Budayakan membaca sebelum like, hiasi kolom komentar sebanyak-banyaknya ya, mohon dukungannya untuk author, Sarange bestie😘🫶🏻
❄️❄️❄️
Arumi dharma, harus menelan pil pahit di hari pernikahan nya ketika tahu Yudha dirgantara, pria yang seharusnya menjadi mempelai prianya kabur tanpa kejelasan, membiarkan nya sendiri di pelaminan.
Saat ini mereka sedang mencari keberadaan Yudha namun laki-laki itu sama sekali tak bisa di temukan, berulang kali Handoko, ayahnya menelpon nomor sang putra namun yang dia dapat kan hanya sebuah pesan dari nomor Yudha yang mengatakan lelaki itu tak siap menikah dengan Arumi.
Mengetahui itu, keluarga Arumi seketika bermuram durja, pak Dharmawangsa, ayah sang mempelai wanita mengamuk menuntut pertanggungjawaban pada keluarga mempelai pria.
Di tengah prahara yang terjadi, pak Handoko mengusulkan sebuah ide yang tak pernah mereka duga.
"Bagaimana jika putra pertama saya, Dewa yang akan menjadi mempelai pria menggantikan Yudha yang kabur."
"Ini penghinaan namanya, pak Handoko, anda pikir Putri saya apa? anda kira pernikahan ini sebuah lelucon?!" pak Dharmawangsa, ayah Arumi jelas menolak, ia bersungut penuh amarah tak terima dengan usulan itu.
Namun kabar tentang kaburnya mempelai pria sudah terdengar hingga ke telinga para tamu, pak penghulu juga tak bisa lagi menunggu sementara waktu akad sudah akan lewat.
"Pak Dharmawangsa, anda terima saja usulan ini kita tidak punya pilihan lain," ucap bu Helena, "Dewa putra pertama saya juga pria baik-baik dia pasti bisa menjadi imam untuk Arumi."
Pak Handoko memandang pria yang sedari tadi hanya diam tak bersuara, pria yang terkenal dingin dan cuek dengan sekitar, pria yang di katakan tak bisa untuk mencintai wanita lain setelah ada satu nama yang kini terpatri di hatinya.
"Dewa kau bersedia kan menggantikan posisi adik mu? menikah lah dengan Arumi, demi menyelamatkan martabat keluarga kita."
Pak Dharmawangsa memandang sang putri, gadis itu menggeleng lemah. "Bagaimana bisa aku menikah dengan calon kakak ipar ku sendiri pah? lebih baik kita batal kan saja pernikahan ini," ucapnya seraya tergugu dalam tangis, semua mimpi tentang masa depannya telah hancur bersama Yudha yang kabur, ia memang sudah mengira jika Yudha tak siap dengan pernikahan ini, namun ia tak mengira pria benar-benar kabur dari tanggung jawabnya.
Pak Dharmawangsa yang awalnya ragu namun melihat situasi yang mulai runyam membuat ayah Arumi itu memberikan ultimatum nya. "Arumi, mau tidak mau kamu harus menikah dengan Dewa!"
"Tapi yah ... " Arumi menggeleng, menolak.
"Mengertilah, kita tak mungkin menanggung malu besar, kamu harus paham, jadi menikah lah dengan Dewa."
Lalu semuanya terjadi tanpa rencana, akhirnya Arumi dan Dewa menikah, kedua anak manusia itu mengikat hubungan suci tanpa adanya cinta di antara mereka.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arumi nayaka binti Dharmawangsa Adiguna dengan maskawin tersebut di bayar tunai!" Dewa mengucapkan ijab kabul dengan sekali tarikan nafas.
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!" ucap semua orang yang hadir dengan serempak.
Kini keduanya resmi menyandang status sebagai suami-istri. Arumi mencium punggung tangan Dewa dengan takjim di saat itulah Dewa berbisik di telinganya.
"Pernikahan kita karena keterpaksaan, jangan pernah mengharapkan hal apapun dari ku."
Deg! Arumi mematung dengan hati yang bagai tertusuk sembilu, nyeri itulah yang ia rasakan.
Di tengah euforia yang terjadi, Dewa memandang tajam pada Arumi. "Meski kau adalah istriku sekarang tapi aku tak akan pernah menganggap mu seperti itu, sampai kapan pun kau hanya beban yang terpaksa ku tanggung jadi tetaplah sadar pada posisi mu."
