NovelToon NovelToon

Once In A Blue Moon

Prolog

Tidurku hari ini terasa amat sangat nyenyak. Seperti ada peri tidur yang menyanyikan lagu yang merdu. Bantal-bantal pun terasa selembut kapas. Merupakan hal yang sedikit aneh lantaran seringkali aku tidur sudah larut malam, dan selalu terbangun sebelum subuh.

Lalu, seperti ada seseorang yang berkata, "Bangun..."

Aku mengerjapkan mata. Samar-samar mendengar omelan Mama. Omelan khas Mama kalau aku sulit bangun pagi untuk ke sekolah atau ke kampus. Sudah berapa lama Mama dikamar? Nyawaku rasanya masih belum terkumpul seluruhnya, jadi aku memiringkan badan ke kiri, dan tiba-tiba aku merasa bokongku dipukul dengan keras.

“Aduh, sakit, Ma!” keluhku.

“Kamu mau bangun jam berapa? Ini sudah siang!”

Aku terlonjak. Seketika aku duduk. Hari ini aku wisuda, dan aku harus bangun pukul setengah lima pagi untuk berdandan dan bersiap. Tapi saat aku menoleh ke jendela, aku melihat sinar matahari sudah lebih tinggi dari semestinya. Saat aku melihat jam beker, benda berwarna biru itu sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Mampus aku.

“Kenapa Mama tidak membangunkan aku saat pukul setengah lima, Ma? Aku sangat terlambat saat ini, belum lagi persiapan wisudanya banyak sekali.” aku panik dan menatap ke kanan-kiri. Mencoba memikirkan bagaimana caranya bisa bersiap-siap, namun tetap tepat waktu.

Wajah Mama tampak bingung. Seakan-akan aku mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal. Ia menepuk tanganku. “Kamu ini bicara apa? Wisuda apa? Kamu kan hari ini masuk tahun ajaran baru! Kamu baru kelas sebelas!” sergah Mama.

Aku mengernyit tidak mengerti. Aku terdiam, duduk dan mengumpulkan nyawaku kembali (yang mungkin telah bertebaran kembali karena panik). Sembari mencerna kata-kata Mama. Mungkin Mama makan sesuatu yang salah saat sarapan. Aku mengelus tanganku yang ditepuk Mama. Lalu merasakan helai kain lembut yang menyelimuti lenganku. Merasakan teksturnya dan melihat gambarnya. Aku tidak ingat memakai piyama bergambar monyet dan pisang ini. Seingatku, semalam aku mengenakan gaun tidur berwarna putih dan piyama ini sudah aku jadikan kain lap bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan sudah tidak tahu nasib piyama ini bagaimana setelah aku jadikan kain lap.

Janggal. Omelan Mama tentang tahun ajaran baru, tidak ingatnya Mama tentang wisuda dan piyama usang ini. Aku kembali melirik sekitar. Ruangan ini masih kamarku. Namun semua isinya bukanlah seperti kamarku semalam. Cat dinding yang seharusnya berwarna biru telur asin, malah berwarna kuning pastel. Begitu juga dengan kursi duduk yang sudah ku enyahkan sejak lama, saat ini berada di sana. Benda-benda lain juga sama. Boneka-boneka binatang yang seharusnya sudah kuberikan pada Bella, keponakanku, berjajar rapi di atas lemari pakaian. Asing, sekaligus terasa familiar. Merasa cemas, aku melirik kalender yang terletak di samping jam beker. Tanggal 14 Juli. Benar hari ini. Namun tulisan di sana bukanlah tulisan ‘my graduation’, namun ‘tahun ajaran baru kelas 11’ lengkap dengan stiker-stiker imut, dan tahun yang tertera adalah 2014.

Seketika mataku menjadi segar. Separuh takut, separuh berharap Mama akan mengatakan, "Tidak, Mama hanya bercanda. Ayo, siap-siap sana!"

Tapi wajah Mama sangat serius. Ia malah mengomel lagi karena aku tidak juga beranjak dari kasur.

"Sebentar, Ma." aku mengacungkan jari telunjuk, seperti meminta izin, lalu berlari keluar kamar. Menuju ruang tengah di mana biasanya kalender berada. Namun tetap, tahun yang tertera adalah tahun 2014.

