Gedung hotel Permata yang berada di lantai 3 itu dipenuhi banyak orang yang ingin menyaksikan pernikahan antara Gavin Ilham dan Hanna Maria.
Gavin adalah seorang Arsitek yang bekerja di PT. INDO GRAFIS di bawah pimpinan pengusaha kaya bernama Buana. Usianya masih 27 tahun, namun tak dipungkiri jika keahliannya di bidang oret-oret gambar bangunan melejit pesat di PT tersebut. Ia dinobatkan sebagai salah satu pemuda berbakat yang dimiliki oleh PT tersebut.
Wanita yang beruntung menikah dengannya adalah Hanna Maria. Berusia 25 tahun yang kini berprofesi sebagai guru SD di salah satu sekolah dasar negeri kota tersebut. Dia adalah wanita yang sangat cantik dengan rambutnya yang panjang, hitam dan agak bergelombang. Tingginya sekitar 150centimeter. Mungil dan senyumnya selalu menunjukkan lesung pipit indah di kedua pipinya.
Banyak wanita rekan kerja Gavin yang iri dengan wanita itu. Apa karena dia cantik dia bisa mendapatkan Gavin? Jika hanya cantik, tentunya mereka pun sama. Bahkan lebih cantik malah. Tubuh mereka molek, dan mereka selalu menggunakan riasan tebal di wajah. Tak seperti Hana yang selalu memakai make up natural dan berpakaian sederhana. Tak se waah yang mereka kenakan. Sayang, mereka semua harus menggigit jari karena tak bisa meluluhkan hati Gavin.
Saat acara sakral selesai, Gavin menghampiri beberapa rekan kerjanya sekaligus rekan kerja ayahnya. Hanna tak ikut, dan wanita itu memilih menikmati minuman sendirian di pojokan.
Tubuhnya lelah. Ingin rasanya dia mengakhiri acara itu lalu merebahkan diri diranjang yang sudah ia dan Gavin siapkan di salah satu kamar sebelum acara pernikahan.
"Kepalaku sakit sekali." Hanna meletakkan minumannya di atas meja lalu memijat kepalanya yang berdenyut.
Rasa sakit yang akhir-akhir ini sering ia derita sepertinya kambuh lagi di saat yang tak tepat.
Ia pun memutuskan pergi dari gedung untuk kembali ke kamar.
"Kalau dibuat rebahan pasti sembuh."
Langkahnya terhenti ketika pusing semakin melanda. Matanya seperti berputar-putar.
Padahal tinggal beberapa meter lagi dia akan sampai di kamarnya.
Tubuhnya pun mulai lemas dan ia pun jatuh. Kesadarannya masih ada ketika ia melihat tangan seseorang menerima tubuhnya. Hanya saja dia tak bisa mengenali wajah orang tersebut karena ia sudah lebih dulu pingsan.
**
"Selamat atas pernikahanmu, Gavin. Aku tadi lihat istrimu sangat cantik. Jaga dia, jangan sampai aku merebutnya, haha!"
Mendengar candaan dari rekan kerjanya itu, Gavin pun ikut tertawa dan menyampaikan celetukannya yang berupa ancaman.
"Aku pasti akan menghajarmu kalau sampai kau merebutnya dariku!"
Tawa mereka kembali membahana hingga akhirnya Gavin sadar bahwa ia telah meninggalkan Hana cukup lama.
"Nikmati makanannya, aku akan menemui istriku dulu."
"Ya, Gavin. Lanjutkan acaramu!"
Gavin meninggalkan mereka.
Ia mengedarkan pandang ke sana kemari ketika ia tak menemukan keberadaan Hana di tempat sebelumnya.
"Gina, apa kau lihat Hana?" tanya Gavin pada adik perempuan yang sedang menikmati makanan bersama teman-temannya.
"Nggal liat Kak. Apa mungkin di kamar mandi?"
"Oh, mungkin saja. Aku akan cari dia di sana."