Arumi diam menahan sakit atas ucapan pria yang baru resmi menjadi suaminya, tak pernah ia duga dengan suratan takdir yang mengikat nya, bahwa lelaki dingin inilah yang akhirnya menjadi imamnya.
"Jika kau terpaksa menikah dengan ku, kenapa kau menerima nya?" pertanyaan yang menggumpal itu akhirnya keluar, Arumi memandang lelaki tampan dengan wajah angkuh itu.
Dewa diam sejenak, lalu terkekeh pelan.
"Jika bukan karena martabat keluarga,tak mungkin aku mau menikahi wanita seperti mu."
Arumi menutup mulut rapat, akhirnya ia mengerti jika lelaki yang terpaksa menikahinya ini sungguh sangat membencinya.
*
*
*
Di kamar yang sudah di sulap menjadi kamar pengantin penuh taburan bunga dan wewangian, Arumi duduk di sisi ranjang dengan canggung beberapa kali ia melirik gelisah tak tahu harus melakukan apa.
Tak lama pintu terbuka menampilkan seraut wajah tampan yang masih berbalut jas hitam rapi, Dewa berjalan memutari ranjang melempar asal jasnya lalu menarik dasi yang terasa mencekiknya.
Lelaki itu memandang sinis ke arah wanita cantik yang saat ini menunduk. "Mandilah. Apa yang kau harapkan? malam pertama? itu tidak akan pernah terjadi."
Arum mengangkat wajah. "Aku tak pernah mengharapkan hal itu, aku tahu kau membenciku."
"Baguslah, kau akhirnya sadar."lelaki itu mendengkus.
"Tapi kenapa? apa aku pernah punya salah pada mu?" Arumi menelan ludah kasar, menahan sesak yang seakan menggumpal kerongkongannya. "Aku pun tak ingin ada di posisi ini, jika saja aku bisa memilih lebih aku batalkan saja pernikahan ini." Akhirnya Arum tak bisa lagi membendung air matanya.
"Apa salah ku padamu? kenapa kau terus saja mengucapkan hal yang menyakitkan?"
Arumi tak pernah tahu tentang Dewa bagaimana sifat lelaki itu Arumi tak bisa menebak pun dengan hubungan nya bersama Yudha yang awalnya adalah perjodohan kedua orang tua mereka, Yudha yang memang tertarik dengan Arumi akhirnya mengajaknya berpacaran sebelum menikah, tak pernah Arumi tahu jika Yudha tak ingin menikah dengan nya, jika ia tahu lebih baik ia putuskan saja hubungannya lebih awal agar tidak meninggalkan luka yang begitu besar di hatinya seperti sekarang. Cintanya terlalu dalam untuk Yudha, atau sekedar rasa nyaman Arumi tak bisa membedakan yang pasti Yudha telah begitu besar meninggalkan luka untuknya yang tak mungkin bisa pulih dengan cepat.
"Aku tak ingin menjalani pernikahan ini." Lagi-lagi Arumi tergugu meratapi nasibnya.
Dewa bergeming dengan rahang mengeras, lelaki itu mengepalkan tangannya penuh amarah lalu berbalik badan menghampiri Arumi, menarik wajahnya hingga berhadapan dengan cara mencengkeram dagu gadis itu kuat-kuat.
"Kau ingin tahu kenapa aku membenci mu? wajah bodoh mu ini, tatapan polos penuh kasihan yang selalu kau tampil kan inilah yang membuat ku muak!"
Arumi memandang takut, iris matanya bergerak penuh cemas. "Jika begitu ceraikan saja aku sekarang."
Dewa tersenyum miring. "Bercerai? jangan harap!"
"Akan ku buat hidup mu seperti di neraka, baru aku akan menghempaskan mu seperti barang yang tak berguna!"
"Laki-laki bia*dab!" Arumi terisak membuat air matanya yang mengalir jatuh menelusup ke sela jari Dewa yang mencengkeram erat dagunya.
Deg! Dewa bergeming, hatinya ikut merasakan sakit melihat gadis itu yang menangis karenanya namun buru-buru ia menepis perasaan itu.
Dewa agak menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Arumi. "Ya aku memang bia*dab jadi ratapilah penyesalan mu karena menikah dengan ku."
"Tutup wajah sendu mu itu, berpura-pura lah tersenyum seakan kita adalah pengantin baru yang bahagia, aku tak ingin keluarga curiga dengan hubungan kita," ucap Dewa ketika melihat bayangan wajah Arumi di cermin meja rias, gadis yang sudah cantik berbalut mini dress bermotif bunga daisy itu hanya mengangguk, rambutnya yang hitam legam sebatas pinggang pun ia buat basah atas permintaan sang suami, agar orang mengira bahwa mereka sudah melewati malam panas dengan mereguk manis madu bersama padahal kenyataannya tidak lah seperti itu.
