NovelToon NovelToon

BAYANGAN MANTAN

1. Cerai Talak

"Menjatuhkan talak satu raj'i Pemohon Arshaka Alfarizi kepada Termohon Badrina Aini ...."

Arshaka Alfarizi dan Badrina Aini telah sah cerai talak di pengadilan agama. Badrina sedari tadi tidak fokus pada kalimat demi kalimat yang dilontarkan ketua majelis hakim.

Jari-jemarinya sesekali bertaut. Badrina mengelap telapak tangannya yang basah oleh keringat. Sayangnya, celana bahannya tidak menyerap sama sekali.

Seorang janda dan duda, itulah status mereka kini. Relasi suami dan istri telah terkubur bersamaan gejolak emosi Arshaka dan Badrina yang menjelma menjadi tekad kuat untuk berpisah.

Akhirnya, tidak akan ada lagi pertengkaran hanya gara-gara Arshaka pulang kantor terlambat akibat terjebak macet. Kini mereka akan menjalani hidup masing-masing.

Beda dengan Arshaka yang fokus mendengar putusan hakim, tatapan Badrina terlihat kosong dan dalam seakan-akan menembus dinding ruang pengadilan agama.

Setelah sidang selesai, Arshaka menghampiri Badrina, ia mengulurkan tangan ingin menjabat mantan istrinya sebagai tanda perpisahan.

Badrina mengamati paras Arshaka yang tersenyum padanya, ia menurunkan pandangan hingga melihat tangan Arshaka telah menjulur.

Badrina terhempas ke masa lalu. Tangan itu dulu memeluknya, menggenggam erat jemarinya saat ia kesakitan melahirkan Cantara Benazir, putri cantik berusia 5 tahun yang sangat mereka cintai. Tangan yang sama pula menopang kesejahteraan keluarga mereka.

Kini usai sudah. Manik Badrina berkaca-kaca, hampir menitik air matanya.

Tidak. Tidak boleh. Harus kuat. Badrina menghembuskan hasutan bagi dirinya sendiri, ia memecut kerapuhan yang melemahkan.

Mama Cantara membalikkan badan, ia keluar dari ruang persidangan tanpa menerima uluran tangan Arshaka yang menggantung di udara.

Badrina mengabaikan tatapan kasihan orang-orang padanya. Ia akan melanjutkan perjalanan hidup tanpa pasangan hidup. Hanya tinggal ia dan putrinya.

Menjelang persidangan ikrar talak, Badrina telah mempersiapkan diri sebagai calon single mom yang akan mengasuh hingga mencari nafkah. Apalagi setelah mendapat relaas atau surat panggilan dari jurusita pengadilan, Badrina makin menguatkan dirinya sendiri.

Namun, entah mengapa ketuk palu hakim begitu berat terdengar baginya? Pundaknya bahkan mencelos saat menyadari kini ia hidup sebagai janda talak.

Apa yang membuat Arshaka dan Badrina bercerai?

Badrina sosok perempuan yang teratur dan rapi, semua aktivitas dapat diatur dengan jadwal dan perencanaan yang matang.

Pada perjalanannya, Badrina kelimpungan dalam melayani anak dan suami. Dirinya berkeinginan agar semua yang dikerjakan teratur dan anggota keluarga menerapkan disiplin.

Mereka memiliki asisten rumah tangga (ART) untuk membantu tugasnya sebagai ibu rumah tangga di samping menjalankan bisnis online yang tengah berkembang. Namun, Badrina merasa kewalahan, tetap ada saja yang kurang.

Karyawannya mengenal Badrina sebagai orang yang perfeksionis. Sulit sekali menerima kesalahan yang tidak perlu. Di sisi lain, Badrina pribadi yang senang membantu orang lain, jiwa sosialnya tinggi. Sangat mudah tergerak untuk memberikan bantuan bila ada karyawan yang sakit, menikah, melahirkan, maupun meninggal.

Menumpuknya kesibukan membuat Badrina lebih tampak seperti bos ketimbang istri dan atau ibu. Ia menghadapi suami dengan kata-kata ketus, itulah menu mereka sehari-hari. Sikap ini mencuat setelah dikaruniai seorang putri, Badrina dan Arshaka malah kerap ribut masalah kecil.