Chapter 1: 2020

Aku mengelus baju kebaya berwarna merah muda dengan senyum yang terukir diwajahku. Jahitan kebaya itu cantik—dengan sentuhan rancangan yang modern di bagian bahu, tetapi tidak menghilangkan kesan kebaya khas Indonesia. Panjang kebaya tersebut sedikit di atas lutut. Roknya adalah rok batik berwarna cokelat yang tidak terlalu terang, tidak juga terlalu gelap dengan hiasan bunga-bunga berwarna merah muda kecil. Aku mengangguk puas dengan hasil jahitan teman sebayaku, Mira. Ternyata Mira tidak membual tentang kemampuan nya di bidang menjahit. Setelah puas mengamati kebaya itu, aku beralih ke kalender. Besok adalah hari yang besar. 

“Noura, Ajeng sudah datang.” Mama berteriak dari ruang keluarga.

“Iya, Ma.” Sahutku. Aku menyambar tote bag hitam kesukaanku yang bertuliskan “Don’t give up” lalu menyemprotkan sedikit parfum Peony and Blush Suede  Jo Malone ke pergelangan tangan. Saat aku sampai di ruang keluarga, Mama dan Ajeng sedang mengobrol dengan semangat. Ternyata mereka bergossip tentang berita pasangan selebriti muda yang sudah pisah rumah padahal umur pernikahan mereka masih seumur jagung. Aku memutar bola mata. 

“Ya ampun, Ma. Jangan kebanyakan bergossip.” Komentarku. 

“Tidak kok.” Mama membela diri. “Mama kan hanya menyampaikan ringkasan berita selebriti yang Mama tonton ke Ajeng, karena dia bertanya.” Aku langsung menoleh dan menyipit ke Ajeng. Aku sangat mengenal sifat Ajeng yang hobi menggossip, padahal ia sudah sering aku nasehati. Ajeng hanya terkekeh dan langsung cepat-cepat pamit pada Mama. Aku pun berpamitan juga pada Mama dan beliau berpesan agar segera pulang setelah gladi resik berakhir.

Ya, aku dan Ajeng akan pergi untuk menghadiri gladi resik wisuda kami. Tentu saja kebaya merah muda itu untuk wisuda, bukan untuk menikah. Aku masih belum mau menikah di usia muda, apalagi di usia ku yang baru menginjak 21 tahun ini. Karir dan kesuksesan adalah tujuan ku untuk saat ini—dan untuk beberapa tahun ke depan. 

Ajeng mengendarai CRV nya dengan kecepatan normal. Sesekali ia menyanyikan lagu Blackpink yang sedang di putar di sebuah radio swasta. Ajeng adalah pecinta K-Pop garis keras. Walaupun asli Indonesia dan berasal dari suku Jawa, orang-orang pasti mengira Ajeng keturunan Cina atau Korea, lantaran berkulit putih dan berwajah oriental. Aku sempat heran juga kenapa Ajeng bisa seputih itu, karena iklim di Indonesia sendiri sangat panas dan kulit Ajeng putih sekali. Ngomong-ngomong, aku pernah menyarankan Ajeng untuk ke Korea Selatan saja dan menjadi trainee disana. Karena selain berwajah oriental dan berkulit putih, Ajeng juga pandai menari dan bernyanyi. Tapi menari adalah bakat Ajeng yang menurutku paling menonjol. 

Saat aku menyarankan seperti itu, Ajeng menghela napas. “Nggak bisa, Ra. Papa aku professor bahasa, dia menyuruhku untuk kuliah di bidang bahasa. Usulan menjadi trainee pasti langsung ditolak. Aku bahkan bisa menjamin hal itu.” Aku mengangguk. Orang tua Ajeng adalah tipe orang tua otoriter dimana anak-anak mereka harus mengikuti perintah mereka. Tidak sama sepertiku, kedua orang tuaku membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan yang akan mereka tempuh, tapi mereka tetap membimbing dan menasehati.

