...Happy Reading...
...________________...
"Cari siapa?"
Arwen terlonjak kaget, lalu menarik tangannya yang sejak tadi meraba-raba pagar di depan sebuah rumah besar. Seorang cowok tampan dan tinggi berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Dari penampilannya sih, dia seperti mahasiswa.
"Eh, anu... Ini mas, saya lagi nyari bel pagarnya kok nggak ada ya?"
Cowok itu menyipitkan mata, lalu meneliti setiap jengkal gadis di hadapannya. Arwen yang merasa diperhatikan menjadi agak malu, apalagi saat itu dia hanya memakai kaos longgar dan celana trining. Ditambah sepatu butut yang cuma dipakai secara asal. Cowok itu lalu melirik koper besar yang ditentengnya. Mungkin dia berpikir cewek ini kabur dari rumah, apalagi saat itu hari memang sudah cukup malam.
"Oh, kamu penghuni baru ya?"
"Eh iya mas, ngomong-ngomong masnya tinggal di sini?"
Cowok itu mengangguk seraya tangannya mendorong pintu pagar yang terbuat dari kayu.
"Gih masuk!"
Lah ternyata nggak dikunci! Batin Arwen.
Hal pertama yang dilihat Arwen adalah halaman dan kebun yang tidak terlalu luas, tapi terlihat sangat rapi dan bersih. Di belakangnya berdiri sebuah rumah besar bercat putih dengan teras yang lumayan luas. Ini adalah sebuah rumah kos baru yang akan ia tinggali sekarang.
Sudah satu minggu lebih Arwen kelabakan mencari kos atau kontrakan baru di dekat sekolahnya. Karena tempat kos yang sebelumnya ia tempati sudah sering terjadi hal ganjil yang sering mengganggu. Lalu tiba-tiba saja Tante Rani, adik sang mama merekomendasikan untuk menempati salah satu kamar di kos miliknya.
Awalnya Arwen ragu karena kos ini berisi para kakak-kakak mahasiswa, sedangkan dia masih anak sekolahan. Tapi karena tidak ada pilihan lain akhirnya Arwen menerima tawaran itu. Dan dia rela pindah malam-malam agar cepat pergi dari kos lamanya.
"Mas ngekos di sini juga?" Arwen mengamati cowok di sampingnya. Dengan model dan tampang seperti itu dia yakin pasti banyak yang naksir.
"Manggilnya jangan mas dong."
"Iya deh kakak. Kak siapa?"
"Erlan."
"Kak Erlan udah lama kos di sini?"
"Udah mau 2 tahun. Kamu sendiri tau darimana kos ini?"
"Dari tante Rani."
"Tante? Maksudnya kamu ponakan Tante Rani?" Erlan bertanya sembari menegaskan bahwa sebutan Tante seolah bukan panggilan saja. Arwen langsung mengangguk mantap.
"Pantes cantik!"
"Woi kampret! Lama banget sih... "
Tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang cowok yang berdiri di teras rumah. Cowok itu langsung menyongsong dua orang yang masih berada di halaman.
"Berisik!" tukas Erlan.
"Mana titipan mie ayam gue?" sergah cowok itu, masih belum sadar kalau ada orang lain di sebelah Erlan.
"Mie ayam apaan?"
"Dihhh.. Jangan kura-kura deh. Gue-kan udah WA tadi, nitip mie ayam."
"Nggak dagang!"
"Hah, trus kok nggak bilang?"
"Mending liat dulu hapenya, gue udah WA nggak dagang, lu aja yang ngga baca-baca. "
Cowok dengan rambut grey itu langsung memeriksa ponselnya. Benar saja, karena asyik bermain game, dia tidak melihat pesan dari Erlan. Cowok itu seketika langsung mengerang sambil mengelus-elus perutnya yang kerempeng.
"Sial, mana laper banget gue."
"Kan di rumah ada mie instan."
"Si Mira pelit. Diumpetin mulu!" gerutunya. Sampai saat itu dia baru sadar kalau sejak tadi Arwen ada di sana. Matanya melotot nyaris keluar karena melihat sosok asing yang cantik. Dia mengamati Arwen dengan seksama lalu melirik koper yang dibawanya.
"Lu bawa kabur anak orang Lan?"
Erlan langsung menoyor kepalanya. "Sembarangan kalo ngomong. Ini... Eh siapa namanya?"
Sejenak Erlan lupa kalo sejak tadi mereka belum berkenalan secara resmi.
"Arwen kak."
"Iya Arwen, anak kos baru."
"Serius?" Cowok itu kembali melotot sambil mengusap-usap telapak tangannya pada baju. "Kenalin gue Banu, cowok paling tampan di rumah ini."
Arwen menyambut uluran tangan cowok bernama Banu itu seraya tersenyum kecut. Sepertinya ia akan bertemu dengan bermacam-macam karakter manusia dalam rumah ini.
*****
"Arwen!"
