntunku ke ranjang, tempat dimana aku beristirahat. Kemudian mendudukanku disana, bersebelahan dengannya.
"Apa yang Mas Kevin lakukan? Bagaimana kalau orang lain melihat?" tuntutku setelah mulutku bebas.
"Sssst! Pelankan suaramu," perintahnya. "Semuanya sudah tidur, tidak akan ada yang tau aku kemari. Kecuali kau yang memberi tahu mereka," jelas nya dengan suara berbisik.
Jantungku berdegup cepat. Mataku berulangkali memandang ke arah pintu. Takut orang lain memergoki kami berdua di dalam kamar.
"Keluar, Mas! Kembali ke kamarmu dan Alia," perintahku seraya bangkit berdiri dan menarik tangannya.
"Tidak--Aku tidak akan keluar sebelum kita bicara, Ly."
"Apa yang ingin kau bicarakan, Mas? Cepat katakan dan keluarlah."
"Apa yang kau lakukan, Mas? Bangunlah-- jangan seperti itu," kataku saat Kevin duduk bersimpuh di kakiku.
Kevin menggeleng. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memaafkanku, Ly."
"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Jadi bangunlah."
"Aku tak mau putus denganmu, Ly."
"Apa maksudmu, Mas! Kau sudah menikah. Hubungan kita sudah berakhir."
"Aku mencintaimu, Ly. Aku tak mau mengakhiri hubungan kita."
"Kau egois, Mas. Apa kau tahu, apa yang kau lakukan sekarang?" kataku kesal. "Kau bukan hanya menyakitiku, Mas. Tapi sekarang Mas Kevin juga menyakiti adikku."
"Maafkan aku, Ly. Maafkan segala keegoisanku. Maaf karna sikapku telah menyakitimu dan juga Alia," ucapnya dengan wajah tertunduk. Kevin tampak sangat menyesali perbuatannya. "Katakan padaku apa yang harus kulakukan. Aku tersiksa, Ly--aku tidak mencintai Alia tapi aku harus menikah dengannya."
"Itu semua karna kesalahanmu, Mas. Kau harus bertanggung jawab."
"Lupakan aku, Mas. Mulai sekarang yang harus kau cintai Alia, bukan aku." Aku berpaling, berdiri membelakanginya. Aku takut goyah jika terus memandangnya. Tanpa sadar air mataku luruh. Dada ini terasa sesak ketika apa yang kuucapkan tak selaras dengan hati. Tak bisa kupungkiri, apa yang diucapkan Kevin sama seperti apa yang kurasakan. Aku masih sangat mencintainya dan juga tak ingin kehilangan dirinya. Namun, keadaan memaksaku harus berubah. Alia sedang mengandung anak dari Kevin. Demi kehormatan keluarga. Mau tidak mau, suka atau tidak suka Kevin harus bertanggung jawab. Meskipun harus mengorbankan aku.
"Aku tidak bisa, Ly. Selama satu bulan ini sudah kucoba untuk melupakanmu dan mencoba menerima Alia. Tapi nyatanya aku tak sanggup, Ly."
"Berusahalah lebih keras, Mas."
"Jangan paksa aku, Ly. Kumohon...."
Entah kapan Kevin bangkit dari duduknya. Tahu-tahu ia sudah berdiri dibelakangku. Memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya dibahuku.
"Lepaskan, Mas!" Aku mencoba memberontak tapi tenangaku tak sebanding dengan kekuatan Kevin.
"Sebentar saja, Ly. Biarkan aku memelukmu seperti ini. Aku merindukanmu, Ly," ucapnya lirih. "Apa kau tak merindukanku, Ly?"
Pertahananku runtuh. Rindu. Tentu saja aku rindu padanya. Bahkan sangat-sangat merindukannya. Suara lembutnya, perhatiannya dan kehangatan tubuhnya begitu kurindukan.
Kevin semakin erat memelukku. Kala tanganku mendekap lengannya. Kami saling memeluk cukup lama. Hingga akhirnya Kevin membopongku ke tempat tidur, membaringkanku disana. Kemudian menjatuhkan tubuhnya, di sebelahku.
Kami berbaring saling berhadapan. Saling beradu pandang mengandalkan cahaya temaram dari lampu tidur. Tangan kanan Kevin terulur, membelai lembut kepalaku. Sementara satu tangannya yang lain melingkar di pinggangku.
"Ini salah, Mas. Seharusnya kita tak boleh berbuat seperti ini." Ya, aku sadar. Apa yang kulakakan saat ini sangat salah. Sama sekali tak dibenarkan. Apapun alasannya.