Suara Liam Gallagher saat menyanyikan lagu Wonderwall muncul di sela-sela lagu Blackpink. Aku melirik handphone ku dan nama Darren muncul disana. Aku langsung merengut dan me-reject panggilannya. Ajeng yang sadar akan hal tersebut melirik sekilas. “Sang mantan?” Goda Ajeng. Aku hanya mengangguk sambil mendengus. Darren menelpon lagi—pria satu itu memang tidak mudah menyerah rupanya—tapi aku mengalihkan pandanganku ke deretan pertokoan dan kafe yang terletak di pusat kota setelah menolak panggilan dari pria tersebut. “Nyali Darren cukup besar untuk menelponmu setelah ia melakukan hal itu.” Ajeng berkomentar dengan sinis.

Maksud Ajeng adalah berselingkuh. Ya, Darren menyelingkuhiku. Betapa beraninya dia menyelingkuhi aku, Noura Stephanie Widjaya! 

Darren adalah lelaki yang aku pacari sejak tahun kedua perkuliahan. Kami beda fakultas—dia adalah mahasiswa fakultas teknik sementara aku mahasiswi fakultas sastra. Dia tampan. Semua yang melihat Darren pasti akan mengakui bahwa jika dilihat, Darren mengingatkan mereka dengan Harry Styles. Yah, setidaknya versi Indonesia. Darren memiliki rambut ikal yang indah dan sedikit panjang (seperti rambut Harry tapi pada saat rambut Harry sedikit lebih panjang), hidung mancung, mata cokelat yang indah serta senyum yang menawan. Bohong jika aku berkata aku tidak tertarik dengan Darren. 

Darren tidak berasal dari keluarga kaya, pejabat ataupun keluarga terkenal. Tapi dengan semua kelebihan tersebut, siapa yang sanggup menolak pesona Darren? Ditambah lagi ia pandai menyanyi. Lengkap sudah senjata nya dalam menggaet wanita. 

Darren berselingkuh sejak awal tahun 2019. Saat itu kami sudah setahun lebih berpacaran. Ia berselingkuh dengan salah satu teman seangkatannya. Aku mengetahui itu setelah mereka beberapa bulan berpacaran. Orang bilang, perasaan perempuan itu sangat kuat dan peka, apalagi mengenai orang yang mereka sayangi dan ternyata itu benar! Setelah sedikit bermain detektif, terbongkarlah perselingkuhan tersebut. Yang membuatku kesal, cewek itu bahkan tidak lebih cantik dari ku, bahkan sedikitpun tidak! Aku langsung meminta putus dan saat itu bulan Juli, awal semester baru dan awal yang bagus untuk fokus pada skripsi. Sejak saat itu aku selalu memprioritaskan prestasi dan karir yang gemilang. Yah, memang dari dulu aku adalah murid yang ambisius dan kompetitif, nilai-nilai ku juga bagus dan aku langganan juara kelas. Tapi kali ini spesial. Aku mendapat beasiswa penuh S2 ke Swedia, negara yang sangat ingin aku kunjungi, setelah mengikuti lomba menulis resensi sastra Swedia. 

Sudah berapa kali Darren menelpon? Lima kali? Wah, dia memang pantang menyerah sepertinya. Sudah hampir setahun dan ia masih menelpon, SMS, mengirim pesan di WhatsApp yang berisi “Aku minta maaf, aku menyesal”, atau “Apa kita tidak bisa memperbaiki hubungan ini?” atau yang serupa dengan itu. Bagiku, sekali nya putus, putus. Tidak ada kesempatan kedua, apalagi jika didasari perselingkuhan seperti ini. Aku adalah tipe orang yang memutuskan segala sesuatu dengan matang dan logis. Sifat manusia sulit sekali di ubah. Sekali berselingkuh, orang itu pasti akan mengulanginya di masa depan, jadi, kesempatan kedua? Maaf saja!

Ajeng berkomentar, “Benar Ra kamu tidak mau memberi kesempatan kedua pada Darren?”

Aku mendengus, bosan dengan obrolan yang topiknya adalah Darren. “Kamu tidak perlu bertanya, Jeng. Kamu sudah tahu jawabanku apa.” Dengan jawaban itu, Ajeng tidak lagi berkomentar. Kami hanya melanjutkan perjalanan yang diselingi lagu-lagu yang di putar di radio.

