“Ayo kita menikah!” pria itu menatap ke arah gadis di depannya dengan tatapan yang sangat tak bisa diartikan.
“Kenapa tiba-tiba? Aku tahu jika kau sudah membantu ayahku soal perusahaan, kita juga sudah bertunangan sejak kecil. Tapi apa itu masuk akal? Kita bahkan tak pernah berusaha untuk saling mengenal?” sang gadis masih sibuk dengan kuas di tangannya, ketika ia menyadari bahwa tinta merah di atas palet miliknya sudah berubah menjadi genangan darah segar.
“Ayah tidak!!!” pekiknya terngah-engah.
Gadis itu terbangun dari mimpi dan mendapati keberadaan dirinya yang sebenarnya ‘Bukan mimpi itu, inilah neraka yang sesungguhnya’.
“Dasar wanita ******! Kau lupa tugasmu sebagai seorang istri. Sekarang bahkan sudah lewat dari pukul delapan dan kau belum menyiapkan apapun, Hah!” gertak seorang pria yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Gadis itu bahkan belum mengumpulkan kesadarannya ketika pria di depannya menjambak rambutnya dengan sangat keras dan menariknya kebelakang. Ia menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian, namun ia tak bisa melakukan apapun.
Air matanya nampak sudah mulai menggenang, tapi pria itu tak kunjung melepaskan cengkeramannya. Ia malah menarik rambut itu semakin keras dan menyeret gadis itu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar pribadi mereka.
Dengan shower yang terus menyala, pria itu memasang alat agar aliran airnya tak pernah berhenti, bahkan meskipun gadis itu berusaha keras untuk menutup kerannya. Ia mengunci gadis itu disana dan meninggalkannya untuk pergi bekerja. Ia bahkan tak memikirkan hal apa yang akan terjadi dengan gadis itu selepas kepergiannya.
“Andai aku diperbolehkan untuk memohon kematian, maka inilah saatnya. Aku ingin mati saja Tuhan.” Seru gadis itu dengan suara memelas. Tenaganya seperti telah terkuras habis. Ia tak lagi memiliki tenaga untuk bangkit dan keluar dari sana. Ia hanya membiarkan tubuhnya basah kuyup dan menggigil kedinginan.
Semalaman. Pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu telah memukulinya habis-habisan. Tak hanya rambutnya yang dijambak, ia bahkan membenturkan kepalanya ke sudut meja hingga kepalanya mengucurkan darah segar. Ia juga belum memberinya makan apapun selama tujuh puluh dua jam terakhir, ditambah lagi dengan penyiksaan yang tak kunjung usai.
Ia dipaksa untuk memasakkan pria itu sarapan dan kemudian ia akan dilempari dengan makanannya sendiri. Semangkuk sup panas, dan juga telur goreng yang baru saja keluar dari penggorengan. Hingga gadis itu mendapati kulitnya mulai melepuh di beberapa titik.
Kejadian itu hanya salah satunya. Hukumannya akan bertambah jika saja ia lupa atau melewatkan satu hal yang sudah ditugaskan untuknya. Salah satunya adalah dengan menempatkannya di bawah guyuran air sama seperti saat ini. Kucuran air itulah yang akan menemaninya hingga akhirnya lelaki itu kembali setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Namun ia beruntung karena waktu sepuluh jam yang dihabiskan lelaki itu di kantornya akan berarti sebagai waktu istirahat untuknya. Meskipun itu harus berlangsung di dalam kamar mandi yang begitu mencekam ini.
“Kau adalah kesalahan karena lahir ke dunia ini?”
Gadis itu kembali mengenang malam pengantinnya tiga hari yang lalu. Baru tiga hari berlalu semenjak ia menjadi istri lelaki itu. Tapi waktu sesingkat itu sudah terasa seperti tiga abad untuknya.
Ia tak menyadari apa kesalahannya. Ia hanya tahu bahwa ia terlahir dari orang yang salah. Orang yang telah menghadirkan luka yang hebat di hati sang suami barunya.
“Tak apa, mungkin aku pantas mendapatkannya.” Gumam gadis itu miris. Ia bahkan tak bisa mengumpat pada sang ayah yang sekarang hanyalah tinggal nama.
