Pergi ke sungai memancing ikan
Ikan kecil ikan arwana
Salam sapa saya ucapkan
Assalamu'alaikum pembaca semua.
(Apa kabar pembaca semua? akhirnya emak san bisa balik lagi menulis di sini setelah sekian purnama hamidun dan melahirkan yang penuh suka cinta, ada nyidam, ada mabok, ada begadang, pokoknya warna warni kaya urab. Insyaallah emak san akan konsisten lagi nulis di sini, dukung emak selalu yah, doain juga biar bisa sehat selalu)
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa Yu?" tanya Ajeng yang tengah melihat Ayu sahabatnya tampak gelisah. Ayu juga entahlah kenapa demikian, hanya saja tiba-tiba ia ingin pulang ke rumahnya karena kekasihnya Harsa sudah seminggu ini ponselnya tidak aktif. Ayu khawatir jika terjadi sesuatu dengan kekasihnya yang sudah menjalin hubungan selama hampir 4 tahun sejak Ayu duduk di bangku SMA kelas 3.
Kini Ayu sedang menjalani pendidikan di kota Bandung, sudah memasuki semester 6, yang artinya 3 tahun sudah Ayu jauh dari orangtua dan menjalani LDR dengan kekasihnya.
"Besok pagi antar aku ke terminal ya Jeng," pinta Ayu pada Ajeng teman sekamarnya. Ajeng langsung mengiyakan, ia memahami untuk saat ini mungkin Ayu tidak ingin bercerita sesuatu padanya.
Ajeng akhirnya tidur terlebih dulu, sementara Ayu masih saja gelisah hingga. akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudlu. Lalu melanjutkan membaca Alquran, ia berharap bisa membuat hatinya tenang.
Setelah membaca berlembar-lembar akhirnya Ayu mulai mengantuk, ia mengakhiri tilawahnya. Matanya mulai sedikit terpejam, namun hatinya terus saja memanjatkan doa, semoga tidak terjadi hal buruk padanya ataupun pada orang yang ia cintai.
***
Keesokan paginya selesai salat subuh, Ayu menyiapkan keperluannya pulang ke Jogja, sedangkan Ajeng tengah memasak sarapan untuk dirinya juga Ayu, biasanya keduanya masak bersama, tapi karena sejak semalam Ayu tampak murung, Ajeng tidak berani mengajak Ayu masak bersama.
"Yu, sebelum ke terminal sarapan dulu yah." Ajeng menyiapkan dua piring yang sudah ada nasi di dalamnya. Ia sengaja meletakan nasi ke piring sedari tadi agar saat dimakan sudah tidak panas lagi. Pesan dari ibunya tidak boleh meniup makanan karena tidak baik untuk kesehatan.
Selesai makan Ajeng mengantar Ayu ke terminal. Andaikan sedang libur, ingin sekali ia menemani Ayu pulang ke Jogja, rasanya tidak tega melihat Ayu tampak lesu, tidak seperti biasanya selalu enerjik dan ceria.
Sesampainya di terminal, Ayu bergegas membeli tiket di loket, rasanya ia sudah tidak sabar ingin sampai ke Jogja, biarlah kepulangannya saat ini menjadi kejutan untuk keluarga dan juga kekasihnya.
"Makasih ya Jeng, nanti sepulang dari Jogja pasti aku cerita, sekarang rasanya lemas sekali, tidak bersemangat," ucap Ayu. Ajeng mengangguk tanda mengerti, sebagai sahabat yang sudah 3 tahun tinggal bersama Ayu, ia faham Ayu seperti apa. Nanti juga pasti akan bercerita dengan sendirinya tanpa harus ditanya-tanya.
"Hati-hati lhoo yah di jalan, jangan banyak ngelamun, kalau sudah sampai langsung kabari aku."
"Oke."
Ayu bergegas naik ke dalam bus, semalam tidak nyenyak tidur rasanya ingin segera istirahat di bus. Ajeng masih menunggu di terminal, ia akan pulang jika bus yang Ayu tumpangi sudah berangkat meninggalkan terminal.
