NovelToon NovelToon

Al-fatihah Pembuka Jodoh

Pertemuan

Sita adalah gadis kampung yang merantau ke kota untuk mencari sebuah pekerjaan. Sita diterima bekerja di sebuah perusahaan ternama di kota Bandung, sebagai Operator MC tenun. Sita gadis sederhana, sopan santun, dan baik, dia selalu berusaha agar tidak mengecewakan orang tuanya. Orang tua Sita selalu menanamkan nilai-nilai agama yang baik pada Sita.

Sebelum Sita pergi ke kota abah berpesan.

"Dimana pun, kapan pun, sesibuk apa pun, shalat jangan sampai ditinggalkan."

"Baik Abah, Sita akan selalu mengingat pesan Abah." Dengan nada lembut Sita menjawab.

"Assalaamu'alaikum. Sita berangkat ke kota dulu, jaga diri Abah baik-baik," kata Sita.

Sita berpamitan pada abah dengan deraian air mata di pipinya. Tidak terasa suara Sita mulai terdengar berat, semakin tenggelam dalam kesedihan.

Bagaimana tidak sedih? Ini kali pertama Sita meninggalkan abah sendirian di rumah, mengingat abah yang sudah tua dan sakit-sakitan Sita semakin berat meninggalkan abah.

Namun, apalah daya, Sita harus mengadu nasibnya di kota. Keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan memaksa Sita harus mecari uang untuk memenuhi kebutuhannya dan membantu abah yang hanya seorang buruh.

Ditambah kondisi abah yang sudah mulai sakit-sakitan tidak memungkinkan abah bekerja terlalu keras. Sedangkan umi sudah meninggal sejak Sita menginjak bangku SMP.

"Wa'alaikumussalaam. Tentu saja Abah bisa menjaga diri Abah." Abah menjawab salam Sita dengan diiringi limpahan doa dalam hati.

Berbeda dengan Sita. Meski ini pertama kalinya Sita ke kota, abah tidak begitu terlihat khawatir, seperti Sita yang mengkhawatirkan abah, karena di sana ada dua kakak perempuan Sita yaitu Riri dan Fitri, yang sudah lebih dulu pergi merantau dan telah menetap disana dengan keluarga kecil mereka masing-masing.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan bikin repot kakak-kakakmu!" Sita mengangguk pelan sambil menyeka air mata di pipinya yang sedari tadi tak berhenti berderai.

Kemudian Sita mencium tangan Abah.

***

Setiap hari Kak Riri tak berhenti mengantar Sita mencari pekerjaan.

Nasib Sita yang beruntung, Sita pun langsung mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan Textil ternama "PT. TEXTIL JAYA."

Berawal dari kontrakan, tempat dimana Sita merebahkan dirinya untuk beristirahat setelah lelah bekerja. Disinilah Sita menemukan jodohnya.

Sita tidak tinggal bersama salah satu kakaknya. Dia lebih memilih tinggal di kontrakan, agar tidak terlalu merepotkan kakaknya. Sengaja Sita memilih kontrakan yang dekat dengan tempat tinggal kedua kakaknya agar dia mudah meminta bantuan jika terjadi sesuatu.

Teng! Teng! Teng!

Suara tukang bakso memukul mangkok dengan kayu kecilnya.

"Mang, beli Mang." Sita pun membeli bakso. Seperti itu setiap harinya Sita membeli bakso sepulang kerja.

Kontrakan Sita merupakan tempat mangkal tetap gerobak bakso Mang Adnan.

Sampai-sampai Mang Adnan tau baik keseharian Sita yang sudah hampir satu tahun berada disana.

Ya, Sita memang tak secantik selebriti. Namun, Sita yang sederhana, baik, ramah, dan rajin beribadah membuat hati para orang tua ingin menjadikannya menantu. Sehingga terbersit dalam hati mang Adnan ingin menjodohkan Sita dengan keponakannya.

Keesokan harinya, mang Adnan tidak melewatkan kesempatan saat Sita membeli bakso seperti biasanya.

Mang Adnan pun ingin mengutarakan keinginan menjodohkan Sita dan keponakannya.

Teng! Teng! Teng!

"Mang seperti biasa, ya,"

kata Sita ke mang Adnan.

"Siap, Neng," jawab mang Adnan.

"Nih, Neng baksonya."

"Waaah ... banyak sekali mang?" Sita merasa senang melihat isi mangkoknya lebih penuh dari biasanya.

"Iya Neng, bonus. Kebetulan mang Adnan lagi punya rejeki lebih," ucap mang Adnan.

"Waaah ... makasih, Mang," ucap Sita senang.

"Sama-sama, Neng." Mang Adnan pun menjawab sambil tersenyum.

"Oh, ya, Neng Sita. Sudah punya pacar belum?" tanya mang Adnan.

"Eemmm ... belum, Mang." Sita mengerutkan keningnya karena heran.

"Mau gak, mang Adnan kenalin sama ponakan mamang?"

"APA!" Sita kaget dan mendadak tersedak.

Ohok! Ohok! Ohok!

