Dari banyaknya pertanyaan mengenai kesukaan dalam hal apapun. Chaca Aliska selalu menjawab apapun yang disukai mas Aga maka dia juga akan menyukainya.
Tetangga baru yang datang 2 tahun yang lalu didalam hidupnya, Membuat kehidupan Chaca terasa lebih bewarna.
Kehilangan sosok ayah membuat kehidupan Chaca berantakan jika saja saat itu Aga—pria yang usianya nyaris beda 8 tahun lebih tua darinya tidak datang dengan satu boneka Phoo super besar. Aga selalu ada disisinya setiap hari, menghibur Chaca dengan segala sikap dingin namun penuh perhatian. Tak terasa masa-masa SMP berlalu begitu saja hingga dirinya kini berada di kelas 3 SMA.
Mas Aganteng, Chaca terkadang memanggilnya seperti itu. Mas Aganteng dan mbak Chacantik. Uhuk.
Ya mungkin terdengar menjijikan ditelinga orang lain, terutama ditelinga paman rasa teman di rumahnya itu. Namun Chaca tak peduli sama sekali. Toh mas Aga juga tidak merasa keberatan.
"Ayo kita menikah setelah lulus" ucap Aga. Mata pria ini menatap lurus dengan penuh keyakinan.
"Ayo. Chaca mau"
"Aku suka sama kamu"
Chaca tersenyum lebar "Aku juga suka sama mas Aga"
"Aku benar-benar serius. Kita sudah berpacaran hampir 2 tahun. Aku juga sudah mendapat pekerjaan tetap. Jadi ayo kita menikah" Aga meraih tangan wanitanya dan menggenggamnya dengan erat.
"Ayo mas Aga. Kan Chaca udah setuju dari tadi"
"Apapun syarat dari kamu, aku bersedia untuk mengabulkannya."
Chaca menggelengkan kepalanya "Ngga ada mas. Tenang aja. Chaca nerima mas luar dan dalam. Dari hati paling ujung ini"
"Kalau kamu mau ngelanjutin study kamu sampai S3, aku nggak masalah sama sekali."
Buset S3. S1 aja belum nyentuh sama sekali. Oh jangankan S1, surat tanda kelulusan tingkat sekolah menengah atas saja belum ada hilalnya kapan bisa cap 3 jari dan dikantongi pulang ke rumah. Masih terlalu jauh.
"Nggak. Chaca belum kepikiran sampai ke sana kok mas. Tapi nggak tahu ke depannya Chaca mau gimana. Yang penting mas kantongi dulu duitnya ya. Nabung"
"Jadi mau nikah sama aku?"
"Etdah si Mas Aganteng. Mau. Chaca mau mas. Mau mau mau mau mau. Mau sampai timbangan bakal jebol saking nggak kuatnya"
"Dek bisa diam sebentar nggak?!" ucap Aga ketus.
Chaca mendengus sebal. Pandangan yang sebelumnya terarah ke Aga kini beralih menatap dua tangan mas Aga yang menggenggam erat tangan wanita yang memiliki jari-jari indah ciptaan Tuhan yang terlihat begitu sempurna yang panjang nan juga lentik. Tak seperti jarinya yang pendek-pendek bin bulat lengkap dengan lemak yang mengganjal perutnya.
Jika diibaratkan, jari wanita itu seperti sawi dan jarinya seperti cesim.
Dari tangan. Pandangan Chaca beralih menatap wajah cantik jelita bernama mbak Dini yang ditekuk sedari tadi karena Chaca malah ikut datang mengekor kemanapun Aga berada.
"Kamu ngajakin aku nikah, tapi tetep aja bawa ni bocah?" tanya Dini sewot.
Dianggap bocah padahal sebentar lagi lulus SMA dan akan menjadi mahasiswi, Chaca jelas tidak terima. Ia balik menatap sinis ke arah Dini " Eh mbak-mbak yang punya piala olimpiade sains banyak. Chaca bukan bocah lagi ya. Sebentar lagi Chaca juga bisa kaya mbak Dini. S1 lanjut S2, kerja terus S3"
"Terserah kamu" balas Dini ketus.
"Jangan pada ribut. Dek kamu diam dulu ya" ucap Aga.
Chaca kembali berdecih tak suka. 2 tahun lalu saat tahu jika Mas Aga berpacaran dengan mbak Dini, Chaca menangis uring-uringan nggak jelas yang membuat mamih memasukan Chaca ke dalam kardus super besar dan dikirim ke rumah bunda—ibu dari mas Aga yang berada tepat di depan rumahnya.