Gavin meninggalkan Gina yang kembali mengobrol dengan beberapa kawannya.
Di setiap orang berkumpul dalam gedung Gavin lihat, dan nihil, tak ada istrinya di antara mereka.
Maka kini kamar mandi lah yang jadi tujuannya. Kamar mandi terletak di luar gedung. Saat ia sampai di sana ia memanggil-manggil nama Hana, namun tak ada sahutan.
"Pak Satpam, bisa bantu aku?" ia melambai pada seorang satpam yang kebetulan berjalan ke arahnya.
"Ia Pak Gavin. Ada yang bisa saya bantu?"
"Bantu cari istriku. Sepertinya dia tersesat di hotel ini."
"Oh, baiklah."
Mereka berdua mencari keberadaan Hana yang entah dimana sekarang. Gavin berjalan menuju kamar nya karena memang itulah tempat dia dan Hana akan melangsungkan malam pertama.
Di pikiran Gavin, mungkin Hana lelah dan tiduran di kamar mereka.
Sebelum ia sampai di kamarnya, ia melihat kamar Kelvin yang agak terbuka sedikit.
Kamar sahabatnya itu berada tak jauh dari kamar miliknya, mengingat Kelvin baru datang dari luar kota dan ia langsung memesan satu kamar di hotel ini sesuai permintaan dari Gavin.
"Mungkin Kelvin tahu dimana Hana sekarang."
Mengingat dulu Kelvin cukup dekat dengan Hana. Sebelum Hana mengenal dirinya, ia lebih dulu mengenal Kelvin. Kelvin adalah teman Gavin yang disukai oleh Gina. Gavin tahu itu.
Tapi, Gavin juga tahu kalau Kelvin menyukai seseorang dan cinta adiknya bertepuk sebelah tangan.
Dan baru-baru ini, dia mengetahui bahwa saat itu yang Kelvin cintai adalah Hana. Wanita yang kini menjadi istri sahnya.
Entah bagaimana ceritanya Hana dan Kelvin tidak bersatu. Gavin tak terlalu mengurusi urusan mereka. Yang penting pada kenyataannya dia tak merebut Hana dari Kelvin. Dan kata Kelvin sendiri dirinya ikhlas jika Hana menikah dengan Gavin. Maka menikahlah mereka hari ini setelah menjalin kasih selama enam bulan.
Langkah kaki Gavin terhenti ketika dirinya melihat ada seseorang bergaun putih berbaring di ranjang milik Kelvin. Ia hanya melihat kakinya saja, tapi dia sangat mengenali gaun yang dikenakan oleh wanita tersebut.
Sebulan yang lalu dia yang telah membeli gaun itu untuk dikenakan Hana saat pernikahan.
Gavin membulatkan mata menyadari bahwa wanita yang berbaring di ranjang Kelvin benar-benar Hana.
Sementara Kelvin duduk di sebelah Hana dan nampak sedang memegangi dahi istri Gavin tersebut.
Mengerang hati Gavin. Ia rapatkan kepalan tangannya menahan amarah.
"Baru beberapa jam kau jadi istriku, kau sudah menunjukkan sifat aslimu?" katanya geram.
Matanya berapi-api memandang mereka berdua yang jaraknya begitu dekat.
"Pak Gavin, Anda baik-baik saja?"
Gavin tersentak dengan sapaan satpam yang tadi membantunya mencari Hana. Ia mengusap matanya yang ternyata berair.
"Iya, aku baik-baik saja. Aku sudah menemukan istriku. Jadi, terima kasih karena kau sudah membantuku mencarinya!"
'Sama-sama Pak. Kalau begitu aku pamit dulu."
Gavin mengangguk sebagai responnya.
Lagi ia memandang Hana dengan tatapan nyalang, sementara Kelvin tak menyadari keberadaan Gavin di balik pintu kamarnya.
Dengan terpaksa Gavin membalikkan badan, tak kuasa melihat pemandangan yang meremas hatinya hingga terasa sakit begini. Ia kembali ke gedung dan meminta maaf pada semua yang ingin bertemu dengan Hana. Ia mengatakan jika Hana istirahat di dalam kamarnya karena dia sedang tak enak badan.