***

Gladi resik di adakan di gedung serbaguna universitas. Letaknya hanya berjarak beberapa gedung dari gedung Fakultas kami. Saat aku dan Ajeng tiba disana, masih ada waktu 5 menit sebelum gladi dimulai. Aku adalah orang yang tepat waktu, malah aku akan datang sedikit lebih cepat dari jam yang di tentukan. Bagiku, waktu adalah hal yang sangat penting karena waktu tidak akan dapat di ulang. Ajeng adalah orang yang bertolak belakang dengan prinsip ku ini, ia akan datang terlambat. Tapi semenjak berteman denganku, aku rewel pada Ajeng sehingga mau tidak mau, ia juga datang lebih cepat. Tapi, namanya juga jam Indonesia, yang terkenal dengan jam karet. Sehingga dari waktu yang dijanjikan, pukul 13:30, gladi dimulai di jam 13:45. 

Pada wisuda periode ini, ada beberapa teman sekelasku yang juga menjadi wisudawan dan wisudawati. Salah satu nya adalah Kayla. Kayla selalu mengganggapku sebagai saingannya. Sementara aku? Aku tidak pernah mengganggap nya sebagai sainganku. Coba pikir, aku saja mengalahkan diriku untuk menjadi lebih produktif dan tidak malas-malasan saja susah, bagaimana mungkin aku bisa berpikir menjadikan orang lain sebagai sainganku? Diri sendiri adalah satu-satunya sainganku. Awalnya aku tidak ambil pusing. Tapi Kayla memang terkenal sinis dan judes, apalagi padaku. Sering disindir dan diberi komentar pedas, siapa yang tidak sebal, bukan? Jadilah pertemuanku dengan Kayla selalu dihadiri oleh sindiran dan ejekan. Contoh nya hari ini.

“Selamat, ya, Ra. Sudah mendapat beasiswa ke Swedia. Oh ya, topiknya adalah karya penulis Swedia, bukan? Itu adalah karya sastra yang mudah untuk di resensi.” Dia mengedikkan bahu. Sebenarnya dia memuji atau mencela? Itu pasti hal pertama yang selalu aku pertanyakan, berhubung aku dan dia selalu tidak akur.

“Mudah, ya? Tapi satu Indonesia hanya 5 orang yang lolos beasiswa itu. Kenapa kau tidak lulus ya kalau itu mudah?” sindirku dengan wajah polos. Diam-diam Kayla selalu ingin tahu apa yang aku buat dan apa yang ingin aku capai, dan dia juga selalu mengikuti langkahku karena tidak mau kalah, termasuk beasiswa itu. Bukan Noura kalau tidak tahu soal itu. But guess what? Dia tidak lulus, dan dia berkata tes nya mudah? Lucu sekali. Wajah nya menjadi seperti tomat saat ketahuan mengikuti tes itu juga. 

“Aku tidak ikut tes itu!”

“Tidak usah berbohong, aku bisa minta Miss Nadia memberi nama-nama pendaftar dan nama mu pasti ada disana.” Tukasku. “Kamu tidak usah iri denganku, dengan pencapaianku. Lebih baik fokus pada apa yang kamu inginkan. Aku juga tahu kalau kamu menyebar rumor-rumor aneh pada senior kita. Aku bisa bilang pada mereka bahwa kamu berbohong tentangku, tapi aku kasihan padamu. Jadi berhenti mengganggu aku, and get a life, Kayla!” 

Aku melihat mata Kayla berkaca-kaca dan wajahnya menahan emosi. Sosoknya yang kecil lalu pergi menjauhiku dan Ajeng. 

“Wow, pedas.” Komentar Ajeng sambil terkekeh. Aku hanya melirik Ajeng sekilas. Ya, aku memang selalu seperti itu. Ambisius, kompetitif dan dingin. Kalau aku pikir-pikir, semenjak menjadi mahasiswa, sifat dingin dan kata-kata kasar sudah sangat jarang keluar dari mulutku. Karena aku mencoba untuk menjadi lebih pendiam. Jika dibandingkan, diriku saat SMA jauh lebih kasar dan dingin.