Diambilnya gelas berisi air yang ada di meja. Ia pun meminumnya, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.

"Eemmm ... boleh."

Dengan nada setengah ragu menanggapi mang Adnan.

Namun, akhirnya Sita mengiyakan, karena merasa takut mang Adnan sakit hati. Meski di dalam hati ingin menolakny.

"Bener nih, nanti mamang ajak kesini, ya."

"Iya Mang, saya tunggu." Sambil tersenyum Sita menjawab.

"Baiklah nanti mang Adnan kabarin, ya."

Sita ngasih mangkok kosong bekas bakso dan berkata, "Oke! Siap, Mang." Ia pun kembali ke kamarnya.

Ketika malam di dalam kamar Sita pun kepikiran kata-kata Mang Adnan.

"Bener gak sih? Apa Mang Adnan bercanda? Ya sudahlah terserah." Diambilnya selimut dan dipakainya lalu Ia pun tidur.

Suara ayam berkokok membangunkan Sita di waktu subuh. Seperti biasanya Sita mandi, dan lalu shalat subuh. Selesai shalat subuh Sita tidak pernah melewatkan sarapan pagi, dengan menyantap nasi goreng buatannya sendiri.

Tidak ada hal yang baru ditempat kerja Sita. Setiap harinya begitu saja, dengan rutinitas pekerjaan Sita yang hanya sebagai Operator MC tenun di sebuah pabrik.

Tiba waktu Sita pulang kerja, dia pun berjalan kaki bersama teman-temannya seperti biasa.

Setiba di kontrakan Sita pun dikagetkan dengan kehadiran tiga orang laki-laki yang sedang menunggunya.

Tidak disangka dia keponakannya mang Adnan, Ipan, dan temannya Dino, sedangkan seorang lagi ya itu mang Adnan sendiri.

Sita sedikit shock, sekejap Sita terdiam kaget dan bengong. Sita pikir mang Adnan bercanda ternya dia serius.

"Assalaamu'alaikum, Neng Sita." Sontak Sita tersadarkan oleh mang Adnan yang memberi salam.

"Wa'alaikumussalam, Mang," jawab Sita dengan expresi wajah yang masih terlihat kaget.

"Ini siapa, Mang?" tanya Sita ke mang Adnan sambil tersenyum lembut.

"Ini keponakan mamang, Ipan, dan ini temannya Dino." Sambil mengarahkan jari jempolnya ke arah Ipan dan Dino secara bergantian.

"Oh, iya. Perkenalkan nama saya Sita." Sambil mengulurkan tangannya, dan disambut dengan uluran tangan Ipan dan Dino bergantian.

"Mari masuk!" Sita mempersilahkan mereka untuk masuk.

Sita pun menawari mereka minum alakadarnya, tiga gelas air putih.

"Oh, ini ponakan Mamang?" basa basi Sita pada Mang Adnan.

"Iya neng, kalian ngobrol aja dulu, mamang mau jualan di depan. Maaf, mamang terburu-buru, nanti takut ada yang beli."

"Oh, iya. Makasih, Mang," kata Sita.

Setelah mang Adnan pergi suasana hening sejenak.

Tiba-tiba lpan mencoba memecah heningnya suasana saat itu, "Perkenalkan namaku Ipan." Ipan mengulurkan tangannya.

"Iya, tadi 'kan mang Adnan sudah kasih tahu."

Tawa mereka pun pecah.

"Kamu sudah lama ngontrak di sini?" tanya Ipan.

"Lumayanlah hampir satu tahun," kata Sita

"Lumayan lama ya, Sita," Sela Dino.

"Iya, lumayan," kata Sita.

"Orang tuamu ada dimana?" tanya Dino.

"Ada dikampung," Sita kembali menjawab

"Oh," Kata Dino dengan menganggukan kepalanya mengerti.

Sita ingin sekali bicara dengan Ipan, tapi Dino terus menyela. Ternyata Sita memang tertarik sama Ipan, tapi di sisi lain ternyata malah Dino yang tertarik sama Sita.

Saat ini Sita sendiri tidak menyadarinya klo ternyata Dino suka padanya. Sementara Sita sendiri tidak tertarik sama Dino.

Tidak lama mereka pun pulang, karna terburu-buru ada hal yang ingin Ipan kerjakan.

Ipan memang anak mandiri, dia merintis usahanya sendiri di bidang sepatu kulit, walaupun memang saat ini masih usaha kecil -kecilan.

Sementara Ipan yang memproduksi, Dino sendiri adalah patner bisnisnya sebagai distributor.

"Kami pamit dulu, ya. Assalaamu'alaikum." Dino dan Ipan pamit bersama.

"Wa'alaikumussalam," Sita pun menjawab.

Bersambung ...

Berteman

Malam pun tiba. Sita yang sedang rebahan di atas tempat tidurnya mulai memikirkan Ipan, terbayang wajahnya yang putih bersih dan tampan.

Sita pun tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi siang. Senyum merekah dibibirnya memperlihatkan jelas isi hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Sita tidak sadar, teman satu Kontrakannya Ratih yang sedang melipat baju di sofa, sedari tadi memperhatikan dia.