Acara resepsi selesai tanpa Hana di sebelah Gavin. Semua tamu pulang, begitupun kedua orang tuanya dan adiknya.
Orang tua Hana mendatangi dirinya.
"Apa Hana baik-baik saja, Gav?" tanya ibu Hana.
"Iya, Ma. Katanya dia agak pusing, jadi dia istirahat di kamar dan tak mau diganggu siapapun."
"Oh begitu. Mungkin dia kelelahan karena mengurus pernikahan kalian berdua. Kalau begitu mama dan papa pamit pulang dulu ya. Sekali lagi selamat atas pernikahan kalian, semoga rumah tangga kalian langgeng tanpa masalah satupun."
Gavin hanya mengangguk sembari melebarkan senyum palsunya.
"Langgeng? Bahkan anak kalian yang telah merusak rumah tangga ini di hari pertama pernikahan." Kata Gavin setelah kedua orang tua Hana meninggalkan dirinya.
Hanna mengerjab. Tangannya bergerak memegang dahi lalu memicing merasakan denyut sakit di sana.
"Na, kau baik-baik saja?"
Suara itu membuat Hanna membuka matanya dengan sempurna.
"Kelvin? Kenapa kau ada di sini?Dimana aku?"
Hanna mulai mengangkat tubuhnya dan bersandar. Ia baru menyadari bahwa ia sedang tak berada di kamarnya sendiri.
"Kau tadi pingsan. Kebetulan aku ada di belakangmu, jadi aku bawa kau ke kamarku karena aku nggak tahu dimana kamarmu!"
Barulah ia ingat tentang dirinya yang pingsan dan seseorang membantunya tadi.
Ternyata seseorang itu adalah Kelvin.
"Apa Gavin tahu aku ada di sini?"
Kelvin menggelengkan kepalanya.
"Melihat keadaanmu, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian. Tapi sekarang kau sudah sadar, jadi aku akan memanggilkan Gavin supaya menjemputmu!"
Kelvin hendak berdiri ketika Hanna menahannya.
"Aku akan kembali ke resepsi. Mungkin sekarang mereka sedang mengkhawatirkan aku."
"Kalau begitu, aku akan menemanimu!"
Mereka berdua keluar dari kamar yang pintunya tak tertutup sempurna itu.
Hanna berjalan lebih dulu sementara Kelvin setia berada di belakangnya.
Ia berjaga-jaga jikalau Hanna jatuh lagi seperti tadi. Langkahnya saja masih seperti orang mabuk dan siap jatuh kapan saja. Tapi sepertinya ia tetap berusaha berjalan supaya bisa segera bertemu suaminya.
Sampai di hall tempat resepsi, Hanna sudah tak menemui satu orang pun yang ia kenal. Yang ada hanya karyawan hotel yang tengah beberes membersihkan bekas resepsi.
"Apa semua sudah pulang?" tanyanya pada salah satu karyawan hotel yang berjalan melewatinya.
"Sudah satu jam yang lalu, Nona."
Betapa terkejutnya dia kalau resepsi berakhir sejam lalu.
'Berapa lama aku pingsan?'
Pikirannya langsung mengajaknya ke kamar pengantin. Dia yakin Gavin ada di sana dan khawatir akan keberadaannya.
"Kel, makasih ya udah bantu aku. Aku baik-baik saja sekarang. Kembalilah ke kamarmu, dan aku akan kembali ke kamarku. Gavin pasti panik mencariku."
"Santai saja. Aku akan pastikan kau sampai di kamarmu dengan selamat!"
"Tapi-"
"Jalan saja. Kasihan, Gavin pasti ingin segera bertemu denganmu!"
Tak enak menolak permintaan Kelvin yang tulus membantunya. Maka Hanna pun berjalan lebih dulu menuju ke kamarnya.