Suara seorang cewek terdengar melengking dari arah pintu masuk. Cewek cantik berambut hitam panjang langsung lari menubruk Arwen. Tentu saja Arwen tahu siapa itu.
"Kak Mira?"
"Kok kamu ngga bilang kalo pindah sekarang? Mana malem-malem lagi," tukasnya setelah pelukannya dilepaskan.
"Iya kak soalnya buru-buru."
"Kok udah kenal aja Mir?" sahut Banu.
"Iyalah, dia sepupu gue ponakannya Tante Rani. Awas lu macem-macem," sergah Mira sambil menunjukkan bogemnya tepat di depan wajah Banu.
"Pantesan cakep."
"Emang lu, burik!"
"Burik gini juga lu demen kan?"
"NEHI! Bawain tuh koper Arwen!"
Arwen kemudian mengikuti Mira masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Erlan dan Banu yang menggerutu sambil menarik koper milik Arwen. Pemandangan pertama yang Arwen lihat adalah ruang tamu bercat hijau cokelat bernuansa alam, tampak teduh dan sangat nyaman. Ditambah terdapat beberapa tanaman pot di dalamnya, membuat hawa dalam ruangan itu sejuk dan tidak panas.
Lalu di sebelahnya terdapat ruang santai tanpa sekat. Televisi besar dan juga berbagai jenis playstation terlihat di sana. Dua orang cowok tampak sedang asyik bermain PS.
Mira lalu menarik Arwen menuju ruangan lain yang ternyata adalah dapur. Arwen terkesiap melihat dapur rapi dan bersih yang bisa dikatakan luas dengan nuansa yang sama seperti ruang tamu. Meja makan panjang dan besar terletak di sebelah pantry. Hal itu mengimbangi jumlah penghuni di rumah ini yang memang cukup banyak.
"Duduk Wen!"
Arwen menarik salah satu kursi yang terletak di depan meja dapur. Ternyata enak banget nongkrong di sini. Mira ikut duduk di sebelahnya, sedangkan Erlan yang sejak tadi mengikuti langsung menuju kulkas dan menuangkan air putih ke dalam gelas. Ia menenggaknya dengan segera.
"Mau minum apa?" tanyanya pada Arwen.
"Air putih aja kak biar gampang."
Erlan mengangguk dan langsung meletakkan segelas besar air putih di hadapan gadis itu.
"Tumben nggak bareng Regan sama Jefri?" Mira mengekori cowok tersebut yang masih berdiri di depan kulkas. Tangannya kini sibuk mencari cemilan, lalu mengeluarkan sekeranjang buah dan mengambil sebutir apel.
"Nggak. Lagian Jefri juga lagi main ke rumah temennya, kalo Regan udah pasti lagi pacaran. Gue ke atas dulu ya," lanjutnya yang langsung disambut anggukan oleh Mira. Arwen membalasnya dengan ucapan terima kasih.
"Berapa orang kak yang kos di sini? Rame banget kayaknya."
"Delapan belas orang."
"Hah.. Sebanyak itu?"
"Ini aja belum ngumpul semua. Kamu lihat aja manusia model kayak Banu, satu aja begitu, bayangin aja ada lima."
Arwen langsung tertawa sekaligus membayangkan betapa kacaunya jika mereka semua berkumpul. Banu yang rupanya mendengar percakapan itu tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya di pintu dan langsung merongrong Mira meminta mie instan.
Mira mendelik sewot. "Apa sih lo ganggu aja. Tau nggak, persediaan indomie kita tuh menipis gara-gara lo pada kalo makan ngga pake otak."
"Dih.. gue mah makan pake mulut masa pake otak."
"Bodo!"
Setelah saling adu argumen selama lima menit, Mira akhirnya menyerah dan melempar kunci lemari dapur pada Banu. Yang seketika membuat cowok itu menari bahagia bersama dua cowok lain yang baru masuk ke dalam dapur.
Salah satu dari mereka adalah cowok jangkung yang tadi bermain Ps, namanya Latif. Wajahnya manis, tapi anaknya narsis. Bahkan tingkat kenarsisannya lebih parah dari Banu. Baru melihat Arwen dia sudah memberikan gombalan yang membuat gadis itu harus menahan mual. Dan ternyata mereka satu angkatan, Latif masih duduk di bangku sekolah sama seperti Arwen.
Cowok yang satu lagi tampaknya lebih dewasa dari semua cowok yang ada di dalam ruangan itu. Pembawaanya kalem dan juga tidak banyak bicara. Wajahnya biasa saja, namun sebuah aura lain membuat sosoknya terlihat berkharisma dan juga disegani. Namanya Jais, salah satu penghuni di kos ini yang sudah cukup lama bertahan. Ia menyambut Arwen dengan gaya ramah dan sopan.
Setelah pengenalan dengan beberapa penghuni kos, Mira langsung menyuruh Arwen untuk segera naik ke kamarnya setelah gadis itu selesai menyantap semangkuk indomie soto dengan telur yang hancur berkeping-keping buatan Banu.
