Bab1. Kekecewaan Menyelimuti Hati
***
Di perjalanan menuju rumah untuk mengantarkan Nina sampai ke pintu rumah pun ditolak mentah-mentah. Kadang Erlangga merasa heran, namun karena rasa sayangnya dia tidak menghiraukan.
Setelah berjarak beberapa kilo meter dari rumahnya Nina meminta di turunkan di sana.
"Sudah di sini saja, sayang," pinta Nina, tangannya mengusap lembut lengan Erlangga dengan manja. Erlangga langsung menepikan mobilnya dan mengerutkan dahi.
"Kenapa? Apa orang tuamu tidak menyukaiku? kita sudah cukup lama menjalin hubungan tetapi tidak pernah sekalipun kamu mengizinkan aku untuk bertemu dengan mereka." Raut kekecewaan tampak jelas tercetak di wajah Erlangga. Nina berubah sendu lalu menatap Erlangga dengan penuh sayang.
"Sabar, ya. Nanti aku kenalkan kamu dengan mereka," ucap Nina mencoba menenangkan kekasih hatinya.
Sebelum keluar mobil, Nina mencium sekilas pipi Erlangga. Setelah berada di depan mobil Erlangga dia melambaikan tangannya. Dan menunggu Erlangga pergi dari kompleks rumahnya.
"Nina!" Seseorang memanggilnya dengan marah.
***
Erlangga telah sampai di rumahnya dengan menyimpan rasa kecewa. Kali ini dia gagal lagi untuk bertemu dengan orang tua kekasih hatinya. Wajahnya di tekuk, dasinya pun dilonggarkan dengan perlahan.
"Ellan," panggil Ella pada anaknya yang telah selesai menelepon seseorang di seberang telepon di ruang tamu. Erlangga menoleh sekilas.
"Kenapa, Ma?" jawabnya dengan lemas. Sudah ingin merebahkan tubuhnya namun Ella malah memanggilnya tanpa alasan.
Ella berjalan mendekati anaknya, "mama mau kamu satu minggu lagi menikah,"
Erlangga mengerutkan kening mengingat keinginan sang mama yang tidak ada angin dan hujan tiba-tiba memintanya untuk membina rumah tangga. Erlangga harus menjawab apa? Sedangkan Nina sama sekali belum ingin membawa hubungan mereka kejenjang serius.
"Maksudmu, Ma? Sabar dulu lah, Ma. Tidak mudah mencari calon istri," tolak Erlangga. Dinda pun datang dan ikut menguping.
"Gak mau tahu mama pokoknya kamu menikah satu minggu lagi, titik," kata Ella tidak mau ditolak keinginannya.
"Ciee, mau nikah. Cepetan ya Mas, Nda mau gendong keponakan," ledek Dinda, dia langsung berlari keatas untuk menghindari amukan Erlangga.
"Lalu aku harus menikahi siapa, Ma? Nina belum ingin membawa hubungan kami kearah pernikahan,"
Ella hanya tersenyum samar ketika mendengar jawaban dari anaknya. Setelahnya dia berlalu pergi meninggalkan Erlangga untuk kekamarnya.
Erlangga yang heran, hanya dibuat kebingungan oleh mamanya sendiri. Sungguh kadang permintaannya yang aneh itu membuatnya geleng-geleng kepala.
"Ya Tuhan, kenapa dengan Mama-ku itu," gumam Erlangga sembari dirinya pun pergi menuju kelantai dua untuk ke kamarnya.
***
"Mas," panggil Dinda saat dia mendengar pintu kamar Erlangga dibuka. Lelaki itu menautkan alisnya seolah malas menjawab panggilan sang adik.
Tanpa memberikan pertanyaan Dinda menyelonong masuk kedalam kamar kakaknya.
"Kamu mau di nikahin sama siapa? Kayaknya Mama punya rencana untuk menikahkan kamu dengan wanita lain. Ini tebakanku ya," celoteh Dinda, sembari bokongnya ia hempaskan di tepi ranjang.
Hening, Erlangga sama sekali tidak menyahuti, membiarkan Dinda terus berbicara seorang diri.
"Kalo benar kamu mau di nikahkan dengan orang, bagaimana dengan nasib Nina, Mas?" tanya Dinda yang mulai geram karena Erlangga tidak jua menyahuti ucapannya.