Ayu menatap Ajeng dari kaca jendela bus. Ia merasa bersyukur mendapatkan sahabat yang baik saat tinggal di kota orang. Rejeki tidak mesti berupa uang, dipertemukan dengan teman yang baik juga itu merupakan rejeki yang patut disyukuri. Selama ini Ayu merasa sangat bahagia dengan kehidupannya, kuliah lancar, memiliki teman yang baik, keluarga rukun serta kekasih yang setia menunggunya hingga sarjana.
Namun dalam menjalani fase kehidupan, tidak mungkin selalu menjalani hidup yang bahagia dan hati yang selalu gembira. Kadang kala, memang harus dihadapkan dengan ujian hidup yang membuat risau, sedih, galau, khawatir, gundah gulana.
Dalam hati Ayu tak hentinya melafalkan doa agar hati dan pikirannya tentram dan tenang.
Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu’minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna’u bi ’atho-ika.
Bus perlahan mulai berjalan meninggalkan terminal. Ajeng sedikit lega, ia bergegas berangkat ke kampus, hari ini ada kuliah pagi, kebetulan juga sudah membawa perlengkapan ke kampus.
☘️☘️☘️
Benar saja kedatangan Ayu mengejutkan keluarganya, mereka merasa heran tumben sekali Ayu pulang tanpa memberi kabar terlebih dulu.
"Bagaimana ini Pak," ucap Bu Fatimah pada suaminya. Ayu menghampiri ibunya, "Kenapa Bu?"
Bu Fatimah menggeleng sambil tersenyum lalu memeluk anak gadisnya.
"Letakan dulu tasmu, nanti ke meja makan yah, ibu kebetulan masak semur ayam, firasat saja hari ini ibu tiba-tiba ingin semur ayam." Ayu mengangguk, ia bergegas ke kamarnya, berganti pakaian lalu makan bersama keluarga.
Selesai makan Bu Fatimah mengantar Ayu ke kamarnya, menyuruhnya istirahat sambil bertanya sedikit perihal kepulangan Ayu yang tanpa kabar. Apakah ada libur mendadak, atau uang saku nya habis, tapi sebelumnya Ayu tidak pernah seperti ini.
"Ada masalah di kampus?" tanya Bu Fatimah sambil duduk di tepi ranjang. Ayu menggeleng.
"Dari raut wajahmu sepertinya sedang ada masalah, ibu merasakannya," ucap Bu Fatimah. Ayu memang tidak akan bisa bohong ketika di hadapan ibunya. Seorang ibu juga pasti memiliki firasat yang kuat perihal anaknya.
"Mas Harsa Bu, sudah seminggu ini tidak ada kabar, mau meminta bantuan ibu, tapi tidak enak hati, ini masalah Ayu," jawab Ayu jujur. Bu Fatimah langsung memeluk putrinya, ia tahu apa yang akan terjadi nanti dengan Ayu, bu Fatimah juga tahu yang sebenarnya tentang Harsa, tapi tidak memberi kabar pada Ayu agar Ayu fokus kuliah saja.
Pelukan ibu membuat Ayu tenang. Tidak ada yang lebih menenangkan selain berpelukan dengan ibu.
Pelukan seorang ibu kepada anaknya ibarat obat paling ampuh atas semua peluh yang Ayu sembunyikan, kata-kata yang lelah yang terucap, dan segala perkara kehidupan yang sedang Tuhan ajarkan.
"Sudah ya, istirahat dulu, besok baru ke rumah Harsa." Ayu mengangguk. Bu Fatimah keluar dari kamar Ayu dengan perasaan cemas. Esok pasti perasaan anaknya akan hancur. Namun bu Fatimah berharap semoga anaknya bisa memetik Hikmah dari apa yang terjadi esok.
☘️☘️☘️
Keesokan harinya Ayu sudah tidak sabar ingin ke rumah mas Harsa, bapak sudah menawarkan untuk mengantar Ayu, tapi Ayu menolak, ia sudah biasa bertamu ke rumah mas Harsa, keluarga mas Harsa juga sudah sangat mengenal Ayu.