“Andaikan Anda mengizinkanku pergi bersama Anda Tuan.” Pintanya penuh harap kepada sang ayah yang sudah lebih dahulu menemui sang pencipta.
Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ia masih berharap jika umur sang ayah akan panjang dan ia bisa merasakan bagaimana rasanya jika pria yang penuh kuasa itu memeluknya dan memanggilnya sebagai putrinya.
“Andai aku bertahan lebih lama, apakah Anda akan menyayangiku dan mengizinkanku memanggil Anda Ayah?” lirihnya sebelum matanya kembali tertutup tak sadarkan diri.
Kilas Balik Satu Bulan Lalu…
“Baguslah, setidaknya kau hadir di pemakamannya.” Gumam Aqsa sang kakak tiri yang tak pernah menganggap kehadiran sang adik.
Gadis itu bernama Rhea Shana, ia adalah putri bungsu sekaligus pewaris tunggal dari Media Naratama Group yang juga merupakan anak dari hubungan tidak sah antara sang ibu dan juga ayahnya. Ibunda Aqsa yang memutuskan untuk berselingkuh lebih dulu membuat suasana di mansion utama semakin memburuk.
Ia diceraikan dan bahkan namanya beserta Aqsa turut di hapus dari daftar ahli waris utama. Ia diusir dari mansion utama dan dipisahkan dari putranya Aqsa yang masih dipertahankan oleh para tetua untuk tetap tinggal di mansion.
Sang ayah Aziel Naratama, yang merasa telah dikhianati pun juga memilih akhir yang sama dengan hidupnya. Ia menyetubuhi kekasih sahabatnya sendiri hingga Rhea, gadis itu terlahir dengan diselimuti oleh ribuan kebencian dari orang-orang di sekitarnya, terutama Aqsa.
Aziel begitu menyayangi Rhea sebagai putri satu-satunya yang ia anggap. Namun kenyataan bahwa Rhea hanyalah anak dari hubungan tidak sahnya dengan sang sahabat selalu membuatnya tak berdaya. Semenjak kelahirannya Rhea kecil terpaksa di besarkan di sebuah lingkungan kecil yang jauh dari kata sempurna.
Rhea diserahkan kepada salah seorang kepercayaan keluarga dan dididik selayaknya seorang pewaris dalam lingkungan yang sederhana. Namun sebagai hukuman dari kesalahan kedua orangtuanya, ia sama sekali tidak diberi izin untuk menemui sang ayah selama hidupnya. Ia juga tak pernah diizinkan untuk menginjakkan kakinya di dalam mansion utama atas kehendak para tetua.
“Kau bisa menjadikannya sebagai pewarismu hanya jika kau sudah tidak ada di dunia ini. Jangan harap kami akan membiarkanmu hidup bahagia bersama kesalahan terbesar yang sudah kau perbuat Aziel! Kau bahkan melakukan hal yang sama dengan wanita rendahan itu.” kecam para tetua.
"Dia bukan wanita rendahan! Aku mencintainya, dan ia adalah ibu dari anakku." sanggah Aziel yang tak pernah di pedulikan oleh para tetua.
Berbeda dengan Rhea sang putri kandung yang tak dianggap, Aqsa sang putra sulung justru malah mendapat dukungan penuh dari para tetua terlepas dari apapun identitasnya yang sebenarnya. Ia malah dipertahankan untuk tetap berada di dalam mansion utama, karena latar belakang keluarga sang ibu yang selama ini mendukungnya.
Ia dibesarkan disana selayaknya seorang pewaris sungguhan. Namun meskipun dirinya tinggal dan di besarkan di dalam istana, namun dirinya tak pernah mendapatkan perhatian khusus dari sang ayah Aziel.
Aqsa selalu menghadirkan keraguan dalam diri Aziel. Ia tak pernah menerima Aqsa sebagai putranya. Namanya bahkan tak pernah tercatat sebagai pewaris. Hanya identitasnya yang merupakan anak dari istri sahlah yang selama ini membuatnya bisa bertahan di mansion utama. Selepas dari itu ia bukanlah siapa-siapa.