"Sudahlah jangan dibahas, sama siapa lagi Mama mau menikahkan Mas-mu ini, sedangkan kekasihku hanya Nina!" seru Erlangga sembari berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Dinda pun beranjak dari tepi ranjang, lalu berjalan kearah depan pintu kamar mandi. Dia juga mengetuknya dengan keras.
"Mas, aku sudah tanyakan pada Nina barusan. Katanya dia tidak tahu menahu tentang pernikahan itu. Aku takut Mama akan menikahkan kamu dengan wanita lain, bukankah sedari awal hubungan kalian sudah di tentang Mama, Mas. Meski Mama tidak langsung mengatakannya tapi sikapnya ketika Nina kemari terlihat jelas," terang Dinda panjang lebar mengungkapkan keresahan hatinya. Dinda tidak ingin hubungan antara Nina dan dirinya rusak karena sang kakak akan menikah dengan orang lain.
Meski tebakannya entah benar atau salah, feelingnya mengatakan jika pernikahan itu akan benar-benar terjadi. Dinda mondar mandir tidak jelas menunggu Erlangga keluar dari kamar mandi.
Beberapa menit berlalu menunggu Erlangga yang tidak kunjung keluar dari kamar mandi membuat Dinda merasa kesal. Bisa-bisanya kakaknya itu betah berlama-lama di dalam. Padahal sudah jelas di dalam kamarnya ada Dinda yang tengah menunggu.
"Lagi ngapain sih itu laki, lama bener di dalam," gerutu Dinda sembari menghentakkan kakinya yang mulai pegal. Sudah berjalan kesana kemari bak kereta api, membaca buku yang sama sekali tidak ia mengerti.
Dengan perasaan dongkol Dinda kembali mengetuk dengan keras pintu kamar mandi.
"Mas! Lama banget sih di dalam. Kamu ngapain saja di sana!"
Sedangkan Erlangga sama sekali tidak terganggu dengan teriakan Dinda. Sampai akhirnya Dinda memutuskan untuk menelepon Nina sahabatnya.
"Na, kalau benar yang jadi pasangan Mas Elang bukan kamu, akugak tahu harus bagaimana lagi," ucap Dinda langsung saat telepon diangkat oleh Nina. Nina di seberang sana pun ikut merasa cemas. Jika itu terjadi bagaimanaa dengan dirinya yang mencintai Erlangga.
"Aku gak tahu harus bagaimana, Nda, tapi serius ya, Mama-mu tidak mengabari apapun padaku. Apa bukan aku calonnya? Kalau iya aku harusnya dia datang kerumahku dong, memberitahu keluargaku juga, Nda," jawab Nina.
"Itu juga, apalagi ini kan menyangkut pernikahan harusnya Mama-ku lebih sibuk dan ini gak sama sekali," tutur Dinda, sedang serius berbicara dengan Nina, Erlangga pun keluar kamar mandi. Dinda menoleh dan langsung melodspeakerkan teleponnya.
"Terus apa kata Mas-mu, apakah dia tahu sesuatu? Aku sungguh belum siap menikah jika benar Mama-mu ingin Mas Elang segera menikah, Nda," ucap Nina dengan suara yang lemas. Erlangga hanya tersenyum smrik saat kekasih hatinya menjelaskan ulang.
Erlangga menolak untuk berbicara ketika Dinda menyerahkan ponselnya untuk sekadar menjelaskan. Erlangga masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk tanpa memedulikan keduanya yang tengah resah tanpa adanya jalan keluar.
Meski Erlangga tidak ikut menimpali dan terkesan tak acuh. Tetapi dia menyimak perdebatan di antara keduanya. Sampai di mana Nina berkata.
"Sudahlah, aku tidak mau pusing lagi, Nda. Kalau Mas-mu jodoku dia tidak akan kemana tetap akan berada di sampingku. Aku lelah aku mau tidur dulu," kata Nina seolah dia tidak ingin membahasnya lagi.
"Jika hanya kata-kata apakah akan bersama?! aku tidak yakin jika kita berjodoh, jika kamu saja tidak mau berjuang denganku," batin Erlangga.
Sambungan telepon pun di matikan sepihak oleh Nina. Dinda yang merasa heran pun langsung mengarahkan ponselnya kearah depan.
"Kenapa sih, ini anak. Marah-marah mulu, jadi bagaimana dong Mas, masa iya kamu tidak berjuang," ucap Dinda meminta Erlangga untuk membujuk Nina.
"Pergi kamu sana! Malah buat orang pusing, bukan aku yang tidak mau berjuang tapi sahabatmu itu!" Erlangga menarik tangan Djnda dan mengeluarkannya dari dalam kamarnya.