Dewa terlalu jauh untuk Arumi gapai, tidak ada malam pertama yang seperti di gembar-gembor kan teman-temannya yang hampir semuanya sudah melepas masa lajang, tak mungkin ada hal seperti itu di dalam pernikahan karena keterpaksaan ini, yang ada lelaki itu menjauh enggan tidur di satu ranjang yang sama dengan nya.
Arumi lalu melangkah lebih dulu keluar meninggalkan Dewa yang masih sibuk dengan ponselnya. Di luar, ia di sambut hangat oleh para kerabat yang datang.
"Rumi,kemari sayang." sang ibunda memanggil.
Arumi mengangguk tersenyum hangat, sesuai perintah dari Dewa harus membuat keluarga percaya jika ia sangat bahagia dengan pernikahan ini.
"Cie, pengantin baru udah basah aja rambut nya."
Arumi menunduk malu, bisik-bisik mulai terdengar tentangnya.
"Beruntungnya Arumi gak ada dapat adiknya, kakaknya pun jadi dia tetap menyandang status sebagai menantu keluarga dirgantara."
Ah, andai mereka tahu kemalangan apa yang sedang menimpanya saat ini. Di rumah orang tuanya di adakan makan-makan untuk para tetangga yang membantu, Dewa sejak tadi tetap berada di dalam kamar nya enggan keluar bahkan untuk sekedar bercengkrama dengan kerabat yang hadir.
Sampai hari mulai gelap ia baru keluar bersamaan dengan orang tuanya yang saat ini sudah datang.
Mereka kini berada di meja makan menikmati makan malam bersama. Para orang tua mengamati sikap keduanya yang terlihat canggung. mereka bahkan tak bisa saling menatap untuk waktu yang lama.
Hal itu menimbulkan keresahan, para orang tua saling melempar pandangan, kemudian suara pak Handoko memecah keheningan. "Dewa, Arumi kami tahu kalian masih dalam tahap adaptasi untuk hubungan kalian ini, cobalah untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain lebih dalam."
Dewa memandang Arumi lalu menoleh kembali. "baik pah dan untuk itu aku akan membawa Arumi tinggal bersama ku di apartemen."
Pak Dharmawangsa cukup terkejut. "Apa tidak bisa kalian tinggal di sini dulu?"
Dewa tersenyum sungkan. "Tidak ayah mertua, kami sudah cukup menginap di sini. Aku ingin bisa mengenal Arumi lebih dalam, secara hubungan kami awalnya tidak begitu dekat, bukankah dalam pepatah Jawa cinta datang karena terbiasa?" sejujurnya ia muak dengan perkataan yang di ucapkan nya sendiri, namun di depan keluarga ia harus tetap berakting. Dengan membawa Arumi ke apartemen nya tidak akan yang tahu tentang perlakuan nya terhadap gadis itu.
Kali ini pak Dharmawangsa tersenyum pun dengan Bu Ratna dan kedua orang tuanya. "Begitu rupanya, aku mengerti, baiklah."
"Tapi apa tidak bisa kamu dan Arumi tinggal bersama kita di rumah,nak?" tanya pak Handoko menawarkan.
"Tidak pah, aku dan Arumi akan tinggal berdua dan mandiri, seperti yang ku katakan aku ingin kita berdua bisa mengenal satu sama lain lebih jauh, dan tak ingin merepotkan kalian dalam apapun."
Pak Handoko menghela nafas atas keputusan putranya. "Baiklah terserah padamu jika begitu, kalian berdua lah yang menjalani bahtera rumah tangga ini, jadi kami tidak akan ikut campur terlalu jauh."
Pak Dharmawangsa mengangguk. "Aku setuju dengan besan."
Dewa menarik sudut bibirnya sekilas. "Terimakasih pah, ayah mertua."
Sementara Arumi tetap diam menguyah makanannya,meski dalam hati berfikir tentang betapa pintarnya pria itu berakting manis di depan kedua orang tua mereka.