"Yaudah mending kamu istirahat aja sekarang, besok-kan sekolah. Kamu nggak usah canggung atau malu karena banyak mahasiswa yang kos di sini. Selain Latif, masih ada Hafiz sama Mark yang satu angkatan sama kamu."
"Iya makasih kak. Ngomong-ngomong kamarku nomer berapa?"
"Nomer 13."
Arwen langsung manyun. "Nggak di sini nggak di sana dapetnya angka sial terus."
"Itu cuma angka, Wen. Di sini nggak ada yang aneh-aneh kayak gitu, soalnya udah banyak yang lebih aneh daripada hantu." Mira menimpali sambil melirik pada Banu dan Latif yang sedang sibuk bertengkar hanya karena masalah telur yang hancur.
"Hahaha.. Iya juga."
Beberapa menit kemudian Arwen sudah berdiri di depan kamarnya yang berada di lantai dua. Akhirnya dia bisa sampai disitu setelah puluhan kali menolak tawaran Latif yang ingin mengantarnya ke atas. Dia melirik sebentar ke arah kamar-kamar di sebelahnya, totalnya ada sepuluh kamar yang berada di lantai dua. Arwen acuh, dia sendiri kesal kenapa harus kebagian kamar nomor 13. Semoga saja tidak ada hal aneh yang muncul, karena nomor ini biasanya suka membawa sial.
"Baru ya?"
Arwen terpekik pelan sampai kunci kamarnya terjatuh. Dia menoleh dan menemukan suara itu pada seorang cowok yang tepat berada di belakangnya. Seorang cowok tinggi berkulit sawo matang dengan wajah yang bisa dibilang manis banget. Dia tersenyum sambil meraih kunci Arwen yang terjatuh dan sekaligus membukakan pintunya.
"Eh, makasih kak." Arwen membungkuk sedikit, sedangkan cowok itu hanya tersenyum, lalu menghilang dibalik pintu yang tepat berada di depan kamar Arwen. Ternyata kamar mereka saling berhadapan.
Arwen hanya mengangkat bahu, dan segera masuk ke kamarnya. Gadis itu sekarang takjub melihat kamarnya sendiri, ternyata cukup luas dan nyaman. Di kepalanya sudah ada banyak sekali ide untuk menghiasi kamar itu sesuai dengan gayanya. Tapi mungkin itu akan dilakukan besok, karena sekarang dia sudah terlalu lelah.
...To be continued... ...
...Happy Reading...
...________________...
Arwen bangun lumayan pagi hari itu. Disamping karena sekolahnya yang menjadi agak lebih jauh, dia mungkin juga harus menyapa penghuni kos lain yang bisa saja sudah bangun. Dia sudah berdandan rapi dengan seragam sekolahnya. Sekali lagi dia melihat pantulan bayangannya di cermin. Memang tidak salah jika ungkapan cewek cantik dan populer di sekolah disematkan padanya.
Tanpa perlu banyak polesan make up, Arwen memang sudah cantik. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi semampai, rambut hitam panjang yang halus membuat Arwen tampak menawan.
Namun tetap saja, tidak ada manusia yang sempurna. Arwen meski cantik dia juga dikenal galak dan tidak mudah luluh. Satu-satunya orang yang bisa membuat hatinya bergeming hanyalah seorang lelaki bernama Arjuna Mandala. Lelaki yang selama dua tahun masih ia tunggu, meski lelaki itu tidak pernah menganggap dirinya spesial sekalipun.
Di luar kamar lantai dua masih sepi. Tapi suara ribut dari lantai bawah harusnya sudah cukup menjadi alarm pagi di rumah itu. Entah tidak peduli atau karena memang sudah terbiasa, bahkan tidak ada satupun penghuni lain yang membuka pintu kamarnya. Arwen menuruni anak tangga dengan perlahan, rupanya suara gaduh itu berasal dari arah dapur. Suara ribut khas para cowok.
"Geli gue liat lo, Fiz. Makan roti pake kecap." Mark masih tetap bergidik melihat kelakuan Hafiz. Padahal di depannya ada banyak selai, tapi dasar otak gesrek Hafiz malah memilih kecap yang jelas-jelas tidak nyambung dengan konsepnya.
"Masih kaku aja Bang, ini tuh inovasi baru."
"Iniovasi pala lu!" sergah Mark kesal.
Tiga cowok berseragam SMA sedang melangsungkan sarapan dengan ritual masing-masing di dapur. Hafiz, cowok yang duduk di kelas 2 SMA ini terkenal ganteng, tapi salah satu kebiasaan yang membuat siapapun merasa geli dan mual adalah kebiasaannya mengganti selai roti dengan kecap.