"Akhirnya kamu menemukan pengganti Darwin," kata Ratih.

Ratih yang tadi siang berada di kamar Kontrakan tetangga mengetahu kejadian itu.

Ratih tidak menghampiri mereka karna merasa takut mengganggu.

Sontak Sita kaget dan terlepas dari lamunannya, "Ahh ... apa-apaan sih, baru juga bertemu tadi." Sambil tersenyum malu Sita menimpali.

"kamu tidak perlu menyembunyikannya."

Ratih kembali bicara lalu menyimpan baju yang sedang dilipatnya dan mencoba mendekati Sita lalu memegang kedua tangan Sita dengan lembut.

"Terlihat jelas di wajahmu kebahagian yang dulu pernah hilang. Siapa tahu dia jodohmu." dengan nada gembira Ratih bicara sambil menatap mata Sita dengan kedua tangan yang masih menggenggam tangan Sita.

"Dia sudah cukup mapan dan berumur, dia juga pasti serius mencari jodoh bukan untuk main-main. Dan pastinya tidak seperti Darwin, yang hanya mempermainkan mu," ucap Ratih mengingat mantan pacar Sita yang menyia-nyiakan Sita karna perempuan lain.

kemudian melepaskan genggaman tangannya dan kembali melipat baju.

Sita tertegun, sejenak Sita berpikir apa iya lpan jodohku.

"Ahh, Jodoh takan kemana, klo memang dia jodohku Allah pasti akan tunjukan jalannya." Sita mencoba menepis pikiran itu, lalu Sita pun menarik selimutnya hingga menutupi seluruh badan sampai kepala dan mencoba untuk tidur.

"Emmm ... pura-pura tidur, biasa juga larut malam baru tidur." Ratih mencoba menggoda Sita dengan mengkelitiki kaki Sita menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri memegan baju yang sudah selesai dilipatnya, sambil Ia berjalan ke arah lemari yang ada di sebelah tempat tidur mereka, untuk menyimpan baju yang sudah selesai dilipatnya.

"Aww ... geli tau." Sontak Sita membuka selimutnya kembali sambil tertawa kegelian,

karna Ratih tak berhenti mengkelitikinya.

ha ... ha ... ha ... tawa geli Sita.

Lalu Sita mencoba menepis tangan Ratih, dan spontan melempar bantal ke arah Ratih, Ratih segera meletakan bajunya di lemari dan lalu membalas lemparan bantal Sita, terjadilah perang bantal antara mereka.

"Sudah-sudah! Ampun, aku kalah!" kata Sita.

Sita nampak kewalahan menghadapi Ratih yang badannya lebih gemuk dan berisi di bandingkan Sita, lalu mereka menghentikan perang bantalnya.

"Aku sudah ngantuk." Sita kembali bicara, dia pun membaringkan badannya diatas tempat tidur, sambil tersenyum-senyum sendiri di dalam balutan selimut yang sudah ditariknya kembali hingga menutupi seluruh badan.

"APA! Ngantukk, bohong, paling mau membayangkan Ipan lagi." Ratih terus berusaha menggoda Sita sembari dia pun membaringkan badannya di sebelah Sita, lalu menarik selimut menutupi hanya setengah badan.

"Terserah!" Sita menimpali.

"Ya sudah, aku juga ngantuk, good night," ucap Ratih.

"Good night." Sita menjawab dengan nada yang mulai melemah, dan akhirnya mereka berdua terlelap tidur.

***

"Gimana pan? Apa kamu suka pada Sita?" tanya Dino yang sedang duduk diruang tamu rumahnya bersama Ipan.

"Gimana ya, kamu 'kan tau kalau aku mencintai Syakila. Mang Adnan tidak tau klo aku sudah punya pilihan sendiri," ucap Ipan.

"Ya, syukurlah kalo kamu masih tetap pada pilihan hatimu," Kata Dino.

"Maksudnya?" Ipan melirik Dino heran.

"Ya, aku suka padanya," ucap Dino to the point.

"APA!" dengan kaget Ipan bicara. "Kamu suka pada Sita?" lanjut Ipan tidak percaya.

"Iya, Aku suka padanya," Dino mencoba mempertegas ucapannya.

"Dia cantik, sederhana, ramah, sopan, kelihatannya dia juga baik, dan seperti kata Mang Adnan dia juga rajin ibadah, itu yang terpenting," ucap Dino.

"Sok tau loo," ucap Ipan.

"Aku akan mecari tau sendiri tentang dia, itu juga kalo kamu tidak berubah pikiran," Dino menatap Ipan yang berada persis dihadapannya.

"kenapa harus berubah pikiran, aku mengejar Syakila sejak lama, masa iya setelah aku mendapatkannya aku meninggalkan dia begitu saja karna perempuan lain," ucap lpan.

Ipan lanjut bicara, "Justru aku bersyukur klo kamu menyukainya, kamu bisa bantu aku menjelaskan semua padanya. Mang Adnan pasti sudah bicara pada Sita perihal maksud kedatangan kita kemarin."