Pada anaknya, Badrina sesekali kelepasan membentak, seperti bila Cantara meminta sesuatu dengan merengek atau menangis. Namun, segera ia meminta maaf hari itu juga atau saat anaknya tidur ia akan merapalkan kata maaf dan afirmasi.

Badrina tidak jahat, ia menyayangi keluarganya. Begitulah cara mencintai yang ia ketahui; menjalankan hidup yang teratur agar ada keseimbangan. Jam sekian begini, selanjutnya harus begitu. Namun, kedisiplinan yang ketat membuat sang suami tidak nyaman setiap kali pulang ke rumah.

Sampai satu waktu Arshaka tidak pulang karena kelelahan bekerja sebagai manajer korporasi perusahaan ternama, ditambah dengan perlakuan istrinya yang menggerutu tak karuan tanpa kenal waktu bahkan di depan anak mereka.

Arshaka menghibur diri dengan menghabiskan malam di sebuah klub, ia mabuk lalu dibawa oleh seorang perempuan ke hotel. Mereka tidak melakukan apapun. Arshaka mabuk berat lalu tertidur.

Sementara, perempuan klub itu meninggalkannya. Ia tidak akan mencari masalah dengan cerita palsu untuk keuntungan pribadi, dirinya masih mau mencari penghasilan tanpa menipu orang lain.

Parfum perempuan yang lengket di pakaian Arshaka saat kembali ke rumah, membangkitkan kecurigaan Badrina dan menuduhnya berselingkuh. Mereka bertengkar lagi dan lagi.

Arshaka berupaya menjelaskan bahwa ia tidak melakukan apapun dengan perempuan itu. Bila perlu menghadirkannya untuk menjelaskan langsung pada Badrina atau menanyakan resepsionis hotel.

"Rina, kamu salah paham," ucap Arshaka kala itu, ia berusaha menjelaskan duduk perkaranya.

Badrina yang telah dikuasai amarah, refleks menampar suaminya. Itu ******* konflik dalam perkawinan mereka.

Arshaka tidak tahan lagi dengan istrinya, ia menggunakan alasan: 'Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.'

Masihkah hati terpaut? Atau egoisme merajai hati? Di sinilah mereka memutuskan mengakhiri pernikahan.

****

Pagi itu, Badrina bangun lebih lama dari biasanya. Perceraian yang diputus beberapa minggu lalu membuat Badrina seakan ingin menikmati waktu untuk dirinya sendiri.

Ia pergi liburan sendiri. Menarik diri dari kepungan masalah dan kesibukan. Bahkan ia meninggalkan anaknya bersama keluarga suaminya tatkala ia pergi berlibur.

Mereka tidak meributkan hak asuh anak. Cantara tetap akan tinggal bersama Badrina karena anak itu masih membutuhkan kasih sayang utuh dari sang ibu.

Badrina merasa telah lama tidak menikmati waktu sendiri, selalu disibukkan dengan aktivitas yang padat setiap hari.

Pergi berlibur setelah perceraian, bukanlah bentuk keegoisan. Ia hanya perlu mulai menarik makna dari kegagalan pernikahannya. Ia perlu belajar untuk lebih mencintai dirinya sendiri.

Mulai dari mana!?

Badrina sendiripun bingung menjawabnya.

Dibilang senang ia senang, dibilang tidak senang ia tidak senang.

Pantai.

Setelah sarapan, Badrina melangkahkan kaki menyusuri bibir pantai. Melihat air laut yang sebentar naik sebentar surut, ia tersenyum. Kondisi itu terlihat seperti dirinya yang naik turun dalam mengelola emosinya.

Namun, perbedaannya air laut mampu memanjakan kaki telanjang Badrina, sementara emosi pasang surut malah memisahkan ia dan suaminya. Miris sekali hidupnya.

Delapan tahun usia pernikahan, dikaruniai putri cantik di tahun ketiga menjadi kebahagiaan buat Badrina dan mantan suami saat itu.