Dulu saat SMA, tidak banyak teman-teman sekolahku yang perempuan tidak ingin berteman denganku. Mereka hanya berpura-pura baik padaku, dan aku tahu sekali itu. Ada dua alasan kenapa mereka tidak mau berteman denganku. Pertama, alasan yang jelas, karena aku kasar dan dingin. Sebenarnya, aku hanya mengutarakan pendapatku dengan jujur. Dan kejujuran tidak akan selalu membawa dampak yang baik, dan mungkin terkadang aku melewati batas, aku mengakui hal itu. Tapi, di luar dari itu, aku tidak pernah membicarakan mereka pada teman-teman dekatku. Aku hanya mengacuhkan mereka. Tidak apa jika aku tidak punya banyak teman. Punya teman berjumlah hitungan jari saja sudah cukup di banding punya banyak teman, tapi tidak ada yang bisa ku percaya. Dan mereka yang tidak berteman denganku adalah orang-orang seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang mampu membicarakan aib teman dekat mereka sendiri pada orang lain. Dan aku amat sering melihat mereka melakukan hal itu. Alasan yang kedua adalah, kata Wulan, teman SMA-ku, aku populer di kalangan laki-laki (yah, jangan tanya. Aku juga kadang heran akan hal ini). Aku bukan cewek yang sangat cantik seperti selebgram atau teman-teman yang super cantik, tapi aku juga tidak jelek-jelek amat kok. Aku tinggi, dengan proporsi badan yang bagus, mempunyai kulit yang cerah tapi tidak terlalu putih—apalagi pucat, rambut berombak yang tidak sulit didapatkan dari produk perawatan rambut, serta pembawaanku yang teman-teman dekatku bilang berkarisma. Wajahku juga lumayan cantik. Dengan wajah oval, alis rapih, hidung mancung, bibir penuh yang berwarna pink alami dan sepasang mata yang besar. Mama bilang, mataku adalah hal yang paling indah dari semua bagian wajahku dan aku setuju. Bulat, besar, dengan iris mata berwarna cokelat gelap yang ekspresif. Wajahku sebenarnya lumayan kalem, datar dan jarang menunjukkan emosi, tapi jika orang melihat mataku, mereka pasti paham apa yang aku rasakan. Kalau aku marah, sedih, atau bingung, mataku lebih dulu menunjukkan emosi daripada wajahku. Ada pepatah Jepang kesukaan ku yang mengatakan bahwa mata adalah pintu hati. Dan sepertinya pepatah ini cocok dengan deskripsi yang Mama katakan.

“Kepada wisudawan/wisudawati Universitas Pancasila, silakan berkumpul di Aula Lancang Kuning.” Dengan itu, dimulailah gladi resik wisuda kami hari ini.

***

Gladi resik berakhir pukul 7 malam. Saat Ajeng mengantarku pulang, aku langsung mandi, makan malam, dan mengganti kaus biru muda yang kupakai dengan gaun tidur berwarna putih dan berbahan dingin. Saat hendak tidur, aku teringat untuk mencari bros baju kebaya Mama yang akan aku kenakan sebagai hiasan kebaya wisuda besok. Tulang-tulangku rasanya remuk, namun aku tidak bisa tidak mencari bros tersebut. Bros tersebut Papa beli saat ada kunjungan kerja ke Eropa. Benda itu berwarna emas dengan hiasan batu-batu rhinestone yang cantik dan pasti akan membuat penampilanku menjadi lebih luar biasa.

Seingatku bros itu ada didalam kotak dideretan rak ini, batinku. “Ah, ini dia.” Lalu aku melihat kotak lain yang sedikit lebih besar dari kotak tempat dimana aku menyimpan bros ini. Kotak itu berwarna silver dengan hiasan pita merah muda yang manis. Saat aku membukanya, nuansa nostalgia langsung menyeruak keluar. Buku-buku harianku. 

Aku adalah tipe orang yang suka menulis buku harian, bahkan saat aku masih anak-anak. Buku harian pertamaku berwarna magenta dengan beruang berwarna merah muda di cover nya. Itu adalah hadiah ulang tahunku dari Papa saat aku berusia lima tahun. Waktu itu, aku baru pandai menulis. 

“Akan ada hari dimana kamu ingin mengingat hari itu untuk selamanya, Noura. Dan jika saat itu tiba, tulislah segalanya didalam buku.” Ujar Papa. Papa adalah kutu buku sepertiku. Tidak hanya itu, beliau juga selalu memiliki buku harian, sampai saat ini. Aku juga senang menulis tentang hari-hariku, jadi kurasa, hal itu menurun dari Papa.