"Tentu saja, aku akan buat dia mengerti, kamu tenang saja," ucap Dino bicara dengan nada senang mendengar apa yang di katakan Ipan.

"Besok aku akan menemuinya," ucap Dino kembali penuh antusias.

"Oke, semoga sukses kawan." Ipan pun menyemangati Dino. Sambil menepuk pundak Dino.

"Oke, semangaaat ...." sambil mengangkat tangan kanannya Dino pun menyemangati dirinya sendiri.

"Kalau begitu aku pamit, persiapkan dirimu untuk besok," Ipan bicara kemudian tersenyum pada Dino.

"Baiklah kawan," ucap Dino.

"Bye," Ipan pergi meninggalkan rumah Dino.

"bye," balas Dino.

Dino pun pergi kekamar. Dino membaringkan badannya di atas tempat tidur dan mencoba memejamkan mata.

"Aaahhh sial, kenapa aku tidak bisa tidur," ucapnya. Nampaknya sedari tadi Dino tidak bisa memejamkan mata gelisah memikirkan Sita.

Ia berusaha mengubah posisi miring kanan, dan kiri, tapi pikirannya terus terfokus pada Sita, kemudian Dino bangun dan duduk rebahan menyandarkan dirinya kebantal.

"Bagaimana aku menjelaskannya pada Sita, semoga saja dia tidak kecewa, dia pasti menaruh harapan pada Ipan."

Pikirannya kembali pada Sita, kemudian tersenyum-senyum sendiri mebayangkan pertemuan tadi siang. Dino tidak sabar ingin menemuinya.

"Rasanya ingin cepat pagi." Dino bicara sendiri dan lalu tertidur.

***

"Rat, jangan lupa kunci pintu, aku berangkat duluan ya, aku giliran piket takut kesiangan!" ucap Sita sambil pergi terburu-buru meninggalkan Ratih yang masih berada di kamar mandi.

"Iya, hati-hati!" teriak Ratih.

Ditempat kerja Sita terlihat gelisah, dia terlihat mencari-cari sesuatu. Ratih yang sudah sampai di sana mencoba menghampirinya.

"Daaarrr ...." Ratih mengagetkan Sita. "Apa yang kamu cari?" tanyanya.

"Name tag aku hilang Rat, gimana nih? Aku bisa kena marah," ucap Sita.

"Eeemmm ... makanya jangan mikirin Ipan terus, jadi lupa sama name tag-nya 'kan," ucap Ratih.

Ia berusaha menggoda Sita lagi sambil mengeluarkan name tag Sita disakunya.

"Haaahhh!" Sita bernapas lega melihat name tag-nya ditemukan. "Sini," pinta Sita pada Ratih.

"Eittt ...." Ratih berlari tidak memberikan name tag Sita padanya, lalu Sita mengejar dan mereka berlarian.

bruuukkkk ....

Ratih yang berlari sambil melihat Sita kebelakang tiba-tiba menabrak atasannya yang baru saja datang, untung saja tidak sampai terjatuh.

"Apa-apaan kalian," sontak Pak Bimo marah melihat kelakuan kedua karyawannya yang bertingkah seperti anak kecil.

"Maaf, Pak!" ucap Ratih dan Sita sambil menundukan kepalanya.

"Dasar karyawan tidak berguna!" cela Pak Bimo sambil melangkahkan kaki keruangannya. Pak Bimo tak berhenti menggerutu.

"Kamu sih, sini!" ucap Sita sambil mengambil name tag-nya yang ada di tangan Ratih.

"Sorry." Ratih memperlihatkan wajah sedih dengan kedua tangan yang memegangi kedua telinganya.

Melihatnya begitu Sita malah merasa lucu, keduanya bertatapan kemudian tertawa bersama.

Hahaha...

"Uups." Keduanya menutup mulut dengan kedua tangan mereka.

"Jangan kenceng-kenceng nanti kedengeran bos," kata Sita.

Lalu mereka pun pergi ketempat kerja masing-masing.

***

Hari ini sepulang kerja, Sita tidak melihat Mang Adnan jualan di kontrakannya, namun Sita dikagetkan kembali dengan kedatangan Dino yang sedang menunggunya di bangku depan.

"Dino!" ucap Sita sedikit kaget, dan heran yang hanya melihat Dino sendirian. Sita celingukan menoleh ke arah kanan dan kiri seolah mencari seseorang.

"Kamu sendiri?" tanya Sita.

"Iya," jawab Dino santai. Dino mengerti Sita sedang mencari Ipan.

"Oohh!" wajah Sita terlihat agak kecewa.

"Boleh saya masuk?" tanya Dino

"Eumm ... boleh." Sambil berusaha untuk tersenyum Sita pun mempersilahkan Dino untuk masuk, dan membiarkan pintu kontrakannya terbuka, agar tidak terjadi fitnah antara mereka.

"Silahkan duduk!" ucap Sita.

"Terimakasih," jawab Dino.

"Mana Ipan?" tanya Sita spontan.