***
Bersambung ...
Bab2.. Pertemuan Pertama
***
Hari ini Ella mendatangi panti asuhan yang telah lama ia kunjungi. Menjadi donatur tetap membuatnya sering bertemu dengan Allura Jasmine, gadis yang sederhana juga ke ibuan. Entah kenapa sedari awal dia sudah menetapkan hatinya untuk menjadikan Allura sebagai calon menantu.
Dari kejauhan Allura melambaikan tangannya ketika melihat Ella. Wanita itu tersenyum ramah menghampiri Ella.
"Siang, Bu," sapa Allura dengan ramahnya.
"Siang juga, Al," jawab Ella.
"Ibu Sinta ada, Al? ibu mau bertemu dengannya." Dengan lembut Allura menjawab dan menuntun Ella menuju ruangan Sinta.
"Mama ku, ada di dalam, Bu. Aku permisi pergi dulu ya, Bu," pamit Allura dia pun berlalu pergi meninggalkan Ella.
Ella mengetuk pintu, dari dalam sudah ada sahutan jika Ella dipersilahkan untuk masuk. Dengan wajah yang berseri Ella berjalan menghampiri Sinta. Sahabatnya yang telah ia bantu dengan menjadikan dirinya sendiri menjadi donatur di sana.
"Hai, mari duduk La." Sinta mempersilahkan untuk duduk. Dia juga membawakan minum untuk sahabatnya itu.
"Aku ada permintaan bisakah kamu membantuku, Sin?" tanya Ella to the point. Dia tidak ingin berbasa-basi lagi. Sebelum terlambat untuk menjadikan Allura sebagai menantunya.
Sinta mengerutkan dahinya merasa heran. Tidak biasanya Ella bersikap seperti ini padanya. Sinta merasa jika permintaannya sungguh besar sampai membawa Sinta di dalamnya.
"Meminta bantuan? Apa yang bisa kubantu? Bukankah kamu tahu, bahwa aku tidak punya apa-apa," ucap Sinta sembari tertawa kecil, merasa aneh dengan Ella.
"Tapi kamu cukup membantuku jika kamu bisa membantu apa yang kuinginkan." Ella membalas tawa kecil sahabatnya itu dengan gurauan.
"Sepertinya ini cukup berarti untukmu sampai kamu meminta bantuanku,"
"Ya, kau benar dan paling pintar jika menebak jalan pikiranku." Ella terkekeh dengan lontaran Sinta.
"Jadi apa yang bisa kubantu untukmu sahabatku, kamu sudah banyak berjasa membangun apa yang aku cita-citakan ini. Jadi apapun yang kau pinta, aku akan mengusahakan itu," ungkap Sinta pada Ella.
"Minumlah dulu, sebelum air minum ini nantinya tidak bisa membasahi kerongkonganmu," ledek Ella menyuruh Sinta. Sinta hanya tertawa dan menurut dengan apa yang di katakan Ella.
Setelah selesai minum, Ella mulai memasang wajah serius dan menghadap Sinta dengan tatapan yang tidak biasa.
"Aku mau kamu menerima lamaranku, aku ingin Allura menjadi menantuku," ungkap Ella dengan senyum mengembang.
Sinta terbatuk-batuk ketika mendengar apa yang di katakan sahabatnya itu, sudah dia duga jika permintaan tolongnya sangatlah besar.
"Ka-kamu tidak salah pi-pilih, dan kamu ti-tidak sedang sakit kan La?" tanya Sinta dengan terbata-bata.
"Tidak sama sekali, sekarang aku boleh kan membawa anakmu hanya sekadar untuk main kerumah?"
Sejenak Sinta tidak bisa berkutik, dia semakin berkeringat dingin dengan apa yang di katakan Ella. Ella yang hanya mendapatkan tatapan tidak percaya memegang pundak Sinta.
"Aku serius, aku harap kamu bisa memberi restu,"
Tanpa pikir panjang, Sinta langsung menelpon putrinya untuk segera datang keruangannya. Meski masih terasa mimpi, namun Sinta masih berharap ini semua yang telah di dengarnya hanyalah mimpi, atau gurauan Ella.
***
Sorenya Ella membawa Allura berjalan-jalan untuk menemaninya. Ella Merasa mempunyai teman berbicara saat bersama Allura, karena sikap anaknya telah berubah setelah bertemam dengan Nina yang membuatnya berubah drastis. Dinda sudah jarang menemaninya walau sekadar berbincang menanyakan hari-harinya.