Hal itu membuat Mark, salah satu dari tiga cowok itu menjadi tidak nafsu makan setiap kali sarapan bersama Hafiz. Ia kemudian hanya menenggak segelas susu yang dibuatkan Latif untuknya. Sedangkan cowok jangkung berwajah manis itu kini sibuk senyum-senyum sendiri sambil menatap segelas susu dan sepiring roti bakar yang ia siapkan sepenuh hati untuk Arwen.
"Pagi semua!"
Getaran suara indah itu seakan menarik tiga makhluk yang sejak tadi menunggu kedatangannya. Seperti angin segar yang menerpa, ketiga cowok itu langsung melongo melihat seorang gadis cantik bagaikan bunga menyapa mereka dari pintu dapur. Bunga-bunga cantik berterbangan di atas kepala Latif dan juga Mark, semilir angin segar beraroma mawar membuat dua makhluk itu semakin baerkhayal jauh. Untung saja suara batuk Hafiz yang keselek roti langsung menyadarkan mereka.
"Hafiz!" teriak Arwen sambil melotot.
"Beneran Arwen?" Hafiz menyahut dengan tak kalah kagetnya.
Latif dan Mark saling berpandangan dan memperhatikan seragam keduanya yang terlihat sama. Ternyata Arwen dan Hafiz satu sekolah, lebih tepatnya Hafiz itu adik kelasnya Arwen di tingkat dua. Sedangkan Arwen adalah kakak kelasnya.
"Lo kos di sini juga?" tanya Arwen masih tak percaya. Lalu menghampiri Hafiz, dan juga dua cowok yang masih bengong itu.
"Iya udah setahun. Jadi ternyata anak kos barunya itu cewek paling cantik di sekolah gue," sahut Hafiz.
Latif langsung menyerobot. "Serius lo. Jadi dia cewek yang suka lo ceritain itu?"
Arwen mendelik curiga ke arah Hafiz yang kini melotot ke arah Latif.
"Gosipin gue lo?"
"Ya emangnya apalagi yang digosipin cowok kalo bukan cewek cakep?"
"Ya cari aja cewek lain!"
Mark yang sejak tadi merasa dikacangin berdehem pelan lalu maju dan menjulurkan tangannya pada Arwen.
"Hai, gue Mark. Salam kenal!"
"Hai juga, gue Arwen. Lo berdua satu sekolahan?" tanya Arwen sambil menunjuk Latif dan Mark karena seragam sekolah keduanya yang sama.
"Iya, kita dari SMK Merdeka."
"Serius? Wah rival berat dong."
Latif langsung menyerobot dan menyodorkan segelas susu dan roti bakar yang khusu ia buat untuk Arwen. "Arwen cantik, ini udah gue bikinin sarapan, khusus buat Arwen seorang. Apalagi ditambah pake cinta."
Mark dan Hafiz langsung menutup mulutnya dan membuat gerakan seperti ingin muntah. Sedangkan Arwen hanya tersenyum sambil mengucapkan terima kasih pada Latif atas sarapannya.
Selang beberapa menit, seorang cewek cantik dengan mata sipit dan kulit putih masuk ke dalam dapur. Ia memakai setelan baju olahraga dan juga sepatu kets yang menjelaskan bahwa dia sepertinya baru selesai berolahraga. Menurut Arwen, dia adalah salah satu cewek paling keren yang pernah Arwen temui.
Di belakangnya disusul cewek cantik berambut pirang dengan poni yang bikin dia kelihatan manis banget kayak boneka.
"Hai, pagi semua..."
"Pagi juga kakak-kakak yang cantik. Abis bentuk body nih?" cletuk Latif yang tidak jauh-jauh dari pikiran kotornya.
"Mikirin sekolah aja Tif, nggak usah mikirin body cewek," tukas cewek bermata sipit itu sambil menenggak segelas air putih. Begitu juga dengan si cewek berambut pirang. Arwen tersenyum manis pada keduanya.
"Hai kak, salam kenal aku Arwen,"
"Hai juga. Aku Lira, dan ini kak Sharon!" Mereka bertiga saling berkenalan satu sama lain.
"Oh, ya Arwen, semoga betah ya di sini. Di sini enak kok, nggak banyak aturan, nggak ribet. Sejauh ini juga temen rumahnya enak, kalo berantem sama selisih paham sedikit mah ada. Tapi selebihnya mereka baik-baik."
"Iya makasih kak." Arwen menatap intens pada sosok Sharon yang sepertinya akan menjadi role mode baru baginya.
"Arwen nanti malem kita mau bakar-bakaran. Sekalian ngumpul sekaligus nyambut kamu penghuni baru, jadi jangan kemana-mana ya nanti," tukas Sharon.
"Iya, kamu belum ketemu semuakan sama anak kos lain?" sambung Lira yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Arwen.
"Oke kak, emang harus ya pakai penyambutan?"
"Lebih tepatnya kayak tradisi sih, udah kebiasaan. Yaudah ya gue ke atas dulu. Siap-siap mau kuliah juga."
"Oke kak makasih."