"Ipan ada pekerjaan, nanti kalo sudah selesai dia akan kesini," ucap Dino. Dino berbohong untuk membuat Sita tidak cemas, karna terlihat jelas diwajahnya Sita sedang cemas menanti kedatangan Ipan.

"Oh," jawab Sita datar.

Suasana terlihat kikuk. Sita yang kaku entah mau membicarakan apa, dan Dino yang sedang bingung harus mulai bicara dari mana menjelaskan semua. Dino merasa takut Sita kecewa.

"Mau kopi atau teh?" tawar Sita membuka pembicaraan.

"Tidak perlu, aku tidak haus," tolak Dino.

"Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu," dengan nada sedikit ragu Dino bicara.

"Ini tentang Ipan." lanjut Dino melirik Sita.

"Ada apa?" Sita heran melihat gelagat Dino yang serba salah.

"Em, begini, sebenarnya Ipan sudah memiliki kekasih," jelas Dino to the point. "Maaf, aku tidak bisa berbasa-basi," ucap Dino kembali.

Sontak Sita kaget, badannya terasa lemas,

wajahnya berubah menjadi sedih dan kecewa, namun Sita berusaha untuk tidak memperlihatkannya pada Dino.

"Punya kekasih? Lalu kenapa dia datang menemuiku kemarin?" tanya Sita dengan nada sedikit kesal melirik Dino. "Dan kenapa harus kamu yang menjelaskan ini padaku?" tanya Sita kembali.

"Dia hanya ingin menghormati keinginan Pamannya, tidak lebih," jelas Dino.

"Dengan membuat saya berharap!" ucap Sita agak sedikit di tekan.

"Tolong maaf 'kan dia! Sejujurnya aku berbohong, dia memang tidak akan datang kesini, dia menyuruhku menjelaskan ini padamu! Dia merasa bersalah dan malu padamu, dia tidak sanggup melihat kekecewaan di wajahmu," ucap Dino, berusaha membuat Sita mengerti.

"Aku lebih malu darinya, aku telah berharap pada laki-laki yang baru saja kukenal, rasanya aku ingin marah pada diriku sendiri, dan lebih malu karna kamu mengetaui ini," ucap Sita sambil menahan tangis.

"Kamu tidak perlu malu padaku, dan tidak perlu menah tangismu! terlihat kekecewaan di wajahmu, dan bendungan air mata di pelupuk matamu, menangislah, anggap aku temanmu!" ucap Dino.

Tanpa terasa Sita berderai air mata, air mata yang berusaha di tahannya sedari tadi tak terbendung lagi. Dengan perasaan malu Sita berusaha menghapus air matanya yang sudah terlihat Dino.

"Sakit, pasti sakit, ketika kita diberi harapan kemudian harapan itu seketika dihancurkan," ucap Dino merasa iba melihat Sita menangis.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih, tapi aku rasa itu lebih baik sebelum harapananmu terlampau lebih besar, itu akan lebih menyakitkan," lanjut Dino berbicara.

Tiba-tiba Sita tersadar, " Ya, kamu benar. Aku hanya baru berharap, belum benar-bener sangat berharap, aku hanya baru mengagumi, belum benar-benar mencintai. Kejujuranmu ini memang pahit, tapi pahitnya seperti minum obat yang hanya lewat di tenggorokan, sekejap pahitnya akan hilang," ucap Sita pelan. Ia mencoba menarik nafas dan menenangkan diri, lalu berusaha tersenyum lembut pada Dino. Kemudian Sita pun berterimakasih, "Terimakasih," ucapnya.

"Terimakasih! terimakasih untuk apa?" ucap Dino heran. Dino tidak menyangka secepat ini Sita tenang. "Apa kamu sudah tenang?" tanya Dino melirik Sita dan sedikit bengong melihatnya yang sudah mulai tersenyum.

Sita melirik Dino dan berkata, "Ya, kenapa kamu bengong?"

"Aku heran padamu, secepat itu kamu menangis, dan secepat itu pula kamu tenang, bagaimana bisa?" tanya Dino.

"Apa kamu suka melihat aku menangis?" jawab Sita masih dengan senyum lembutnya.

"Tidak-tidak! jangan menangis lagi! Aku bingung menghadapi wanita menangis," ucap Dino sambil mengankat tangannya.

Ha ... ha ... ha ... tiba-tiba Sita tertawa mendengar ucapan Dino.

"Apa sekarang kita sudah bisa berteman?" tanya Dino sontak membuat Sita menghentikan tawanya.

"Teman? Kamu 'kan temannya Ipan bagaimana bisa Kamu berteman denganku?" ucap Sita.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh berteman denganmu? Atau Kamu tidak mau?" tanya Dino.

"Tidak, maksudku bukan begitu--" ucap Sita tertahan karna tiba-tiba Dino mengulurkan tangannya.

Sita tertegun sejenak, "Baiklah!" ucap Sita, sambil mengulurkan tangannya menyambut uluran tangan Dino.

"Ada apa ini?" suara Ratih yang tiba-tiba datang dari luar, sontak mengagetkan mereka yang langsung melepaskan tangan mereka.

