NovelToon NovelToon

SANG PENARI [ END ]

GANIS

Pada siang yang begitu terik. Seorang penari tradisional yang baru akan memulai debut pertamanya tengah menari seorang diri. Dalam sanggar yang begitu luas, hanya ada dirinya dan tak ada yang lain. Tariannya begitu luwes, ia pun seolah hanyut dalam kehikmatan tarian yang ia bawakan. Pada penampilan perdananya esok hari, tentu semua hal harus dipersiapkan. Sesempurna mungkin, tanpa ada satu pun kekurangan.

Pagelaran besar akan diadakan di balai desa untuk memperingati hari jadi desa. Hal yang lumrah dan telah biasa dilakukan. Beberapa penari dan penyanyi jawa diundang, lengkap dengan para penabuh gamelan untuk memeriahkan acara dan Ganis adalah salah satu dari sekian banyak penari yang turut diminta untuk tampil dalam acara tersebut. Setelah sekian lama hanya menjadi cadangan, kini diizinkan untuk tampil sebagai penari inti. Ganis merasa sangat senang.

Ganis memiliki tubuh yang ramping juga berambut panjang. Wajahnya pun ayu meski tinggi tubuhnya tidak terlalu ideal. Memanglah telah lama, ia bercita-cita untuk dapat menjadi penari jawa yang terkenal. Karena itulah ia mengambil kursus tari sejak masih di bangku sekolah menengah pertama dan di sanggar inilah, ia mulai perjalanan pertamanya.

...🍁🍁🍁...

"Gimana? sudah siap kamu?" tanya Agung, sahabat Ganis sedari kecil.

"Sedikit deg-deg an sih Gung tapi semuanya sudah siap."

"Jangan takut! aku akan berdiri paling depan untuk menonton pertunjukan tarimu."

Ganis mengulas senyum, keduanya memang telah lama berteman dan telah menjadi sahabat hingga sekarang.

"Kebunmu sudah panen Gung?" tanya Ganis.

"Sudah, kenapa? kamu mau minta kopi ya? gampang, setelah proses panen selesai dan kopi sudah kering, kamu pasti aku kasih."

"Enggak, siapa juga yang mau minta," kilah Ganis.

"Oh gak minta ya? kok aneh? biasanya tiap tahun ada yang malak kopi ke aku," ledek Agung disusul tawa kecil.

Keduanya tertawa sembari terus bercengkerama bersama. Kedua sahabat ini telah akrab dengan keluarga masing-masing. Saling mengunjungi pun telah dianggap biasa. Sangat diterima layaknya saudara. Obrolan hangat itu masih berlanjut hingga tanpa terasa, sebaskom kacang rebus telah habis mereka lahap. Barulah kemudian, mereka sadar kalau malam telah kian pekat, Agung berpamitan.

"Eh Nis.. aku pulang ya! sudah malam nih, kamu juga perlu istirahat biar penampilanmu sempurna besok!"

"Iya Gung."

"Kalau kelar semua, bapakmu bakalan aku kasih kopi kok tenang saja!"

"Eh dasar ya!"

Keduanya terkekeh.

"Ya sudah, masuk gih! aku balik!"

"Iya."

Agung pun mengayuh sepeda ontelnya untuk pulang. Rumah keduanya terbilang dekat. Hanya berjarak kurang lebih lima rumah saja. Namun, rumah di desa itu tidak berdempetan seperti di kota. Meski tidak semua tapi kebanyakan, di setiap rumah memiliki halaman luas dan kebun di samping rumahnya. Begitu pun dengan rumah-rumah yang ada di desa tempat Ganis dan Agung tinggal.

...🍁🍁🍁...

Keesokan harinya, semua orang Sanggar terlihat sibuk. Semua barang bawaan dan perlengkapan dicek agar tidak ketinggalan, diangkut semua ke lokasi acara yakni di balai desa. Setelah pengecekan selesai dilakukan, semua kru berangkat ke lokasi pertunjukan. Khusus para sinden dan penari, ada yang berangkat dari sanggar, ada juga yang berangkat sendiri, langsung ke balai desa.

Semua kru sibuk dengan tugasnya masing-masing. Semua gamelan ditata dengan rapi sebelum kemudian para penabuhnya berganti busana yang khusus digunakan untuk pertunjukan. Para sinden dan penari juga sibuk merias diri, termasuk juga Ganis. Bedak, pensil alis dan segala macam riasan ia kenakan untuk mempercantik tampilannya. Meski pun tanpa perlu dipoles pun, Ganis sudah terlihat manis.