*
*
*
Usai makan malam, para orang tua duduk di ruang tamu mengobrol dan bercengkrama, membicarakan lalu mengingat masa lampau saat mereka muda. Baru Arumi ketahui jika kedua orangtuanya dan kedua mertuanya adalah teman semasa kuliah dulu, bahkan ayahnya dan papah Handoko adalah teman lengket sejak SMA itulah sebabnya ketika mereka sama-sama sukses berencana untuk menjodohkan putra putri mereka agar hubungan semakin kekeluargaan semakin dekat, Arumi mengetahuinya setelah mendengar itu semua seraya membantu mbok inah membersihkan meja sehabis makan.
Tak lama Dewa bergabung, mereka terlihat semakin menyelami obrolan yang asyik di buktikan dengan ayah yang beberapa kali menepuk pundak suaminya itu, merasa bangga.
Malam semakin larut, Dewa sudah kembali ke kamar pun dengan kedua orang tua Arumi, sementara pak Handoko dan bu Helena yang memang memutuskan untuk menginap semalam di sini masih terlihat mengobrol di sofa.
Arumi sudah selesai dengan pekerjaan nya, saat melewati sofa yang di tempati mertuanya ia tak sengaja mendengar obrolan mereka, posisi Arumi yang cukup jauh di belakang mereka membuat keduanya tak sadar akan kehadiran nya.
"Kasihan Dewa, seharusnya dia menikah dengan Diana." suara Papah Handoko terdengar lirih, siapa Diana yang di maksud? apakah dia calon istri Dewa?
"Apanya yang harus di kasihani pah, nasi sudah menjadi bubur, Dewa juga terlihat sudah bahagia dengan pernikahan nya, lupakan wanita yang sudah menjadi tulang tertimbun tanah."
Apa maksudnya itu? Arumi semakin tak paham, apa mungkin Diana yang di maksud sudah meninggal?
"Tapi papa tetap kasihan dengan Dewa."
"Alah, yang seharusnya dikasihani itu putra kita yang sekarang tidak tahu keberadaannya di mana bukan anak pungut itu."
Deg! Arumi semakin kaget di buatnya, anak pungut? jadi Dewa bukan lah anak kandung mereka?
"Ssst, kecilin suara Bu, gak enak kalau sampai kedengaran orang lain."
"Abisnya papa bikin Mama kesal, udah tau mama sedang khawatir dengan keadaan Yudha saat ini, pokoknya papa harus mencari keberadaan Yudha sampai ketemu, karena hanya putra kandung kita lah yang pantas untuk mewarisi semua kekayaan kita."
Dada Arumi naik turun menahan gejolak tak enak yang tiba-tiba timbul, dengan berjalan mengendap-endap ia berusaha melewati keduanya dengan hati-hati agar tidak ketahuan telah menguping.
Lalu ia melangkah masuk ke kamar tanpa menimbulkan suara sedikitpun, kemudian menutup pintu perlahan dengan sangat pelan. Arumi bernafas lega dengan mengelus dada sekilas.
"Kau sudah mendengar semuanya?"
Arumi terperanjat, ia berbalik menyadari Dewa yang berdiri tepat di depannya.
"M-mas Dewa." sejak kapan pria itu ada di sini?
"Kau sibuk menguping hingga tak tahu jika aku sudah ada di kamar."
Arumi tidak menyadarinya, ia pikir pria itu pergi setelah sempat melihatnya mengenggam kunci mobil.
"Maaf mas, aku gak tahu kalau kamu ternyata masih ada di rumah."
Jadi apa Dewa juga sudah mendengar obrolan kedua orang tuanya tadi?
"Jadi bagaimana? apa kau sudah tahu jika aku bukan lah anak kandung mereka?"
Arumi terdiam, lidahnya mendadak keluh tak tahu harus menjawab apa. Jadi benar jika Dewa juga mendengar obrolan itu, apalagi dengan ucapan Bu Inggit yang menyakitkan.
"Mas, apa kamu baik-baik saja?"
Lelaki itu justru terkekeh. "Benar dugaan ku, semua orang tahu faktanya selalu menatap kasihan padaku dan itu memuakkan."
Dewa lalu semakin merapatkan Arumi di daun pintu, tangannya terulur untuk mengunci tubuh Arumi dalam kungkungannya.
"Simpan tatapan kasihan bodoh mu, karena aku tidak membutuhkannya dan jika kau sudah mendengar semuanya dari orang tuaku,itu benar, aku bukanlah anak kandung dari mereka, dan Diana, selama nya nama itu akan selalu berada di hatiku,tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikan nya."
"Arum, jadilah istri yang baik dan patuh, layanilah suami mu dengan sepenuh hati, belajar lah mencintai nya dan menerima kekurangan nya."