Ia selalu menganggap Aqsa sebagai bukti terbesar dari luka yang dialaminya. Ia bahkan meragukan identitas Aqsa sebagai putra kandungnya. Ia selalu menganggap anak itu sebagai benih hasil dari hubungan haram sang istri bersama selingkuhannya, meskipun belum ada bukti sah yang bisa membuktikan jati dirinya.
Dua puluh tahun pun berlalu. Sikap dingin dan kejam Aziel dalam memimpin bisnisnya justru malah mendatangkan boomerang sendiri bagi dirinya. Ia ditemukan tewas mengenaskan di taman hijau di belakang Gedung kantornya sendiri. Entah siapa dan kenapa alasan hingga ia bisa berakhir seperti itu masih menjadi misteri hingga saat ini.
Namun dibalik setiap misteri yang perlahan mencuat ke permukaan, muncullah sesosok pria bertudung dan juga masker wajah yang selalu muncul di setiap kejadian. Seakan ia adalah saksi kunci dari setiap teka-teki dan pertanyaan perihal Aziel Naratama yang masih menjadi misteri hingga setelah kematiannya.
Setelah kepergian Aziel, para tetua pun memulai perdebatan mengenai wasiat yang ditinggalkannya. Ada beberapa yang menentang, namun ada juga yang mendukung.
Namun berkat sahnya dokumen yang ditinggalkan serta kekuatan hukum yang kuat yang mengiringinya, keputusan akhir pun dijalankan sesuai dengan wasiat yang ditulis olehnya. Sebuah surat wasiat yang telah ditulis Aziel sejak lama dan tak pernah diubah barang sedikit pun sejak awal.
Demi menghormati janjinya kepada mendiang, para tetua pun memutuskan untuk memanggil Rhea untuk masuk ke dalam mansion utama tepat di hari pemakaman Aziel. Selain untuk memberikan penghormatan terakhir untuk ayahnya, Rhea juga diminta untuk menjalankan wasiat tertulisnya perihal Naratama yang telah disahkan secara hukum kepadanya.
Rhea diperkenalkan sebagai sang pewaris utama, alih-alih Aqsa. Seorang putri yang terlahir dari sebuah hubungan haram, namun juga adalah anak kandung satu-satunya dari Aziel Naratama.
Jati dirinya baru diungkap di hari penghormatan terakhir yang mereka lakukan untuk Aziel sang pendiri Naratama. Ia baru menampakkan dirinya di hari pemakaman sang ayah, demi menghormati titah dan juga janji para tetua kepada sang ayah.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Aqsa. Semua rumor perselingkuhan sang ibunda yang selama ini hanya sekedar desas-desus mulai terungkap ke permukaan lengkap dengan bukti konkret yang Aziel sertakan bersama surat wasiatnya.
Di saat itu pulalah bunyi wasiat utama mulai dibacakan. “Aziel menyarankan agar Nona muda bersedia untuk menikah dengan putra dari sahabat beliau, sekaligus salah satu pendiri dari Media Naratama Group ‘Tuan Devian Aryana’".
"Devian yang saat ini juga tercatat sebagai salah satu CEO muda berbakat yang tengah berada di puncak kejayaannya. Tuan Aziel ingin agar Anda dan tuan Devian bisa mengelola harta keluarga dengan baik dan semakin mengembangkannya bagi para penerus kalian kelak.”
‘DEG! Menikah? Dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya?’ Rhea tak lagi bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya.
Keputusan yang ia terima secara mendadak, namun juga keputusan yang sebenarnya sudah ia wanti-wanti sejak awal. Keputusan mutlak yang tak pernah bisa ditolak, serta keputusan yang juga akan menjadi malapetaka tersendiri bagi hidupnya kelak.
Ia tak pernah tahu seperti apa sosok ayahnya apalagi merasakan bagaimana kasih sayangnya. Dan sekarang, kenyataan bahwa ia adalah pewaris tunggal telah membawanya masuk ke dalam sebuah neraka yang jauh lebih besar.
Pilihannya bukanlah mansion keluarga, atau masuk di tengah keluarga yang pernah mencampakkannya. Namun, ia harus masuk dan bergabung dalam sebuah keluarga baru yang tak pernah ada dalam bayangannya selama ini.