Lira pun juga pergi meninggalkan Arwen, disusul Sharon yang juga pergi ke kamarnya.
Mark dan Latif akhirnya berangkat lebih dulu, karena jarak sekolah mereka yang lebih jauh dari sekolah Arwen. Sedangkan Hafiz yang sebenarnya sudah selesai sarapan kini sibuk memainkan ponselnya di depan Arwen.
"Lo nggak berangkat?" tanya Arwen.
"Gue kan nungguin lo."
"Ngapain nungguin gue?"
"Emang nggak mau bareng? Kan satu sekolah."
"Nggak deh makasih, gue sendiri aja naik angkot."
"Emang kenapa sih? Ngga rugi juga bareng cowok kece kayak gue."
"Iya, tapi gue yang rugi. Males gue baku hantam sama ciwi-ciwi lo itu."
Bukan tanpa alasan Arwen memilih untuk menolak, soalnya Hafiz itu kapten basket dan termasuk murid populer di sekolah. Tentu saja fans ceweknya banyak banget. Makanya Arwen malas daripada nanti dikasih tatapan sinis pasukan cewek di sekolah.
Hafiz cuma manggut-manggut lalu akhirnya segera berlalu meninggalkan Arwen yang masih melanjutkan sarapannya.
*****
Waktu sudah menunjukan hampir pukul tujuh pagi. Arwen buru-buru merapikan meja dapurnya dan bergegas mengambil air di kulkas untuk mengisi botol air minum yang tidak pernah lupa ia bawa.
"Huwaaa...."
Arwen hampir mati berdiri ketika melihat seorang cowok dengan muka bantal tiba-tiba berdiri tepat di belakangnya sambil menyodorkan gelas. Untung saja teko air yang dia pegang tidak terjatuh.
Cowok itu cuma nyengir sambil menaikkan satu alis. Arwen masih belum pulih dari kagetnya ditambah kini ia malah sibuk bengong mengagumi pemandangan sempurna meski tidak dalam keadaan sempurna di hadapannya. Eh, gimana sih?
Maksudnya, gimana tidak sempurna? Ketika melihat seseorang yang masih terlihat tampan meski dengan rambut acak-acakan, baju kumal dan muka bantal karena baru bangun tidur.
"Ngapain bengong? Ntar telat loh."
"Eehh.."
Arwen tersenyum kecut dan segera menuangkan air putih pada gelas yang disodorkan oleh cowok tersebut. Tidak butuh waktu lama, satu gelas air langsung habis ketika gelas itu menyentuh bibirnya. Arwen sendiri langsung mengisi botol airnya dan menyimpannya di dalam tas.
"Sekolah di mana?"
Arwen mendongak menatap cowok berkulit putih itu yang sedang menggigit sebutir apel merah.
"Satu sekolah sama Hafiz."
"Oh, Harapan Indah."
"Nggak usah disebutin kak."
"Lah, kenapa?"
"Suka malu, namanya kayak komplek perumahan."
Jawaban Arwen sukses membuat cowok itu mengulum senyum yang memperlihatkan dua bulan sabit manis di kedua pipinya.
"Nama kamu siapa?"
Arwen yang sudah siap beranjak dari dapur menoleh. "Arwen. Arwen Julia."
"Kenalin, aku Jefri. Ngomong-ngomong, hati-hati di jalan, jangan terlalu terpesona."
Arwen yang semula tersenyum manis mendadak bibirnya langsung tertarik ke bawah sambil mendelik kesal. Dia pergi sambil menghentakan kakinya tanpa menjawab godaan dari cowok bernama Jefri itu.
Sedangkan Jefri tanpa rasa bersalah malah mesem-mesem sambil terus mengekori Arwen hingga menghilang dari balik pintu dapur.
To be continued...
...Happy Reading ...
...________________...
"Lo beneran udah pindah Wen?" celetuk Nina. Saat itu Arwen bersama tiga sahabatnya Nina, Choa dan juga Yuki sedang mengobrol di kantin.
"Iya semalem gue pindah."
"Trus di mana? Asik nggak tempatnya?" tanya Yuki.
"Kos-an tante gue sih sebenernya. Tempatnya enak, cuma ya itu isinya rata-rata anak mahasiswa semua."
"Lah, enak dong Wen. Bisa kenal sama kakak-kakak mahasiswa. Ada yang ganteng ngga?" seru Choa dengan mata berbinar.
"Ada. Hafiz juga kos di sana,"
BRAK!
Yuki tiba-tiba menggebrak meja yang membuat tiga temannya langsung ingin baku hantam karena saking kagetnya.
"Anjir, bikin kaget aja. Ngapain sih lo?"
Yuki buru-buru minta maaf. "Eh sorry. Tapi Wen beneran lo nggak salah? MAKSUDNYA HAFIZ KAPTEN BASKET?"
"IYA. Tapi nggak usah ngegas!"
"Kan lo tau gue fansnya dia."
