"Alan Elu hebat banget ya, suka adek nya tapi yang di kawinin Kakaknya. Gimana rasanya kawin sama perawan tua?"
Ledekan dan cemoohan di iringi gelak tawa dari teman-temannya membuat Alan merasa geram. Menikahi Kamelia Adeline adalah mimpi terburuk dalam hidupnya. Alan terpaut umur empat tahun lebih muda dari Kamelia, menikahi wanita matang dan dewasa sama sekali tak pernah terbayang di benak Alan, apa lagi menikahi Kakak dari wanita yang di cintai nya.
"Alan bisa kita pulang sekarang?" Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar disana, membuat semua pasang mata seketika tertuju ke arahnya.
Sunyi senyap, mulut semua orang seketika bungkam, melihat orang yang hadir di tempat itu adalah orang yang baru saja mereka bicarakan.
"Ya, lagi pula urusanku dengan mereka sudah selesai." Alan bangkit dan berjalan mendahului.
Mata elang Kamelia menatap tajam pada teman-teman Alan yang mencemoohnya tadi, "Kalian teman-temannya Alan kan? Makanan dan minuman kalian malam ini aku yang bayar. Ah ya, aku akan ingat wajah kalian satu persatu." Kamelia tersenyum manis, namun dengan pandangan tajam. Dia lantas berlalu menyusul suami kecilnya itu.
Brak... Kamelia masuk kedalam mobil dan duduk manis di balik kemudinya.
"Kenapa kamu datang kemari?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Alan seketika membuat Kamelia tersenyum.
"Tentu saja aku menjemput suamiku, jika aku biarkan, dia akan terus bergosip tentangku di belakangku." Jawab Kamelia enteng.
"Aku tidak mengatakan apa pun, mereka yang mengatakan semua itu." Alan membuang muka ke arah lain.
"Oke, aku tahu suamiku pria yang baik dia tidak akan mengatakan hal buruk di belakang istrinya, benarkan."
"Hem." Jawab Alan malas.
Kamelia melajukan kendaraan roda empatnya menyusuri jalanan beraspal, dengan pandangan tenang, sesekali dia bersenandung kecil menggumamkan sebuah lagu bernada asing.
"Kemana kita?" Tanya Alan ketika menyadari bahwa jalanan yang mereka lewati bukan menuju kediaman mereka.
"Rumah orang tua ku, hari ini ada acara keluarga, jadi kita di undang kesana." Jawab Kamelia masih tetap fokus ke jalanan.
Jawaban Kamelia membuat reaksi tak terduga dari Alan, "apa Clara juga ada?"
Kamelia tersenyum pelan, "tentu saja, itu rumahnya."
'Dasar anak kecil, bagaimana bisa dia menunjukan rasa suka terhadap wanita lain di depan istrinya secara terang-terangan. Hah, pernikahan macam apa yang keluargaku paksakan terhadapku? Ini sungguh gila.' Batin Kamelia bergumam.
"Alan, bisa kita bicara tentang pernikahan kita?" Kamelia berujar.
"Ya katakan saja."
"Aku tahu kamu menyukai adikku, tapi tolong jaga sikapmu. Aku tak keberatan kau menyukainya, tapi... Jangan sampai orang lain tahu akan hal itu, cukup aku dan kamu yang tahu." Tegas Kamelia.
Hmph... Alan membuang muka ke arah lain, inilah masalah terbesar dalam hidupnya, pernikahannya dengan Kamelia.
"Tenang saja, selama pernikahan ini terjadi, aku jamin tidak akan ada yang tahu soal masalah ini." Ujar Alan tegas.
"Bagus, aku pegang kata-katamu Alan. Ingat, ucapan yang keluar dari mulut laki-laki sama dengan sebuah janji. Aku bisa toleransi terhadap apa pun, tapi tidak pada pengkhianatan, pada waktunya kita harus berpisah secara baik-baik. Aku terima kita tidur terpisah, aku terima kita tidak saling mencampuri urusan masing-masing, aku juga terima fakta bahwa kau mencintai adikku, tapi satu hal yang tidak akan pernah aku terima, air mata keluargaku." Tegas Kamelia.
"Tenang saja, aku janji semua akan berjalan sesuai rencana."