Jangan lupa dengan pesan yang di print dengan font Text New Roman, di bold lalu di underline dengan ukuran 400. Nyetaknya pakai printer arsitektur milik om Dimas. Kalimatnya kurang lebih seperti ini.
Nih bocah nembang terus. Terserah mau di daftarin ke KDI atau nggak. Padahal jelas-jelas Chaca nangis bukan nyanyi.
Dini menjulurkan lidahnya ke arah Chaca bertanda jika dia kembali menang "Kamu bilang mau nurutin semua syarat aku kan?"
Chaca buru-buru mencondongkan wajahnya lebih dekat ke wajah Aga lalu menggelengkan kepala. Oh Chaca bahkan mencopot kalungnya dan menggoyangkannya didepan Aga seolah-seolah tengah menghipnotisnya.
Mas. Lo kalau nggak mau geleng mending tidur. Tidurlah, tidurlah, tidurlah oh mas Agantengku.
Namun namanya juga cara edan dengan kenormalan setengah ons ini, Chaca tak mendapatkan gelengan kepala. Aga malah mengangguk setelah menjauhkan kepala Chaca dengan menonyornya pelan.
"Apapun itu. Aku bakal ngabulin"
Meski tahu caranya bakal sia-sia. Chaca kini balik berusaha menghipnotis Dini yang langsung mendapat pelototan dari wanita ini.
Kampret ini Om Dimas. Katanya bisa buat pesugihan dan hipnotis ini kalung, eh nggak mempan sama sekali. Mas Aga nggak dapet, duit juga nggak dapet ini mah.
Istighfar Cha. Pesugihan itu dibenci sama Allah. Astaghfirullah.
"Pertama aku udah daftar lanjut S3 di Amerika, jadi kita bisa nikah setelah aku lulus. Karena aku penginnya langsung punya anak setelah nikah. Tapi karena aku kuliah dan kerja. Jadi itu agak mustahil kalau nikah sekarang"
Chaca tersenyum lebar sambil mengacungkan jempolnya ke arah mbak Dini "Bagus mbak. Jangan nikah, sekolah aja dulu ya mbak yang pinter. Biar mas Aga nikahnya sama Chaca"
"Idih" ucap Dini.
"Tapi kalau kita tunangan dulu nggak apa-apa kan?"
Mata Chaca melotot ke arah mas Aga yang baru saja bicara. Aduh. Sakit hati adek mas. potek iki loh mas Aganteng.
"Oke setuju"
Buset dah. Ngenes banget gue.
"Musik mas. Sungguh malangnya nasib ku, ku, ku, ku. Kehilangan dirimu, mu, mu, mu" dari pada menyedihkan, Chaca kini malah bernyanyi membuat Aga menggelengkan kepalanya.
Syukur, kafe dalam kondisi sepi seperti sekarang. Aga tak perlu repot-repot membekap mulut tetangga setengah ons nya ini.
"Syarat ke dua. Bisa nggak, nih bocah disingkirin dulu? Kalau ngikut kita mulu, aku berasa kaya punya anak." lanjut Dini.
"Aku, seorang Dewasaaa. Mempunyai KTP. kalau berjalan hap hap hap. Aku seorang dewasa" timpal Chaca dengan nada lagu seorang kapiten. Sejak dulu Chaca dan Dini memang bagaikan air dan minyak yang tak akan pernah bersatu.
Aga menggelengkan kepala "Kalau nyingkirin dia nggak bisa. Aku udah terlanjur janji sama bapaknya buat jagain dia"
Chaca kini balik menjulurkan lidahnya ke arah Dini. Sama-sama menang sekarang.
Tambah sewot pula Dini sekarang "Sudah nikah juga harus jagain dia?"
Aga kembali menggeleng "Nggak segitunya juga. Lagi pula dia juga mau ke Jerman. Kuliah di sana"
Ah Chaca lupa dengan nasib study nya yang harus dilanjutkan di luar negeri itu. Alasannya? Jelas bukan karena keinginan Chaca melainkan keinginan sang mamih. Dirinya bahkan masih mengingat ucapan sang mamih yang entah kenapa dulu termakan oleh nya.
"Mas Aga itu pinter. Kalau kamu mau jadi pacar mas Aga, ya kamu harus pinter juga. Kuliah dulu yang bener"
Dan bodohnya Chaca percaya saja meski tahu niat sang mamih adalah untuk memisahkannya dari mas Aga. Kata mamih, Chaca terlalu menempel di Aga hingga membuat pria ini merasa bosan.