"Ya santai aja ngomongnya."
"Berisik banget sih lo berdua. Malu tau diliatin sekantin," seru Nina yang langsung menutup muka karena malu anak-anak yang lain menoleh ke arah mereka gara-gara kelakuan dua temannya ini.
"Iya, iya maaf. Tapi beneran lo se-kos sama Hafiz?"
"Ya bener, lagian kenapa sih. Lo ngga usah kayak cacing kepanasan gitu. Jangan kayak ciwi-ciwi ngga jelas itu deh. Lagian gue cuma serumah, nggak sekamar sama Hafiz."
Arwen sedikit gusar. Pasalnya dia tahu kalau Yuki itu mengidolakan Hafiz sama seperti mengidolakan artis. Dan Arwen sedikit menyesal, karena sekarang Yuki merongrong dirinya untuk mempertemukannya dengan Hafiz.
Melihat kondisi pikiran Yuki yang tidak kondusif, Arwen memilih kabur sementara bersama Nina yang juga sudah tidak betah dengan Yuki yang terus menerus membahas tentang Hafiz. Sungguh aneh Choa masih kuat mendengarkan segala kehaluan sahabatnya itu.
"Arwen!"
Arwen dan Nina yang sedang berjalan di koridor lantai satu menoleh dari mana sumber suara itu berasal. Terlihat seorang cowok tinggi dengan wajah yang agak kebule-bulean sedang berlari heboh, siapa lagi kalau bukan Harry, salah satu sahabat mereka yang lain.
"Arwen tunggu!"
"Ngapain sih Har? Dikejar banci lo?" cletuk Nina.
"Ini lebih parah dari banci. Wen lo mending ikut gue sekarang!"
"Ngapain?"
"Lo ngajaknya Arwen doang Har? Gue ngga dianggap?"
"Duh, sorry Nin, ini masalah osis."
Alis Arwen terangkat. "Emang ada apaan sama osis? Bukannya lagi nggak ada kegiatan apa-apa?"
"Udah pokoknya ikut aja, Jinu manggil lo!"
Harry langsung menarik paksa tangan Arwen. Cewek itu hanya pasrah, sedangkan Nina menatap kesal karena ditinggal sendirian.
Arwen dan Harry adalah salah satu murid aktif dan keduanya anggota osis. Terutama Arwen yang menjabat menjadi wakil osis sejak kelas 2 SMA bersama dengan Jinu Alexander yang menjadi ketua osisnya.
Arwen dan Jinu sering dijodohkan karena mereka cocok dan juga sama-sama memiliki pengaruh besar di sekolah. Tapi Arwen tidak pernah menanggapinya dengan serius, berbanding terbalik dengan Jinu yang ternyata diam-diam suka dengan Arwen sejak dulu.
Sepuluh menit berlalu, di ruang Osis Arwen menatap wajah Jinu yang terlihat serius dan gusar. Tidak biasanya dia terlihat seperti itu. Di sana juga ada Yohana (sekretaris) dan juga Nana (bendahara). Dua orang itu menunduk dengan wajah murung.
"Ada masalah apa Nu? Kok tegang banget kayaknya?" tanya Arwen bingung.
"Uang kas Osis hilang semua, Wen."
Jawaban itu sukses membuat mata Arwen melotot.
"Kok bisa? Nana?" Arwen langsung menoleh ke arah Nana karena dia adalah penanggung jawab uang kas osis. Nana hanya tertunduk lesu.
"Ma-maaf Wen. Aku teledor, terakhir aku simpen di laci Osis. Kemarin pas balik masih ada, tapi tadi pagi aku cek udah hilang sama dompetnya. Aku udah cari kemana-mana tapi nggak ketemu."
"Duh, kok bisa sih? Bukannya biasanya lo bawa pulang ya? Kok di simpan di ruang osis?"
"Iya tapi aku mikirnya lebih aman aja kalau di simpan di ruang osis. Lagipula ada kuncinya."
"Tapi Na, siapa aja bisa datang ke ruangan ini. Meskipun itu dikunci, kita nggak tahu niat orang yang mungkin tahu kalau disitu ada uangnya."
Nana semakin tertunduk mendengar penuturan Arwen.
"Maaf Wen."
"Nggak usah minta maaf Na. Tugas bendahara itu emang berat, seharusnya kita sebagai teman jangan memojokkan. Kayak pernah jadi bendahara aja." Yohana menyahut dengan nada suara yang seolah menyindir pada Arwen.
"Gue nggak memojokkan. Tapi karena Nana yang mendapat tanggung jawab itu seharusnya dia lebih berhati-hati lagi. Kalau gue yang jadi bendahara, nggak mungkin duit sebanyak itu gue tinggal di ruangan osisi."
Mendengar jawaban Arwen, Yohana terdiam. Tapi wajahnya menampilkan ekspresi tidak senang. Sejak dulu Arwen dan Yohana sering tidak akur. Keduanya selalu memiliki pendapat yang berbeda dalam setiap hal. Jinu kadang suka pusing dibuatnya, karena harus menjadi penengah dua cewek yang sering tidak mau mengalah satu sama lain.