Para penjual makanan terlihat sibuk menata barang dagangannya. Setiap kali ada tontonan begini, pasti akan ada banyak pedagang yang berjualan. Wajar saja sebab, akan ada banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukan. Tak sedikit juga yang akan membeli jajanan. Entah untuk dimakan di tempat atau pun dibawa pulang.

Waktu berlalu dan malam pun tiba. Pertunjukan dimulai kala keramaian menggema ke segala arah. Orang-orang berdatangan seiring musik gamelan yang mulai dibunyikan. Pemandu acara berbicara sebelum kemudian, para sinden menyanyikan lagu diiringi para penari yang menyuguhkan tarian demi tarian mereka. Lenggak lenggok dengan luwesnya. Paras ayu turut menambah pesona.

Seperti yang telah dijanjikan, Agung duduk di barisan depan. Memberikan dukungan untuk sahabatnya. Beberapa kali Agung terlihat mengacungkan jempol sembari tersenyum, isyarat memberi nilai pada tarian epik yang Ganis tampilkan. Kiranya, bukan hanya Agung yang merasa terhibur. Melainkan para penonton yang lainnya juga. Penampilan perdana Ganis ini sungguh menarik banyak perhatian. Ia pun menerima banyak saweran. Agung mengulas senyum, turut merasa senang atas keberhasilan sahabatnya.

...🍁🍁🍁...

Semenjak debut pertamanya di balai desa, Ganis selalu diikutsertakan pada pertunjukan-pertunjukan berikutnya. Namanya pun melambung dengan cepat. Demikian juga dengan tarif pementasannya yang turut meningkat. Bahkan, telah beberapa kali, ia mentraktir Agung makan di warung langganan, uang hasil dari menarinya.

"Hebat kamu Nis!" puji Agung.

Ganis hanya tersenyum.

"Kamu sudah jadi penari terkenal. Setidaknya di desa kita dan di desa-desa sekitar. Gak lama lagi, kamu akan terkenal di seantero kabupaten," seloroh Agung yang mengundang gelak tawa keduanya.

"Jangan bermulut manis kamu Gung! aku tahu, kamu pengen kutraktir terus kan?" ledek Ganis.

"Itu sih iya tapi, apa yang aku bilang juga serius. Sekarang tuh ya, penampilanmu selalu ditunggu-tunggu."

"Hemm.. kalau begitu, seharusnya kamu bangga bisa jadi sahabatku."

"Tentu saja, bangga sekali aku. Itu tuh, Ari anaknya pak Lurah, udah mulai nanyain kamu ke aku. Dia tahu kalau kita dekat. Dikiranya kita pacaran tapi udah aku jelasin kok kalau kita ini cuma teman. Kayaknya sih, dia naksir kamu Nis."

"Mas Ari ya?"

"Iya."

Ganis hanya tersenyum, tanpa menanggapi lebih jauh.

"Eh Gung.."

"Apa?"

"Kamu pernah bilang kalau kamu ingin jadi penabuh gamelan, apa masih ada minatmu itu?"

"Masih, kenapa? kamu mau bantu?"

"Tentu saja aku mau bantu. Kalau kamu juga mau, aku bisa minta pak Wiryo (ketua sanggar) untuk menerimamu bekerja di sanggar."

"Serius kamu Nis?"

"Serius, kenapa? kamu meragukanku?"

"Bukan-bukan, aku sih malah senang kalau beneran bisa gabung sanggar itu. Sanggar Sekar Arum kan sudah sangat terkenal. Jobnya juga banyak, pundi-pundi uang tentu cepat melimpahnya," jawab Agung disusul tawa cekikikan.

"Dasar mata duitan!"

"Namanya juga manusia, mana ada coba yang gak suka duit?"

Sekali lagi, Agung tertawa.

"Baiklah, tunggu kabar dariku ya!"

"Iya Nis, makasih!"

"Di antara kita, gak perlu terima kasih Gung!"

"Iya-iya. Kita lanjutin makan Nis, habis gitu kuantar kamu pulang!"

"Iya Gung."

Keduanya pun menghabiskan makanan mereka.

...🍁 BERSAMBUNG...🍁...

...🍁🍁🍁...