Mereka yakin akan bahagia sepanjang umur hingga maut memisahkan. Namun, ujian hidup tak mampu dipikul kedua anak manusia itu. Pernikahan malah dipandang sebagai beban, sementara tren pikiran mereka semua berhak bahagia.

Ponsel di saku tas kecilnya berdering. Ada panggilan dari tantenya, Poppy Alysa, adik dari papanya yang telah lama berpulang menghadap Sang Khalik.

"Masih lama liburannya? Egois banget! Anakmu sakit. Mantan suamimu tadi menelepon mencarimu." Begitulah nada Poppy berbicara pada keponakannya, ketus. Namun, bagi Badrina, Poppy telah berjasa mengasuhnya dari usianya enam bulan hingga ia melepas masa lajangnya.

"Canta sakit apa, Tante?" Badrina kuatir mendengar putrinya sakit.

"Demam tinggi. Sejak semalam dirawat. Ponselmu baru aktif? Sulit sekali dihubungi." Pagi ini setelah sarapan ponsel Badrina baru diaktifkan, ia mengira semua baik-baik saja. Dirinya hanya ingin tenang berlibur.

Rupanya ia keliru dan merasa bersalah. Ibu macam apa aku!? batin Badrina. Bukan lepas rasa penatnya malah bertambah. Lelah jadi Badrina.

"Ya Tante, maafkan aku."

"Sedari kecil kamu memang merepotkan! Sudah dewasa bukan mengurus suami dan anak dengan baik, malah bercerai! Mau mencari kesempurnaan seperti apa kamu?"

Badrina dicecar tantenya, bukan empati terhadap kasus perceraiannya. Badrina hanya diam. Tantenya tentu saja kesal mengingat motif perceraian mereka disebabkan oleh sikap Badrina. Namun, bukankah itu yang diterima Badrina sedari kecil dari tantenya?

Badrina menepis pemikirannya. Tante Poppy orang baik, bila tidak ada beliau, aku pasti tidak akan hidup seperti saat sekarang. Begitulah Badrina selalu mendoktrin dirinya sendiri.

"Aku akan segera kembali dengan jam penerbangan terdekat, Tante. Tolong kirimkan alamat rumah sakit tempat Cantara dirawat ya, Tante," pinta Badrina sopan.

2. Cantara Sakit

Di sinilah Badrina sekarang. Turun dari taksi, menggeret koper kecilnya, Badrina menuju resepsionis rumah sakit untuk menanyakan kamar anaknya.

Anaknya terbaring di ranjang rumah sakit. Ada mantan suami dan keluarganya juga hadir di sana. Pilu rasa hati Badrina. 5 tahun usia Cantara, baru kali ini ia dirawat di rumah sakit, bahkan tanpa kehadirannya sebagai mama yang mendampingi saat masuk ruang perawatan.

Di ruangan VIP ini hanya ada pasien atas nama anaknya Cantara Benazir. Mantan ibu mertuanya menghampiri dan mengelus pundaknya.

"Cantara sedari semalam mengingau memanggil nama kamu." Badrina mengelus dahi anaknya seakan mentransfer energi pada putrinya.

Mama mertua Badrina sangat ideal bagi seorang menantu. Meskipun telah berpisah dan bukan menantu lagi, mama mertuanya tetap bersikap baik padanya. Ia sangat keibuan.

Inilah yang amat disayangkan Badrina, tidak lagi punya mama mertua sebaik itu. Tapi, namanya pernikahan lebih tentang relasi suami dan istri sementara keluarga yang lain adalah support system.

"Apa sudah ada diagnosa sakitnya, Ma?" Badrina menoleh pada ibu mertuanya, Nuraini.

"Belum. Nanti siang dokter anak akan visit dan menjelaskan penyakitnya."

Badrina sedih melihat kondisi anaknya, diinfus dan dililit plast. Pasti berkali-kali obat sudah diminumkan ke Cantara, pikirnya. Cantara anak yang sulit minum obat karena jarang sakit. Rasa sesal bergemuruh di dadanya. Ia merasa buruk.

Kalaupun Cantara demam, Badrina akan sigap dengan segala minyak urut, air putih, termometer, dan alat kompres. Jangan lupakan, ia ibu yang cekatan.