Tapi, kali ini ucapan Arwen ada benarnya. Nana sudah teledor dan menyebabkan uang yang terkumpul hilang entah kemana. Padahal acara Prom tinggal sebentar lagi. Harry kemudian menyarankan untuk melihat CCTV sekolah.
Jinu menyetujuinya, lalu mereka sepakat untuk melihat CCTV setelah pulang sekolah nanti. Karena bel masuk sudah berbunyi. Jinu juga menegaskan untuk tak menceritakan kejadian ini pada siapapun sebelum tahu pasti siapa yang telah mencuri uang kas.
*****
Siang itu Arwen pulang dengan wajah kusut. Mimik wajah dingin yang biasa dia tampilkan jika ada sesuatu yang membuatnya kesal. Tadi Harry sempat menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Arwen menolak. Sekarang dia memilih pulang dengan berjalan kaki, dan membelokkan langkahnya ke toko buku loakan langganannya. Arwen semakin kesal karena buku Trio Detektif pesanannya tidak ada.
"Masa kosong sih bang?"
"Serius neng yang seri 28 sama 30 lagi kosong. Nanti kalo ada, abang pasti kolling-kolling eneng," Jelas abang pemilik Toko dengan mimik wajah serius, sedangkan Arwen masih tetep manyun karena kesal.
"Yaudah deh bang saya liat yang lain aja," tukasnya sambil meninggalkan abang pemilik toko yang sekarang sedang senyum-senyum menghitung lembaran uang di tangannya.
Arwen mengitari deretan rak yang memiliki koleksi buku-buku cukup banyak, terlebih buku-buku lama. Sudah sejak kelas 1 SMA toko ini menjadi langganannya, karena Arwen sangat menggilai novel-novel lama. Dan buku loakan biasanya dijual dengan harga yang murah. Toko ini tidak hanya menjual saja tapi juga menyewakan, jadi kalau uang saku Arwen sedang menipis dia sering menyewa buku di sini.
Arwen menilik deretan buku milik Agatha Christie yang juga menjadi salah satu favoritnya. Tangannya sibuk memilah-milah dan membaca setiap judul buku yang ada. Sejujurnya Arwen sudah hampir membaca semua serinya, tinggal beberapa saja yang belum. Karena buku-buku itu sulit didapatkan.
"Masih gila novel Wen?"
Sebuah sapaan lembut itu membuat Arwen sedikit terlonjak. Terlebih saat ia menoleh pada seorang cowok yang sangat ia kenal betul. Desiran jantung yang semula normal dan biasa saja sekarang berubah menjadi cepat dan tak beraturan. Apalagi cowok itu kini menampilkan senyum manis yang sudah lama sekali tidak ia lihat.
"Kak Juna?"
Cowok bernama Juna itu melambaikan tangannya pelan. "Hai Wen, apa kabar? Nggak nyangka bisa ketemu di sini."
Suasana menjadi hening. Arwen sendiri masih berusaha mengontrol detak jantungnya yang terus melompat-lompat tak menentu. Bukannya lebay, tapi cowok yang berdiri satu meter di hadapannya ini sudah menghilang selama 2 tahun. Dan sekarang dia tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa aba-aba. Jelas itu membuat Arwen terkejut.
Arwen dan Juna sudah saling mengenal sejak kecil. Lebih tepatnya rumah mereka bertetangga, dan orang tua mereka juga berteman baik sejak lama. Juna adalah orang yang akan selalu ada untuk Arwen, orang yang selalu menjadi teman baiknya dan Arwen sangat nyaman dengan itu. Orang-orang sering menganggap mereka kakak adik, tapi tak jarang juga yang mengira mereka berpacaran.
Perlakuan manis Juna terus berlanjut meskipun mereka sudah mulai beranjak dewasa. Arwen yang sudah mulai mengerti apa itu yang namanya rasa dan juga cinta mulai mengartikan kebersamaan dan perlakuan Juna padanya adalah sesuatu yang lebih dari saudara dan juga teman. Ya, Arwen mulai menyukai Juna.
Tapi tiba-tiba saja cowok itu pergi tanpa pamit saat Arwen sadar dengan perasaannya. Juna pindah ke Kalimantan bersama dengan keluarganya, dan rumah mereka di Jakarta sekarang dijual. Arwen mulai kehilangan kontak, hampir 2 tahun lamanya dia tidak tahu kabar cowok itu.
Arwen mulai aktif dengan banyak kegiatan dan masuk menjadi anggota Osis. Perlahan dia mulai melupakan sosok Juna, meskipun tidak benar-benar bisa dilupakan. Kenangan mereka terlalu banyak dan waktu yang dibutuhkan juga cukup lama. Lalu tiba-tiba dalam beberapa waktu terakhir Juna mulai kembali menghubunginya, dan sekarang cowok itu kini berdiri tepat di hadapannya dengan wajah dan tampilan yang semakin mempesona.