Sebab itulah Ella tidak begitu menyukai Nina, karena baginya gadis itu telah membawa 𝚙engaruh yang tidak baik, sampai-sampai Erlangga pun sudah mulai berubah.
Pukul tujuh malam, Ella dan Allura sudah sampai di rumah di ruang tamu mereka tengah berbincang, tertawa dan menikmati malam ini dengan ceria.
"Bu, Al, pulang dulu, ya?"
"Enggak boleh, Ibu sudah meminta izin pada Ibu-mu katanya tidak apa-apa kamu menginap di sini, nanti kamu tidur di kamar tamu," ucap Ella menjelaskan. Allura menarik napas dalam-dalam, merasa tidak nyaman jika harus tidur di rumah ini malam ini.
Tidak lama Erlangga pulang, dia menoleh sekilas kearah ruang tamu sebelum dirinya menuju keatas. Erlangga tidak memerhatikan gadis yang tengah berada di samping Ella.
"Elan sini dulu," panggil Ella sembari tangannya melambai meminta sang anak untuk mendekati.
Dengan perlahan Erlangga berjalan menuju Ella, dia duduk di seberang kursi hingga mereka berhadap-hadapan. Ella memegang jemari tangan Allura dengan lembut, membuat Erlangga merasa heran, ya heran kenapa dengan wanita itu bisa selembut itu sedangkan dengan Nina perhatian kecil pun tidak pernah Ella lakukan.
"Kenalin ini anaknya teman Mama, cantik kan dia?" tanya Ella sembari tangannya menjawil dagu Allura dengan gemas.
Allura yang diperlakukam seperti itu hanya tersenyum malu. Tidak menyangka jika Ella bisa melakukan hal itu di hadapan anaknya. Ya, yang Allura tahu jika Ella mempunyai anak pertama laki-laki dan dia yakin orang yang berada di hadapannya itu adalah anaknya.
"Iya," jawab Erlangga singkat.
"Kamu berarti suka dia dong?" lemparan pertanyaan itu membuat bola mata Allura membulat sempurna. Ada apa dengan Ella yang tiba-tiba bertanya seperti itu? Ini bukan salah satu kode untuk dirinya dijodohkan dengan lelaki itu bukan.
"Maksud Bu Ella apa ya, bisa-bisanya dia bertanya seperti itu," batin Allura merasa tidak enak hati dengan Erlangga.
"Memuji bukan berarti suka, Ma," jawab Erlangga dengan wajah datarnya.
"Masa? Lantas kenapa kamu selalu memuji teman adikmu jika kamu tidak mencintainya," seloroh Ella dengan nada tidak suka. Erlangga gelagapan karena malu dengan ucapan sang mama. Apalagi di sana ada orang asing mendengarkan.
"Dari mana Mama tahu? Perasaan aku tidak pernah mengatakan itu di hadapan Mama," batin Erlangga.
Dari arah luar terdengar suara Dinda bersama seseorang tengah bercanda ria. Mereka berdua masuk lalu terdiam saat melihat pemandangan yang tidak mengenakan hati untuk Nina. Dinda memegangi jemari tangan Nina saat raut wajahnya sekilas berubah.
"Mama ini apa-apaan bawa orang sampe memperlakukannya seperti itu, tapi pada Nina dia tidak pernah memperlakukannya seperti itu," gerutu Dinda dalam batinnya.
Dinda pun membisikkan sesuatu kearah telinga Nina, "sudah, ayok masuk kekamarku saja. Dari pada mood mu nanti hancur." Nina menurut dan mengikuti langkah Dinda naik keatas.
Erlangga tidak menghiraukan kekasih hatinya. Toh, dia tidak berbicara dan berbuat yang tidak-tidak dibelakang Nina.
"Aku keatas dulu, Ma." Erlangga pun langsung beranjak dari kursi dan pergi menuju keatas.
Setelah Erlangga keatas, Allura pun berbicara, "Bu, kayaknya aku pulang saja." Wajah tidak enak hati tercetak jelas. Ella mengusap kembali jemari tangan Allura dengan sayang.
"Sudah di sini saja nginap, cuma satu hari besok kamu boleh pulang kok, Ibu tidak akan menahanmu. Mau di kamar atas, atau tidur sama Ibu," ucap Ella mengajak Allura. Namun, spontan Allura menjawab.