Ayu bergegas ke rumah mas Harsa menggunakan motor. Sesampainya di gang rumah mas Harsa di sepanjang jalan terlihat begitu ramai, sepertinya ada hajatan. Mungkin saja tetangga mas Harsa.
Semakin mendekati rumah kekasihnya, Ayu terkejut karena di depan rumah mas Harsa juga ada tenda dan janur kuning, tersambung dengan rumah tetangga sebelahnya. Ayu masih berfikir positif, mungkin saja tetangga mas Harsa meminjam halaman rumah agar panggung hajatan lebih besar.
Ayu turun dari motor, sorot matanya langsung tertuju pada lelaki yang selama ini sangat ia cintai tengah mengenakan baju manten. Digiring menuju rumah sebelah. Karena Ayu masih penasaran, ia masih berdiri di belakang tenda untuk memastikan lagi bahwa yang ia lihat tidak salah.
Hingga akhirnya, lafadz ijab kabul terdengar di telinganya. Hatinya hancur, ternyata seminggu tidak memberi kabar karena sedang menyiapkan pernikahan dengan mbak Mira. Ayu terdiam kaku, ia lalu berlari meninggalkan tenda biru sambil terisak. Ia masih tidak menyangka jika mas Harsa akan mematahkan hatinya hingga berkeping-keping.
(Jangan lupa like komen dan share, eh kaya YouTube aje. Kalau lagu mah bojomu semangatku, kalau bagi author mah komenmu semangatku😁😁)
Ayu terus berlari menerobos kerumunan ibu-ibu yang hendak kondangan. Ia lalu berhenti di pohon asem rindang, tidak jauh dari rumah kekasihnya. Ah saat ini statusnya harus sudah diganti, yaitu mantan kekasih.
Ia kembali terisak, "Tega kamu mas, tega, jahat kamu mas, kamu ingkar dengan semua janji-janjimu, mas Harsa kamu jahat," cerocos Ayu meracau sendiri, masih dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya.
"Ehhmmm."
Ayu terkejut dengan suara deheman lelaki yang ternyata sedang berteduh juga di pohon asem. Lelaki itu cukup rapi dengan setelan batik dan celana panjang berwarna hitam.
Ayu tidak menghiraukan kehadirannya, ia melanjutkan tangisan dan terus saja meracau. Hal ini bertujuan agar sampai rumah nanti dirinya sudah tenang, tidak membuat ibunya khawatir.
"Dih nangisnya tambah kenceng, nanti kesambet setan pohon asem ini lhoo Mbak," kata lelaki itu. Ayu mendengarnya namun ia hanya meliriknya sinis. Eh malah lelaki itu terkekeh. Seperti lucu sekali melihat Ayu menangis.
"Mas, kalau mau kondangan ke sana, jangan di sini, yang punya hajat di sana, bukan di sini," ucap Ayu akhirnya berani membuka suara.
"Sumpek di sana, banyak emak-emak pada heboh, usel-uselan, mending di sini sambil ngadem, anginnya sepoi-sepoi lagi. Eh Mbak, mau es tung-tung nggak?" tanya lelaki itu. Ayu tidak merespon, ia terdiam sambil melihat sungai yang mengalir tenang di bawah pohon asem.
"Nih." Lelaki itu memberikannya satu es tung-tung. Ayu meliriknya sambil bergumam dalam hati, sok akrab sok baik, tapi Ayu menerimanya karena rasanya tidak sopan jika sudah dibelikan tapi menolak.
Ayu melihat lelaki itu tampak menikmati es tung-tung yang dibelinya.
"Dimakan, nanti meleleh, jangan ngeliatin saya terus, saya sudah tahu dari dulu kalau saya itu ganteng," ucap lelaki itu jumawa. Ayu mendengus kesal, percaya diri sekali si es tung-tung, mengatakan dirinya ganteng.