RITUAL PARA PENARI

Hari-hari berikutnya adalah hari penuh gemerlap untuk Ganis. Gadis itu tengah naik daun. Tengah menikmati puncak kariernya. Namanya menggema di mana-mana. Banyak sekali undangan pertunjukan yang secara khusus meminta dirinya untuk menari. Tak jarang juga, ia menerima undangan untuk menari secara pribadi. Undangan tunggal yang hanya dia seorang penarinya. Pengaruhnya pun menjadi cukup besar. Pak Wiryo sangat mempertimbangkan pendapat Ganis karena Ganis adalah icon utama dari sanggarnya saat ini. Karena itu jugalah, Ganis bisa dengan mudah, meminta pak Wiryo untuk menerima Agung sebagai penabuh gamelan di sanggar.

"Kamu beneran berhasil masukin aku ke sanggar Nis."

"Tentu saja. Aku kan sudah janji sama kamu Gung."

"Hebat kamu! ucapanmu sangat didengar sama pak Wiryo."

"Iyalah karena saat ini, aku itu mesin pencetak uang di sanggar ini. Buat sanggar ini dan buat pundi-pundi uangnya pak Wiryo juga."

Jawaban Ganis mengundang gelak tawa keduanya.

"Iya-iya tapi jangan pakai istilah begitulah! Konotasinya negatif."

"Iya Gung iya, anggap saja kalau aku lagi naik daun dan sedang jadi penari paling hits saat ini."

"Nah itu baru benar."

"Iya."

...🍁🍁🍁...

Keseharian Ganis begitu sibuk. Undangan tari terus berdatangan. Kalau tidak latihan, ya pasti sedang tampil. Selalu begitu hingga rasanya, tiada hari bersantai barang sekedar duduk di teras rumahnya. Ketika ada libur, ia gunakan untuk tidur. Meski begitu, Ganis sangat menikmati kesibukannya tersebut. Selain karena telah menghasilkan banyak uang, juga karena ia sangat menggemari seni tari. Ibarat kata, sambil menyelam, minum air. Ia menari untuk menyalurkan hobi sekaligus mendapatkan duit. Lengkap sudah, sungguh profesi yang menyenangkan untuk digeluti.

...🍁🍁🍁...

"Ganis.."

Seseorang memanggil Ganis kala gadis itu hendak pulang dari sanggar, Ganis pun menoleh.

"Nis.. mau pulang?" tanya seorang laki-laki yang tadi memanggilnya.

"Mas Ari (anak pak lurah)?"

"Iya. Kamu mau pulang Nis?"

"Iya mas."

"Oh.."

"Mas Ari mau ke mana?"

"Sebenarnya sih, mau nemuin kamu."

"Aku? ada apa?"

"Kita ke sana yuk! ngobrol bentar di sana!"

"Emm.. iya, mas Ari duluan saja!"

"Iya."

Mas Ari pun melajukan motornya disusul Ganis yang mengikuti dari belakang. Mereka berhenti di bawah pohon rindang. Memarkir motor masing-masing di sana lalu berbincang berdua.

"Ada perlu apa mas Ari mencariku?" tanya Ganis membuka perbincangan.

"Enggak ada yang penting sih cuma mau lebih kenal saja sama kamu. Akhir-akhir ini, namamu lagi melambung ke langit. Tarianmu itu bisa menghipnotis setiap mata yang melihatnya, termasuk aku."

Ganis tersipu mendapat pujian dari mas Ari.

"Jadi, mas Ari salah satu penggemarku nih?"

"Betul sekali," jawab mas Ari cepat yang lekas membuat Ganis tertawa kecil.

Perbincangan itu pun menghangat dengan cepat. Keduanya menjadi akrab dan kian intens berkirim kabar. Bahkan, mas Ari juga mengklarifikasi perihal kedekatan Agung dan Ganis. Tentu saja, ia lekas bersorak senang kala Ganis mengatakan kalau ia dan Agung hanyalah teman. Bisa dibilang juga sebagai sahabat yang sudah sangat dekat bagaikan saudara.

"Aku senang mendengarnya," ucap mas Agung seraya mengulas senyum.

...🍁🍁🍁...

Di sanggar kembali sibuk sebab, malam ini akan ada pertunjukan lagi di rumah salah seorang warga. Seorang warga yang bisa dibilang lumayan kaya. Ia sedang menikahkan putri semata wayangnya. Hiburannya adalah pertunjukan tari dari sanggar Sekar Arum.