"Bagaimana kalau tiba-tiba kau jatuh cinta padaku?" Kamelia melempar pertanyaan begitu saja.
"Hmph, itu tidak akan pernah terjadi." Alan berujar penuh keyakinan.
Hem... Kamelia menganggu-anggukan kepalanya dengan ujung bibir sedikit terangkat, "jatuh cinta pada perawan tua, itu tidak mungkin, benarkan?"
"Kau jangan dengar apa yang mereka katakan, kau bukan perawan tua. Hanya saja, cinta punya pilihannya sendiri." Alan so bijak.
"Oke, lagi pula aku tidak peduli apa yang orang bicarakan di belakangku. Hidupku aku yang menjalani, aku cukup bahagia dengan hidupku. Cinta bagiku tak ada artinya, hatiku sudah lama mati, jadi tak ada yang namanya cinta dalam hidupku." Kamelia tertawa pelan.
"Kamelia jangan bicara begitu, mungkin suatu hari kau akan menemukan cinta dalam hidupmu, kau jangan menyerah." Ujar Alan.
Kamelia menggeleng, "Cinta dari sisi pandangmu memang sangat indah ya, tapi dari sisi pandangku jauh berbeda."
Mobil pun masuk pekarangan rumah mewah berarsitektur klasik. Kamelia menghentikan laju mobilnya dan Ia pun turun, begitupun dengan Alan. Dia langsung pasang badan dan mengisyaratkan Kamelia untuk menggandeng lengannya, tentu saja Kamelia langsung faham tak perlu ada penjelasan dalam hal berakting di depan keluarganya. Mereka melangkah bersamaan ke dalam rumah tersebut. Kedatangan mereka di sambut hangat oleh keluarga Kamelia, orang tua Kamelia silih berganti memeluk mereka sekilas.
Ya, keluarga besar ini memang sangat harmonis, hampir tak pernah ada cek cok di antara mereka, itulah mengapa Kamelia sangat menjaga hubungan itu tetap nampak sehat di mata orang-orang.
"Lia, kamu kurusan ya?" Ujar sang Mama sembari memerhatikan postur tubuh Kamelia, yang tentu saja masih tetap sama.
"Nggaklah Mah, mana ada kurusan tubuhku masih tetap sama. Lagipula suamiku juga bukan orang miskin, dia sanggup ko beliin aku daging beberapa kilo." Kamelia menepis kata-kata Mamahnya dengan candaan, membuat semua orang yang mendengar seketika tergelak.
"Dasar anak ini," Mamah ikut tertawa pula, "gimana udah ada perkembangan belom?" Topik perbincangan sudah mulai menjurus ke arah 18+.
"Perkembangan apa Mah? Taman?" Kamelia yang tahu arah pertanyaan Mamahnya malah kembali mengalihkan kata-katanya seolah tak mengerti.
"Ish kamu ini, kalian kan udah nikah satu Minggu masa masih belom ada perkembangan sih." Keluh Mamah dengan wajah cemberut.
"Maksud Mamah masalah di ranjang? Mah, ini privasi loh, masa iya aku bilang ke Mamah malu dong." Begitulah Kamelia dia sangat pandai menyembunyikan kepahitan dalam hidupnya, dia tak pernah ingin orang lain tahu perasaan dia yang sebenarnya.
"Jadi, kalian udah--?" Oh good, ingin rasanya Kamelia berteriak dan mengatakan semua itu tak akan pernah terjadi pada hubungannya dan Alan, namun kepalanya refleks mengangguk sendiri seolah telah telah sinkron dengan isi otaknya.
"Bagus kalau begitu, cepat berikan kami kabar baik!" Ujar Mamah antusias. Kamelia hanya membalas dengan senyuman.
Jujur bukan tanpa alasan Mamah mengkhawatirkan pernikahan Kamelia dan Alan, semua orang tahu mereka terpaksa bersama karena sebuah perjodohan. Usia Kamelia yang terbilang sudah matang namun tak kunjung menikah membuat keluarganya memutuskan untuk menikahkannya dengan anak dari sahabat mereka. Meski awalnya dia menolak, namun pada akhirnya dia setuju begitu pun Alan. Laki-laki yang empat tahun lebih muda dari Kamelia, dia memiliki wajah tampan, rahang tegas dan tatapan lembut, satu kata untuknya, mempesona!
