NovelToon NovelToon

Terjerat Pesona Suami Tanteku

Aku Cinta Padamu

Rintik hujan akhirnya turun dari gelapnya langit malam, diiringi kilat yang menyambar dan suara petir yang menggelegar. Angin pun ikut berhembus, hingga dinginnya terasa begitu menusuk ke dalam kalbu.

Seorang wanita muda tampak memandang pemandangan di luar jendela kamarnya, memandang cuaca kelam, sekelam perasaan yang dia rasakan saat ini. Leonora Cheryl, 18 tahun. Seorang wanita muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas.

Hatinya terasa begitu berkecamuk menahan sebuah rasa dilema saat menanti hari esok, dimana dirinya harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikannya ke ibu kota.

"Hufttt... " Cheryl menghembuskan nafas panjangnya sambil merengkuh dadanya, merasakan sebuah sesak.

Rasa dilema itu memang begitu menyesakkan dadanya. Tak dapat dipungkiri, hatinya terasa begitu campur aduk, bukan hanya karena dia harus berpisah dengan kedua orang tuanya, tapi ada sebuah rasa yang begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Jika boleh memilih, mungkin Cheryl memilih untuk tidak pergi. Namum, itu artinya dia sudah menjadi manusia terbodoh yang ada di dunia saat melepaskan sebuah anugerah yang tidak dimiliki oleh orang lain, terutama teman seusianya.

Ya, Cheryl merupakan seorang gadis yang pintar. Disaat pelajar seusianya harus berusaha dengan keras mengikuti seleksi memasuki perguruan tinggi, hal itu tidak berlaku bagi Cheryl, dia berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi ternama dengan mudah, melalui jalur khusus bagi pelajar berprestasi yang disediakan oleh perguruan tinggi itu. Tentunya hal tersebut merupakan sebuah pencapaian yang begitu membanggakan, dan membahagiakan, terutama bagi kedua orang tuanya. Namun, hal itu tidak sepenuhnya dirasakan oleh Cheryl. Bahkan menjadi dilema tersendiri baginya, dilema yang terasa begitu menyesakkan dada. Tapi, terkadang bukankah logika memang tidak pernah bisa sejalan dengan kalbu?

Logikanya dia memang seharusnya bahagia, masuk ke sebuah universitas tanpa bersusah payah seperti teman-temannya. Tapi bagaimana dengan hatinya? Melanjutkan pendidikannya ke ibu kota itu artinya dia harus tinggal bersama tantenya, Diandra Paramita, seorang model dan artis berusia 28 tahun, dan suaminya Gavin.

Awalnya, Cheryl selalu menolak kemauan kedua orang tuanya untuk tinggal dengan Diandra, tapi kedua orang tuanya terus memaksa dan tidak memperbolehkan Cheryl tinggal sendirian di sebuah kota besar dengan berbagai alasan yang membuat Cheryl tak bisa berkelit, hingga akhirnya dia menerima keputusan orang tuanya untuk tinggal bersama Diandra.

Seharusnya tinggal di rumah mewah dengan Diandra tentu menjadi hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi Cheryl karena hal itu merupakan sebuah dilema besar baginya. Tinggal dengan Diandra itu artinya dia harus bertemu dengan Gavin suami dari tantenya.

Arshaka Gavin Dewanata, 30 tahun. Sebuah nama yang sudah menguasai hatinya, sebuah nama yang mungkin bisa disebut sebagai cinta pertamanya ataupun hanya sebatas cinta monyet, Cheryl pun tak tahu. Yang dia tahu hanyalah ada sebuah rasa di dalam hatinya, sebuah getaran yang begitu dahsyat saat melihat Gavin sejak mereka bertemu 6 tahun yang lalu.

Saat itu Cheryl memang masih kecil, dia masih duduk di sekolah menengah pertama, namun apakah sebuah rasa mengenal usia?

"Semesta, mengapa kau sering kali becanda padaku? Apa kau sedang meledekku lewat cuaca ini? Cuaca kelam di malam ini, rasanya seperti kelamnya hatiku. Rasanya bahkan begitu campur aduk, menyesakkan, menyedihkan, tapi tak dapat dipungkiri kalau di dalam hatiku ada sebuah rasa bahagia. Sebuah rasa bahagia yang sebenarnya tidak pantas kurasakan, karena rasa ini sebenarnya sebuah perasaan yang salah."

