NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Calon Suami Adikku

Bab. 1 Keputusan sepihak

Rambut Nami masih basah. Dia baru saja membersihkan diri setelah pulang dari kerja satu jam yang lalu. Tangannya juga masih menggosok rambutnya dengan handuk agar rambut itu segera kering. Saat itu suara mama terdengar sedang memanggilnya.

 

“Nami," panggil perempuan paruh baya itu.

 

“Ya, Ma.” Nami mendekat ke asal suara yang kian mendekat. Rupanya mama berjalan mendekat ke arahnya.

 

“Mama ingin bicara dengan mu. Mama tunggu di ruang tengah, Nami.” Setelah mengatakan itu, mama berjalan mendahului kesana. Tangannya masih sibuk menggosok rambutnya yang basah. Nami berjalan mengikuti beliau dari belakang dengan bingung. Ada apa?

 

“Ada apa, Ma?” tanya Nami setelah sampai di ruang tengah. Mama yang sudah duduk terlebih dahulu menghela napas.

 

“Kamu duduklah, dulu,” pinta mama dengan raut wajah tertekan. Nami bingung melihat ekspresi itu. Namun dia duduk terlebih dahulu seperti pinta mama. Setelah melihat putrinya duduk, mama langsung menatap lurus putrinya. “Mama ingin bicara serius denganmu.”

 

Nami mengerjapkan mata. Ini tampak aneh. Raut wajah mama tampak tidak baik. Namun Nami tidak ingin mencoba menerka-nerka.

 

“Soal apa?” tanya Nami lambat. Dia juga akhirnya terbawa suasana tidak nyaman yang membuat cara bicaranya menjadi hati-hati.

 

“Adikmu. Vera," kata Mama mulai bicara.

 

“Soal pernikahannya?” Nami sedikit tenang karena sudah mendapat kata kunci apa yang akan di bicarakan mamanya. Namun saat mendengar apa yang di katakan mama selanjutnya, Nami kembali di liputi rasa was-was.

 

“Ya, tapi mama juga ingin membicarakan kamu.”

 

“Aku? Ada apa dengan Nami, Ma?” tanya Nami heran. Setahu dia, dirinya tidak punya masalah serius. Hanya belum menikah saat umurnya sudah 29 tahun. Ya ... Mungkin bagi mama ini masalah serius. Apalagi dia mau di langkahi oleh Vera adiknya yang masih berusia 22 tahun.

 

“Mama akan bicara soal Vera terlebih dulu,” kata mama. Nami mengangguk. Dia berusaha mendengarkan baik-baik apa yang akan di katakan mamanya. “Vera hamil, Nami.” Deg!

 

“Apa?! Hamil?!” Mata Nami membulat. Tangannya yang sejak tadi mengusap rambutnya agar kering, mulai diam. Mengambang.

 

“Ya,” sahut mama pelan. Otak Nami berputar-putar sejenak. Kemudian turun ke atas pangkuan.

 

“Oke. Hamil di luar nikah itu memang tidak baik, tapi bukankah Vera akan menikah dengan Yugi? Jadi ... kehamilannya akan tersamarkan,” kata Nami berusaha bersikap biasa. Meskipun itu sangat mengejutkan baginya. Sangat! “Mama tidak akan terkena masalah,” lanjut Nami merasa kalimatnya tidak masuk akal.

 

“Masalahnya bukan hanya itu.” Mama seakan-akan tidak sanggup mengatakannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Rasa was-was kembali menyerang Nami. “Masalahnya Vera hamil dengan pria lain.”

 

Deg!

 

Kembali jantung Nami terpukul dengan keras. Tangannya menutup mulut kemudian karena sangat terkejut dengan kabar ini.

 

Hamil dengan pria lain? Bukan dengan Yugi calon suaminya? Otak Nami kembali berputar-putar. Kali ini lebih dahsyat daripada yang tadi. Dia pusing.

 

Mama terlihat menunduk setelah mengatakan itu. Lalu mama menangis.

 

“L-lalu, bagaimana dengan pernikahan mereka? Apakah terpaksa batal?” tanya Nami terbata-bata.

 

“Tidak. Mama sudah mengatakannya pada pihak keluarga Yugi. Mereka ingin pernikahan ini tetap berlangsung,” jawab mama dengan isak tangis.

 

“Jadi Yugi mau menerima walaupun bayi yang ada di dalam rahim Vera, bukan anaknya?” tanya Nami heran.