"Bagaimana kejadian Canta bisa masuk rumah sakit, Ma?" tanya Badrina menoleh pada Nuraini lagi.

"Kemarin sore Canta tiba-tiba demam tinggi, di termometer suhunya 39 derajat. Makin malam malah naik 40 derajat padahal mama sudah kompres dan beri obat penurun demam sedari sore, Mama bilang ke suamimu... eh.. ke papa Canta cepat dibawa ke IGD saja." Nuraini buru-buru mengoreksi ucapannya yang keliru.

Mantan suaminya diam saja di sofa. Tidak ada penjelasan atau respon apapun. Dalam hatinya, Badrina sungguh berubah atau dirinya yang kurang memperhatikan Badrina saat masih menjadi istrinya. Tampaknya ada yang terlewat bagi Arshaka.

****

Menunggu di ruangan yang sama dengan mantan suami membuat Badrina kurang nyaman. Mama Arshaka telah kembali pulang ke rumah untuk istirahat. Seharusnya ini jam dokter visiting pasien. Namun, mungkin ada banyak pasien sehingga Cantara belum mendapat giliran. Lebih baik Badrina memutuskan keluar.

"Aku keluar dulu. Kalau dokternya datang tolong telepon aku." Badrina pamit pada mantan suaminya. Arshaka mengangguk tanpa bersuara.

Badrina memilih berjalan menuju ke kantin rumah sakit. Duduk di kantin ditemani sebotol air mineral terasa lebih nyaman, rasa dahaganya tuntas.

Bila melihat Arshaka, hati Badrina masih kerap sesak. Bagaimana pria itu melontarkan talak padanya. Dengan kata lain, ia tak lagi diinginkan suaminya. Namun, hari ini ia berjumpa dengan suaminya dalam kondisi yang kurang kondusif, anak sakit. Badrina dirundung rasa sedih.

Sejak kecil hidup Badrina tidaklah mudah, dirinya telah ditinggal orang tua. Ayahnya telah berpulang lebih dulu kemudian diikuti oleh ibunya dua tahun kemudian karena henti napas.

Sayangnya, semenjak ayahnya meninggal, Badrina tidak lagi dalam pengasuhan sang ibu melainkan tantenya.

Beban psikologis ditinggal suami membuat ibunya depresi dan berpengaruh pada jantungnya. Ia masih kanak-kanak saat ditinggal. Badrina tidak ingin seperti itu, sehingga ia menata hidupnya dan rumah tangganya sebegitu rapi.

Belum lagi didikan tante Poppy yang keras dan ucapan ketus setiap hari begitu familiar meraung di otaknya, sehingga itu pula yang terbawa sampai saat ia menjadi ibu dan usahawan online.

Meski berbeda kasus dengan ibunya, ditinggal suami tetaplah ditinggal suami. Bedanya ia masih bisa melihat mantan suaminya. Syukurlah, anaknya masih punya ayah.

Matanya berkaca-kaca saat mengenang masa kanak-kanak yang kurang kasih sayang. Berharap suaminya inilah yang bisa menerima kepribadiannya dan menyayanginya. Ya, pernikahan bisa bertahan sampai 3 tahun, setelah itu mereka terseok-seok. Ia merasa ditolak, orang-orang sulit menerima dirinya.

Mengapa kamu menangis lagi Badrina? Kata suara di kepalanya.

Badrina tidak ingin berakhir seperti ibunya, berpulang dalam pelukan depresi. Dan saat itu, sepengetahuan Badrina, dalam keilmuan yang terbatas, membuat kondisi ibunya sulit diterima keluarga ayahnya. Dan menganggap merepotkan hingga akhirnya ibunya pergi dalam posisi duduk di meja makan. Kini kalaupun Badrina dipanggil biarlah dalam kondisi tenang dan damai.

Air matanya makin deras, kala pikirannya dipenuhi oleh gambaran Cantara Benazir. Anak yang kecil itu, apakah ia merasa tertekan selama menjadi anaknya? Apakah kasih sayang Arshaka dan Badrina telah memenuhi cangkir kehidupannya? Atau ia akan menjadi generasi depresi juga?