Seperti biasa, semua perlengkapan dibawa ke lokasi acara dan para kru mempersiapkan diri masing-masing. Agung baru selesai mengganti busananya ketika ia melihat salah satu penari tengah membakar dupa. Awalnya, Agung hanya melihatnya sekilas. Lambat laun, ia kian serius memperhatikan. Hal ini dikarenakan, tidak hanya satu penari itu saja yang seolah melakukan ritual. Melainkan semua penari termasuk juga Ganis.

Jika yang lain terlihat begitu jelas, lain halnya dengan Ganis. Andai tidak melihat sendiri dengan sangat teliti maka, tidak akan tahu kalau ia pun melakukan ritual juga. Meski metode ritual yang dilakukan berbeda-beda. Ada yang menyalakan dupa, ada yang meneteskan kemenyan dan ada juga yang mengunyah sekuntum bunga. Bunga melati lebih tepatnya. Sementara Ganis, ia hanya komat-kamit pelan. Tiada suara yang keluar, hanya bibir yang bergerak perlahan.

"Hemm... apa yang Ganis rapalkan ya?" benak Agung di dalam hati.

Tidak hanya itu, ternyata para sinden pun juga melakukan ritual khusus sebelum dimulainya pertunjukan. Agung hanya memperhatikan tanpa berniat untuk menegur atau pun bertanya. Dia hanya akan menanyai Ganis saja karena mereka memang sudah akrab. Agung merasa lebih leluasa dan tidak merasa khawatir akan menyinggung perasaan seseorang.

"Gung, cepat stand by! bentar lagi mulai," pinta pak Wiryo.

"Siap pak!" jawab Agung seraya lekas bersiap pada posisinya.

Acara hari itu pun berjalan dengan lancar. Rasa lelah terbayar lunas dengan hingar-bingar kemeriahan pertunjukan. Pemilik hajat merasa senang. Demikian pula para undangan dan para penonton yang lainnya. Selesai acara, semua perlengkapan dibawa kembali ke sanggar. Barulah setelah itu, semua kru pulang.

"Alhamdulillah! ayo pulang Nis!" ajak Agung.

"Iya Gung, ayo!"

Keduanya pun menyalakan motor masing-masing lalu melaju pulang.

...🍁🍁🍁...

Usai membersihkan diri, Ganis lantas merebahkan diri di ranjang. Meraih ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada mas Ari. Ya, mereka memanglah telah semakin dekat. Wajar saja jika Ganis memberinya kabar dan terus berbagi cerita keseharian dengannya.

[ Maaf! tadi tidak hadir di pertunjukanmu ] - Bunyi pesan singkat yang mas Ari kirimkan.

[ Tidak apa-apa mas, mas Ari sedang tidak sehat. Harus lebih banyak istirahat. Bagaimana keadaan mas Ari sekarang? ]

[ Sudah jauh lebih baik Dik (panggilan khusus dari mas Ari untuk Ganis). Besok, kalau memang sudah betul-betul fit, aku akan menemuimu. ]

[ Tidak perlu buru-buru mas. Kesehatan mas Ari lebih penting. Aku juga tidak ke mana-mana. Kita masih bisa ketemu kapan saja. ]

[ Oh baiklah, malam minggu ya? aku mau ajak kamu jalan, boleh? ]

[ Boleh mas. ]

[ Ya sudah kalau begitu, kamu buruan istirahat! sudah malam. ]

[ Iya mas, mas Ari juga ya! ]

[ Iya Dik. ]

Senyum masih tersungging di bibir ketika Ganis meletakkan ponselnya di nakas. Sepertinya, dia telah benar-benar jatuh cinta kepada mas Ari, si anak Lurah. Mas Ari memang lumayan sedap dipandang. Karenanya, tak sedikit juga, para gadis yang menaruh hati padanya. Sungguh suatu kebanggan bagi Ganis jika saat ini, mas Ari begitu dekat dengannya.

Berdasarkan kedekatan keduanya itu lah, Ganis menduga kalau tidak akan lama lagi, mas Ari akan mengutarakan perasaannya. Rasanya, sudah tidak sabar untuk menanti. Namun, seperti inilah seorang gadis. Bukankah ia harus lebih sabar menanti? sebab, tidak terlalu pantas jika ia bertindak lebih dominan. Apa pun itu, Ganis merasa sangat senang.

...🍁 Bersambung... 🍁...

OMBAK BANYU

"Wah, mie instanku terlalu matang. Sengaja kamu ya?" gerutu Agung tak terima.