 

“Tidak.”

 

“Lalu?” tanya Nami tidak sabar. Mama seakan-akan mengulur-ulur waktu untuk mengungkap semuanya. Itu membuat Nami makin tidak sabar.

 

“Mama menawarkan pernikahan ini untukmu. Menikahlah dengan Yugi,” kata mama langsung membuat mulut Nami kembali menganga. Beberapa detik hening. Nami masih perlu mengumpulkan jiwanya yang melayang sejenak barusan.

 

“Aku?! Mama bilang, aku yang menikah dengan Yugi?!” tanya Nami dengan nada tinggi. Perempuan ini bahkan berdiri dan meninggalkan handuknya di kursi. Nami langsung frustasi seketika. “Ba-bagaimana bisa aku yang menikah dengan Yugi, Ma?” tanya Nami terbata-bata. Dia tidak habis pikir dengan ide ini.

 

“Keluarga Yugi setuju,” kata mama mendesak.

 

“Setuju? Meskipun keluarga Yugi setuju, apakah mama tidak perlu menanyakan bagaimana perasaanku lebih dulu?” tanya Nami tidak percaya. Wajahnya mengiba. Mama diam. Nami menelan ludah. Dia membuang muka ke arah lain. Mama memang tidak ingin bertanya padanya, setuju atau tidak. Mama sengaja mengambil keputusan tanpa peduli dengan dirinya.

 

Sejak kecil, Vera kesayangan mamanya. Dan perlakuan istimewa ini mungkin terus berlanjut hingga papa meninggal. Pun soal pernikahan yang terancam gagal ini. Mama rela menjadikan Nami tumbal agar pernikahan tetap terjadi. Lalu itu akan menyelamatkan wajah semua orang tanpa memedulikan hati dan perasaannya.

 

“Dengan umurmu itu, bukannya memang kamu harus menikah lebih dulu dari Vera,  Nami?” tanya mama mulia menyinggung dirinya yang melajang. Tangan beliau menyeka air mata yang membasahi pipinya.

 

“Jangan membahas soal itu, Ma.” Nami lelah dengan pertanyaan kapan nikah dan nikah. Apalagi sekarang, mama sengaja bertanya untuk menyudutkannya.

 

“Mama harus bahas. Karena memang waktunya mama membahas soal pernikahan denganmu.” Mama mulai kekeh untuk memaksa Nami. Itu terlihat dari sorot mata mama sekarang. Beliau serius. Nami berdecih dalam hati.

 

“Kenapa pembicaraan ini jadi berganti soal aku ...” keluh Nami sedih.

 

“Yugi itu baik. Keluarganya juga baik. Bahkan masih setuju pernikahan ini berlanjut meskipun tahu soal skandal Vera.”

 

“Kalau memang setuju lanjut, kenapa tidak dengan Vera saja?! Bukannya mereka baik?! Jadi mereka pasti menerima Vera, meskipun dengan skandal seperti itu. Lagipula sejak awal, mereka berdualah yang menjalani hubungan cinta ini. Bukan aku.” Nami mengutarakan apa yang ada di pikirannya sekarang.

 

“Kamu harus melakukan ini, Nami! Selain untuk dirimu yang belum mendapat jodoh bahkan saat umur kamu hampir kepala tiga, semuanya juga demi mama. Demi nama keluarga ini,” desak mama tidak sabar. Mama mulai frustasi.

 

Bukan belum mendapat jodoh. Ada hal yang membuatku juga gagal ke arah sana, batin Nami.

 

“Dalam kasus ini, yang harus berkorban untuk menjaga nama baik keluarga ini adalah Vera sendiri, Ma. Bukan aku.” Berulang kali Nami mengingatkan bahwa yang salah disini adalah Vera. Jadi yang harus bertanggung jawab adalah adiknya.

 

“Mama pusing. Lebih baik kamu dengarkan mama dan persiapkan dirimu,” kata mama memilih pergi seraya menutup bibirnya karena Isak tangis makin keras. Beliau  melimpahkan tanggung jawab nama baik keluarga padanya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua ini.

 

Nami tertegun di kursi. Sementara mamanya pergi menjauh darinya. Ia terpukul. Sorot matanya terus saja tertuju pada satu titik. Sorot mata itu tidak fokus. Dia masih teringat-ingat dengan pembicaraan dengan mama tadi. Itu tidak mungkin. Tidak mungkin ia menikah dengan pria yang menjadi calon adik iparnya.