Ratih baru pulang karna harus lembur, sedangkan Sita pulang lebih awal karna pekerjaannya memang sudah selesai.

"Ratih!" ucap Sita dengan sedikit kaget.

"Perkenalkan ini Dino," Sita mencoba memperkenalkan mereka.

Ratih tertegun sejenak, dia pikir ini Ipan, karna kemaren siang dia memang melihat dua laki-laki tapi tidak tau yang mana Dino dan yang mana Ipan.

"Namaku Ratih, aku teman sekamarnya Sita," ucap Ratih memperkenalkan dirinya.

"Oh, senang berkenalan dengan Anda," ucap Dino. "Kalau begitu saya pamit dulu, sepertinya kalian butuh istirahat." Dino pun berdiri berpamitan.

"Assalaamu'alaikum," ucap Dino.

"Wa'alaikumussalaam," jawab Sita dan Ratih.

Bersambung ...

Khawatir

"Maafkan aku!" Ratih memeluk Sita dengan erat setelah mendengar apa yang Sita ceritakan.

"Aku juga bersalah atas apa yang menimpamu, aku terus menggodamu, sehingga semakin memperbesar harapanmu, mohon maafkan aku!" Ratih bicara masih dalam keadaan memeluk Sita, karna merasa bersalah.

"Kamu tidak salah, kenapa kamu meminta maaf padaku? Aku sendiri yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diriku," ucap Sita. kemudian melepaskan pelukan mereka.

"Seseorang itu memang harus punya harapan. Jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan apa masalahnya, masih banyak harapan baru dalam hidup ini. Dari pada meratapi harapan yang telah pergi, lebih baik kita menata harapan baru. Lagian ini salahku, baru juga satu kali bertemu main langsung menaruh harapan saja," ucap Sita meyakinkan Ratih.

"Tapi kesedihanmu adalah kesedihanku juga, aku pikir kamu akan menemukan cinta baru, tapi malah menemukan luka baru," ucap Ratih menatap Sita.

"Belum! sekarang belum! Tapi nanti pasti akan menemukannya. Cinta tau siapa pemilik hatinya, dia tidak akan sembarang berlabuh kehati yang lain. Mungkin Ipan bukan pemiliknya dan ini terbukti sekarang aku sudah tidak bersedih lagi," ucap Sita. "Dan kamu tau kenapa?" tanyanya.

Ratih menggelengkan kepala.

"Karna kamu yang selalu ada di saat aku membutuhkan teman sebaik dirimu, Aku bahagia punya teman sepertimu," dengan nada lembutnya Sita bicara, dan kemudiam memeluk Ratih dengan erat.

Malam itu berlalu penuh haru antara Ratih dan Sita. Kedua sahabat itu memang selalu saling memahami, dan mengerti satu sama lain, mereka juga akan saling mendukung dalam hal apapun.

Esok adalah hari libur, seperti biasa Sita pergi kerumah kakaknya, sedangkan Ratih lebih memilih tidur sepanjang hari di kontrakan karana kelelahan sering lembur bekerja.

"Aku pamit ya, Rat. Kamu yakin gak mau ikut? tanya Sita yang akan pergi.

"Ya, pergi saja, aku lelah, aku mau tidur saja," ucap Ratih.

"Baiklah, Assalaamu'alaikum." Sita pamit dan pergi.

"Wa 'alaikumussalaam," jawab Ratih.

Di perjalanan berangkat kerumah Kakaknya tiba-tiba Sita bertemu mantan pacarnya Darwin. Darwin sedari tadi memanggil Sita namun Sita tidak mendengarnya, karna bising suara kendaraan yang hilir mudik. Tanpa malu Darwin yang sedang di pengaruhi minuman keras memeluk Sita dari belakang.

"Astagfirulloh." Sontak Sita kaget dan spontan menampar Darwin, "Plakkkk..."

"Aawww..." Darwin merintih kesakitan sambil memegangi pipinya.

"Apa-apaan ini, beraninya kamu memelukku dihadapan orang," dengan nada ditekan Sita sangat marah pada Darwin. Tiba - tiba tercium bau minuman keras dimulutnya. 'Aaah pantas saja' di dalam hati Sita berkata.

"Maafkan aku Sit, aku mohon jangan tinggalkan aku, aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi!" ucap Darwin pelan.

"Kamu tidak pernah berubah, masih saja berani menghadapiku dengan bau minuman keras dimulutmu," ucap Sita tegas.

"Kamu tahu benar alasan aku memutuskanmu, selain karna wanita itu, juga karna minuman itu. Aku bingung menghadapimu, bahkan kamu tidak pernah menyadari apa yang sedang terjadi, dan sudah terjadi," ucap Sita Melanjutkan bicaranya.

"maafkan aku jika aku telah membuatmu malu dihadapan orang-orang tadi," ucap Darwin.

"Malu, kamu bilang aku malu, aku malah merasa kasihan padamu, semua orang disini tau siap yang seharusnya merasa malu, kamu bahkan tidak hanya mempermalukan dirimu sendiri, bahkan mempermalukan kedua orang tuamu," ucap Sita lantang.