Badrina mengusap air matanya. Ia sungguh lelah. Tapi ia harus tegak untuk anaknya. Badrina hanya ingin dicintai dan mampu mencintai dengan semestinya.

****

Bunyi notifikasi ke ponselnya membuyarkan refleksi Badrina. Ia mendapat pesan, dokter anak tengah melakukan kunjungan ke ruangan Cantara. Bergegas Badrina ke sana.

Dokter mengatakan diagnosa penyakit anaknya adalah infeksi virus. Trombositnya rendah sehingga perlu dipantau setiap hari dan akan tinggal di RS sampai demam mereda dan trombosit mengalami beberapa kali kenaikan.

Badrina dan Arshaka pasrah dengan apa kata dokter. Menerima dan mengikuti setiap anjuran dokter. Mereka secara bergantian menjaga Cantara. Bila orang melihat, mereka akan menilai keluarga Arshaka bahagia.

Penyebab infeksi virus ada banyak mulai dari kebersihan, imunitas tubuh rendah, ditularkan dari orang lain, dan apa lagi tadi kata dokter. Sehingga lingkungan Cantara mestinya diperhatikan oleh kedua orang tua.

Saat ini, Cantara sudah bangun. Ia tersenyum mendapati ayah dan ibunya bersama.

"Mamaaaa..." Cantara minta dipeluk.

"Mama, dari mana aja? Canta kangen mama." Anaknya terisak menyampaikan isi hatinya.

"Mama udah di sini, deket Canta. Ngga bakal kemana-mana, Sayang." Nada suaranya ceria, untuk memotivasi Cantara. Badrina mengusap kepala anaknya. Sementara, Arshaka tetap menjaga jarak, berdiri dekat sofa.

Canta mengurai pelukan, tapi masih merangkul pinggang mamanya yang berdiri di samping ranjang. Ia memanggil papanya dan juga minta ingin dipeluk.

Ah bagaimana ini!?

Arshaka beranjak dari sofa dan duduk memeluk Canta di sisi sebelah ranjang, sehingga tidak berjumpa wajah dengan sang mantan istri.

"Canta mimpi buruk. Canta sendirian di tengah jalan. Papa mama datang, Canta mau peluk ngga bisa."

Sambil mengingat-ingat, Canta melanjutkan, "Papa mama pergi tapi ngga sama-sama. Arahnya lain. Canta sedih." Canta mulai menangis sesenggukan karena mimpinya serasa nyata.

Badrina dan Arshaka terdiam dengan pikiran masing-masing. Badrina menenangkan anaknya, mengatakan mereka sebagai ayah ibu saat ini bersama Cantara sehingga tidak ada yang perlu dikuatirkan.

Anak mereka harus menanggung akibat dari kurangnya kerjasama mereka sebagai orang tua. Berharap saja sang anak perlahan mengerti masalah orang tuanya atau seharusnya mereka yang belajar mengerti kebutuhan Cantara.

...****************...

3. Pulang ke Rumah

Setelah dirawat selama seminggu Cantara diijinkan pulang ke rumah. Badrina mengemasi barang dan pakaian anaknya, sementara Arshaka menyelesaikan administrasi rumah sakit.

Selama seminggu perawatan di rumah sakit Badrina dan Arshaka mencurahkan kasih sayang dan melupakan masalah yang pernah membelit hubungan mereka.

Menyuapi makan Cantara, mengelap tubuh, menceritakan isi buku, menemani tidur dan beberapa bentuk kasih sayang lain ditunjukkan oleh mereka sebagai orang tua.

Arshaka dan Badrina tidak banyak bicara, masing-masing menahan diri. Bila perlu bicara, hanya seperlunya terkait kebutuhan Cantara.

Saat akan pulang dari rumah sakit, Arshaka menyampaikan pada Cantara bahwa ia akan pulang bersama mamanya.

"Papa mau ke mana, ngga pulang juga?" tanya Cantara.

Arshaka kelabakan mau menjawab pertanyaan putrinya. Pasti ke depan akan banyak sekali pertanyaan lainnya.

"Papa ada pekerjaan sayang." Jawaban itu berasal dari Badrina.

"Berarti nanti pulang ke rumah?"