..._____...

...

Bab. 2 Persekongkolan

Menikah? Aku memang punya rencana menikah. Namun ada masalah yang tidak bisa di abaikan. Aku tidak bisa mentolerir sesuatu itu demi menikah. Hingga akhirnya aku seperti sekarang. Haruskah aku menikah dengan rencana yang sangat menyakitkan ini? Menikah dengan calon suami adikku.

Setelah mendapat mandat dari mama untuk menikah dengan calon adik iparnya, Nami mencari adiknya. Ia ingin mengungkapkan kemarahan dan protesnya pada gadis yang _ oh tidak, dia bukan gadis lagi karena tengah hamil. Ia ingin tahu lebih jelas soal dirinya yang menjadi pengganti. Kenapa dan kenapa?

 

Nami tidak tahu kemana mama pergi setelah memberikan kabar tidak menyenangkan itu. Namun sekarang dia bisa menemukan adiknya. Dia baru saja muncul dari pintu utama rumah ini.

 

“Vera!” panggil Nami. Adiknya itu menoleh. Sepertinya Vera baru saja dari jalan-jalan. Terlihat dari pakaiannya yang mencolok. Begitu mewah hingga Nami sendiri merasa Vera bukan bagian dari keluarga ini yang tidak seberapa kaya. Hanya mengandalkan pensiunan papa yang tidak terlalu banyak.

 

“Oh, Mbak Nami.”

 

“Apa yang sedang terjadi?” tanya Nami membuat Vera mengerutkan keningnya karena tidak paham. “Dengan pernikahanmu dan Yugi. Kenapa bisa batal?" Nami langsung menyebut itu saat melihat adiknya bingung.

 

“Itu ... “ Vera ragu. Bola matanya beredar kebingungan. Ia tidak ingin membicarakan dirinya yang sudah membuat kesalahan besar.

 

“Kamu hamil? Kamu mengkhianati Yugi?” tanya Nami beruntun. Vera langsung beringsut. Ia menunduk dan meremas tasnya.

 

“M-maafkan aku Mbak. Aku sudah menodai wajah keluarga kita,” kata Vera tersendat. Dia mau menangis.

 

“Bukan itu Ver, tapi soal aku yang harus menikah dengan kekasihmu itu. Yugi,” tepis Nami seakan soal wajah keluarga sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin memperjuangkan dirinya yang akan di jadikan tumbal karena kesalahan yang tidak diperbuatnya.

 

“Itu ... Aku tidak tahu Mbak,” kata Vera. Sepertinya Vera ingin menyembunyikan soal kehamilan itu.

 

“Kenapa tidak tahu? Bukannya kamu yang sebenarnya harus menikah dengan Yugi kan? Lalu kenapa tiba-tiba aku yang akan menggantikan?” tanya Nami tidak terima.

 

“Mama yang memutuskan, bukan aku.” Akhirnya Vera buka suara. Raut wajahnya berubah. Dia tidak jadi menangis.

 

“Aku tahu, tapi apa kamu tidak ingin menolaknya?”

 

“Aku tidak bisa menolak, Mbak. Kan mama yang membuat keputusan.” Tampak Vera tidak mau di salahkan. Wajah sedih adiknya tadi berganti ekspresi begitu cepat. Sekarang raut wajah itu terlihat kesal karena di tuduh peluh Nami.

 

“Yugi itu kan kekasihmu, Ver. Apa kamu ... tidak ada bayangan apa-apa kalau akhirnya Yugi akan menikah denganku?” tanya Nami lambat.

 

“Bayangan apa?” tanya Vera tampak tidak peduli. Wajah menunduk karena merasa bersalah lenyap. Dia tampak bertingkah.

 

 “Kita berdua tidak saling mencintai, Ver. Kamu pasti bisa membayangkan bagaimana aku dan Yugi jika menikah nanti.” Belum menikah saja Nami bisa membayangkan kehidupan pernikahannya tidak karu-karuan.

 

“Mbak ini mau menyuruh aku untuk membatalkan pernikahan itu ya?” tanya Vera dengan sikap angkuh. Nami mengernyitkan dahi. Sikap itu membuatnya tidak nyaman. “Maaf ya Mbak. Aku itu enggak bisa membatalkan pernikahan ini. Kasihan mama kalau sampai batal. Mama kan sudah pesan WO buat acara itu. Sudah kasih uang ke mereka.”