"Semua orang punya salah, Ly."
"Bagaimana jika Alia dan keluargaku tahu?"
"Mereka tidak akan tahu, Ly--kau tenang saja." Kevin kembali mendekap tubuhku, mengikis jarak diantara kami hingga tubuh kami saling bersentuhan, satu sama lain. "Tidurlah--Sudah Malam," imbuhnya.
Aku memejamkan mata. Setelah Kevin mendaratkan kecupan di puncak kepalaku. Kulingkarkan tanganku di pingganya, memeluknya erat. Serta membenamkan wajahku di dada bidangnya.
Maafkan aku, Alia. Izinkan aku memeluk suamimu kali saja. Izinkan aku merasakan kehangatan tubuhnya untuk yang terakhir kali.
.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
"Mengalah, lah untuk adikmu, Lea. Hitung-hitung belajar hidup mandiri," ucap ibu padaku.
Alia lagi--Alia lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati, jampi-jampi apa yang digunakan adik sialan itu untuk menguasai kedua orang tuaku. Bak kerbau dicucuk hidungnya. Kedua orang tuaku selalu tak berkutik, seolah tak ada pilihan lain selain menuruti keinginan putri bungsu kesayangannya itu. Tanpa mempertimbangkan opini dan perasaanku. Seperti sekarang. Demi menuruti keinginan Alia, ibu memaksaku agar sementara tinggal di tempat lain, selama Alia dan Kevin tinggal dirumah ini.
"Kenapa aku yang harus selalu mengalah, Bu?" kataku keberatan.
"Kau kan Kakaknya. Kau yang lebih dewasa, Lea," sahut Ibu.
Aku memutar bola mata. Tak habis pikir dengan apa yang baru saja diucapkan oleh ibu. Memangnya Alia itu masih kanak-kanak? jeritku dalam hati.
"Alia sudah menikah, Bu. Dia sudah besar," kataku, mengingatkan.
"Kenapa bukan dia dan suaminya saja yang keluar dari rumah ini."
"Adikmu sedang mengandung, Lea. Siapa yang akan menjaganya jika suaminya sedang tidak ada di rumah. Kau kan tahu, Kevin sibuk bekerja. Terkadang juga harus pergi keluar kota."
Makanya jangan manjakan dia, Bu. Anak sebesar itu tapi tak bisa menjaga dirinya sendiri. Kenapa dia tak kembali menjadi bayi saja. Makiku dalam hati.
Aku bergegas masuk ke kamar. Meninggalkan ibuku dengan perasaan kesal. Percuma saja berdebat panjang lebar dengan ibu ataupun ayah. Keduanya sama saja. Yang mereka pikirkan hanya Alia Alia dan Alia saja.
Dengan cepat aku mengepak beberapa pakaian yang kubutuhkan. Kemudian memasukannya kedalam koper bersama dengan barang-barang lainya kedalam koper. Setelah selesai kutarik koper itu dan bergegas keluar.
"Kau pergi sekarang, Nak?" tanya ibu saat aku keluar kamar.
"Bukankah ibu memintaku lekas pindah?" tanyaku tak perlu jawaban.
"Tapi tidak harus sekarang juga, Lea. Kenapa buru-buru sekali. Memangnya sudah dapat kontrakannya?"
"Aku akan mencarinya. Kalau sampai malam belum dapat juga. Lea bisa menginap di hotel untuk sementara."
"Tunggu sampai ayahmu pulang dulu, Nak. Ayahmu yang akan mengantar sekaligus membantu mencarikan tempat tinggal untukmu."
"Tidak perlu, Bu. Aku bisa mencarinya sendiri. Aku bukan anak kecil yang apa-apa harus minta ke orang tua." Sengaja kutambahkan penekanan saat mengucapkan kalimat terakhir. Dengan maksud menyindir Alia.
"Biarkan saja dia pergi sendiri, Bu. Lebih cepat lebih baik," Alia menimpali.
Ingin rasanya kuremas bibir kecilnya itu. Andai saja dia bukan adik kandungku. Atau jika saja ayah dan ibu tidak ada, sudah kujambak gadis sialan itu.
"Kau mau kemana, Ly?" tanya Kevin saat kami berpapasan dihalaman rumah.
"Mau kabur?" tambahnya saat ia melihat koper yang kubawa.
"Alia tidak mau satu atap denganku."
"Kenapa?"
"Tanyakan saja pada istrimu."
"Ayo kita bicarakan lagi di dalam," ucap Kevin sambil menarik koperku.