Ini jawaban yang sulit untuk dijawab oleh mereka.

Badrina hanya bisa mengganti topik pembicaraan agar mereka bisa segera teralihkan dari pertanyaan Cantara.

Sebelumnya, Arshaka berniat mengantar kepulangan Cantara dan mamanya ke rumah. Namun, Badrina menolak dan mengatakan akan pulang naik taksi saja. Arshaka tidak memaksakan diri. Ia akan kembali ke kantor setelah dari rumah sakit.

Kini, Badrina dan putrinya tiba di rumah. Rumah yang diserahkan oleh mantan suami untuk ditempati anaknya. Badrina turut tinggal di sana.

"Canta, senang pulang, Nak?" Turun dari taksi Badrina menggenggam tangan anaknya.

"Iya mama senang." Canta senyum memperlihatkan barisan gigi susunya yang rapi.

Badrina mengajak anaknya menuju ke kamar, mengganti pakaian, mencuci tangan dan kaki lalu naik ke ranjang.

Mereka berdua duduk menyender di ranjang kamar. Cantara senang bisa memeluk mamanya seperti saat ini.

"Canta sayang papa dan mama," ujarnya tersenyum.

Kepolosan Cantara membuat air mata Badrina lolos begitu saja. Sesak saja terasa di dadanya mendengar kejujuran sang anak.

"Mama sama papa juga sayang Canta. Bobok dulu ya. Canta capek?" Cantara mengangguk patuh.

"Nanti sore kita jalan-jalan di sekitar rumah. Kalau udah sehat, bisa jalan-jalan ke mall." Badrina tersenyum menyemangati putri kesayangannya.

Kesempatan luang ini digunakan Badrina untuk masuk ke dalam kamar pribadinya. Ia perlu menyusun rencana untuk hidup ke depan, juga bagaimana menghadapi anaknya yang pasti akan menanyakan ada apa dengan papa dan mamanya, kenapa berlainan tempat tinggal.

Badrina tidak bisa menangisi takdir hidupnya terus-menerus. Bukankah itu yang direfleksikannya saat liburan yang terputus lalu?

Dimana pun ia merenung, tidak masalah, lokasinya di mana yang terpenting hatinya merasa nyaman. Kamar tidurnya pun cukup memberi rasa itu, ditambah ada Cantara di dekatnya.

Perenungan diri Badrina bukan pertama-tama tentang anaknya, melainkan tentang dirinya sendiri yang mudah tersulut emosi selama menjadi orang tua.

Badrina mengambil posisi dekat jendela, duduk sambil membaca sebuah buku yang diberikan oleh seorang pria saat liburan lalu. Pria rekan kerja ayahnya Cantara, seorang manajer operasional di perusahaan yang sama dengan mantan suaminya.

Pria itu tahu dengan permasalahan rumah tangga Arshaka. Bukan motif ekonomi melainkan ada kebutuhan emosi Badrina yang belum terpenuhi di masa lalu yang kemudian hadir di hari ini terutama saat ia merasa di bawah tekanan. Pria itu menyebut inner child Badrina yang terluka.

"Ketepatan kita ketemu di sini, Aini." Itu panggilan masa kecil Badrina. Mereka teman sewaktu Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setelah itu mereka pisah kota karena pekerjaan orang tua, hingga akhirnya berjumpa kembali saat telah menjadi rekan kerja ayah Cantara.

"Hai, Danish. Kunjungan kerja atau liburan?"

"Dua-duanya," jawabnya.

Danish Danial nama pria itu. Pria tampan tak kalah dari ayahnya Cantara. Ia lebih muda dua tahun dari ayah Cantara, seumuran Badrina. Danish belum menikah meski telah masuk kepala tiga. Ia betah sendiri sampai nanti berjodoh dengan orang yang tepat.

Biasanya perjumpaan mereka tanpa disengaja. Bila Badrina berkunjung ke kantor mantan suaminya, sesekali tatap muka dengan Danish. Tidak ada yang istimewa dari komunikasi mereka selama ini.