Hidup tak selalu tentang cinta dengan pasangan. Mencintai diri sendiri pun adalah satu hal yang penting. _Whidie Arista🦋
~*~
Alan Geraldi. Seorang Pria muda berusia 26 tahun, dia anak yang berbakti, penyayang dan tentu saja tampan, tingginya sekitar 168 cm.
Awalnya dia mengira perjodohannya di lakukan dengan gadis pujaannya Clara Adeline Darmawan, namun ternyata bukan. Dia malah di jodohkan dengan anak pertama keluarga Darmawan yaitu Kamelia Adeline Darmawan. Jujur dia kecewa saat dia tahu siapa wanita yang di jodohkan dengannya, wanita yang empat tahun lebih tua darinya, wanita Dewasa yang nampak dingin dan agak jutek. Sikapnya berbanding terbalik dengan Clara yang murah senyum dan terlihat sopan, membuat Alan jatuh hati pada pandangan pertama pada Clara.
Namun sebuah tawaran mengejutkan datang menghampiri, saat Kamelia datang dan mengajukan sebuah perjanjian.
"Menikahlah denganku selama satu tahun, kau akan mendapat keuntungan dan aku mendapat suami." Ujarnya membuat Alan seketika mengerutkan dahi.
"Keuntungan apa yang aku dapat jika aku menikahimu?"
"Satu, kerja sama yang keluargamu dan keluargaku lakukan akan semakin erat. Dua, posisimu sebagai ahli waris akan makin kuat. Tiga, setelah kita berpisah kemungkinan untuk bersama Clara akan semakin mudah." Kamelia berujar sembari menyeruput secangkir kopi yang masih mengepul.
"Kau tahu aku menyukai adikmu?"
"Tentu saja, dari tatapan matamu saja aku sudah tahu," Kamelia menjeda ucapannya, "tapi, kau tak bisa serta merta berpindah dari aku dan menikahi adikku, benarkan? Keluargaku masih percaya hal kuno seperti sesama perempuan dilarang untuk mendahului menikah sebelum yang tertua menikah." Jelas Kamelia.
"Lalu?"
"Sekarang adikku bahkan sudah punya kekasih, sedangkan aku, singel!" Kamelia mengangkat bahu ringan.
"Lantas bagaimana caramu membuat aku mendapatkan adikmu?" Alan mulai tak sabar dengan kata-kata Kamelia yang tak langsung pada intinya.
"Pada saatnya nanti kau akan tahu, kau hanya cukup percaya padaku! Soal caranya, serahkan saja padaku, kau hanya perlu setuju dengan tawaranku." Kamelia enggan menjelaskan.
"Hah, aku menolak! Rencana macam apa ini? Malah terdengar seperti jebakan." Alan bangkit dia tak ingin mengikuti rencana tak masuk akal Kamelia.
"Kalau begitu terserah saja, aku hanya memberimu tawaran, jika kau tak mau bagiku tak ada masalah. Kau tinggal katakan, kau menolak perjodohan ini pada keluargamu, lagi pula di tolak oleh pria sudah jadi hal biasa bagiku."
Alan termangu, dia menatap wanita di hadapannya kemudian teringat ucapan sang Ayah, "Alan menikahlah dengan putri keluarga Darmawan, itu salah satu syarat kerja sama kali ini. Aku tahu mungkin ini tak adil bagimu karena menikah tanpa keinginanmu."
"Keluarga Darmawan? Te-tentu saja aku mau Ayah, aku suka putri mereka." Alan merasa amat senang ternyata dia tak perlu bersusah payah mendekati Clara, tawaran itu datang sendiri padanya.
"Apa? Kau yakin?" Tuan Geraldi nampak senang namun juga tak percaya.
Alan hanya membalas dengan senyum kikuk, namun satu kesalahan yang dia perbuat, dia tak menanyakan nama gadis keluarga Darmawan itu siapa, dia lupa jika ada dua gadis yang masih lajang di keluarga itu.