Ternyata kamar Hanna melewati kamarnya. Kelvin jadi tak enak hati lantaran tadi ia membawa Hanna ke kamarnya, bukannya memanggilkan Gavin agar membawa istrinya ke kamar mereka sendiri.
"Aku sudah sampai di kamarku. Makasih ya, Kel!"
"Sama-sama, Na. Jaga diri baik-baik, dan selamat atas pernikahan kalian berdua."
Hanna merespon dengan senyuman dan lambaian tangan ketika Kelvin berbalik meninggalkan dirinya.
Ceklek
Hanna mendorong pelan pintu kamarnya dan melihat Gavin duduk di tepi ranjang sambil menautkan dua tangan di atas pangkuan.
Ia pun tersenyum melihat suami tampannya menunggu dirinya di sana.
"Gav, maafkan aku membuatmu menunggu. Aku tadi-"
"Melarikan diri dari resepsi dan berada di ruangan lain?" sahut Gavin penuh amarah.
"Gav?" kedua alis Hanna menaut bingung. "Kepalaku pusing tadi, dan aku-"
"Cukup. Aku sudah muak dengan dramamu."
Gavin melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher.
Dengan gerakan cepat, Hana meraih dasi itu namun Gavin menepis tangan istrinya.
"Kau ini kenapa, Gav, aku hanya mau membantumu!"
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri."
Karena sambil marah, Gavin tak segera membuat simpulan dasinya lepas. Malah semakin terikat erat dan mencekik leher.
Gegas ia menuju ke meja, meraih gunting lalu memotong dasi tersebut jadi dua.
Hanna terkejut akan sikap yang Gavin tunjukan padanya itu.
'Aku telah membuat dia marah karena meninggalkan resepsi tanpa pamit tadi.' Batin Hanna menyesali perbuatannya.
Gavin berada di dalam kamar mandi kurang lebih setengah jam. Cemas Hanna menunggu suaminya itu sampai-sampai dia lupa jika denyut di kepalanya masih terasa.
Setelah Gavin keluar, barulah Hanna mendekatinya.
"Aku sudah siapkan baju tidurmu di atas ranjang."
Hanna berusaha seramah mungkin bicara dengan Gavin. Karena sepertinya suaminya itu belum mood untuk bicara dengannya.
Arah mata Gavin tertuju pada sepasang pakaian tidur berwarna biru berbahan satin.
Ia gosok rambutnya yang basah dengan handuk lalu ia berjalan ke arah lemari melewati Hana tanpa kata.
"Apa kau tidak suka dengan baju yang aku pilihkan? Itu baju yang kita beli di mol waktu itu, Gav."
Tak ada jawaban dari Gavin. Menoleh pun tidak. Ia sibuk memilah tumpukan baju yang kemarin ditata oleh pelayan rumahnya.
Saat melihat Gavin menarik kaos warna merah maron serta celana jins hitam, Hanna kembali merespon dengan sebuah pertanyaan.
"Gav, apa kau akan keluar? Kau mau mengajakku?"
SET
Gavin memandang Hanna dengan pandangan tajam.
Seketika Hana membeku ditatap oleh Gavin.
"A-ada apa?" tangannya bergerak memegang dada dengan gestur ketakutan.
"Kau pasti lelah. Tidur saja dan jangan lempari aku dengan pertanyaan konyolmu!"
'Konyol?'
Hanna tak tahu dimana konyolnya pertanyaan yang dia layangkan pada Gavin. Dan sungguh dia bingung, apa karena dia meninggalkan resepsi pernikahan Gavin jadi marah seperti ini.
Sebelumnya Hanna berpikir jika Gavin khawatir atas hilangnya dia selama beberapa saat saat resepsi.
"Maaf kalau kau marah karena aku meninggalkan resepsi. Aku sangat pusing tadi-"
"Cukup!" Gavin mendorong tubuh Hanna hingga ia terjatuh di atas renjang tidur mereka yang bertabur kelopak mawar merah.