Ayu memakan es nya sedikit demi sedikit, ada rasa tenang dalam hatinya, lelah juga sedari tadi terisak, es ini juga membuatnya terasa nostalgia zaman kecil dulu, saat dirinya belum memikirkan soal asrama dan lelahnya menjadi dewasa.
"Enak yah es nya," tanya lelaki itu pada Ayu. Ayu mengangguk, refleks saja karena memang enak.
Saat Ayu mendengar lagi iringan doa pengantin, air matanya kembali meleleh. Namun mulutnya tetap memakan es tung-tung.
"Kenapa?"
"Ternyata sakit sekali dihianati," ceplos Ayu. Entahlah tiba-tiba ia mengatakan demikian pada lelaki yang tidak ia kenal.
Lelaki itu terkekeh, "Pacaran bertahun-tahun tidak bisa menjamin kalau hubungan tersebut bisa berakhir di pelaminan. Bahkan, yang sudah melaksanakan tunangan pun masih bisa gagal dan tidak jadi menikah. Pasti rasanya sakit bukan main. Ditambah lagi, kalau tiba-tiba pasangan memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Duh, nggak kebayang, deh."
Ayu menatap lelaki yang ada di sebelahnya, "Memangnya kamu tahu apa yang sedang aku tangisi."
"Tahu, kan dari tadi kamu menangis sambil meracau-racau tentang pengantin pria yang sedang bersanding di pelaminan. Wanita yang dinikahinya itu saudara saya. Sedikit cerita saya tahu kenapa keduanya menikah, dan sepertinya kamu kekasihnya pengantin lelaki itu yah?"
Ayu terdiam, tidak menyangka jika lelaki yang sedari tadi mendengar cerocosannya adalah saudara dari mbak Mira.
"Ya, kehidupan ini terjadi dari berbagai fase. Anggap saja saat ini kita juga sedang menjalani sebuah fase. Saat yang lain berbahagia menikah dan membangun rumah tangga mereka, inilah fase kita untuk bisa lebih dewasa. Dewasa untuk kembali menyusun prioritas hidup. Dewasa untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Terus memperbaiki diri agar hidup ini jadi lebih berarti. Kamu sepertinya juga masih sangat muda." Kini justru lelaki itu yang terus bicara.
"Bhumi ... Bhumi... sedang apa kamu di situ?" Lelaki itu menengok ke arah sumber suara. Lalu bergegas berdiri, setelah itu pergi meninggalkan Ayu.
Ayu menengok sekilas, lelaki itu sedang berbincang dengan wanita setengah baya, mungkin saja ibunya.
"Bhumi mau kemana lagi, sesi foto sudah dimulai."
"Iya sebentar, itu mau pamit dulu sama hantu pohon asem Bun."
Ayu berdecak, menyebalkan sekali lelaki yang ternyata bernama Bhumi itu menyebutnya hantu pohon asem.
Bhumi menghampiri Ayu kembali, lalu berpamitan jika dirinya akan pergi, Bhumi berpesan agar Ayu tidak banyak melamun karena pohon asem yang ia gunakan untuk berteduh sangat angker.
"Sabar yah, mungkin ini hal yang klise dan sudah sering didengar. Pernikahan bukan perlombaan. Setiap orang akan menemukan cinta sejatinya di waktu yang paling tepat. Dan ya, setiap orang akan menikah pada waktunya. Meski begitu, tak bisa dipungkiri kalau kadang kenyataan yang ada bisa membuat kita begitu terpukul. Kenyataan bahwa tinggal kita seorang diri yang menemukan tambatan hati, membuat kita merasa dunia sangat tak adil. Kita merasa seolah semesta sengaja mempermainkan kita dan membuat kita jadi orang paling sedih di dunia. Lupakan pahitnya, jangan lupakan pelajarannya," ucap Bhumi meninggalkan senyuman lalu berlari masuk ke dalam tempat hajatan.
Ayu merenungi kata-kata Bhumi, apa yang diucapkan lelaki itu benar, tapi kenapa tiba-tiba ada lelaki itu, apa mungkin Tuhan menghadirkannya agar bisa menasehati Ayu dan sedikit mengurangi rasa galaunya.