"Ih. Orang belum juga daftar" jawab Chaca.
"Tapi kamu apply berkas-berkas kamu kan?" tanya mas Aga lagi.
Chaca mengangguk "Udah"
"Bagus kalau gitu. Aku sama mas Aga bakal doa dan rajin tahajud malam buat doain kamu biar keterima" bukan Aga yang menjawab, melainkan mbak Dini yang kini tersenyum begitu lebar.
...****************...
Mari berkenalan dengan Chaca teman-teman. kalau ditanya karakternya mirip Flora jawabannya iya. Berhubung draftnya sudah ke hapus, jadi aku pengin coba nulis lagi dengan karakter kaya dia. ada beberapa scene juga yang mungkin sama.
cuman ini nggak up tiap hari ya, paling 2 hari sekali, sampai cerita Anya bener-bener tamat.
sok atuh ayo kasih komentar tentang watak macam Chaca
Jika semua orang kembali ke tanah air dengan senyuman lebarnya. Berbeda dengan Chaca yang menelan ludahnya gugup sambil menatap bangunan rumah dua lantai di depannya ini.
Terhitung sudah hampir 5 menit sejak turun dari taxi tadi, Chaca hanya berdiri di luar pagar tanpa berani untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Salahnya sendiri emang karena di suruh lanjut S2 setelah 5 tahun bekerja, Chaca malah nekat pulang ke Indonesia setelah Pa'denya di Jerman marah besar karena tingkah Chaca yang dianggap memalukan di sana.
Bukan dianggap memalukan karena bersikap layaknya dagelan atau pelawak. Namun karena syarat gila yang di buat oleh Chaca saat di jodohkan dengan salah satu putra kenalan pa'de nya. Lagi-lagi Chaca yakin sang mamih juga pasti ikut campur tangan hingga pa'de membuat acara kencan buta itu.
Dijodohkan tidak mau, disuruh lanjut S2 juga tidak mau. Pa'denya akhirnya menyerah dan mengirim Chaca kembali pulang ke Indonesia.
Menghitung 1 sampai 5 didalam hati. Chaca berjalan masuk ke dalam rumah. Ingin rasanya ia memutar badan dan berjalan menuju rumah yang berada tepat di depan rumahnya. Rumah mas Aga yang terlihat begitu damai tak seperti rumahnya yang bahkan dari luar sudah terdengar sapu lidi yang memukul kasur.
Belajar dari buku mantra untuk mengusir roh halus yang dikirim dalam bentuk PDF oleh om Dimas. Chaca meramalkan apa saja.
Tapi Tunggu. Itu syirik.
Oke, mulutnya kini berganti melafalkan surat apapun yang berada di jus 30 yang ia hafal sebelum Tangannya memutar knop pintu.
"Chacha Aliska Rahayu!!!"
Chacha terkesiap saat menutup pintu rumah super pelan. Buru-buru ia berlindung dibalik sofa besar yang memisahkan antara dirinya dan Hanum—ibu Chaca yang muncul dari ruang tengah lengkap dengan sapu lidi yang ada ditangannya. Oh jangan lupa, ekspresi marah mamihnya seperti setan yang ada di film-film. Merah padam dengan mata melotot ke arah Chaca.
"Balik lagi nggak Jerman sekarang!! Kamu mau bikin mamih malu sama pa'de kamu?!!" pekik Hanum. Putri satu-satunya ini memang selalu mampu membuat darahnya naik dengan segala tingkah ke absurdan Chaca.
"Ih ada nyonya Hanum yang cantik jelita. Kulitnya makin mulus aja nih." canda Chaca. Posisinya masih berada di belakang sofa guna menghindari pukul maut sang mamah. Bisa-bisa paha mulusnya ini berubah jadi memiliki tanda garis-garis merah. Kan ga cantik lagi kalau ketemu mas Aga nanti.
Sudah hampir 8 tahun tak bertemu. Chaca jelas ingin terlihat cantik di depan mas Aganteng. Terlebih dirinya kini tidak lagi gembul seperti dulu. Tubuhnya langsing bak gitar spanyol dengan otak yang jelas lebih bertambah wawasannya ketimbang saat SMA.
"Emang ya? Mamih tambah cantik?!" Hanum menyentuh wajahnya sendiri, tersipu malu karena ucapan putrinya.
Chaca tersenyum puas. Oke mari kita puji puji dulu sang mamih agar emosinya mereda. "Iya mih. Beuh glowing banget. Chaca aja bertanya-tanya tadi. Bidadari dari surga yang mana nih turun ke bumi?"