Alan kembali duduk, "aku setuju!" Ucapnya dengan helaan napas berat. Dia tak sanggup mengatakan tidak pada sang Ayah. Ayahnya terlalu bersemangat dengan pernikahan ini dan Alan pun terlanjur berkata menyukai putri keluarga Darmawan.
"Hem, kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Menikah denganku cukup membawa keuntungan kan?" Kamelia tersenyum masam. Alan membuang muka, tentu saja apa yang Kamelia katakan ada benarnya.
"Kita hanya perlu menikah setahun kan? Apa ada syarat yang kau ajukan?"
"Tak ada syarat, kau hanya perlu menjadi suami yang baik. Buat keluargaku memuja dirimu, hingga tak ada orang yang bisa di andalkan di dunia ini selain kamu." Alan termangu kata-kata Kamelia membuatnya sedikit terkejut.
"Mengapa?" Alan masih belum menangkap maksud dari ucapan Kamelia.
"Kau ingin mendapatkan adikku, kan?" Alan melebarkan matanya, akhirnya dia mengerti maksud ucapan Kamelia.
"Selain kau harus meyakinkan keluargaku, kau juga harus meyakinkan aku. Clara adikku satu-satunya, aku tak akan mengijinkan pria yang tak baik mendekatinya, apa lagi menikahinya."
"Baik, aku akan berusaha membuat keluargamu percaya padaku dan membuat mereka bangga."
"Bagus! Jadi Deal!?" Kamelia mengulurkan tangan putih mulusnya.
"Deal!" Alan menyambut dengan senyum senang.
~*~
Kembali pada masa kini. Alan dan Kamelia tengah duduk berdampingan di sopa, sembari mengobrol dengan keluarga besar mereka yang memang sengaja berkumpul di kediaman Darmawan.
Mata Alan tak henti-hentinya menatap Clara yang tengah bercengkrama dengan kerabat mereka yang seusianya. Clara gadis cantik yang ceria, usianya saat ini menginjak 23 tahun dia masih duduk di bangku kuliah.
"Jaga tatapan mu Alan, jangan sampai orang lain menyadarinya." Kamelia berbisik di telinga Alan.
Seketika Alan tersadar dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, sebelum orang lain menyadarinya, "maaf aku lupa."
"Heh, suamiku lupa, kalau istrinya ada di sampingnya. Kau sungguh lucu sayang," Kamelia mencubit pipi Alan gemas. Membuat Alan seketika menoleh dengan tatapan heran, namun seketika dia menyadari kini mereka tengah jadi pusat perhatian semua orang.
"Cie pengantin baru lagi mesra-mesranya. Tolong jangan bikin kita yang jomblo ini kepanasan." Ledek Clara membuat semua orang seketika tergelak. Alan merasa sedikit malu dia langsung menunduk. Sedang Kamelia malah menggandeng tangan Alan dan bergelendotan disana, menunjukan sikap mesra di depan semua orang.
"Tahan sebentar." Bisik Kamelia dengan gerak mulut samar agar orang lain tak menyadari ucapannya. Dia menyadari jika Alan tak nyaman dengan sikapnya.
"Tenang saja, aku hanya belum terbiasa." Balas Alan pelan pula.
"Lah mereka malah bisik-bisik, tolong jangan pamer kemesraan lagi." Keluh Clara dan di angguki seketika oleh, Jean dan Laura, dua gadis kerabat mereka sekaligus teman Clara.
"Apa sih kalian, kaya gak pernah pacaran aja." Kamelia menggetok kepala Clara gemas.
"Tapi sumpah Kak, kalian tuh pasangan serasi banget, yang satu cantik dan yang satu ganteng banget, aku sungguh iri." Ungkap Jean dramatis.
"Hooh loh kalian pasangan yang manis, ternyata pernikahan gak harus di awali dengan pacaran itu terbukti benar." Laura menambahkan.
"Tapi kalau aku sih ogah kalau harus di jodohin, aku pengen cari pasangan sendiri." Jean kembali berujar.
"Hah, kalian masih muda, jadi puas-puasin dulu masa muda kalian, belajar yang bener jangan mikirin nikah dulu." Tukas Kamelia.