Yaitu memiliki keluarganya sendiri. Ia harus memulai pernikahannya sendiri dengan seorang pria yang berada di luar bayangan. Seorang pria yang kelak akan ia kenal dengan nama Devian. Seorang pria kejam yang tak mengenal peri kemanusiaan. Lelaki yang tak pernah menatapnya sebagai manusia.
“Sadarlah sayang, kumohon?” Rhea mengerjapkan matanya berulang kali ketika ia merasakan hangatnya tangan seseorang tengah menggenggamnya.
“Devian?” lirihnya tak percaya.
Ia melihat ke sekelilingnya. Ada nuansa yang tak asing, ia bisa meyakinkan dirinya bahwa ia kini tengah berbaring di sebuah bangkar rumah sakit dengan selang infus yang tersambung di tubuhnya. Semua lukanya sudah dibalut dengan benar, serta ada ibu 'kandung' dan juga kuasa hukumnya yang berada di sana nampak tengah mendiskusikan sesuatu.
Ia mengernyitkan dahi ketika Aqsa yang baru saja masuk tiba-tiba mendekat ke arahnya dan berbisik.
“Aku rasa sebuah kasus penculikan biasa tak akan pernah serumit ini. Melihat luka di tubuhmu serta suamimu yang linglung itu, tidakkah ini lebih pantas di kategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga?” bisiknya dengan tatapan penuh arti di sisi telinga Rhea.
“Aku rasa dia memperlakukanmu cukup baik selama tiga hari ini. Aku akan pastikan tidak ada bukti agar kau cepat kembali masuk ke dalam neraka itu adikku sayang.” Bisik Aqsa sambil menyembunyikan seringai devil khas miliknya.
Aqsa beralih ke sisi Devian sang adik ipar dan menepuk-nepuk pundaknya tanpa menyiratkan apapun. Namun dari sudut matanya ada perasaan bangga yang diam-diam ia selipkan dibalik tatapan yang menusuk itu.
“Good job Brother.” Kalimat itu seakan tersirat dari balik senyumnya kepada diri Devian yang masih terlihat dingin.
“Nafasnya belum stabil, ada memar yang cukup parah di bagian dada kanan dan juga kepalanya. Kami harus melakukan serangkaian tes untuk memastikan tidak adanya luka dalam. Pasien harus di opname disini sampai semua tes nya selesai. Tidak tertutup kemungkinan jika ia harus mendapatkan serangkaian operasi darurat nantinya.” Jelas sang dokter yang mengundang tatapan khawatir dari sang ibu dan juga kuasa hukumnya.
“Cih, Jika bukan karena Albert, apa Anda akan mencemaskanku seperti ini?” batin Rhea mengumpat kepada 'Tiara' sang ibu yang ia ketahui persis seperti apa ularnya.
“Aku yakin ia takkan pernah menemuiku jika bukan karena wasiat itu.”
Pihak kepolisian mengaku bahwa mereka telah menemukan Rhea terbaring tak sadarkan diri di sebuah taman bermain yang berada tak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya Bersama Devian. Anehnya menurut mereka laporan kehilangan atas nama Rhea Shana telah dibuat sejak tiga hari yang lalu. Tepat setelah moment pernikahan mereka.
Gadis itu ingat benar bagaimana Devian mengantarnya sendiri untuk pulang ke rumah pria itu lengkap dengan beberapa barang pribadi miliknya. Aqsa juga berada disana bersama Tiara ketika ia pergi. Lalu bagaimana bisa ia dikabarkan hilang begitu saja tepat setelah acara pernikahannya?
Ia menelisik jauh ke dalam tatapan mata Devian yang masih terpaku pada penjelasan beberapa orang polisi yang tengah menjelaskan kasusnya. Pemuda itu Nampak begitu khawatir dengan tangannya yang masih menggenggam erat tangan Rhea dan itu benar-benar terasa tulus.
“Apakah semua itu hanya mimpi?” batin Rhea tak percaya dengan apa yang saat ini tengah dilihatnya.
Rhea menatap kearah suaminya dengan tatapan telisik penuh tanya. ‘Siapakah pria ini sebenarnya? Apa yang tengah ia pikirkan?’