Dua hari liburan mereka jadi teman berbincang. Badrina membuka kembali masa lalu yang keras. Percakapan itu dipancing oleh Danish. Bagi Danish, Badrina membutuhkan teman bicara. Ia hanya mendengar semua cerita Badrina tanpa menasihati.

Sesenggukan Badrina menceritakan kesulitannya untuk mengelola emosi saat dekat dengan suaminya, terutama setelah memiliki anak. Danish merasa berempati terhadap apa yang dilalui Badrina.

Sebelum permohonan cerai talak dilayangkan temannya, Danish telah mengingatkan agar Arshaka dapat melihat problem dari sisi Badrina, tentang masa lalu, kebutuhan yang belum terpenuhi, tentang temperamen, dan perasaan Badrina.

Namun, Arshaka kelewat kesal dan saran Danish hanya akan membuang waktu. Arshaka tidak lagi mengurai itu semua dalam komunikasi yang baik dengan istrinya.

Apalagi sewaktu dituduh berselingkuh, Badrina pernah menampar Arshaka. Meskipun Badrina akhirnya meminta maaf pada suaminya, peristiwa itu menyisakan sakit di hati Arshaka.

__**__

Badrina mulai membaca lembaran demi lembaran buku yang dibacanya. Kadang ia mengulangi kembali paragraf yang membuatnya bingung atau disukai. Sesekali ia mengusap air matanya yang membasahi pipinya.

Kisah orang-orang yang hidup dalam dunia pernikahan, mengalami badai gelombang pada relasi suami, istri, dan anak. Badrina tidak sendirian menghadapi masalahnya.

Sesekali pula ia menyesap teh panas yang mulai mendingin karena pendingin ruangan. Badrina tertarik untuk mendalami isi buku itu, benar-benar terkoneksi dengan masalah hidupnya kini.

Dering notifikasi pesan pendek mengalihkan konsentrasi Badrina. Pesan Arshaka masuk dan mengatakan akan ke rumah besok sore untuk melihat anaknya, Cantara.

Badrina sebenarnya menginginkan agar mereka tidak dulu bertemu, tetapi dia tidak bisa egois sebab Cantara membutuhkan ayahnya. Badrina membalas pesan mantan suaminya dengan jawaban singkat 'silakan'.

Arshaka yang mendapat pesan balasan itu tersenyum senang. Ia diperbolehkan menemui anaknya nanti.

"Hai Shaka...." Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam ruangan Arshaka. Ia adalah teman baiknya dari kecil, Elmira Rahman. Semenjak Arshaka bercerai, Elmira kerap mendatangi kantor Arshaka.

"Eh, Hai! Masuk Mira."

Elmira masuk, mereka berpelukan. Arshaka dan Elmira telah seperti saudara sendiri. Elmira sendiri sudah ditinggal suami karena mengalami kecelakaan tunggal empat tahun yang lalu.

Meski masing-masing telah berkeluarga tidak membuat mereka jauh satu dengan yang lain.

"Sudah makan siang? Aku mau ajak kamu makan di tempat yang hm... makanannya enak banget."

"Kebetulan nih, baru mau pulang, rencananya cari makan."

"Pulang ke mana? Rumah Badrina?" ledek Elmira, perempuan itu tertawa lepas.

Arshaka kikuk. Sebelum hubungan memburuk antara ia dan mantan istrinya, hal biasa seorang suami pulang ke rumah untuk bertemu istri dan anaknya.

"Hehe... rumah Mamalah, kemana lagi." Arshaka meluruskan.

"Tapi, kalau ada restoran yang menunya enak, boleh kita ke sana aja," tambah Arshaka.

Mereka pun keluar dan menuju ke restoran yang dimaksud.

Di sana mereka berbincang tentang perusahaan tempat mereka bekerja masing-masing. Saat akan kembali ke kantor, Elmira ijin ke toilet sebentar. Arshaka melihat Danish dan anggota divisi dibawah manajemennya dan memutuskan menyapanya.

"Hei Danish! Lagi meeting sama divisi?" Arshaka menepuk pundak Danish.

"Eh.. Shaka! Iya tapi udah selesai mau balik kantor. Cuma sebentar makan siang doang. Lo ke sini sendiri?" tanya Danish.

"Ngga... bareng temen."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!