Hanum tersenyum malu " Beneran Cha? Sama dong ya. Tadi mamih juga bertanya-tanya anak gendeng mana tuh yang turun dari taxi padahal seharusnya masih di Jerman"
Duarr.
Bagaikan balon meletus. Chaca langsung menghindar ayunan sapu lidi mamih yang terarah ke padanya. Pujian yang dilayangkan tadi tidak mempan untuk sekarang. Chaca yakin jika terus seperti ini, bola mata mamihnya bisa-bisa keluar dari tempatnya.
"Ya ampun mih. Ini anak sholehah nya pulang juga. Jangan dimarahin mi"
"Sholehah dari hongkong. Mana ada sholehah pakai rok pendek begitu. Sini kamu!!!"
"Chaca dari Jerman mih, bukan dari Hongkong"
"Bocah gendeng!. Kemari kamu. Kamu pulang kangen sama pukulan mamih kan?! Sini biar babak belur sekalian"
"Aduh mih! Mih! Mih!" Chaca kini berjingkat menghindari pukulan sapu sang mamah. Berlari menuju kopernya yang jelas tingginya tidak seberapa itu menjadi penghalang antara dirinya dan sang mamih. "Mih ini kopernya banyak oleh-olehnya loh mih. Chaca udah susah-susah bawa yang spesial untuk mamih nih. Mamih butuh apa? Butuh kosmetik?" Chaca memukul kopernya.
"Ada" lanjutnya "Butuh jam? Ada. Butuh Anting? Ada. Butuh pembalut? Juga ada. Beuh butuh rumah juga ada nih mih. Rumah tangga Chaca sama mas Aga!"
"Gila"
Chaca kembali berlari menuju belakang sofa. Saat menghindar kakinya terkantuk koper hingga jari kaki terasa begitu menyakitinya. Tapi tenang. Masih tak sebegitu menyakitkan dibandingkan dengan layangan maut sapu lidi.
Hanum menyerah. Dirinya sudah tak lagi muda untuk bisa bermain kucing-kucingan seperti ini. Sambil terengah-engah, tangannya bertolak belakang menatap garang putrinya itu. "Sekarang. Mamih mau tanya. Apa rencana kamu sekarang?. Kalau kamu datang nggak bawa rencana, mamah patahin semua lipstik kamu!"
"Eitss tenang. Ada dong" Chaca masih berdiri di belakang sofa. Mendekat, hanya akan membuat mamihnya leluasa membuat karya di paha mulusnya ini.
"Apa?!"
Mata Chaca menatap ke langit-langit rumah seolah tengah berpikir, lebih tepatnya menggoda sang mamih yang wajahnya perlahan berubah kembali merah "Nikah sama mas Aga!!"
"Bocah gendeng!!" pekik Hanum "Ya Allah. Kenapa makin gendeng aja ini bocah"
Chaca menunjukkan senyuman indahnya "Makin cantik mih. Bukan makin gendeng"
"Kamu tahu kan, Aga itu sudah menikah?"
Chaca mengangguk. Yah ia tahu jika Aga menikah dengan teman sekantornya. Chaca ingat betul pernikahan itu diadakan saat dirinya mulai mengecap bangku kuliah. Chaca bahkan tak bisa pulang karena baik mamih atau pa'denya tak memberi uang untuk pesawat. Lagi pula jika Chaca pulang, dirinya juga hanya akan membuat keributan di pernikahan mas Aga.
5 bulan setelahnya. Chaca yang sedang stalker instagram mas Aga menemukan jika wanita itu hamil dari foto hasil USG yang mas Aga posting.
Rasanya? Oh rasanya hati Chaca remuk, terus digulung dengan kertas lalu dibakar hingga berubah menjadi arang.
Lebay? Nggak usah kaget. Karena bukan Chaca namanya kalau tidak lebay.
"Chaca tahu. Dan Chaca juga tahu kalau mas Aga sekarang jadi duda"
Hanum menarik napasnya pelan lalu menghembuskan nya perlahan. Berusaha agar tetap sabar setelah menebak apa yang tengah direncanakan oleh putrinya ini "Terus. Karena dia duda makanya kamu pulang? Di duda 1 anak Chaca!!"
"Mih. Tarik napas, keluarkan" ucap Chaca.
Hanum mengikuti arahan putrinya
"Lagi Mih. Tarik napas, hembuskan. Pinternya mamihnya Chaca" Chaca tersenyum senang saat Hanum mengikuti arahannya.