Suara bunda memberi petuah saat membantu Arumi mengepak pakaian nya di dalam koper seperti tercekat di tenggorokan, bisa Arumi lihat kaca-kaca di mata yang sudah mulai tua itu,
"Baik bun, Arum akan ingat pesan bunda baik-baik."Arumi mengangguk-angguk dengan seru nafas yang seakan beradu bersama titik-titik kristal bening yang jatuh di mata indahnya.
Bunda mendongak menatap lekat wajah ayu putri semata wayangnya dengan sayang. "Maafkan bunda ya nak, maafkan ayah juga, andai saja kami tidak terus mendesak Yudha untuk segera menikahi mu, mungkin semua ini tidak akan terjadi, kamu tidak akan mengalami kemalangan ini." wanita paruh baya yang masih terlihat anggun di umurnya yang tak lagi muda itu akhirnya tak bisa menyembunyikan tangis,di genggamannya tangan sang putri lalu menempelkan nya di kening menunjukkan penyesalan yang teramat, hingga membuat Arumi di landa sesak yang luar biasa, ia ikut menangis bersama sang bunda.
"Maafkan bunda, nak ... "
Arumi menggeleng dengan isak yang sebisa mungkin ia tahan. "Jangan seperti ini bun, nanti Rumi tidak bisa jauh dari bunda."
Bunda melepaskan pelukannya, mengusap pipi mulus Arumi. "Selalu dengar kan perkataan suami mu ya, bagaimana pun sekarang nak Dewa adalah suami mu jangan bikin dia kecewa, selalu patuh dan setia berada di sampingnya, baik susah maupun senang."
Arumi mengangguk cepat. "Pasti bun, Arumi akan selalu ingat wejangan bunda."
Wanita yang telah sabar merawatnya dengan penuh kasih sayang itu mengelus rambutnya lembut. "Anak bunda yang penurut, cantik semoga rumah tangga kalian selalu di penuhi keberkahan ya."
Arumi tak yakin atas perkataan terkahir sang bunda.
*
*
*
Di luar, Dewa dan kedua orang tua nya sudah menunggu, bersama pak Dharmawangsa. Arumi menyeret kopernya bersama sang bunda yang menemani di sampingnya, sesekali ia akan menyeka ekor matanya yang basah.
Pak Dharmawangsa memperhatikan lalu menghampiri sang putri, di tatapnya lamat-lamat wajah Arumi. "Putri kecil ayah, sekarang sudah menjadi seorang istri," suaranya bergetar, di usapnya kening Arumi lalu gadis itu merasuk dalam pelukan cinta pertama nya dengan tangis yang kembali pecah.
"Jangan menangis sayang, kamu sekarang sudah mengemban tugas sebagai istri, kamu bukan putri kecil ayah yang akan merengek jika tidak di turuti kemauan nya. Sekarang kamu adalah sepenuhnya wanita, seorang istri yang nantinya akan menjadi seorang ibu, kamu harus kuat dengan segala cobaan rumah tangga mu nanti, ingat ini Arum." Seperti bunda, ayah juga tak lupa memberikan wejangan nya yang ia harap akan selalu di ingat oleh sang putri.
Melepas pelukan, Arumi mengangguk. "Baik yah, Arumi akan selalu ingat pesan ayah." lalu pak Dharmawangsa mengusap lembut pipi Sang putri yang basah oleh air mata. "Sering-seringlah datang ke sini untuk menjenguk kami."
"Baik ayah, itu sudah pasti." Arumi mengangguk yakin. Pak Dharmawangsa tersenyum lalu pandangan nya beralih pada pria jangkung yang sedari tadi diam di samping Arumi. "Nak Dewa tolong jaga Arumi, putri ayah adalah satu-satunya harta berharga yang ayah punya, ayah titipkan Arumi padamu."
Dewa mengangguk. "Pasti ayah mertua, saya akan menjaga Arumi dan belajar mencintai nya dengan sepenuh hati." dalam hati ia menolak itu semua.
Perkataan Dewa sukses membuat Arumi menoleh, gadis itu menatap Dewa sejenak, kebohongan yang sangat bagus, untuk kali ini Arumi benar-benar memuji akting pria itu yang sangat natural. Ucapan juga tindak lakunya yang merangkul pundak Arumi erat seakan ingin menunjukkan kepada seluruh dunia jika mereka bahagia dengan pernikahan yang tak pernah di harapkan ini.