Sekelebat pertanyaan tentang sang suami ‘Devian’ terus meluncur di dalam kepalanya. Bagaimana bisa seorang manusia iblis yang selama ini menyiksanya bisa berubah seperti seorang malaikat tepat di dalam kamar inap rumah sakit ini.
‘Apa ia tengah bersandiwara’ batin Rhea lagi.
Setelah mendengarkan semua penjelasan dari pihak kepolisian, Devian pun bangkit dan membungkukkan tubuhnya di hadapan polisi. Ia meminta dengan sungguh-sungguh kepada para petugas agar pelaku penganiaya istrinya bisa ditangkap dan diadili dengan semestinya.
Semua reaksi yang berhasil mengundang decak kagum dari seluruh keluarga atas sikap kecintaannya kepada sang istri telah membuatnya semakin naik daun dan memiliki nama yang harum di antara keluarga besar.
“Untung saja Aziel mewariskannya kepada seorang anak perempuan, jika saja itu Aqsa maka kita akan melewatkan kesempatan untuk membawanya masuk ke dalam keluarga.” Ujar para tetua merasa kagum dengan sikap perhatian yang ditunjukkan oleh Devian. Sementara Aqsa hanya bisa mencibir geli dari balik pintu masuk kamar inap Rhea.
“Bagaimana kondisimu? Apa ada yang kau perlukan sayang?” seru Devian lembut sambil membelai puncak kepala Rhea, namun bukannya merasa nyaman, Justru berakhir sebaliknya. Gadis itu malah meringis, karena merasakan perih di bagian pucuk kepalanya.
Karena di balik sentuhan lembutnya yang terlihat, Devian justru memberikan sedikit penekanan pada bagian luka di bagian atas kepalanya. Entah itu memang disengaja atau tidak, hanya Devianlah yang mengetahuinya.
“Awh!!” rintih Rhea.
“Ada apa?” ujar Devian seolah terkejut.
“Ada beberapa memar yang ditemukan di bagian kepalanya Tuan. Luka itu terlihat mirip seperti luka benturan serta jambakan yang tak beraturan. Wajar jika pasien merasa sakit jika luka itu disentuh.” Jelas salah seorang suster yang tengah merapikan infus di tubuh Rhea.
“Maafkan aku.” Seru Devian seakan merasa bersalah.
“Kak…” lirih Rhea lagi, kali ini dengan tatapan memohon.
“Ada apa? Katakan!” ujar Devian sedikit dengan penekanan.
“Maaf Kak, bisakah kau membawaku pulang saja? Aku tak ingin berada disini.” lirih Rhea pada Devian diluar dugaan.
"Baiklah, aku akan mengurus kepulanganmu. Untuk sementara aku akan mendatangkan dokter ke rumah. Mau bagaimanapun kau harus tetap di rawat."
Devian bergegas mengurus prosedur pemulangan Rhea. Entah apa maksudnya yang sebenarnya. Entah karena ia memang takut jika perlakuannya terhadap Rhea akan terbongkar atau justru ada maksud lain, seperti memberikan gadis itu hukuman.
Keadaan Rhea yang begitu lemah, mengharuskan Devian untuk menggendongnya. Ia menggendong gadis itu dan memindahkannya ke kursi roda. Ia juga yang mendorong kursi roda Rhea hingga ke mobil. Semua berlanjut hingga mereka tiba di kediaman mereka seolah tak pernah terjadi apa-apa.
"Sudah tidak ada orang disini. Kau bisa menurunkanku sekarang." pinta Rhea lirih ketika keduanya sudah menghilang di balik pintu utama rumah mereka.
Devian tak menurutinya. Ia malah terus membawa gadis itu ke dalam kamar dan meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan lembut. Ia menyelimuti Rhea dan duduk di sisi tempat tidur di sampingnya.
"Siapa yang membuatmu seperti ini? Hatiku terasa sakit melihatnya." Devian mendekap tangan Rhea dan membuat gadis itu merasa kebingungan dengan sikapnya.
"Apa ia masih bersandiwara? Tapi untuk apa?" batin Rhea tak percaya.
Rhea hendak duduk untuk mengimbangi posisi Devian, namun Devian mencegahnya.