Ayu bergegas meninggalkan pohon asem dan kembali menaiki motornya, takut apa yang dikatakan Bhumi benar jika pohon asem ini banyak hantunya, takut juga hilaf malah terjun ke sungai, kasihan ibu bapak nanti.
☘️☘️☘️
Sesampainya di rumah, bu Fatimah langsung menghampiri Ayu, ia sengaja menunggu putrinya sedari tadi, takut terjadi sesuatu pada putrinya.
"Ayu ..." Bu Fatimah memeluk putri semata wayangnya. Tidak ada lagi tangis yang mengalir dari mata Ayu, sudah terkuras habis tadi di bawah pohon asem.
"Ayu baik-baik saja Bu." Bu Fatimah melepaskan pelukannya, ia menatap Ayu, ada bekas tangisan di mata Ayu.
"Istirahat saja yah." Bu Fatimah mengantarkan ayu ke kamarnya.
Ayu menutup kamarnya, ia melihat sekeliling kamarnya, banyak barang-barang pemberian kekasihnya. Ia tidak istirahat, melainkan mengemasi barang yang pernah kekasihnya berikan. Ayu tidak ingin dibayang-bayangi kenangan dari mas Harsa.
Mas Harsa kini sudah menjadi suami orang, yang artinya takdir sudah berpihak pada mbak Mira. Ayu lah yang harus mengubur dalam-dalam kenangan indah yang pernah terjadi.
Ayu dan mas Harsa kini sudah ada pembatas yang sangat besar, tidak mungkin kembali seperti dulu lagi.
Ayu tentunya mulai memikirkan kembali segala kemungkinan terburuk yang terjadi saat dirinya mencintai pria yang sudah memiliki istri ini. Faktanya, mencintai suami orang lain adalah hal yang tidak bisa diterima.
Mas Harsa sudah menikah, dia sudah berkomitmen dengan orang lain, dan Ayu harus menghargainya. Ia akan mengubur dalam-dalam perasaannya terhadap mas Harsa.
4 tahun rasanya waktu yang sangat sia-sia. Ayu hanya ditakdirkan menjaga jodoh oranglain. Mbak Mira memang cantik, juga sudah dewasa, apalagi rumah mereka berdekatan, mungkin hal itu yang membuat mas Harsa akhirnya berpindah ke lain hati.
Seperti halnya pepatah jawa, trisno iku jalaran soko kulino. Karena bertetangga dan seringnya bertemu ketimbang dirinya yang jauh di Bandung.
(Jangan lupa like komen dan Vote yah sayang ku semua. Kabar emak Alhamdulillah sehat, dede bayi sehat sudah 2 bulan Alhamdulillah. Novel emak bakal sampai tamat, bakal nulis di sini terus kok tenang aja)
Sebelum kembali ke Bandung, Ayu sengaja bersilaturahmi terlebih dulu ke rumah mantan kekasihnya, bahkan Ayu membawa kado pernikahan dan berencana akan mengucapkan selamat juga untuk sang pengantin.
Kini Ayu sudah semakin lega, karena Pak Harun, bapak Ayu selalu memberikan nasihat positif padanya. Kata bapak cara paling cepat move on adalah ikhlas, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini atas kehendak gusti Allah. Sebagai manusia kita mau tidak mau harus menerima luka maupun bahagia yang Allah berikan.
Jam 10 pagi, Ayu sudah sampai di depan rumah Harsa, mantan kekasihnya. Masih terlihat sisa-sisa hajatan kemarin. Ayu menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan sambil membaca basmalah dalam hati.
Belum sempat mengetuk pintu, terlihat ibu dari mas Harsa menghampiri Ayu, lalu memeluknya dengan erat sambil menangis dan meminta maaf. Bu Leha menggandeng Ayu masuk ke dalam rumah, dibawanya Ayu ke dapur lalu kembali memeluk penuh haru.