Darwin tertengun, seolah merenungkan ucapan Sita

"Aku sudah pernah berjanji padamu, aku akan berubah," ucap Darwin.

"Aku bahkan sudah memberimu kesempatan berkali kali, apa itu belum cukup? Selama kamu lebih mencintai minuman keras, selama itu aku tidak mampu menunggumu berubah," ucap Sita.

"Allah tidak pernah berhenti memberi kesempatan pada hambanya," ucap Darwin.

"Kamu benar, jangan pernah sia-siakan kesempatan yang Alloh berikan, karna jika Alloh marah, marahnya Akan lebih menyakitkan dariku," ucap Sita pelan. Sita berbalik hendak pergi meninggalkan Darwin.

"Tunggu dulu!" ucap Darwin menghentikan langkah Sita.

"Apa sudah benar-benar tidak ada kesempatan untukku," ucap Darwin pelan.

"Untuk bersamaku, maaf! Tapi untuk berubah pasti ada banyak kesempatan, mungkin perempuan lain bisa membawamu kejalan yang lebih baik, atau kamu sendiri yang menentukan arahmu," ucap Sita tegas.

"Jika nanti aku telah benar-benar berubah apa kamu mau memberi kesempatan lagi padaku?" tanya Darwin penuh harap.

"Aku tidak bisa berjanji, permisi. Assalaamu'alaikum." Sita bergegas pergi meninggalkan Darwin.

"Wa'alaikumussalaam," dengan nada yang melemah Darwin menjawab.

Darwin masih terus berdiri di jalanan. Nampaknya dia memikirkan semua perkataa Sita. Darwin terlihat begitu menyesal, namun keadaan Darwin masih dalam pengaruh minuman keras, meski hanya meminumnya sedikit. Entah dia menyadarinya atau tidak, atau bahkan dia tidak akan mengingatnya nanti.

***

Setibanya di rumah Kak Riri, Sita mendapati kakaknya yang sedang berbaring lemas di tempat tidur.

"Kak Riri, ada apa ini? Apa Kakak sakit?" tanya Sita khawatir.

"Sepertinya kamu sudah lupa mengucapkan salam klo masuk kerumah," ucap Kak Riri lembut dengan senyuman dibibirnya.

"Maaf kak, Sita khawatir melihat Kakak seperti ini. Assalaamu'alaikum." Sita pun memberi salam.

"Waa'laikumussalaam," jawab Kak Riri dan Kak Syamsul suaminya, yang sedari tadi ada disana.

"Kamu tidak usah khawatir, Kakakmu baik baik saja," ucap Kak Syamsul.

"Tapi kenapa Kakak seperti ini?" tanyanya penasaran.

Melihat Sita seperti itu Kak Riri dan Kak Syamsul tersenyum sambil saling menatap.

"Ada apa dengan tatapan kalian, kenapa kalian malah tersenyum?" tanya Sita makin penasaran.

"Kakak Hamil," ucap Kak Riri dengan bahagia.

Sontak rasa penasaran diwajah Sita berubah menjadi raut wajah yang gembira.

"Apa! Hamil, Kak," ucap Sita gembira, replek kedua tangan mengusap wajahnya, dan merasa lega karna yang Ia khawatirkan ternyata salah. Lalu Sita duduk di atas tempat tidur sebelah kakaknya yang sedang berbaring.

"Lalu kenapa Kakak selemas ini?" tanya Sita.

Kak Syamsul mencoba menjelaskan, "Itulah masalahnya, Kakakmu tidak mau makan bahkan minum pun tidak masuk keperutnya."

"Ya Alloh, Kak! Kenapa begitu?" tanya Sita.

"Orang hamil memang begitu, pada trimester pertama kehamilan ibu hamil akan mengalami mual, muntah, dan pusing," ucap Kak Riri mencoba menjelaskan pada Sita yang belum berpengalaman.

"Tetapi, waktu Kak Fitri hamil tidak begini, Kak," Sita dengan rasa penasarannya.

"Setiap orang itu berbeda-beda gejalanya, ada yang mual tapi mereka bisa memaksakan makanan lain masuk keperutnya, ada yang seperti kakak meski sudah memaksakan Kakak malah muntah," ujar kak Riri.

"Kakak sudah periksa?" tanya Sita dengan menatap kakaknya.

"Sudah," jawab Kak Riri dengan membalas tatapan adik kesayangannya.

"Trus kata dokter Kakak harus gimana?" tanya Sita lagi, dengan masih menatap Kak Riri kemudian melihat Kak Syamsul.

"Ya, Kakakmu harus bisa makan, minum, ngemil, apapun yang penting ada nutrisi masuk ketubuh Kakakmu," dengan lembut Kak Syamsul menjawab. Lalu duduk di kursi yang ada di sebelah meja tempat tidur kak Riri, dan mengambil vitamin untuk di berikan padanya. Sita hanya tersenyum melihatnya.

Lalu Dengan sangat hati-hati kak Syamsul mendudukan kak Riri yang tadi sedang berbaring, dan memberikan vitamin dengan penuh perhatian.