"Berbaringlah, kau harus beristirahat. Kondisimu sedang tidak baik."
Rhea menurut. Devian berjalan ke arah dapur dan mengambilkan segelas air untuk Rhea lengkap dengan obat-obatannya. Ia meminta Rhea untuk meminumnya, lalu menemani gadis itu beristirahat.
Jujur di dalam benak Rhea, ia merasa sangat takut. Perubahan tak biasa dalam diri Devian ini bisa saja merupakan pertanda buruk. Namun ia tetap memaksakan matanya untuk terpejam lantaran pengaruh obat yang membuatnya merasa mengantuk.
Di dalam lubuk hatinya, ia bahkan tak bisa memungkiri. Bahwa posisi tubuh Devian yang kini tengah mendekapnya terasa begitu hangat dan nyaman. Ini kali pertamanya di dalam hidup merasakan perasaan yang demikian.
"Maafkan aku karena masih harus belajar mencintaimu. Namun aku akan berusaha Rhea. Jangan pergi lagi, aku takut akan sebuah perpisahan." lirih Devian yang turut mengantar Rhea masuk ke dalam alam mimpinya.
Pukul 19.00 malam...
Rhea terbangun ketika tubuhnya dilempar kasar hingga melantun turun dari tempat tidur. Lagi-lagi sudut dahinya terbentur ke sisi nakas untuk yang kesekian kalinya.
Devian baru saja terjaga dari tidurnya yang lelap ketika ia tengah mendapati gadis itu berada di dalam dekapannya. Emosinya meledak, dan langsung mendorong tubuh Rhea dengan begitu keras.
"Ada apa ini? Ada apa dengannya?" batin Rhea sambil meringis.
"Apa yang kau lakukan? Berani-beraninya kau memelukku seperti itu, Hah!" bentak Devian seolah kesetanan.
Baru berselang tiga jam sejak perlakuan manisnya kepada diri Rhea. Namun sifatnya kini kembali kepada Devian yang bengis.
"Bukankah seharusnya kau masih berada di dalam kamar mandi? Berani-beraninya kau keluar dan memelukku seperti itu!"
Rhea memutar ingatan di dalam kepalanya , samar ia teringat akan ingatan yang terjadi di pagi hari tak selang setelah dirinya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi.
Kala itu salah seorang maid datang dan berniat ingin membersihkan rumah, ketika ia menemukan Rhea tak sadarkan diri di dalam kamar mandi. Maid itu yang membawanya ke rumah sakit. Namun belum sampai di rumah sakit, ada seseorang yang memukulnya dari belakang hingga ia turut terjatuh bersama Rhea.
Posisi mereka kala itu tengah berada di taman bermain hendak menunggu taksi. Namun ia tak bisa ingat kejadian lainnya. Bagaimana bisa ia berada di rumah sakit sendirian? Kemana maid itu?
"Apa mungkin ia marah karena berfikir aku mencoba kabur?" batin Rhea tak percaya.
"Jangan bersikap bodoh! Dan kembali ke tempatmu!" lagi-lagi Devian menjambak rambutnya dan menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi seperti sebelumnya.
"Apa-apaan ini? Lantas ada apa dengan sikapnya tadi? Kenapa aku merasa ia begitu tulus?" dialog Rhea sendiri setelah Devian meninggalkannya dan mengunci pintu kamar mandi.
Ia ingat betul betapa manisnya Devian sebelumnya. Bahkan Devian juga yang memindahkannya ke tempat tidur kemarin, saat ia tak sadarkan diri. Tapi kenapa sikapnya seperti ini? Seolah ia adalah dua orang berbeda di dalam satu raga.
Ponsel Rhea berdering. Ada nama kuasa hukum keluarganya tertera disana. Tanpa berfikir panjang lagi, Devian pun mengangkat telfon itu dan berlagak seakan sang istri tengah tertidur pulas.
"Saya hanya ingin memastikan Tuan untuk membantu Nona dengan obat-obatannya. Besok pagi ada konsul dengan dokter penyakit dalam pukul 09.00 pagi. Jika Tuan sibuk, izinkan saya yang menjemput Nona besok pagi."