Sudah beberapa hari ini aku tidak mengobrol dengan Papa. Padahal dulu hal itu rasanya natural sekali. Sangat natural sampai-sampai rasanya dadaku sesak karena tidak mengobrol dengan beliau. Papa tidak setuju jika aku melanjutkan studi diluar negeri.

“Banyak universitas lokal yang memiliki pendidikan yang bagus.” Komentar beliau. “Papa mengizinkan kamu untuk kuliah diluar kota, diluar provinsi, atau diluar pulau. Tapi untuk diluar negeri, Papa menentang hal itu.”

Aku menghela napas. Aku tahu banyak universitas di Indonesia yang bagus, dan aku mengerti alasan Papa menentang studiku diluar negeri. Aku adalah anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dikeluarga ini. Abangku, Nathan, sudah menikah dan tidak tinggal dirumah ini lagi. Tapi aku ingin merasakan bagaimana rasanya kuliah ditempat dimana atmosfernya benar-benar berbeda dari yang biasanya aku jalani disini. Aku ingin bertemu orang-orang baru dinegara lain, ingin mencoba merasakan tinggal sendiri di apartment atau dorm, dan menjadi lebih mandiri dari diriku yang sekarang. Aku ingin menantang diriku. Dan studi untuk mendapat gelar Master juga tidak lama. Aku menjelaskan hal itu pada Papa, namun beliau tidak mau dengar dan tetap pada pendiriannya. Semenjak itu aku tidak mengobrol dengan Papa. Mengucapkan selamat pagi, dan sapaan serupa masih tetap ada, namun untuk mengobrol lebih banyak sudah tidak lagi kami lakukan beberapa hari ini. Padahal jika dibandingkan dengan biasanya, aku bisa menceritakan apa saja pada Papa. Papa lebih pendiam dibandingkan Mama yang ceria. Namun aku merasa lebih nyaman dan lebih terbuka pada Papa. Aku bahkan tidak tahu kenapa. Mungkin karena kami sama-sama pendiam, kami bisa saling mengerti walaupun tidak mengucapkan sepatah kata. Besok wisudaku, dan aku merasa canggung dengan Papa. Ini tidak bagus, aku akan mencari cara untuk memperbaiki hal ini dengan Papa. 

Aku melihat buku-buku harianku yang lain. Karena aku menulis hampir setiap hari, tumpukan buku harianku juga menjadi banyak. Tumpukan buku berakhir di tiga buku harianku semasa SMA, dengan cover berwarna hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, bermotif garis-garis berwarna merah muda dan yang terakhir berwarna merah muda polos. Semua aku tulis dikelas sepuluh, sebelas, dan dua belas. Karena buku harian semasa aku kuliah, masih kupisahkan ditempat yang lain. Aku membukanya, dan membaca halaman demi halaman. Seketika aku terhanyut kedalamnya dan seolah kembali ke masa-masa putih abu-abu.

Chapter 2: Hari Pertama

14 Juli 2014

Senin, cuaca: cerah☀️

Tidak terasa sudah kelas sebelas saja. Hari ini aku bangun pukul setengah lima pagi (semangat tahun ajaran baru! :D), belajar sebentar, bersiap-siap, sarapan nasi goreng dengan sosis berbentuk gurita (yah, bentuknya sedikit kekanak-kanakan, tapi aku suka). Aku menyandang tas ransel berwarna lilac yang sudah berisi beberapa buku tulis dan binder yang cukup besar untuk mencatat pelajaran hari ini.

Sebenarnya aku ragu dihari pertama sekolah akan langsung belajar, karena masih ada pembagian kelas dan lain-lain. Dan benar saja! Kami tidak belajar dan pulang cepat hari ini.

Ngomong-ngomong, aku masuk dikelas 11 Bahasa 2. Jurusan kesukaanku. Sebenarnya, pembagian kelas serta jurusan ini juga didasari pertimbangan IQ Test yang kami lakukan saat kelas sepuluh kemarin. Hasilnya, tes itu menyarankan agar aku masuk dijurusan IPA. Namun aku telah memohon pada guru Konseling kami, Bu Betty, agar aku dipertimbangkan untuk masuk dijurusan bahasa saja, karena itu jurusan yang sangat aku minati. Aku tahu, nilai-nilaiku di mata pelajaran IPA sangat memuaskan, tapi kalau aku bisa memilih, kenapa tidak?