Cheryl kemudian berjalan ke arah tempat tidurnya, lalu merebahkan tubuhnya, dan mencoba memejamkan matanya, meskipun sulit.

****

Keesokan Harinya...

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, setelah melakukan perjalanan kurang lebih selama lima jam dengan menggunakan kereta api, lalu disambung dengan sebuah taksi, Cheryl akhirnya sampai di sebuah rumah mewah di sebuah komplek perumahan kelas atas di ibu kota.

Seorang satpam, tampak membuka pintu gerbang rumah itu, lalu tersenyum dan menyapanya dengan begitu ramah. Cheryl kemudian masuk ke dalam rumah itu, dan disambut oleh seorang pembantu rumah tangga.

"Non Cheryl? Mari saya antar ke kamar."

"Iya, Bi. Terima kasih," jawab Cheryl.

Baru saja Cheryl melangkahkan kakinya, tiba-tiba terdengar deru suara mobil yang berhenti.

Deg

Jantung Cheryl seakan terhenti. 'Apakah itu Om Gavin?' batin Cheryl. Namun, belum hilang rasa terkejutnya, dan masih berusaha menata hatinya saat bertemu dengan Gavin, tiba-tiba sebuah suara berat terdengar dan mengagetkan lamunan Cheryl.

"Selamat sore Cheryl lama tidak bertemu denganmu?" sapa seorang laki-laki tampan yang kini berdiri tak jauh dari Cheryl.

Meskipun perasaannya terasa begitu campur aduk, Cheryl mencoba untuk tetap terlihat tenang. "Selamat sore, Om Gavin," jawab Cheryl dengan bibir yang sedikit bergetar.

"Kau baru datang Cheryl?"

"Iya Om."

"Kalau begitu beristirahatlah! Bi Asih akan mengantarmu ke kamar."

"Iya, saya permisi ke kamar dulu, Om," jawab Cheryl.

"Iya Cheryl."

Pembantu rumah tangga yang bernama Bi Asih itu lalu mengantarkan Cheryl ke sebuah kamar di lantai dua. Sebuah kamar yang menurut Cheryl sangat luas dan mewah.

Cheryl menatap kamar itu sebentar lalu merengkuh dadanya, merasakan sebuah sesak yang merasuk dan terasa begitu menyayat kalbu. "Ini tentang sebuah rasa, sebuah rasa yang salah. Seharusnya aku tahu batasanku, dan aku menyadari itu, tapi bisakah logika menghakimi kalbu? Salahkah rasa ini yang sudah lama kupendam di dalam kalbu? Salahkan jika bibir ini mengucap sebuah kalimat, Gavin aku cinta padamu," isak Cheryl seraya meneteskan air matanya.

Keponakan Kecil

Gavin sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu memilih untuk tidak beranjak dari atas tempat tidurnya. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Diandra yang masih tertidur pulas di sampingnya. Gavin mengusap puncak kepala Diandra, seorang wanita yang sangat dicintainya, dan telah dia pilih menjadi istrinya, sekaligus ibu dari putra tunggal mereka, Frizz.

Diandra, wanita yang sejak awal menemani perjuangannya sampai dia berhasil mencapai posisi manajer di salah satu perusahaan konstuksi terbesar di negeri ini. Diandra lah yang menemani Gavin sampai dia mencapai semuanya, hingga akhirnya, dua tahun silam Gavin memberi kesempatan pada Diandra untuk kembali ke dunia hiburan, sama seperti saat dia belum menikah dengan Gavin dulu.

Namun, siapa sangka kalau keputusan Gavin menjadi awal dari hambarnya hubungan rumah tangga mereka. Diandra saat ini memang begitu sibuk, hingga jarang sekali meluangkan waktunya untuk Gavin dan Frizz. Setiap hari, dia selalu pulang larut malam bahkan terkadang tidak pulang ke rumah.

Hasrat Gavin yang sudah menggebu-gebu, membuatnya diam-diam menyesap bibir Diandra, sekalipun istrinya itu masih tertidur. Hasrat Gavin rasanya seakan memuncak, sudah dua minggu ini mereka bahkan tidak melakukan hubungan suami istri.