Aku menahannya. "Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ibu yang memintaku pergi dari rumah," kataku, sedih. Ya, permintaan Alia kali ini membuatku merasa seperti di usir oleh keluargaku sendiri. Aku merasa terbuang, tak berharga. Seolah tak ada yang menginginkanku.
Kevin berbalik, menatapku sendu. "Biar aku yang bicara pada Alia dan Ibu," ucapnya. Ia meraih tanganku, hendak membawaku kembali masuk ke dalam rumah.
Aku menepisnya. "Biarkan aku pergi, Mas. Aku muak terus berada di sini. Batinku tersiksa setiap kali melihatmu dan Alia. Di tambah lagi perlakuan ayah dan ibu yang tak adil terhadapku. Aku lelah berpura-pura bahagia dan bersikap seolah aku baik-baik saja."
"Maafkan aku, Ly. Aku tidak tahu kalau kehadiranku justru menyiksamu," Kevin mengulurkan tangan, mengusap lembut kepalaku. "Bersabarlah, tunggu sebentar lagi. Aku berjanji akan membahagiakanmu."
Aku tidak mengerti maksud dari perkataan Kevin. Enggan bertanya juga maksud dari ucapannya itu.
"Kau mau tinggal dimana, Ly?"
"Dimana saja. Di tempat terpencil sekalipun tidak apa-apa. Asal aku bisa diterima dan dianggap oleh orang lain."
"Masuklah ke mobil--aku akan mengantarmu."
"Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja."
"Masuk!" titah Kevin yang segera kuturuti.
Aku duduk di jok depan. Bersebelahan dengan Kevin yang sudah bersiap didepan stir. Ia menyalakan mesin, memutar balik kendaraannya dan melesat pergi meninggalkan halaman rumah kedua orang tuaku.
"Kita mau kemana?" tanyaku ditengah perjalanan.
"Apartemen," jawab Kevin singkat.
Meskipun Kevin hanya mengatakan apartemen, tanpa menyebutkan nama. Tapi aku sudah bisa menduga apartemen mana yang akan kami tuju. Sudah pasti apartemen Linggarjati. Sebuah tempat yang menyimpan semua kenangan indah yang pernah kami lalui bersama selama hampir lima tahun. Dan tempat itu pula yang menjadi saksi bisu perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Kevin dan Alia. "Aku tak mau tinggal di sana."
"Hanya sementara. Jika sudah menemukan tempat tinggal yang cocok dan aman, kau boleh pergi. Aku tahu kau bahkan belum tahu akan tinggal dimana malam ini, Ly."
"Aku bisa bermalam di hotel."
Kevin tak menjawab. Ia kembali menancap pedal gas. Membuat laju kendaraan yang kami tumpangi menjadi lebih cepat.
"Awas!" Jeritku saat sebuah mobil dihadapan kami tiba-tiba berhenti.
Mobil yang kami tumpangi berdecit, akibat mengerem terlalu cepat. Kevin membanting stir ke kanan menghindari mobil di depannya. Mobil pun berhenti, setelah menabrak pembatas jalan. Kami berdua sama-sama terpental kedepan. Beruntung saat itu kami sama-sama mengenakan sabuk pengaman. Jika tidak mungkin kami berdua berakhir di rumah sakit.
"Sialan!" umpat Kevin kesal. Ia menoleh padaku. Mencondongkan tubuhnya untuk mengecek keadaanku.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan wajah panik.
"Aku baik-baik saja."
"Syukurlah," ucapnya, lega.
"Bagaimana denganmu? Apa ada yang luka?" tanyaku sedikit cemas. Sebab sekilas aku sempat melihatnya meringis seperti menahan sakit
"Tidak. Aku baik-baik saja," sahutnya.
"Tunggu disini sebentar." Kevin melepas sabuk pengamannya. Kemudian membuka pinta dan melenggang keluar.
Aku memperhatikannya dari dalam mobil. Kulihat ia menghampiri pengendara mobil yang berhenti mendadak itu. Kevin tampak mengucapkan beberapa kalimat yang tak bisa kutangkap dengan jelas. Namun bisa kupastikan ia sedang memaki sang supir yang mengendarai mobil suv itu. Kevin sempat menunjuk ke arahku. Kemudian beralih ke tubuh pria berambut cepak itu. Pria itu mengatupkan kedua telapak tangan, meminta maaf.
Tak lama kemudian Kevin kembali. Ia lekas masuk ke dalam mobil. Wajahnya masih terlihat marah. Membuatku takut untuk bertanya.
Kevin kembali melajukan mobilnya. Menyalip mobil di depan tadi yang rupanya berhenti karena mogok. Kali ini Kevin melajukan mobilnya pelan, sesuai dengan permintaanku.
.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!