Aku senang sekali bisa masuk jurusan ini. Teman-teman sekelas juga terlihat baik dan menyenangkan. Setelah perkenalan sebentar dengan wali kelas dan teman-teman, kami diperbolehkan untuk istirahat, lalu pulang.

Oh ya, ada satu cowok yang menarik perhatianku. Kurasa dia berada dijurusan IPS. Aku tidak terlalu memperhatikan karena: 1) memperhatikan cowok-cowok memang bukan kebiasaanku; 2) sekolahku memiliki sembilan kelas untuk tiap angkatannya, jadi, ya begitulah.

Ngomong-ngomong tentang cowok tadi, aku rasa aku pernah melihatnya beberapa kali saat kami masih kelas sepuluh. Aku memperhatikannya karena ia yang pertama kali menatapku saat aku dan Wulan (teman pertamaku dikelas) makan soto di kantin. Rambut cowok itu sedikit panjang, wajahnya bersih dengan hidung mancung dan bibir tipis. Ia makan dengan teman-temannya, yang diantaranya adalah teman sekelasku waktu kelas sepuluh, Erik. Tubuh cowok itu sedikit kurus dan tinggi, kancing paling atas kemejanya sengaja tidak dikancing dan lengan baju yang panjang dilipat hingga dibawah siku. Ia menatapku dengan... Bagaimana cara menjelaskannya, ya? Intens, tapi ia juga menanggapi obrolan teman-temannya. Gawat, aku jadi penasaran dengan cowok itu. Mungkin besok aku akan mencari tahu tentang cowok itu?

Lalu tidak banyak yang terjadi di sisa hari ini. Sore tadi aku dan Papa ke toko buku untuk menambah koleksi bacaan kami, hehe. See you tomorrow! ^,^

***

Berbalik 180 derajat dengan catatan dibuku harianku, hari ini aku datang nyaris saat bel berbunyi. Setelah melihat kalender di ruang tengah, aku bingung, lalu aku berpikir aku hanya bermimpi. Jadi aku mencubit diriku sendiri dengan harapan aku bisa bangun setelah itu. Anehnya, mimpi ini tidak berakhir. Aku bahkan meminta Mama untuk mencubitku untuk jaga-jaga apakah cubitanku kurang keras untuk membangunkan seseorang dari mimpi aneh—ralat, mimpi buruk!

Setelah Mama mencubit dengan kuat, aku masih belum bisa mencerna apapun dari hal yang kualami saat ini. Namun Mama sudah menyeretku untuk mandi dan bersiap-siap. Efek dari kebingungan ini adalah aku jadi bersiap-siap lebih lama lantaran harus melamun sembari berpikir keras kenapa hal ini bisa terjadi.

Semalam, aku membaca buku harianku dan tidur sesudah larut malam, sehingga hal-hal yang seharusnya aku alami hari ini masih teringat jelas di kepalaku. Aku mengintip kedalam tas lilac yang aku sandang saat ini. Benar, aku membawa beberapa buku tulis dan satu binder yang berukuran cukup besar. Aku merasa darah diwajahku seakan disedot entah kemana.

“Kamu kenapa, Ra? Wajahmu pucat. Apa kamu sakit perut? Atau sedang tidak enak badan?” Papa bertanya dengan khawatir. Beliau pasti melihat wajahku yang memucat karena kaget.

Aku memaksakan senyum. “Aku baik-baik aja, Pa. Hanya sedikit pusing.” Aku merasa sedikit senang bisa mengobrol tanpa canggung dengan Papa.

“Apa kamu mau izin saja untuk hari ini? Papa bisa menulis surat dan mengirimkan kesekolahmu nanti.”

Tawaran yang menarik, tapi aku ingin tahu apakah sisa hari ini akan sama dengan apa yang sudah aku tulis dibuku harianku. Minus keterlambatan ini, tentu saja.

“Nggak usah, Pa. Aku sudah merasa lebih baik sekarang.” Jawabku mantap.