Ayu yang tadinya tegar akhirnya tidak kuat juga mendengar tangisan bu Leha. Selama pacaran dengan mas Harsa, bu Leha adalah sosok yang sangat baik padanya.
"Sudah Bu, jangan seperti ini, Ayu akan mencoba ikhlas," ucap Ayu sebagai upaya untuk menenangkan bu Leha.
"Sudah Bu." Pak Edi, bapak mas Harsa juga ikut menenangkan bu Leha. Kebetulan dapur sepi, hanya ada bu Leha dan pak Edi. Sepertinya keluarga mas Harsa sudah kembali ke rumah masing-masing. Hajatan juga memang sudah selesai.
Ayu mengajak bu Leha duduk di bale dapur. Bu Leha meminta maaf pada Ayu karena tidak bisa mendidik putranya dengan baik, hingga akhirnya harus menikahi tetangga sebelah.
"Ayu memaafkan Bu, mungkin saja mas Harsa sudah ingin secepatnya berumah tangga. Ayu juga salah karena terlalu lama membuat mas Harsa menunggu," ucap Ayu berusaha berpikir dewasa.
"Entahlah, Harsa sedang kerasukan setan atau bagaimana, kenapa dia bisa sebejat itu, ibu malu pada semua orang, terlebih padamu Yu," ucap bu Lela yang bicaranya terbata-bata karena terus saja terisak.
Ayu tidak paham dengan ucapan bu Leha mengenai mas Harsa yang kesurupan dan bejat, padahal selama ini mas Harsa adalah sosok yang baik, tidak pernah neko-neko, ibadahnya juga rajin.
"Kenapa ibu malu, mas Harsa orang baik bu."
"Jika dia baik, tidak mungkin sampai menghamili Mira." Ucapan bu Leha bagaikan petir di siang bolong yang menyambar hati Ayu.
Seseorang yang sangat ia percaya ternyata selama ini berkhianat. Ayu bahkan tidak menyangka jika mas Harsa sampai melakukan perbuatan serendah itu. Andaikan saja alasan pernikahan kemarin karena tidak kuat menjalani hubungan jarak jauh atau memang karena terlalu lama menunggu, Ayu akan sangat faham dan memaafkan dengan segala kerendahan hati.
Tapi ternyata, alasan pernikahan mas Harsa karena hal di luar pemikirannya. Ternyata mencintai seorang pria seperti menggenggam sebongkah pasir. Tidak tahu kapan ia akan keluar dari sela-sela jari.
"Sekarang mas Harsa di mana Bu? Ayu mau memberikan ini dan mengucapkan selamat," ucap Ayu berusaha setenang mungkin walaupun di dalam hatinya sedang bergemuruh.
"Harsa sedang silaturahmi ke rumah saudara-saudara Mira, kirim makanan ke tetua," jawab bu Leha. Ia lalu mengusap lengan Ayu, mendoakan semoga Ayu mendapatkan jodoh yang baik, digantikan dengan yang lebih baik dari Harsa.
Karena mas Harsa tidak ada, akhirnya Ayu pamit pulang, nanti sore sudah harus kembali ke Bandung, harus semangat melanjutkan hidup dan masa depannya.
Ayu percaya Allah Maha Tahu apa dibutuhkan hamba-Nya. Termasuk untuk urusan jodoh. Allah tak serta merta memberikan apa yang diinginkan oleh hamba-Nya, tetapi Dia akan menyiapkan dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya.
Ayu menitipkan kado untuk mas Harsa pada bu Leha. Ia lalu pamit pulang serta berpesan bahwa dirinya akan tetap menganggap bu Lela sebagai saudara, tak ada keinginan sedikitpun untuk memutus silaturahmi pada keluarga ini.
Bu Leha juga demikian, jika waktunya sudah senggang, akan bersilaturahmi ke rumah orangtua Ayu, ingin meminta maaf juga karena ternyata takdir berkehendak lain, tidak bisa melanjutkan rencana besanan yang sudah diimpikan sebelumnya.