"Aku di kamar atas saja, Bu, iya, di atas saja," jawab Allura. Tidak mungkin dia satu kamar dengan Ella akan semakin canggung nantinya.
***
Bersambung ...
Bab3. Siapa Dia?
***
Nina dan Dinda tengah melihat diam-diam kedekatan antara Ella dan wanita itu. Keduanya sangat heran ditambah curiga. Apa hubungan antara keduanya?
"Nda, kayakya wanita itu yang akan menjadi calon istri Mas-mu," ucap Nina setelah melihat interaksi keduanya.
"Apa sih, Na. Aku maunya kamu yang jadi kakak iparku, jangan berpikiran aneh-aneh lah," bantah Dinda, merasa tidak suka dengan lontaran Nina.
"Tapi setelah apa yang kita lihat sepertinya iya, Nda. Coba kamu perhatikan lagi, hal itu tidak pernah Mama-mu lakukan padaku. Dan sepertinya Tante Ella tidak pernah suka padaku," ucap Nina lagi dengan lesu, mengingat ulang bagaimana dia tidak pernah diperlakukan layaknya seorang anak seperti wanita itu.
"Nanti aku tanya dulu sama Mas Elang, gak bisa dibiarin ini. Masa iya sih, begitu juga," geram Dinda, giginya bergemurutuk tidak terima.
Saat melihat Erlangga akan kekamarnya Dinda menyerobot masuk tanpa membawa Nina. Dia sudah emosi dengan perkataan Nina barusan.
"Mas, kamu mau menikah sama dia?" tanya Dinda dengan nada tidak suka. Erlangga hanya menoleh sekilas dan membuka jasnya.
"Mas jawab dong," cerca Dinda yang sudah mulai kesal, bukannya menjawab Erlangga malah mengabaikan semua pertanyaan itu. Bukan tanpa alasan Erlangga bersikap seperti ini, sebab Nina lah yang membuatnya malas untuk membahas hal yang tidak penting.
Apalagi saat kemarin dia mengantarkan Nina, wanita itu dengan halus menolak mentah-mentah keinginan Erlangga yang ingin mengenal kedua orang tuanya.
"Keluar Dinda, Mas mau membersihkan diri. Temanmu di luar, kasihan dia menunggumu," ucap Erlangga mengingatkan. Dinda seketika menepuk jidat, tidak ingat dengan Nina.
"Awas ya, kalau pintunya di kunci, aku mau bawa Nina masuk juga ke kamarmu, Mas!" seru Dinda dengan ancamaan.
Namun, bukan Erlangga namanya jika dia tidak membuat kesal adiknya. Setelah Dinda keluar kamarnya buru-buru Erlangga mengunci pintu kamarnya.
Setelah keluar dan memegang knop pintu, Dinda dibuat kesal. Erlangga benar-benar membuatnya naik darah.
"Menyebalkan banget sih kamu, Mas," teriak Dinda.
"Ada apa teriak-teriak?" tanya Ella dan Allura yang sudah berada di dekat Dinda.
"Mama, ngagetin saja. Dia siapa, Ma?" tanya Dinda.
"Nanti juga kamu akan tahu," jawab Ella singkat dengan senyuman. Nina pun menyapa Ella dengan ramah. Dan sapaan itu Ella jawab dengan senyumannya. Meski berperilaku baik pada Nina akan tetapi sikapnya membuat orang merasa jika Ella tidak begitu menyukai Nina.
"Ayok, sayang kita ke kamarmu. Supaya kamu bisa istirahat," ucap Ella membawa Allura menuju kamarnya. Yang melewati kamar Erlangga, dan Dinda.
Ella juga mengabaikan Nina, dan Dinda yang masih berada di sana. Ella bahkan mengabaikan anaknya yang merasa dia lebih menyayangi orang lain ketimbang anaknya sendiri.
"Loh, Mamah kok kayak sama anak sih sama dia, sedangkan aku kayak orang lain," gerutu Dinda tidak terima.
"Iya, ya. Kamu sebaiknya minta penjelasan sama Mama mu sebelum posisimu terganti." Suasana sedang panas, Nina malah memberikan kobaran api pada Dinda.
Saat Ella melewati mereka berdua, Dinda mengikuti Ella menuju kebawah.
"Ma dia siapa, sih? Kenapa kayak sama anak, kan aku yang anakmu bukan dia," rengek Dinda kepada Ella.
"Salahmu yang tidak pernah mempunyai waktu untuk Mama lagi, kamu sibuk main terus sampai lupa punya Mama yang kesepian di rumah," ucap Ella mengungkapkan isi hatinya.