"Kakak sejak kapan di Jakarta?" Arwen membuka percakapan setelah beberapa saat suasana hening di antara mereka. Arwen menatap cowok itu lamat-lamat. Dia ingin sekali memeluknya, dia ingin Juna tahu seberapa rindunya dia selama ini. Tapi entah kenapa Arwen merasa ada jarak yang begitu jauh antara dirinya dan Juna. Waktu 2 tahun itu mengalahkan belasan tahun kebersamaan mereka. Dan yang Arwen lakukan kini hanyalah mematung di tempat.
"Udah 8 bulan Wen."
Mendengar jawaban itu membuat raut wajah Arwen seketika kecewa. Sudah selama itu, dan Juna tidak pernah menemuinya.
Juna yang menyadari raut kecewa di wajah Arwen tiba-tiba mendekat dan menarik kepala Arwen dengan lembut ke dada bidangnya. Arwen tersentak sesaat, namun ia diam saja.
"Kakak kangen Wen, kangen banget!" Juna memejamkan mata dan mengelus pelan rambut Arwen.
"Kalo kangen kenapa nggak nyari kak? Kalo kita nggak ketemu di sini, kakak juga pasti nggak nyari'kan?" ujar Arwen sambil perlahan melepaskan diri dari dekapan yang sebenarnya tidak ingin dia lepaskan.
Juna tersenyum samar. "Maaf Wen. Kakak bukannya nggak mau nyari, tapi kakak lagi sibuk-sibuknya ngurus pindahan kuliah. Dan kakak emang udah niat buat ketemu kamu kalo waktunya udah tepat."
"Aku nggak ngerti sih kak waktu yang kakak maksud tepat itu gimana. Kemarin-kemarin kakak kontak aku, pas aku tanya juga kakak jawabnya masih di Kalimantan. Aku nggak ngerti kakak nganggep aku ini apa, kakak kayak lupa kalau kita pas kecil deket banget. Kakak pindah ke Kalimantan juga pergi gitu aja."
Arwen sudah tidak sanggup menahan semua unek-uneknya. Juna yang mendengar itu hanya terdiam, guratan rasa bersalah terbaca jelas di raut wajahnya. Tapi sekali lagi yang dia ucapkan hanya kata maaf.
"Maaf Wen. Orang tua kakak lagi ada masalah yang belum bisa kakak ceritain. Tapi kakak janji kok, kakak bakal kasih tau semuanya. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya?"
Juna menatap Arwen dalam-dalam seolah meminta jawaban. Tapi lagi-lagi Arwen cuma terdiam. Dan sebelum Arwen sempat menjawab, suara seorang cowok menyahut dari balik punggung Juna.
"Jangan mau!"
Dua orang itu menoleh pada sosok cowok jangkung berkulit coklat. Cowok itu nyengir sambil menatap ke arah Juna, menampilkan senyum yang begitu manis dan enak dilihat.
"Sialan lu!" sergah Juna kesal.
"Lagian, gue sibuk nyari buku lo malah godain cewek," sahutnya sambil melempar buku tebal ke arah Juna yang langsung dengan sigap ditangkapnya. Pandangannya kini beralih ke Arwen, cowok itu mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepalanya.
Cowok ini agak sedikit familiar dan membuat Arwen teringat kejadian kemarin malam saat Arwen bertemu dengan cowok ini di depan kamarnya. Ya, dia cowok yang kamarnya tepat di depan kamar Arwen.
"Eh, kamu'kan anak kos baru itu?" Ujarnya sebelum Arwen sempat membuka mulut.
"Iya kak."
"Kalian berdua udah kenal?" tanya Juna.
"Nggak kok, ini baru mau kenalan. Dia anak kos baru di tempat kos gue. Kenalin, gue Regan." Regan menjulurkan tangan yang langsung disambut ramah oleh Arwen.
"Arwen kak."
"Kamu kos di Violet Wen?" Juna tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Iya."
"Soalnya dia suka nongkrong di kos-an Wen," timpal Regan.
"Oya? Ternyata deket banget ya." Arwen menjawab dengan sinis. Regan yang tidak tahu apa-apa cuma bisa misuh-misuh dalam hati saat Juna tiba-tiba menginjak jempol kakinya. Dia melotot kesal, tapi langsung paham setelah tahu isyarat dari Juna.
Juna berniat mengantarkan Arwen pulang. Tapi gadis itu menolak dengan tegas. Perasaannya sedang kacau sejak tadi, ditambah pertemuannya dengan Juna tidak membuat hatinya menjadi cerah malah justru semakin kalut.
Gadis itu kini berjalan menuju kos bersama Regan. Cowok itu sebenarnya enggan, namun Juna yang memaksanya untuk menemani Arwen pulang.
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!