Sita memperhatikan kakak Iparnya yang telaten merawat kakak perempuannya. Sita merasa bahagia dan terharu berharap dirinya mendapatkan pasangan hidup seperti kakaknya.

"Bukannya orang hamil suka ngidam, Kak?" Sita kembali bertanya pada kedua kakaknya itu.

"Ya, sekarang aja kakak kesayanganmu ini mau makan pepes ikan, tapi tanpa bawang - bawangan," ujar kak Syamsul.

"Hah ... tanpa bawang!" Dengan mengerutkan keningnya Sita terheran. Sita tertegun membayangkan, pepes ikan tanpa bawang yang bau amis. Ahhh tapi 'kan orang hamil suka aneh-aneh, Sita mencoba menepis bayangannya.

Sementara kedua kakaknya tertawa lembut melihat Sita. Mereka memahami adiknya pasti sedang membayangkan keinginan kakaknya itu.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Riri.

Sita melihat Kak Riri.

"Aneh," katanya dengan polos.

Hahaha ... mereka pun tertawa bersama.

"Nanti juga kamu mengalami," ucap Kak Riri.

"Ya sudah aku bikinin pepes terlejat buat Kaka, tanpa bawang daun, bawang putih, dan tanpa bawang merah, bahkan bawang bombay, hanya ada rempah-rempah," ucap Sita dengan candanya.

Hahaha ... mereka pun kembali tertawa bersama.

Kemudian Sita pergi kepasar membeli ikan, kebetulan rumah kak Riri tidak jauh dari pasar, hanya terhalang tiga rumah saja. Setelah kembali dari pasar Sita langsung memasak di dapur.

"Bau apa ini? Uooo ... uooo...." Kak Riri muntah-muntah hanya mencium bau pepes yang sedang dikukus. Sita tidak pahami itu.

"Kak Riri!" sontak Sita berlari menuju Kamar Kak Riri. "Kakak kenapa?" tanya Sita sambil memijat lembut pundak Kakaknya.

"Bau apa ini?" ucap kak Riri.

Sekarang Sita mengerti kakaknya muntah karena mencium bau pepes ikan yang sedang di kukusnya.

"Pepes ikannya sudah tanpa bawang loh, Kak, Apa masih bau?" ucap Sita. Lalu menyodorkan air pada Kak Riri.

"Bau sekali, tolong tutup pintunya!" kata Kak Riri.

Sita pun menutup pintunya dengan rapat.

Kak Syamsul yang sedang mencuci motor di luar langsung berlari menuju kamar.

"Kakakmu muntah lagi?" tanya Kak Syamsul.

"Iya, Kak," jawab Sita. "kita harus gimana?" tanyanya.

"Sepertnya Kakakmu harus dibawa ke dokter, karna seharian ini tidak ada nutrisi masuk ketubuhnya. Dia akan semakin lemas," ucap Kak Syamsul.

"Iya, Kakak benar," ucap Sita.

"Tidak perlu," ujar Kak Riri. "Aku akan baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir," lanjutnya.

Tiba-tiba hand phone Sita berdering. Terlihat no baru memanggil, "Siapa, ya?" tanyanya. Sejenak Sita berpikir, dan kemudian mengangkat teleponya.

"Hallo ... Assalaamu'alaikum, ini Siapa, ya?" Sita menjawab teleponnya.

"Wa'alaikumussalaam." Suara Dino diujung telepon.

Sita merasa tak asing dengan suaranya.

"Apa kabar?" ucap Dino.

"Dino!" Akhirnya Sita mengingat kalo itu suara Dino.

Dino yang tadi pergi ke kontrakan Sita, hanya bertemu dengan Ratih, dan begitu mengetahui Sita tidak ada di kontrakan, Dino langsung meminta no hand phone Sita pada Ratih. Karena setelah dua kali bertemu Sita, Dino lupa meminta no hand phone padanya. Dino menjelaskan semuanya pada Sita.

"Ohh, iya ... maaf! Saya sedang di rumah Kaka saya sekarang, sepertinya saya pulang malam," ucap Sita.

Kemudian Sita menjelaskan perihal apa yang terjadi pada kakaknya Riri. Dan Dino pun memahami itu.

"Oh, gitu, ya sudah, mau aku jemput pulangnya?" tanya Dino. Dino berharap Sita mau dijemput olehnya.

"Tidak perlu, terimakasih," tolak Sita.

"Uooo ...uoooo ...." tiba-tiba Kak Riri muntah lagi.

Spontan Sita melihat kearah kak Riri, Dan ternyata kak Riri sedang disuapi ikan oleh kak Syamsul. Nampaknya ikan yang sedang dimasak Sita tadi sudah matang, untung saja ada kak Syamsul yang mematikan kompornya.

"Ya sudah, saya tutup dulu telponya, sepertinya kakak saya muntah-muntah lagi. Assalaamu'alaikum." Sita menyudahi pembicaraannya.

"Wa'alaikumussalaam." Suara Dino di ujung telepon.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!