 

Nami memang ingin Vera meminta pada mama untuk membatalkan pernikahan ini. Karena bagaimana pun ini bukan pesta untuknya. Ini milik Vera adiknya. Namun setelah melihat sikap dan ekspresi wajah gadis di depannya, Nami urung mengatakan iya.

 

Mendadak Vera bertingkah seolah tidak bersalah. Gadis ini bersikap sedikit kurang ajar padanya. Itu benar-benar tidak terduga. Nami sempat terkejut dengan perubahan sikap itu.

 

Apa yang mendasari gadis ini hingga bisa bersikap seperti itu padanya?

 

“Jadi kamu membiarkan aku tetap menikah dengan Yugi?” tanya Nami dengan amarah yang tertahan.

 

“Ya. Mau bagaimana lagi,” jawab Vera santai. Nami tertegun. Bocah ini tidak merasa bersalah. Sungguh sikapnya itu sangat kurang ajar dan seperti tidak pernah punya tata krama. Apa Vera memang seperti itu sikapnya?

 

“Ada apa Vera?” tanya mama muncul di belakang. Gadis itu segera berlari ke arah mama dan memeluknya dengan manja.

 

“Enggak ada apa-apa kok, Ma,” kata Vera seraya melirik ke arah Nami sebentar. Sementara perempuan ini masih membeku di tempatnya.

 

“Benar, enggak ada apa-apa?” tanya mama ikut melihat Nami sebentar lalu berganti melihat putri bungsunya lagi.

 

“Benar, kok.” Vera tampak bermanja-manja di pelukan mama. Namun sepertinya mama tidak percaya. Beliau menatap Nami dengan tatapan curiga.

 

“Kamu bukan sedang memarahi adikmu soal pernikahan itu kan?” tegur mama yang membuat Nami makin tertegun. Mama memilih ingin memarahinya, daripada tidak membahas persoalan itu.

 

Tampak di matanya, dua orang itu bersekongkol menjerumuskan dirinya pada pernikahan yang tidak diinginkannya. Mama mendukung Vera yang sebenarnya adalah biang permasalahan dari semua ini.

 

“Ya, tapi aku tidak berhasil,” jawab Nami mengaku. Itu membuat mama dan adiknya terkejut. Mereka berpikir mungkin Nami akan diam, tapi ternyata tidak.

 

“Itu keputusan Mama, Nami. Adikmu hanya mengikuti keinginan Mama!" Mama tampak tidak senang mendengar pengakuan Nami yang sengaja memarahi adiknya karena pernikahan yang di limpahkan padanya. Vera makin mendekatkan diri pada mamanya. "Kamu itu kan sudah berumur hampir tiga puluh, jadi pantaslah kalau kamu itu menikah lebih dulu dari Vera. Lagipula kamu itu seharusnya merasa beruntung mendapat suami tanpa repot-repot mencari. Ya ... meskipun Yugi hanya seorang karyawan biasa. Kamu itu ..."

 

“Ya. Maaf, Ma," potong Nami. "Aku memang tidak bisa membantah mama. Tidak apa-apa. Aku akan bertanggung jawab dengan kesalahan yang tidak aku perbuat. Aku akan menikah. Memaksa untuk menolak juga percuma. Mama sudah membuat keputusan karena memperhatikan nama keluarga.” Nami langsung menyetujui tanpa membantah. Kalimatnya sangat dingin.

 

"Baguslah kalau kamu mengerti. Kamu kan anak pertama, mama tahu kamu pasti bisa membanggakan keluarga," kata perempuan itu masih memeluk Vera yang tersenyum tipis.

 

Nami mendengus mendengar ia bisa membanggakan keluarga. Bukan bangga yang ia rasakan nanti, tapi sakit hati di manfaatkan oleh mereka berdua. Namun entah kenapa, Nami tidak bisa membantah. Semua penolakan tertahan di tenggorokan.

 

“Benar. Nama keluarga lebih penting ...” dari perasaanku putrinya, lanjut Nami dalam batinnya.

 

Kata-kata terakhir terucap hanya di dalam batinnya. Dia tahu ini tidak adil, tapi dia tidak bisa berontak. Nami harus patuh demi berbakti kepada orang tua. Dia yang sudah dewasa di bandingkan Vera, tentu tahu harus bagaimana.