"Kan Mama banyak teman arisan, Mama," ucap Dinda mengingatkan, dia juga bergelayut manja di lengan Ella.
"Sudah sana keatas lagi. Awas ya, jangan sampai Allura kamu gangguin sama teman kamu itu," ancam Ella membuat Dinda mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Ella tersenyum samar dan menjawil hidung anaknya.
"Jangan ganggu Mama mau istirahat!"
***
Nina mengetuk pintu kamar Allura, dia ingin tahu sebenarnya siapa gadis itu hingga membuat Ella Mama dari Erlangga begitu menyayanginya membuat dirinya merasa cemburu. Sebab dirinya tidak pernah diperlakukan demikian oleh Ella.
Allura yang baru saja duduk di tepi ranjang langsung menoleh kearah sumber suara. Dia yakin jika dua wanita tadi yang mengetuknya.
"Buka tidak ya, tapi kalo tidak dibuka takut penting," gumam Allura dia pun dengan terpaksa beranjak dari tepi ranjang untuk membuka pintu.
Di sana sudah ada Nina dengan tatapan penuh kebencian, "kamu ada hubungan apa dengan Mama Ella sampai dia begitu memperlakukan kamu dengan baik," cerca Nina tanpa basa-basi.
"Aku?!" jawab Allura sembari menunjuk dirinya sendiri. Nina yang merasa geram pun memutar bola mata dengan malas.
"Menurutmu siapa lagi? Kalau Mama Ella tidak pernah memperlakukan aku seperti itu!" ketus Nina dengan mencebik.
"Terus hubungannya denganku apa?" Allura masih bertanya sebab dia tidak mengerti dengan pembicaraan wanita di hadapannya.
"Kamu ini pura-pura tidak mengerti atau---"
"Bo**h!!!" timpal Dinda yang sudah sampai di lantai atas ketika Mama nya meminta dirinya untuk jangan mengikutinya lagi.
Nina dan Allura menatap kearah sumber suara, "ya, benar kamu Nin, dia harus diinterogasi. Bisa-bisanya dia mau mengambil Mama ku dan Mas Erlangga," cibir Dinda dengan tatapan tidak suka.
"Jadi benar dia calon istri Erlangga, Dinda?" tanya Nina tidak sabar. Dinda hanya menganggukkan kepalanya.
Allura yang tidak merasa pun hanya melambaikan tangannya tidak merasa karena dia memang bukan calon istri dari Erlangga anak dari Ella. Bahkan Ibu nya dan Ella tidak memberitahukan dirinya apa-apa, bagaimana bisa dia menjadi calon istrinya.
"Kalian salah paham," sela Allura membela diri.
"Lalu kamu siapa?!" Nina dan Dinda bertanya dengan bersamaan.
"Aku hanya pemilik panti asuhan. Dan Ibu Ella donatur tetap di tempatku, karena dia kesepian makanya memintaku untuk menemaninya. Karena kemalaman makanya aku di suruh menginap," jawab Allura menjelaskan.
"Sudah-sudah, ini sudah malam Dinda, kamu mengganggu orang istirahat saja. Bagaimana kalau Mama mendengar kamu memarahinya? Kamu mau di marahi balik?!" Erlangga keluar melerai perdebatan mulut mereka.
Nina yang melihat Erlangga keluar kamar pun langsung berjalan menghampiri Erlangga dan menuntunnya kehadapan Allura.
"Sayang bilang sama dia kalau kamu hanya mencintaiku, dia tidak akan bisa menggantikan posisiku di hatimu," rengek Nina dengan manja. Dinda pun sangat puas melihat kemesraan Erlangga dan juga Nina.
Setidaknya wanita itu akan mundur jika benar dia yang dipilih Mamanya untuk menjadi calon istri Erlangga.
"Iya, kalau kamu secepatnya ingin membawa hubungan kita kearah yang lebih serius!" seru Erlangga menekankan.
Kini tatapannya beralih menatap Allura dengan datar, "sekarang kamu masuk kamarmu! Dan beristirahlah," titah Erlangga, Allura yang terkejut pun langsung menutup kamarnya spontan.
"Kamu juga masuk Dinda." Tanpa melawan Dinda langsung berbalik badan dan masuk kekamarnya.
Erlangga menarik tangan Nina untuk menuju ke arah balkon.
"Tentukan waktu yang tepat agar aku dan keluargamu bertemu!!"
***
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!