"Rumah sakit? Sial!! Apa yang ia lakukan kali ini?" batin Devian mengumpat.
"Tidak, aku akan mengantarnya sendiri. Rhea baru saja mengonsumsi obatnya dan ia kini tengah tertidur." ujar Devian mencoba memberikan alasan yang masuk akal.
Devian menutup panggilannya stelah itu dan langsung berlarian ke arah kamar mandi untuk menemui Rhea. Gadis itu terlelap, tenaganya benar-benar habis ditambah lagi dengan kondisi tubuhnya yang tengah berada dalam keadaan tidak baik.
Ia mengguncang sedikit tubuh Rhea dengan kakinya, namun gadis itu sungguh tak bergeming. Devian akhirnya mengalah dan turun untuk bersimpuh tepat di sampingnya.
"Apa ia melakukannya lagi?" Devian menatapnya penuh makna. Entah apa yang ia maksud dengan melakukannya lagi?
"Sial, bahkan gadis ini benar-benar manis untukku sia-siakan." umpatnya sebelum akhirnya ia meraih tubuh Rhea masuk dalam gendongannya. Ia mengangkat tubuh Rhea menuju ke atas tempat tidur dan membaringkannya disana.
"Aku akan menanyainya besok. Sekarang istirahatlah!" lirihnya seolah tak pernah terjadi apapun diantara keduanya.
Ia memanglah Devian. Ia bahkan tak menyelimuti gadis itu sama sekali dan membiarkannya tidur dalam keadaan basah kuyup.
"Mau bagaimanapun aku masih memiliki rasa iba. Kau tidak boleh mati secepat itu, ayahmu masih harus menyaksikan penderitaan anaknya dari atas sana." seringai Devian licik.
Devian melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang bawah tanah rumahnya yang terlihat lebih mencekam dari tempat lain di rumah itu.
"Kau membantunya? Tidakkah kau terlalu baik Daffa?" Devian mengelus lembut puncak kepala seorang pemuda yang nampak lebih muda darinya. Seorang pemuda yang tengah berbaring tak berdaya di atas sebuah bangkar yang berada tepat di depannya.
Tubuhnya begitu pucat, dengan bau busuk menyengat yang mengundang serangga berkumpul disana. Devian memanggilnya dengan nama Daffa, sang kakak sulung yang telah meninggal beberapa bulan lalu akibat kecelakaan konstruksi yang menimpanya dalam proyek terakhirnya bersama Aziel, ayah kandung Rhea. Setidaknya begitulah yang ia ketahui, hingga memancing semua tindakannya kepada Rhea selama ini.
Devian sangat membenci Aziel karena itu. Namun karena Daffa bukanlah anak yang dipublikasikan oleh keluarga, ia tak bisa mengungkapkan kematiannya begitu saja.
Ia menyimpan jasad Daffa disana lengkap dengan seragam konstruksi favoritenya seakan ia tengah menatap pemuda itu tengah tertidur akibat kelelahan dan bukannya meninggal.
Devian divonis memiliki kepribadian ganda setelah kepergian Daffa. Ia seolah hidup sebagai dua orang sekaligus yaitu Daffa dan dirinya. Sisi putih dalam dirinya adalah Daffa sedangkan sisi gelapnya milik dirinya sendiri.
Ia bahkan tak mencampur ingatan keduanya dan berakhir linglung setelah pertukaran itu terjadi. Seolah-olah diri Daffalah yang tengah merasukinya dan mengambil alih tubuhnya selama ini.
"Hentikan Daffa! Berhenti mengasihani putrinya hanya karena tangannya tak melakukan apa-apa. Ia tetap harus menebus segala kesalahan ayahnya." dialog Devian seorang diri.
"Apa katamu? Aku sudah membunuh Aziel? Apa kau kira itu setara dengan pengkhianatannya terhadap ayah dan perlakuannya terhadapmu? Jangan hentikan aku jika kau tak ingin aku semakin menyiksanya."
Devian keluar dari gudang bawah tanah itu dengan membanting pintu dan kembali menguncinya dari luar. Diri Devian saat ini lebih nampak seperti orang gila dibanding orang yang memiliki ambisi untuk menghabisi musuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!