 

Tanpa bicara lagi, Nami menjauh dari mereka. Kemana? Kemana lagi kalau tidak masuk ke kamar. Menangis sepuasnya di sana. Tempat paling damai dalam situasi seperti ini. Tidak terlihat mereka berdua yang sepertinya tidak peduli dengannya.

..._______...

Bab. 3 Menikah

Sungguh mengejutkan bahwa akhirnya Nami menyetujui pernikahan dirinya dan Yugi. Meskipun hatinya sakit, tapi demi nama keluarga, Nami maju menjadi dinding pelindung bagi keluarganya.

 

Kini nama Yugi di sandingkan dengan nama Nami dalam satu frame undangan. Lalu di sebarkan. Semua teman sempat terkejut dan heran saat melihat nama calon istri Yugi adalah orang lain. Karena yang mereka tahu, perempuan yang jadi kekasih Yugi adalah Vera.

 

Meskipun ada banyak keheranan yang muncul, pernikahan tetap di lakukan.

 

Sah!

 

Dalam sekejap saja Yugi dan Nami sah menjadi suami istri dalam sebuah akad pernikahan. Semuanya bagai mimpi yang masih belum bisa di percaya oleh wanita ini. Setelah acara akad selesai dan istirahat, acara di lanjutkan dengan resepsi di gedung.

 

Nampak kedua mempelai duduk di atas pelaminan dengan cantik dan tampan. Namun hari bahagia ini terasa berbanding terbalik dengan raut wajah mempelai. Nami sungguh tidak bisa berpura-pura bahagia. Dia marah, sedih, kecewa dan terluka. Pernikahan yang diinginkannya bukanlah seperti ini.

 

“Kita harus berdiri karena ada tamu, Mbak,” kata Yugi mengejutkan. Nami yang melamun sedikit terhenyak. Kemudian ia menipiskan bibir ingin menolak ajakan Yugi. Nami tidak merespon, tapi saat dia melihat ke arah pintu masuk, terlihat semua teman kantornya datang. Rupanya Yugi meminta Nami memperbaiki sikapnya karena mereka. Bukan tamu dari keluarga dia, tapi tamu dari pihaknya.

 

“Namiiii ...,” seru Ina segera memeluk Nami. Tak dielakkan lagi suasana haru terjadi. “Aku enggak nyangka kamu bakal segera menikah duluan. Padahal kamu bilang masih tidak ada pikiran soal menikah. Masih jauh. Tapi lihat, apa yang aku lihat sekarang?” Ina menjauhkan tubuhnya dari Nami seraya mengamati temannya. “Menikah? Dan suamimu tampan,” bisik Ina membuat Nami menipiskan bibir.

 

Yugi tersenyum ramah, saat mereka melihat pria ini dengan tatapan takjub.

 

“Semangat dong,” ujar Mila kasih semangat. “Masa nikah wajahnya mendung. Ini bukan pernikahan paksaan kan?” tanya Mila bermaksud bercanda. Namun karena faktanya adalah seperti itu, Nami terkejut mendengar tebakan Mila. Dia agak gugup. “Ayolah ... Bikin geregetan aja.” Mila gemas mencubit pipi Nami. "Eh, enggak luntur kan?" Yang lainnya tergelak.

 

Nami sekali lagi hanya tersenyum tipis. Berusaha menunjukkan kalau dia baik-baik saja.

 

Para pria yang menemani mereka di pesta ini, menowel dan memberi kode pada pasangannya berkali-kali, untuk segera berfoto dan turun dari panggung pelaminan. Mereka pun berhenti berbincang dengan Nami dan melanjutkan sesi salaman dan foto dengan pengantin.

 

Setelah teman-teman dan beberapa tamu yang ada di atas pelaminan pulang, mereka kembali duduk.

 

“Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, Yugi. Padahal pernikahan ini terlalu aneh, kenapa kamu terlihat setenang itu? Aku bukan calon istrimu yang sebenarnya. Aku bukan kekasihmu yang selama ini kamu bayangkan untuk jadi istrimu. Kenapa kamu bisa dengan mudah menerima pernikahan yang di tawarkan ini?” tanya Nami dengan marah yang tertahan.

 

“Apa yang perlu di ributkan, Mbak? Toh aku akan menikah nantinya. Entah itu dengan Mbak atau siapa saja,” jawab Yugi enteng.

 

Mata Nami mendelik. Dia tidak terima kalimat pria yang lebih muda empat tahun di bawahnya ini terkesan meremehkan.

 

“Kamu ...,” desis Nami ingin mencakar-cakar wajah pria ini.