Dan akhirnya Kamelia dan Alan berpamitan pulang, dengan alasan lelah sepulang bekerja. Seperti biasa Kamelia lah menyetir, Alan selalu menolak jika disuruh menyetir dia bilang dia pernah kecelakaan mobil sebelumnya dan itu membuat dia trauma dan tak ingin menyetir lagi.
Benarkah cinta akan hadir karena terbiasa bersama? Hah, rasanya tidak mungkin. _Alan Geraldi
~*~
Alan dan Kamelia kembali ke rumah mereka, rumah minimalis yang mereka beli setelah pernikahan terjadi. Rumahnya memang tidak terlalu besar, hanya terdapat dua kamar, satu di lantai atas dan satu di bawah, satu ruang tamu berukuran sedang dan ruang keluarga dengan ukuran yang sama, serta dapur yang menyatu dengan ruang makan. Perabotannya pun tak banyak, memang sengaja dia buat seperti itu. Alan dan Kamelia hampir sama, selera mereka, apa yang mereka sukai dan apa yang tidak mereka sukai, seperti lukisan, hiasan dinding dan pot-pot bunga atau guci semacam itu hampir tak terlihat satu pun. Hanya satu yang terpajang di ruang tamu, foto pernikahan mereka, itu sengaja di letakan di dinding sana agar orang selalu melihat bahwa pernikahan mereka sempurna.
Kamelia berjalan membawa se-teko air putih menuju kamarnya, kebiasaannya terbangun di malam hari untuk minum, mengharuskannya selalu tersedia air di dekatnya. Tampak Alan, pria muda itu tengah asik menonton acara sepak bola di televisi, sesekali dia berteriak menyemangati pemain, atau mengomentari cara kerja pemain yang menurutnya kurang memuaskan.
"Alan, jangan teriak-teriak berisik, aku mau kerja." Pinta Kamelia.
"Tutup aja kupingnya pasti gak kedengeran." ujarnya dengan mata tetap fokus pada apa yang Ia lihat.
Eleh nih Anak, Kamelia menggerutu sembari berlalu. Suara Alan semakin menjadi-jadi, dia teriak-teriak, kadang mengutuk para pemain sepak bola yang bahkan tak mampu mendengar apa pun yang dia katakan. Kamelia mendesah kesal, pasalnya dia tak bisa fokus membuat laporan keuangan yang harus Ia kumpulkan besok, kepalanya sakit mendengar teriakan Alan dari lantai bawah.
Kamelia turun dengan tempo cepat, dia menyambar remote tivi yang teronggok di meja, lantas menekan tombol of berwarna merah, "Lia!" teriak Alan kesal, karena melihat acara bola yang Ia tonton kini hanya berupa layar hitam.
"Kamu tuh terlalu berisik Alan, aku lagi kerja dan aku gak bisa fokus karena suara teriakan kamu. Kadang marah-marah gak jelas pula, kalau sekiranya gak bermanfaat dan malah bikin kamu marah-marah gak jelas, darah tinggi naik, kepala orang juga jadi pusing, gak usah di tonton, mending kamu tidur gih!" Gerutu Kamelia panjang lebar, disertai petuah untuk sang suami.
Alan merasa terusik dengan kata-kata yang keluar dari mulut Kamelia, "Aku berisik? Aku udah bilang kamu tinggal tutup kuping, gampang kan!" Alan kembali menyalakan telvisinya, yang ternyata acara bolanya sudah berakhir.
"Sialan!" Ujarnya gusar, dia kembali mematikan televisi dan melempar remotenya ke sembarang arah. Kamelia melipat tangan di dada melihat kemarahan di wajah Alan yang perlahan memudar.
"Mau marah?" tanya Kamelia seolah menantang.
"Nggak," Alan berkilah, sembari membuang muka.
"Alan, sekarang ada orang lain yang tinggal satu atap sama kamu, jadi aku mohon jaga sikapmu. Aku tidak masalah dengan hobi-hobimu, terserah apa yang ingin kamu lakukan, tapi aku ingin kau melihat keberadaan ku juga." Kamelia seperti seorang guru yang tengah mengajar muridnya yang nakal.
"Ya maaf, tapi... Kamu juga harus menghargai aku, jangan berpakaian sembarangan di depan seorang pria dewasa." Gerutu Alan.