Kemudian Gavin mengambil pakaiannya dan memakainya tepat di hadapan Hanna.
Hanna tertegun melihat tubuh Gavin untuk pertama kalinya. Kenyal dan seksi. Sixpack di bagian perutnya begitu menggoda dirinya sebagai wanita normal.
Gavin juga tak malu sama sekali ketika dia harus mengganti pakaiannya di depan sang istri. Padahal ini pertama kali bagi mereka satu kamar dalam keadaan Gavin yang bertelanjang dada selesai mandi.
"Kau mau kemana?" Hanna tersadar dari lamunannya ketika Gavin mengambil jaket dan membalutkannya ke tubuh kekarnya.
Tak ada jawaban dari Gavin, Hanna segera mengambil sepatu yang akan Gavin kenakan.
Segera Gavin menyahut sepatu itu lalu memakainya lengkap di kedua kakinya.
"Gav, setidaknya jawab dulu pertanyaanku!"
Hanna berlari mencincingkan gaunnya hingga ke pintu. Tapi Gavin tetap meninggalkannya.
Hanna hanya membisu tanpa mengerti kenapa Gavin sedemikian marahnya padanya.
Selepas mengganti gaun pengantinnya dengan baju tidur yang longgar, Hanna duduk di tepi ranjang memandangi kelopak bungan mawar yang harusnya jadi saksi bisu cinta mereka berdua.
Harusnya kamar itu kini penuh dengan kenikmatan yang semula dia bayangkan, serta canda tawa kecil yang mungkin akan tercipta malam itu.
Tapi semua hanya angan. Kamar berdinding putih itu terasa sepi tanpa Gavin.
Hanna menelusuri sprei dengan tangannya, lalu melihat ke arah jam digital yang tersimpan di atas meja,
"Ini sudah pukul 11 malam, Gav. Kau dimana?"
Lagi Hanna menelpon Gavin untuk kesekian kali, namun ponsel suaminya itu tidak aktif sejak tadi.
"Pulanglah, Gav." Air mata Hanna meleleh seketika membasahi pipi.
"Kamu gimana sih, Han. Harusnya ini malam pertama kalian, tapi kamu malah membuat abangku minggat?!"
"Bukan gitu, Gin. Aku sungguh nggak tau kenapa Gavin tiba-tiba marah sama aku. Dia tiba-tiba nggak mau dengar apa yang mau aku katakan, dia-"
"Cukup. Aku yakin kak Gavin pergi karena kau telah mengecewakan dia. Ini semua salah kamu Han. Nggak ada suami yang pergi ketika malam pertama dengan istrinya. Kamu pasti yang salah. Atau mungkin kamu udah nggak perawan lagi. Dasar, ******!"
Tut tut tut
Hanna memandang ponselnya yang kembali ke beranda setelah Gina menutup panggilannya secara sepihak.
"******? Aku nggak seperti itu, Gin." Ucapnya jelas tak bisa di dengar oleh Gina.
Kesalah pahaman ini semakin menjalar kemana-mana. Hanna menyesal karena telah menghubungi Gina malam ini. Harusnya dia diam saja dan menunggu. Ia yakin Gavin akan pulang menemuinya lagi besok, jika malam ini ia tak pulang.
"Aku kurang bersabar menunggu Gavin pulang." Ia merutuki dirinya sendiri dengan gestur cemas.
Dua hari kemudian, Gavin tetap tak menampakkan dirinya di hadapan Hanna. Semakin cemas Hanna menunggu di hotel.
Ponselnya pun tetap tidak aktif. Hanna sempat menelpon Kelvin dan menanyakan keberadaan Gavin dengan pertanyaan yang tak mencurigakan. Dan ia menuai kekecewan lagi lantaran Gavin tak masuk kerja dua hari ini. Dirinya baru ingat kalau Gavin sudah ambil cuti kerja selama satu pekan untuk pernikahan mereka.