 

“Mungkin aku bisa sedikit lega karena pengganti Vera adalah Mbak Nami. Itu saja,” imbuh Yugi. Ini membuat Nami menoleh seraya mengerutkan kening tidak mengerti. Sementara Yugi melihat ke depan. Membiarkan Nami bertarung dengan pikirannya sendiri.

 

Akhirnya Nami memilih melihat ke depan juga karena takut emosinya memuncak. Dia berusaha mengambil napas panjang untuk menenangkan diri. Harus tenang ... Harus tenang ...

 

Pesta pernikahan masih akan berlanjut hingga tamu kedua mempelai datang semua. Ini akan lama. Nami harus bisa mengontrol diri.

 

Dari kursi pelaminan yang berada lebih tinggi dari para tamu, Nami bisa melihat mama di sana. Wanita itu tersenyum bahagia melihat pernikahan berjalan lancar.

 

Sebahagia itukah mama? Padahal aku di sini tersiksa? Aku yang seharusnya masih bisa bebas kesana-kemari, bahkan mungkin bisa menemukan jodohku yang sesungguhnya, harus duduk di kursi pelaminan yang sama sekali tidak ku inginkan. Hatiku sakit, Ma. Haruskah mama menunjukkan senyum bahagia itu sekarang?

 

Bahkan Vera_adiknya juga terlihat bahagia di sana. Padahal perempuan itulah yang menjadi awal bencana dari semua ini. Vera yang melakukan kesalahan, tapi dirinyalah yang bertanggung jawab. Nami di jadikan tumbal untuk menutupi kesalahan dan membuat Vera tampak bersih. Bibir Vera tertawa dan tersenyum.

 

Mata Nami panas. Nanar. Seakan-akan ingin mengeluarkan semua air mata yang ada di dalam kelopak matanya. Yugi melirik. Tangan Nami *******-***** pakaian nikahnya dengan amarah. Lalu pria ini mencoba mengikuti arah mana yang sedang di lihat Nami sekarang.

 

“Tahan sebisa mungkin air mata Mbak tidak meleleh. Mbak enggak pantas menangis untuk Vera. Dia tidak terlalu berharga untuk ditangisi,” kata Yugi memberi nasehat.

 

Nami menoleh dengan cepat ke arah Yugi yang menoleh ke samping. Mungkin dugaan Nami bahwa pria ini tetap tenang-tenang saja, keliru. Ia lupa akan satu hal. Orang yang paling di sakiti di sini adalah Yugi. Dia dan keluarganya sudah di khianati. Bahkan masih bisa damai. Meskipun akhirnya mengorbankan Nami.

 

“Aku hanya memberi nasehat saja. Terserah Mbak Nami mau melakukan apa sebenarnya. Hanya mengingatkan. Takutnya nanti menyesal. Menangis di depan banyak orang dan jadi viral, itu enggak enak. Jejak digital lebih menakutkan bukan?” kata Yugi sedikit ada harapan di sorot matanya. “Lagipula kesan Mbak Nami yang kuat, cuek dan mandiri akan luruh seketika jika Mbak Nami melakukannya.”

 

Nami mengerjapkan mata. Menipiskan bibir kesal.

 

"Sok tahu," ujar Nami. Yugi hanya menyunggingkan senyum tipis mendengarnya.

 

Walaupun begitu, kalimat Yugi ternyata mampu mengena di benak Nami. Kalau dia menangis itu akan memalukan. Dia akan jadi bahan olok-olokan semua orang. Nami menghela napas panjang. Membuang sesak di dalam rongga dadanya.

 

“Aku bukan kamu. Lalu aku juga hanya wanita biasa. Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya. Jadi apapun yang ada di dalam pikiranmu tentangku sekarang, mungkin salah,” tepis Nami.

 

“Mungkin saja.” Yugi merespon dengan mengangkat bahu. Pria muda ini begitu tenang dan santai. Kenapa bisa?

 

Namun berkat kalimat-kalimat Yugi, Nami bisa menghapus amarah dan kesedihannya yang akan berujung dengan tangisan. Hati Nami tidak lagi terasa sesak seperti tadi. Perasaannya plong meskipun sakit hati dengan mama dan adiknya masih ada.  Setidaknya tidak separah tadi. Dimana ia ingin merusak acara pernikahan ini dengan berlari dan kabur. Padahal ia sendiri tidak bisa menolak.

...______...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!