Merasakan sentuhan pada bibirnya, perlahan Diandra pun sadar, dan tampak terkejut melihat apa yang Gavin lakukan. Selanjutnya Diandra mulai mengikuti alur yang Gavin mainkan. Lidah keduanya saling bermain, mengeksplor bagian masing-masing, namun saat asyik saling memagut, tiba-tiba suara ponsel Diandra berbunyi.

Diandra melepaskan pagutan bibir mereka, lalu mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Dia kemudian menjawab panggilan ponselnya, sementara Gavin kini terlihat begitu kesal. Dia mengerti, siapa pagi ini yang sudah menelpon dan mengacaukan momen romantisnya bersama Diandra. Dia adalah Pearly, seorang laki-laki gemulai yang sudah menjadi asisten dari Diandra selama dua tahun terakhir ini. Gavin akhirnya memilih untuk mengalah, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Sementara itu, Diandra yang saat ini sedang menerima telepon dari Pearly, tampak berjalan ke arah balkon kamar, dan terlibat obrolan serius tentang pekerjaan mereka hari ini. Bagi Diandra, Pearly yang merupakan teman kuliahnya di jurusan seni dulu, merupakan sosok yang begitu menyenangkan, dan sangat mengerti dirinya. Diandra tampak tersenyum simpul saat melihat Gavin yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

'Maafkan aku, Gavin,' batin Diandra.

***

Entah berapa lama Cheryl menangis, dia bahkan tak menyadari jika tangisnya ternyata begitu melelahkan bagi dirinya hingga membuatnya terlelap sampai pagi. Dia terbangun saat tiba-tiba sebuah suara ketukan pintu kamar mengagetkan dirinya.

Tok tok tok

"Non Cheryl!" panggil sebuah suara dari arah luar. Sebuah suara yang Cheryl kenal yaitu suara dari Bi Asih.

"Iya Bi!" jawab Cheryl.

"Non, dipanggil Tuan untuk sarapan!"

'Apa sarapan? Jadi ini sudah pagi?' batin Cheryl. Dia kemudian bangkit dari atas tempat tidurnya..

"Iya Bi, sebentar," jawab Cheryl. Dia lalu berjalan ke kamar mandi. Sejenak, dia menatap wajahnya pada cermin yang ada di atas wastafel di dalam kamar mandi tersebut. Wajah Itu tampak begitu sendu dan lengket, dipenuhi oleh air mata yang mengering.

Setelah membasuh wajah, dan membersihkan tubuhnya, Cheryl kemudian turun ke bawah untuk sarapan bersama Gavin. Namun, tidak ada Diandra di meja makan itu, hanya ada Gavin dan putra mereka Frizz.

'Mana Tante Diandra? Kenapa Tante Diandra tidak ikut sarapan?' batin Cheryl. Dia lalu duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan tersebut, setelah dia terlebih dulu menyapa pada Gavin dan Frizz.

"Selamat pagi Om Gavin, selamat pagi Frizz!" sapa Cheryl.

"Selamat pagi Cheryl, apa tidurmu nyenyak? Tadi malam Bi Asih memanggilmu untuk makan malam, tapi tampaknya kau sudah tidur. Mungkin kau kelelahan."

"Iya, maaf tadi malam aku memang ketiduran saat sedang beristirahat," jawab Cheryl sambil menahan rasa gugup, bahkan debaran jantungnya pun terasa begitu kencang, apalagi saat melihat wajah tampan Gavin yang duduk di depannya.

"Oh tidak apa-apa, perjalanan kemarin pasti melelahkan kan?"

"Iya Om," jawab Cheryl. Dia lalu memandang pada Frizz yang saat ini terlihat begitu asyik bermain game di ponselnya.

"Frizz, kamu ga sarapan?" tanya Cheryl. Namun, Frizz hanya diam, dan lebih memilih hanyut pada permainan di ponselnya.

"Frizz, gimana kalau Kak Cheryl aja yang nyuapin kamu?"