Terpaksa Hanna memutuskan untuk pulang ke rumah mertuanya. Dia sudah siap menerima kemarahan adik iparnya, tapi tetap berharap mertuanya tak tahu menahu perihal permasalahannya dengan Gavin.
Sampai di sana, asisten rumah tangga keluarga Gavin datang membukakan pintu untuknya.
"Non Hanna. Mari silakan masuk. Pucat sekali wajahnya."
Hanna hanya tersenyum.
"Bik, apa Gavin pulang ke rumah hari ini?" tanyanya dengan suara pelan, seolah tak ingin ada orang lain yang mendengar pertanyaannya itu.
"Ada. Ada di kamarnya sekarang. Dua hari ini selalu pulang pagi dan mabuk, Non. Apa nggak bilang sama Non?"
Hati Hanna bergemuruh mendengar jawaban dari si asisten rumah tangga.
"Makasih ya Bik, aku langsung ke atas aja."
"Iya, Non."
Hanna segera naik ke lantai dua menuju kamar Gavin.
Sampai di sana ia dihadapkan oleh Gina yang sudah memandangnya penuh benci.
"Aku kecewa karena kamu telah membuat hari pernikahan kakakku menjadi hari terburuk baginya, Han."
"Gin, aku harus menemui Gavin dan menjelaskan semuanya. Permisi!"
Saat Hanna melangkah, Gina mencengkeram lengannya lalu menamparnya.
Plak
"Kebencianku ke kamu sempat hilang karena kakakku begitu mencintai kamu, pun dengan kamu yang cinta kakakku. Tapi sepertinya aku salah menduga. Kau memanfaatkan kakakku untuk kepentingan kamu sendiri. Kau hanya ingin menjauhi Kelvin saja kan?"
Hanna memegang pipinya yang nyeri setelah ditampar oleh Gina. Ia menggeleng pelan tak membenarkan tuduhan Gina terhadap dirinya.
Dia dan Gina sempat bersitegang hanya karena Kelvin yang menyukai Hanna, dan Hanna pun menyukai Kelvin. Namun, Gina juga mencintai pria itu sehingga Hanna memilih mengalah dan menolak Kelvin.
Masalah selesai ketika Hanna bertemu dengan Gavin dan mereka saling mencintai. Akan tetapi, entah karena apa Gavin membenci dirinya di hari pernikahannya membuat Gina membencinya kembali.
"Maafkan aku jika aku salah, Gin. Sekarang izinkan aku menyelesaikan permasalahanku dengan Gavin. Permisi."
Gina mendengus, namun dia tak menghalangi wanita itu masuk ke dalam kamar kakaknya.
Di kamar, Gavin tidur menelungkup dengan selimut berantakan tak sepenuhnya menutup tubuh pria itu. Sebagian jatuh ke lantai berserakan.
Sepasang sepatunya juga tak berada di tempat yang tepat. Satu di kiri ranjang, satu lagi berada satu meter dari salah satunya, jaket tersampir di sofa, serta tas kecil yang sering Gavin bawa teronggok di atas lantai dekat kamar mandi.
Sepertinya Gavin membuang tas tersebut lalu menjatuhkan diri di atas ranjang.
Satu persatu Hanna memunguti barang-barang Gavin dan meletakkan semuanya pada tempatnya.
Ia juga menyelimuti sang suami dengan benar.
Dengan lekat ia pandangi sisi wajah Gavin yang nampak. Kusut dan seperti tak terurus. Berbeda ketika ia di hari pernikahan.
Hanna pun beranjak naik ke ranjang dan merebahkan diri di sebelah Gavin. Ia memiringkan tubuh menghadap ke arah suaminya.
"Harusnya kita bersenang-senang di hari pernikahan kita." Gumamnya pelan.
Hanna mengusap air mata yang tiba-tiba keluar dari kedua matanya.
"Kenapa kau begitu marah padaku? Aku pingsan dan kepalaku sakit Vin, beruntung ada Kelvin yang membantuku, kau bisa bertanya padanya. Lalu, alasan apa yang membuatmu marah seperti ini?"