“Baiklah, kalau begitu. Apa kamu mau kita berhenti ke apotek dulu untuk membeli obat? Untuk jaga-jaga jika pusingnya kembali.” tawar Papa.

“Nggak, Pa. Aku sudah merasa lebih baik. Lagipula, kalau kita singgah ke suatu tempat, aku khawatir kalau Papa nanti terlambat.”

Papa tersenyum. “Ya sudah. Sekolahmu juga sudah dekat.”

Beberapa saat kemudian, mobil Jeep Papa mendekati gerbang SMA Pelita Bangsa. Aku menahan napas. Masih persis seperti bagaimana aku mengingat sekolah ini—pagar dan gerbangnya yang berdiri kokoh berwarna beige, gedung-gedung kelas yang besar berwarna senada serta pohon-pohon yang rimbun yang membuat sekolah ini terasa sejuk. Jika bukan kejadian ini, aku pasti girang sekali saat kembali ke sekolah. Aku ditahun 2014 memang senang sekali saat menginjakkan kaki ditahun ajaran baru ini.

Aku menunduk melihat seragamku. Bahkan rasanya sudah lama sekali saat terakhir kali aku mengenakannya. Blus putih, dasi berbentuk pita berwarna abu-abu dengan les hitam, rok bermotif gingham yang berwarna senada dengan dasi, blazer berwarna abu-abu gelap, serta sneakers Converse berwarna putih. Orang-orang yang melihat seragam sekolah kami, pasti berpikir bahwa seragam kami lebih mirip dengan seragam sekolah di Jepang atau Korea. SMA Pelita Bangsa memang salah satu SMA swasta yang terbaik di pulau Sumatera, dan masuk peringkat sepuluh besar terbaik diseluruh Indonesia. Bekerja sama dengan banyak yayasan diseluruh dunia, kualitas pendidikan sekolah dan juga fasilitasnya tidak main-main. Gedung-gedungnya mirip dengan sekolah yang biasa kita lihat di drama Korea. Kalian pernah nonton drama Korea Extraordinary You? Nah, gedung sekolah kami bisa dikatakan cantik seperti itu. Gymnasium indoor, kolam renang indoor, perpustakaan yang bagus, ruang laboratorium yang peralatannya lengkap, dll. Pokoknya fasilitasnya sangat oke. Oleh karena itu walaupun ditiap angkatan ada sembilan kelas, jumlah murid ditiap kelasnya paling banyak hanya 25 orang saja. Biaya bersekolah disini juga tidak murah, tapi dengan kualitas yang sudah pasti diacungi jempol, uang yang sudah dihabiskan untuk bersekolah disini rasanya sepadan.

Aku mencoba memejamkan mataku lagi. Berharap aku bisa tiba-tiba bangun dari mimpi buruk ini dan bersiap untuk persiapan wisuda.

“Good morning, Ra!” Tiba-tiba Mitchi sudah berada di sampingku. “Kamu kenapa berdiri disini?” Mitchi adalah teman sekelasku saat kelas sepuluh. Awalnya kami tidak akrab, hanya sekadar saling menyapa. Tapi karena pernah satu kelompok dalam suatu tugas fisika, kami menjadi dekat. Ternyata fisika, mata pelajaran yang paling tidak kusukai itu, bisa mendekatkanku dengan seseorang yang luar biasa baik.

Mitchi selalu datang saat bel nyaris berbunyi. Alasannya, karena rumahnya jauh.

Aku memejamkan mata lagi. “Aku mencoba untuk bangun.” Jawabku jujur. “Ayolah, bangun. Bangun!”

Mitchi menyemburkan tawa. “Pasti ada yang salah, Ra. Biasanya kamu selalu datang setengah jam lebih awal. Jadi aku tidak percaya bahwa memang kamu yang berdiri disini. Ayo, cepat masuk. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Kamu tidak mau kan Bu Peni datang dan menghukum kita?”

Seketika mataku terbuka. Tentu saja aku tidak mau dihukum oleh Bu Peni, guru kesiswaan yang paling killer sepanjang masa. Saat aku celingukan, aku melihat sosok kecil Bu Peni (jangan salah mengira dengan berbadan kecil, Bu Peni adalah guru yang lemah lembut, bahkan sebaliknya!) sedang berjalan kearah gerbang. “Ayo, Mitchi.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!