Kamelia tertegun, dia melihat tubuhnya yang hanya dibalut baju tidur tipis selutut dengan sehelai tali di masing-masing pundaknya, serta di bagian belahan dadanya tampak sedikit terbuka.
"Mesum!" Kamelia menoyor kepala Alan sambil terkekeh.
"Aku gak mesum, cuma laki-laki normal mana yang gak tertarik sama cewek seksi. Jadi ku mohon berpakaian layaklah di hadapanku, aku takut keperawanan ku hilang sebelum waktunya."
"Hey, mana ada cowok perawan, perjaka kale!" Larat Kamelia.
"Iya, iya terserah apalah namanya itu. Tapi tolong, pergi sekarang juga aku tidak bisa berhadapan denganmu saat ini." Alan menutup mata dengan telapak tangannya.
"Heleh, dasar anak kecil, polos amat sih lu bang." Kamelia tergelak sambil naik ke lantai atas menuruti keinginan sang suami.
Alan menghela napas dalam, dia merasa lega karena Kamelia telah pergi dari hadapannya, Alan bukannya tak pernah melihat wanita dengan pakaian minim hanya saja dia tak yakin bisa menahan hasratnya yang kadang kala timbul sesekali. Terlebih lagi kini mereka hanya tinggal berdua dalam satu bangunan yang sama, dan yang terutama mereka sah dalam ikatan pernikahan. Alan ingin tetap menjaga kesuciannya, (Cailah kesucian🤣) entah apalah pribahasanya itu, yang pasti Alan ingin wanita pertama yang tidur dengannya adalah orang yang Ia cintai.
Tapi tidak bisa di pungkiri pesona Kamelia terkadang membuat dia oleng untuk sesaat, bagaimana tidak, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya bagus, dadanya juga terbilang cukup besar, apalagi jika pakaiannya seperti barusan, si adek auto tegak kan jadinya.
"Kampret!" Decak Alan kesal, hampir kan pikirannya melantur kemana-mana. Dengan segera Ia masuk kamarnya, membenamkan diri dengan bantal dan selimutnya serta guling yang selalu jadi sasaran kesepiannya.
~*~
Suara peralatan dapur beradu membuat tidur Alan terusik, dia mengambil kembaran bantalnya dan membenamkan ke wajahnya berharap mengurangi kebisingan yang terdengar. Namun di detik berikutnya malah suara ketukan pintu yang terdengar.
"Alan bangun!" Suara Kamelia terdengar dari arah luar, "kamu mau berangkat kerja bareng aku gak? Atau berangkat sendiri?"
Pertanyaan Kamelia seketika membuat Alan mendudukkan dirinya, rambutnya yang nampak acak-acakan berhamburan ke matanya, wajah kusutnya nampak enggan untuk memulai hari.
"Iya, aku berangkat bareng." Jawab Alan dengan suara serak yang terpaksa.
"Ya udah buruan, aku tunggu di meja makan!" Langkah Kamelia perlahan menjauh.
Dengan malas Alan turun dari ranjang dan masuk kedalam kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Alan sudah tampak rapi dengan setelah jas berwarna hitam dengan kemeja putih di dalamnya, tak lupa dengan dasi berwarna senada dengan jasnya Ia kenakan. Ia mengoleskan Pomade ke rambutnya agar terkesan rapi dan agak klimis, tak lupa Ia sedikit menyisirnya bagian sampingnya kebelakang, gaya rambut Alan ini apa ya namanya? Yang agak botak sebelah, ya pokonya gitu deh.
Alan melangkah keluar dengan tas jinjing berbentuk kotak di tangan sebelah kanannya, biasalah ya khas orang-orang kantoran di film-film itu loh. Alan duduk di meja makan, Kamelia sudah berada disana seperti biasa, dia memang terbiasa bangun pagi, hingga jam segini rumah sudah nampak rapi. Alan mengambil dua helai roti dan mengolesinya dengan selai kacang, sedang sang Istri sudah nampak makan lebih dulu.
Kamelia memang tak ingin ada pembantu di rumahnya, selain mengurangi resiko ketahuan dia juga lebih senang mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri, tentunya untuk melatih Alan pula, toh rumah mereka tak terlalu besar juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!