☘️☘️☘️
"Yu, kamu mau bawa apa buat ngasih oleh-oleh Ajeng nanti," tanya bu Fatimah. Padahal ia sudah menyiapkan beberapa bekal untuk putrinya, tapi siapa tahu Ayu ingin sesuatu.
"Seadanya saja Bu, kan Ayu juga pulang nggak lama, bukan berlibur juga."
"Oh ya sudah, ibu sudah siapkan beberapa makanan, sudah ibu kemas juga dalam kardus, kamu nanti tinggal bawa. Pokoknya kalau ada apa-apa kabari ibu yah. Ayu hanya merespon dengan Anggukan.
"Bu, apa ibu tahu jika mas Harsa menikah karena kecelakaan?" Ayu penasaran apakah ibunya sengaja menyembunyikan banyak hal darinya.
Bu Fatimah mengangguk lalu bercerita jika dirinya tahu semua. Rumah Harsa tidaklah jauh, hanya tetangga desa, kabar itu menyebar dari mulut ke mulut hingga sampailah ke telinga bu Fatimah.
Saat itu perasaannya juga sakit karena membayangkan putri semata wayangnya, ingin marah dan meminta penjelasan pada Harsa, namun dicegah oleh suaminya. Status masih berpacaran, jadi tidak berhak untuk meminta penjelasan. Ayu bukan tanggung jawab Harsa jadi untuk apa meminta penjelasan.
Ayu faham, dari dulu entah kenapa bapak tidak mau akrab dengan mas Harsa, ternyata firasat bapak begitu kuat.
Bu Fatimah dan pak Harun sengaja tidak memberitahu Ayu karena takut mengganggu konsentrasi belajarnya di kampus. Ayu adalah harapan satu-satunya, kebanggaan bu Fatimah dan pak Harun.
***
Sore harinya pak Harun mengantar putrinya ke terminal. Pak Harun selalu berpesan agar Ayu fokus terlebih dulu pada pendidikannya, keinginan orangtua adalah melihat anaknya sukses dan memiliki masa depan cerah. Masalah jodoh, bisa dicari nanti saat sudah waktunya.
Ayu sadar, selama ini prioritasnya sudah terbagi, ada penyesalan tersendiri dalam dirinya. Orangtuanya sudah berjuang memberikan pendidikan tinggi di tengah kepercayaan masyarakat tentang tidak penting perempuan sekolah tinggi. Namun orangtua Ayu menepis prinsip itu, tapi Ayu sendiri malah membagi fokusnya pada hal yang belum tentunya membuatnya bahagia.
Kata Bapak semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, Tenang saja, dibalik segala ujian dan cobaan pasti terselip hikmah didalamnya. Hikmah yang menjadi pelajaran berharga bagi perjalanan hidup. Hikmah yang bisa merubah sikap buruk di masa lalu, sehingga bisa menjadikannya lebih baik di masa depan. Hikmah yang menjadi bekal untuk meneruskan perjalanan hidup, karena sejatinya hidup ini adalah sebuah perjalanan yang harus dinikmati dan dilalui dengan baik.
Ayu merasa beruntung memiliki bapak yang bijak dan sangat baik, kini saatnya Ayu yang akan berusaha menunjukkan yang terbaik untuk kedua orangtuanya.
Bus yang akan Ayu tumpangi sudah datang, Pak Harun mengantar putrinya sampai ke dalam bus, ia berniat akan menunggui Ayu hingga bus berangkat menuju Bandung.
"Pak, maafkan Ayu yah selama ini, terima kasih untuk semua yang sudah bapak berikan, maafkan Ayu jika sudah mengecewakan."
Pak Harun berdecak lalu mengusap rambut lebat putrinya, "Memberikan yang terbaik sudah menjadi kewajiban bapak, manusia itu tempatnya salah, Nak. Yang terpenting adalah mau memperbaiki. Sudah pokoknya saat ini fokus saja belajar yah." Ayu mengangguk mantap.
(Jangan lupa like komen dan Vote, komentarmu semangatku pokoknya, salam sayang semuanya)
Oh ya jangan lupa mampir juga nih ke novel temen emak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!