Cukup lama ia mencurahkan isi hatinya tanpa di dengar oleh Gavin. Tanpa terasa Hanna tertidur pulas di sebelah Gavin sambil melingkarkan tangannya ke pinggan suaminya. Tak peduli pria itu bau alkohol. Bau yang sangat tidak ia sukai.
**
Gavin mengerjab, membuka mata sedikit dan merasakan kepalanya yang berdenyut sakit akibat mabuk semalam.
Sampai-sampai dia tak bisa mengemudi mobilnya sendirian hingga harus diantar pulang oleh salah satu karyawan bar.
Saat ia membuka matanya dengan sempurna, ia melihat Hanna ada di sebelahnya tengah tertidur.
Ia terkejut. Tangan Hanna pun melingkari perutnya.
'Apa aku ada di hotel?'
Seingatnya dia meminta palayan bar mengantarnya ke rumah orang tuanya, bukanya ke hotel.
Setelah mengedarkan pandang, barulah ia menyadari bahwa ia sekarang ada di kamar pribadinya sendiri.
Ia pun melihat wajah Hanna yang teduh sedang tidur pulas di sampingnya.
Ada gejolak di hati Gavin untuk menyentuh sang istri sang sangat ia cintai itu.
Namun...
"Bangun!" Gavin menyentak tubuh Hanna hingga membuat wannita itu membuka mata kaget.
"Vin, kau sudah bangun?"
Gavin beranjak berdiri. Ia hampir terhuyung jatuh, tapi dia memegang sandaran ranjang dengan cepat.
"Aku akan ambilkan kau minuman hangat. Duduklah dulu!"
Gegas Hanna keluar dari kamar menuju ke dapur.
Di sana ia dibantu oleh asisten rumah tangga untuk membuatkan teh jahe.
"Ini, minumlah!"
Prannkk
Hanna terkesiap ketika gelas itu berlari ke lantai dan pecah jadi beberapa bagian setelah ditepis kasar oleh Gavin.
"Vin?"
"Jangan memanggilku dengan mulut kotormu itu!"
Tak tahan lagi dengan sikap Gavin yang membuatnya bingung, Hanna melangkah maju dan memegang bahu suaminya itu.
"Katakan, ada apa? Dengan kau marah seperti ini, kau pikir aku tahu kesalahanku yang membuatmu marah?"
"Kau bisa pikir sendiri kesalahan apa yang telah kau buat."
"Meninggalkan resepsi pernikahan kita. Itu kan, Gav?" tebak Hanna.
"Aku bisa menjelaskannya Gav," Hanna melanjutkan ucapannya setelah tak ada jawaban dari Gavin atas pertanyaannya tadi.
"Aku jijik, jangan menjelaskanya!" Gavin menngangkat tangannya meminta Hanna untuk diam.
'Jijik?' kata itu terginang di kepala Hanna.
Hanna tersenyum miris mendengar itu. Ia berpikir Gavin jijik karena dia telah meninggalkan resepsi saat dia sedang sakit kepala.
"Oh, jijik. Jadi kau menganggap alasanku meninggalkan resepsi itu menjijikkan? Ok, Gavin. Jika memang itu yang kau mau. Sekarang maumu bagaimana?"
"Diamlah dan kita lalui semua ini biasa saja. Sampai aku mau kembali padamu seperti dulu!"
Tanpa berganti baju, Gavin keluar kamar dan membanting pintu kamarnya.
Hanna hanya bisa memandang dan terdiam duduk di tepi ranjang.
Gavin berada di ruang tivi dan merebahkan diri di sana. Gina datang dan menanyakan perihal masalah yang dialami pengantin baru tersebut.
"Kau bisa cerita. Apa yang telah Hanna lakukan sampai kau marah begini, Kak?"
"Tidak ada."
"Kau tidak bisa membohongiku. Apa ini mennyangkut hubungan Hanna dan Kelvin?"
Seketika Gavin memandang Gina dengan tajam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!