"Mana ada aku sengaja, punyaku juga sama," kilah Ganis.

Hari itu, Ganis berkunjung ke rumah Agung lalu memasak mie instan untuk keduanya. Bukan berarti tidak ada makanan di rumah. Namun, Agung dan Ganis sedang ingin saja makan mie instan. Terlebih saat keduanya melihat bu Saroh (ibu Agung) baru saja memanen sawi hijau dari kebun belakang rumah. Akan menjadi paduan yang pas untuk menemani mie instan dan telur ceploknya.

"Eh Nis, ada yang mau aku tanyain."

"Tanya ya tinggal tanya, mau tanya apa?"

"Kemarin, di pertunjukan terakhir, aku lihat kamu komat-kamit sebelum tampil. Baca apa sih kamu?"

"Oh itu.., lihat apa lagi kamu?"

"Hemm... cuma itu, memangnya kamu ngapain lagi?"

"Bukan aku, maksudku para penari yang lain."

"Oh mereka, emm.. macam-macam. Ada yang nyalain dupa, ada yang menabur kemenyan dan ada juga yang makan kembang."

Ganis sedikit memanyunkan bibir disusul senyum segaris.

"Menurutmu, mereka itu ngapain?" tanya Ganis.

"Kalau gak salah tebak, semacam ritual gitu gak sih, sama seperti yang pak Wiryo biasa lakukan di Sanggar?"

"Ritual ya?"

"Iya."

"Benar sekali, semua orang sedang melakukan ritualnya sendiri-sendiri agar semuanya berjalan sesuai yang diharapkan."

"Lalu apa yang kamu baca waktu itu?"

Ganis menghentikan agenda makannya seraya menatap Agung lekat-lekat kemudian menjawab dengan nada pelan tapi penuh penekanan.

"Mantra.."

"Hah?"

Agung mengernyit.

"Mantra apa? jampi-jampi dari dukun ya?"

Ganis tertawa lebar.

"Serius ini Nis, kamu jangan macam-macam ya! kerja yang benar! biasa-biasa saja, pakai cara yang normal. Jangan sampai pakai yang begituan!"

Ganis cekikikan.

"Aduh Agung! iya-iya, aku tuh berdoa tahu? jangan mikir terlalu jauh! kemarin itu, aku komat-kamit baca doa."

"Beneran?"

"Bener lah," jawab Ganis meyakinkan.

Agung menghela napas panjang lalu memasukkan segulung mie ke dalam mulutnya.

"Maaf Gung! aku bohong," ucap Ganis di dalam hati.

Sesuap dua suap mie telah memasuki kerongkongan dan meluncur bebas menuju lambung. Rasa kenyang pun mulai melambai, memberi kode kepada otak untuk berhenti makan.

"Alhamdulillah! kenyang," ucap Agung.

..."Grradakk.."...

Suara kursi yang digeser tiba-tiba mengejutkan Agung. Sungguh aneh, tidak ada angin, tidak ada hujan, Ganis berdiri kemudian langsung menari. Agung hanya bisa menatap heran pada sahabatnya tersebut.

"Kamu ini kenapa Nis? tiba-tiba berdiri dan langsung menari. Ngagetin aku saja."

Ganis hanya mengulas senyum.

"Lah, terserah lah."

Agung melanjutkan makan camilan snack ringan sembari memperhatikan sahabatnya yang tengah menari. Anehnya, Ganis menari begitu pelan. Nyaris tak ada gerakan lain selain mengayunkan tubuh ke kiri dan ke kanan. Sungguh pelan bagaikan gerakan film yang sengaja dibuat slow motion.

"Nari apa sih kamu?"

Ganis kembali tersenyum.

"Tumben-tumbenan latihan? kenapa gak di sanggar saja sih latihannya?"

Berapa kali pun Agung bertanya, Ganis tidak memberi jawaban kecuali hanya sebuah senyuman.

"Kenapa diam saja?"

Agung mulai menggerutu tapi, sepersekian detik kemudian ia diam. Agung pikir, Ganis membutuhkan konsentrasi ekstra untuk memainkan tarian yang terlihat aneh baginya.

"Hemm.. mungkin ini jenis tarian baru dan Ganis sedang berusaha menghafal gerakannya," benak Agung yang kemudian memilih diam untuk memberikan ruang penuh, agar Ganis dapat berkonsentrasi pada tariannya. Sekitar setengah jam kemudian, Ganis berhenti, kembali duduk lalu meminum air di gelasnya. Agung hanya menatap temannya sembari memanyunkan bibir.