"Suapi? Bukankah itu kerjaan Bi Asih? Biasanya Frizz disuapi Bi Asih, tapi kayaknya bibi masih sibuk. Jadi, aku main game dulu deh," jawab Frizz polos.

"Bi Asih masih sibuk jadi biar Kak Cheryl aja yang suapi ya."

"Iya Frizz, biar Kak Cheryl aja yang suapin kamu!" timpal Gavin.

"Baiklah," jawab Frizz. Cheryl kemudian duduk di samping Frizz lalu menyuapkan sarapan untuknya. Saat masih menyuapi Frizz, tiba-tiba Diandra turun lalu menghampiri mereka dan hanya meminum teh hijau yang ada di atas meja makan.

"Hai Cheryl, apa kabarmu? Maaf tadi malam aku pulang terlambat, jadi aku tidak sempat bertemu denganmu. Lagipula, sepertinya kau juga sudah tidur kan?"

"Iya Tante, tidak apa-apa."

"Kalau begitu aku berangkat dulu ya, kalau kau butuh sesuatu kau minta tolong saja pada Bi Asih dan Pak Amat yang nanti akan mengantarmu ke kampus."

"Iya Tante Diandra," jawab Cheryl.

"Mas aku berangkat dulu ya," ucap Diandra pada Gavin. Gavin hanya mengulas senyum tipis di bibirnya, sambil menganggukan kepalanya.

Cheryl sebenarnya merasa aneh saat melihat kehidupan keluarga yang ada di depannya. Di hari pertama dia berada di rumah Diandra, dia merasa ada yang tidak beres diantara Diandra dan Gavin. Bahkan, dia merasa hubungan mereka terlihat tidak sedang baik-baik saja. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang dia lihat di depan media dan di depan keluarga mereka. Rumah tangga itu bahkan terlihat begitu hambar, tidak ada ucapan sayang, bahkan kecupan manis diantara keduanya.

'Apakah ada sesuatu dengan rumah tangga mereka? Ah, semoga saja tidak, dan hanya perasaanku saja,' batin Cheryl. Dia kemudian melirik pada Gavin yang saat ini terlihat sudah menyelesaikan sarapannya. Namun, netranya agak sedikit terganggu dengan penampilan Gavin yang terlihat begitu acak-acakan.

"Om Gavin, bolehkah aku merapikan dasimu?" ucap Cheryl, entah darimana dia tiba-tiba mendapatkan keberanian berbicara seperti itu. Mendengar perkataan Cheryl, Gavin pun terdiam sejenak.

'Astaga, kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku bicara seperti itu?' batin Cheryl.

"Maaf, kalau aku sudah lancang."

"Hahahaha, kenapa kau berkata seperti itu, Cheryl? Tentu saja kau boleh membantu merapikan dasiku, kau adalah keponakanku. Cheryl kecilku," ucap Gavin.

'Keponakan kecil? Hanya sebatas itukah aku di matamu? Astaga kenapa aku harus kecewa? Bukankah memang benar, aku adalah keponakan kecilnya?' kata Cheryl di dalam hati.

"Cheryl kemarilah! Kau mau merapikan dasiku kan?"

"I-iya, Om," jawab Cheryl gugup. Dia kemudian mendekat pada Gavin yang kini sudah berdiri menunggunya. Perlahan, Cheryl pun memegang dasi yang dikenakan oleh Gavin, sambil sesekali melirik wajah tampan yang ada di depannya.

Cheryl yang tak kuasa menahan gejolak di dalam hatinya, tanpa dia sadari tangannya mulai mendarat di wajah tampan itu, lalu mengusap wajahnya.

"Cheryl!"

Kutemani Malam Ini

Cheryl yang seketika tersadar saat mendengar suara Gavin langsung menarik tangannya dari wajah tampan itu.

"Oh-eh, emh. Maaf Om, tadi ada sisa makanan di wajah Om, jadi aku berniat membersihkannya," dusta Cheryl.

"Ada sisa makanan?"

"Iya Om."

"Astaga, kau mengagetkanku saja. Kalau begitu, teruskan!"

"Teruskan apanya?"

"Merapikan dasiku! Kau belum selesai merapikan dasiku, kan?"

"Oh-e, iya Om."