"Arumi sudah kami anggap seperti anak sendiri, kalian tidak usah khawatir, kami akan selalu menyayangi nya." Ucapan Bu Helena pada kedua orang tuanya sontak saja membuyar kan lamunan Arumi, lalu gadis itu melengkung kan sebuah senyum manis setelah tangan ibu mertuanya itu yang mengelus rambutnya pelan.
Setelah ritual perpisahan, Dewa mengangkat koper Arumi untuk di masukkan nya ke dalam bagasi, para orang tua berpamitan lalu Dewa bersama Arumi.
Arumi memandang orang tuanya sekali lagi lalu memeluknya barang terakhir kali, rasanya tak tega meninggalkan mereka, namun senyuman ayah dan bundanya seakan meyakinkan hatinya yang semula ragu.
"Pergilah, suami mu sudah menunggu," ucap bunda seraya melambai, Arumi mengangguk, lalu tersenyum melambai sekilas setelahnya masuk ke dalam mobil, pak Dharmawangsa dan Bu Ratna berjalan ke depan hingga mobil berbelok dan tak terlihat. Mereka berharap putri mereka akan mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahan ini meski dengan pria yang berbeda.
*
*
*
Mobil fortuner hitam itu seakan bergerak lambat memecah hiruk pikuk kendaraan di jalanan kota yang mulai padat. Suara bising khas perkotaan seakan menjadi harmoni di antara kebisuan yang terjadi di antara keduanya, Arumi sesekali melirik pada Dewa yang fokus melihat ke depan, dengan earphone yang menggantung di telinga pria itu, tak ada topik obrolan di antara mereka, bahkan pria yang selalu menampilkan wajah kaku bak kanebo kering itu seperti tak peduli akan kehadirannya.
Dua jam perjalanan mereka akhirnya sampai di sebuah rumah besar dengan halaman luas di depannya, mobil mendarat mulus setelah memasuki gerbang kokoh yang menjulang tinggi lalu berhenti tepat di depan garasi samping rumah.
Di sana sudah ada mobil lain yang Arumi tahu, papah Handoko dan mamah Helena keluar dari mobil dan menghampiri mereka.
"Arumi selamat datang di rumah kami," ucap mamah Helena dengan senyum suka cita, sebenarnya bukan pertama kalinya ia menginjak kan kaki di rumah besar ini, "Sekarang kamu adalah menantu keluarga ini, kini kamu adalah bagian dari keluarga dirgantara" ujar beliau menjangkau Arumi lalu memeluk setengah bahunya, sedangkan Dewa sudah pergi dahulu masuk ke dalam, sembari melongos ia menatap istrinya dengan lekat sebentar lalu melanjutkan langkah, papah Handoko tersenyum segan atas sikap sang putra. "Dewa memang seperti itu sifatnya, mudah-mudahan kamu bisa memaklumi nya."
"Kalian menikah juga tanpa persiapan, papah dan mamah harap kalian bisa lebih akrab agar bisa saling membuka hati." Bu Helen mengelus pelan pundak Arumi, gadis itu mengangguk ringan, meski dalam hatinya ada perasaan berkecamuk besar.
"Ayo masuk." ajak kedua mertuanya, Arumi lalu mengikuti langkah mereka.
Di dalam kamarnya Dewa mengambil barang-barang nya juga berkas-berkas penting yang akan dia pelajari untuk proyek yang sedang ia kerjakan.
Selama ini meskipun mempunyai kamar sendiri Dewa lebih suka hidup berpisah dari keluarga nya dengan mempunyai apartemen pribadi atau berpergian ke kota-kota besar di luar negeri demi pekerjaan juga mengobati luka hatinya yang selama dua tahun ini masih menganga lebar karena seorang gadis yang kini sedang ia genggam fotonya.
"Diana, maafkan aku, bukan maksud ku untuk mendua kan mu, aku terpaksa menerima pernikahan ini, semoga kau mengerti, hanya kau lah yang ada di hati ku, tidak ada yang lain termasuk wanita itu."
Di luar, Arumi yang awalnya hendak masuk mendengar semua yang Dewa katakan, seperti sebuah kaca yang utuh yang tiba-tiba di lempar palu besar, itulah keadaan hatinya saat ini hancur berantakan, deru nafasnya terasa sesak lalu gadis itu berbalik menempelkan punggungnya di dinding mengusap dadanya yang terasa nyeri.
Jadi, selamanya ia tidak akan bisa mendapatkan cinta suaminya sendiri di saat pria itu pun tidak bisa melupakan wanita sangat yang di cintainya. Seperti inikah rasanya cinta bertepuk sebelah tangan yang bahkan masih belum di mulai?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!