"Apa? kayak gak pernah lihat aku menari saja."

"Bukannya gak pernah tapi tarian apa yang tadi kamu lakukan dan kenapa tiba-tiba ingin menari?"

"Itu namanya tarian ombak banyu."

"Ombak banyu... oh, iya-iya. Pantesan kamu cuma bergerak pelan ke kanan ke kiri. Filosofinya ngikutin air ya?"

Ganis menganggukkan kepala seraya menyruput kuah mie instan yang sedari tadi belum sempat ia nikmati.

"Acchhh.. mie instan selalu mantap!" seru Ganis.

Agung nyengir melihat tingkah sahabatnya.

...🍁🍁🍁...

Di rumah, Ganis kembali memikirkan perihal percakapannya dengan Agung sembari mengeluarkan sebuah gelang yang merupakan jimat keberuntungan. Selain itu, ada sebuah susuk pengasihan yang disematkan di antara kedua alis matanya agar siapa pun merasa tertarik padanya. Susuk itu tentu tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya.

Ganis tahu betul kalau Agung akan menentang pilihannya untuk menggunakan susuk. Karena itulah, ia bertindak diam-diam. Baginya, hal semacam ini sangatlah lumrah. Buktinya, semua penari dan para sinden juga melakukan hal yang serupa. Hanya saja, siapa yang paling kuat di antara semuanya. Untuk saat ini, Ganis lah yang paling dominan.

...🍁🍁🍁...

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, ini.."

"Saya Ari buk, anaknya pak Lurah."

"Oh, ada apa ya?"

"Emm.. Ganisnya ada buk?"

"Owalah nyari Ganis?"

"Iya," jawab mas Ari sambil nyengir.

"Ada kok, silahkan masuk!"

"Terima kasih!"

"Tunggu ya, ibuk panggilkan dulu!"

"Iya buk."

Seperti yang telah disepakati, Ari mengajak Ganis untuk malam mingguan berdua. Mereka pergi ke sebuah kedai makan dengan konsep semi outdoor. Tempat para muda-mudi menghabiskan malam minggu mereka. Semacam cafe tapi dalam versi yang lebih sederhana. Entah apa nama yang pas untuk menyebutnya. Di sana jugalah mas Ari akhirnya mengutarakan perasaannya dan meminta Ganis untuk menjadi kekasihnya. Ganis benar-benar dibuat tersipu sekaligus merasa sangat senang.

"Bagaimana Ganis, apa kamu bersedia menjadi kekasihku?" tanya mas Ari memperjelas.

Ganis hanya tersenyum sembari mengangguk pelan. Sontak mas Ari melempar tinju ke udara, luapan kebahagiaan.

"Yesss!!!" serunya.

"Jadi, mulai hari ini kita resmi jadian?"

"Iya mas," jawab Ganis dengan wajah yang memerah.

"Senang sekali rasanya, makasih ya!"

"Ganis yang harusnya berterima kasih. Mas Ari ini kan.. anak orang terpandang dan banyak sekali gadis yang naksir. Ganis merasa tersanjung bisa disukai mas Ari."

"Ah tidak-tidak, kamu salah Ganis. Kamu terlalu merendah, lihat dirimu! kamu itu cantik dan sangat lembut. Aku yang merasa beruntung bisa memiliki hatimu."

Hari yang sangat indah untuk keduanya. Bintang dan rembulan menjadi saksi bersatunya cinta mereka. Seolah bumi hanya milik berdua. Sungguh indah, kisah kasih di masa muda. Meski pun belum bisa dipastikan, akankah kisah itu akan bertahan selamanya atau kah malah kandas di tengah jalan? setidaknya, hari ini mereka bahagia. Perihal esok, siapa yang tahu sebelum menjalaninya.

...🍁🍁🍁...

Jantung Ganis masih berdegup dengan kencang meski kini, ia sudah berada di kamarnya lagi. Rasanya, hormon dopamin (hormon bahagia) enggan memudar dalam diri. Kata demi kata yang mas Ari ucapkan pun terus terngiang dalam sanubari. Meski bukan jatuh cinta yang pertama kali. Namun, akan selalu memberikan sensasi yang begitu sejuk di dalam hati.

...🍁 Bersambung... 🍁...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!