Cheryl kemudian merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Gavin, meskipun dengan begitu gugup, karena entah mengapa dia merasakan kalau saat ini Gavin tengah mengamatinya

Sementara Gavin yang melihat Cheryl dari dekat tampak merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hatinya. Gavin mengamati setiap inchi wajah cantik Cheryl, wajah cantik yang terlihat begitu polos, tanpa sapuan make up.

Entah perasaan apa yang tiba-tiba merasuk dalam dirinya saat melihat Cheryl yang saat ini begitu dekat dengannya. Perasaan Gavin begitu meronta, apalagi melihat bibir tipis Cheryl, yang begitu dekat dengannya. Ingin sekali dia mengecup manisnya bibir itu.

'Cheryl keponakan kecilku? Bukan Gavin, dia bukan keponakan kecil lagi, tapi dia sudah dewasa,' batin Gavin saat menyadari pesona Cheryl yang kini ada di depannya.

"Sudah Om," ucap Cheryl yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Terima kasih, Cheryl."

"Sama-sama. Om, aku ke atas dulu, aku mau siap-siap berangkat ke kampus."

"Iya Cheryl, nanti kamu ke kampus diantar Pak Amat ya."

"Terima kasih banyak, maaf aku sudah merepotkan kalian."

"Tidak Cheryl, kau tidak merepotkan kami," balas Gavin. Cheryl kemudian bergegas berjalan ke kamar meninggalkan Gavin yang masih termenung. Sebenarnya, Cheryl masih memiliki waktu dua jam sebelum waktu perkuliahan dimulai. Tapi dia memang sengaja tidak mau berlama-lama dengan Gavin karena dia tidak mau semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya.

Sementara Gavin, saat ini hanya bisa termenung, dan menatap Cheryl yang sedang berjalan ke kamarnya. Entah mengapa, sangat sulit untuk melepaskan pandangannya dari Cheryl. Perhatian kecil dari Cheryl terasa begitu meluluh lantakkan hatinya. Sebuah perhatian yang selama ini tidak dia dapatkan dari Diandra.

Gavin juga baru menyadari, jika Cheryl bukanlah Cheryl yang dulu, Cheryl kini sudah terlihat jauh lebih dewasa. Pesona fisik Cheryl juga tak luput dari pandangannya.

Tubuh Cheryl kini telah membentuk tubuh seorang wanita dewasa, bahkan gerakan pantat sintalnya saat berjalan membuat miliknya yang ada di bawah sempat bereaksi. Saat melihat bibir tipis Cheryl ketika merapikan dasinya, fantasi liarnya semakin menggelora. Apalagi, tadi pagi sesi bercintanya dengan Diandra gagal karena telepon dari Pearly.

'Astaga, apa-apaan ini Gavin, Cheryl keponakan istrimu. Tidak sepantasnya kau memiliki perasaan seperti ini! Lebih baik, aku berangkat ke kantor sekarang juga,' batin Gavin. Dia kemudian bergegas keluar dari rumah, lalu menaiki mobilnya.

***

Pukul Jam 9 malam Gavin akhirnya sampai di rumah, dalam garasi rumah itu mobil Cheryl belum terparkir di sana. Seperti yang sudah Gavin duga sebelumnya Diandra malam ini pasti tidak akan pulang karena harus menyelesaikan shooting iklan produk terbaru yang baru saja ditandatangani olehnya. Tapi, ini bukanlah sebuah masalah besar bagi Gavin. Dia sudah terbiasa menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya sudah cacat.

Saat baru menapakkan kaki di teras rumahnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bahkan beberapa kali petir terdengar menyambar, dan begitu memekakkan telinga. Setelah sambaran petir dan kilat itu, tiba-tiba lampu rumah itu padam yang membuat seluruh ruangan terlihat gelap.

Gavin kemudian buru-buru memasuki rumahnya. Namun, saat baru saja dia masuk ke dalam rumah itu, terdengar suara teriakan yang membuat Gavin tersentak. Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba ada sesuatu yang menabrak tubuhnya, dan terdengar kembali suara teriakan yang dia kenal.

Gavin tahu, dia adalah adalah Cheryl, tapi bukannya mendorong tubuh itu menjauh, Gavin tanpa sadar menarik pelan pinggang ramping Cheryl ke dalam pelukannya dan menghapus jarak di antara mereka. Sedangkan Cheryl, sudah tak peduli lagi tindakan Gavin, karena rasa takutnya saat ini begitu mengacaukan nalarnya. Ya, Cheryl memang sangat takut gelap.

"Ada apa? Kenapa kau berteriak seperti ini?" tanya Gavin dengan suara yang mulai memberat, rasanya sulit sekali menjauhkan tangannya dari tubuh Cheryl yang sejak tadi pagi sudah membangkitkan gairahnya. Gairah seorang laki-laki yang sudah lama tidak tersalurkan.

"Om, takut Om, gelap. Om tahu kan sejak dulu aku takut gelap."

"Iya Cheryl. Apa Frizz sudah tidur?"

"Sudah Om, aku baru saja menemani Frizz. Tapi saat aku baru keluar dari kamar Frizz tiba-tiba lampunya mati."

"Aku ke belakang sebentar Cheryl, aku nyalakan genset dulu di belakang."

"Om jangan tinggalin Cheryl!"

Gavin akhirnya memilih merapatkan tubuh mereka, sambil merutuki sikapnya yang tak dapat lagi menahan gejolak di dalam dirinya. Apalagi, saat dia mulai merasa tubuh Cheryl yang bergetar, disertai nafas yang memburu dan menerpa dadanya seolah menjadi peringatan bagi Gavin agar segera menjauh.

Namun, Gavin tidak melakukan itu, mereka bahkan terlihat hanyut dalam suasana malam ini, belum lagi benda kenyal milik Cheryl yang terlihat naik turun seakan membuat Gavin tergelitik merasakan sesuatu sensasi di tubuhnya.

"Om, aku takut gelap, petirnya juga begitu besar," rancau Cheryl yang terlihat begitu ketakutan.

Gavin memejamkan matanya, rancauan Cheryl seakan menuntunnya untuk balas memberikan pelukan hangat pada tubuh yang sekarang sedang memeluknya dengan erat. Dan, tanpa sadar kini Gavin mengusap rambut panjang Cheryl yang tergerai, berharap yang dia lakukan bisa menenangkan gadis itu.

Sambaran petir yang kian menggelegar di tengah gelapnya ruangan membuat tubuh Cheryl terlonjak, wajahnya semakin dia tempelkan di dada bidang Gavin.

Cheryl sudah tak peduli lagi perasaanya pada Gavin, yang dia tahu saat ini dia begitu ketakutan. Sementara Gavin, terlihat begitu kepayahan menahan hasrat yang sudah lama tidak tersalurkan. Hasrat sebagai suami yang tak pernah dia dapatkan dari Diandra, dan saat ini hasratnya terasa begitu meronta.

"Aku takut, Om," rancau Cheryl kembali, disertai dengan tubuh yang bergetar, dan raut wajah ketakutan.

"Tenang, ada Om di sini. Ayo kita ke kamarmu."

"Tapi aku takut."

"Biar kutemani," jawab Gavin spontan. Dia kemudian mencoba melepaskan pelukan Cheryl, lalu mulai membopong tubuh Cheryl menuju ke kamar gadis itu.

Cheryl yang sudah hanyut dalam situasi itu, lalu langsung melingkarkan tangannya di leher Gavin, menyembunyikan wajah di dada bidang yang kini membopong tubuhnya. Gavin kemudian membaringkan tubuh Cheryl di ranjang tanpa melepas pelukan tangan Cheryl di lehernya.

Sebenarnya Gavin merasa bingung, bagaimana dia harus bersikap dalam situasi seperti ini. Dia akhirnya memilih ikut berbaring di samping Cheryl, walaupun itu artinya dia harus lebih lama menderita karena baginya saat ini Cheryl begitu menggoda. Cheryl bahkan tidak tahu seburuk apa perang batin yang dialami oleh Gavin saat ini di dalam hatinya. Suasana hati Gavin yang terasa sejalan dengan situasi malam ini. Petir kembali terdengar begitu menggelegar.

"Om, aku takut gelap Om. Petirnya menakutkan!" rengek Cheryl.

"Tidurlah, biar kutemani kau tidur malam ini," jawab Gavin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!