"Mamih heran sama kamu. Dikenalin pria ganteng, baik, mapan sama pa'de kamu malah ditolak. Aga yang umurnya beda 8 tahun lebih tua dari kamu dan sekarang udah jadi duda 1 anak. Masih aja dipepet"
"Itulah cinta mih." jawab Chaca dengan nada membaca puisi.
Jika saja tenaganya masih banyak. Hanum benar-benar sudah melayangkan sapu lidi ke arah putrinya itu.
"Terserah kamu saja lah. Mandi terus makan. Mamah mau nonton Tv" Hanum beranjak ke ruang Tv meninggalkan putrinya yang kini bersorak gembira. Memiliki satu anak, terkadang membuat Hanum tak bisa menolak permintaannya, apalagi Chaca adalah sosok gadis yang keras kepala.
Alih-alih mengekor mamihnya. Chaca kini malah langsung berlari keluar menuju rumah Aga. Tidak lupa, membawa satu paper bag berisi coklat untuk diberikan kepada Kiran—putri mas Aga.
Melewati pagar rumah mas Aga yang tidak dikunci. Chaca langsung menekan bel rumah Aga sebanyak 3 kali. Tak lupa ia merapikan penampilannya yang sedikit acak-acakan karena perang dingin dengan mamihnya barusan. Rok yang panjangnya satu jengkal di atas lutut, sengaja Chaca sedikit turunkan barang kali mas Aga tak suka melihat penampilannya sekarang. Lagipula anak mas Aga perempuan, sebagai calon ibu yang baik, dirinya tak boleh mengajari hal-hal yang buruk. Gedubrakkk.
Mas Aga. Calon istrimu ini pulang.
***
Jangan lupa tinggalkan Jejak kalian ya.
Chaca kembali merapikan penampilannya dari jendela kaca rumah ini. Cantik. Satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana penampilan dirinya sekarang. Meski habis bermain kucing-kucingan dengan sang mamih, kecantikan Chaca tak akan luntur begitu saja mengingat harga make up nya jelas tak murah.
Pintu yang sebelumnya tertutup kini terbuka perlahan menunjukkan seorang makhluk kecil berambut panjang dengan wajah cantik. Usianya mungkin sekitar 5 atau 6 tahun.
"Hai." sapa Chaca ramah.
Tak ada tanggapan sama sekali dari gadis kecil itu. Dia hanya menatap balik Chaca dengan dahi berkerut tak suka. Dari postur wajahnya yang kecil dengan hidung mancung, komposisi yang pas dan sempurna menunjukkan ketampanan dan kecantikan orang tua gadis ini.
Mas Aga? Oh jelas tampan. Amat tampan di mata Chaca. Mantan istrinya? Juga lumayan cantik meski jelas lebih cantik Chaca dibanding ibu gadis ini.
"Hai. Aku Chaca. Panggil aja mamih Chaca" Chaca terkekek geli sendiri meski mendapat tatapan tak suka dari lawan bicaranya.
Nggak apa-apa kan dipanggil mamih?. Anggap saja latihan untuk menjadi ibu yang baik. Kali saja mas Aga jatuh cinta padanya.
Membuyarkan harapan konyolnya. Chaca menggeleng lalu berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan wajah gadis ini "Tante Chaca" koreksinya.
"Namanya siapa?" Chaca mengulurkan tangannya. Barangkali dicium jadi bisa cosplay beneran jadi ibu sambung.
Caelah Cha. Mikirnya jauh bet.
Cukup lama tangan Chaca berada di udara tanpa ada balasan jabatan dari gadis kecil ini. Wajah dingin tak suka terpampang jelas dalam ekspresinya.
Aduh cak ayu. Ini calon mamah mu loh. Gak boleh dingin begitu. Batin Chaca.
Paper bag yang berada ditangannya, kini Chaca ulurkan ke arah gadis didepannya ini. Barangkali karena tahu isi coklat, bocah ini bisa sedikit melunak.
Jangan susahkan diriku untuk ambil papah mu nak. Kalau kamu nggak setuju. Rumit jalan ibu sambung mu ini. Batin Chaca lagi. Padahal ingin sekali dilontarkan namun takut mendapatkan tatapan yang semakin dingin. Usia 5-6 tahun jelas sudah paham dengan apa yang diucapkan orang lain.
"Buset dah ini bocah kaya patung pancoran yang diem bae" ucap Chaca lirih.
"Aku denger ya"
Chaca menarik senyumnya. Nada bicaranya persis dengan nada bicara mas Aga jika pria itu sedang kesal. Jadi nambah kangen sama bapak kamu nak.
"Eh Chaca ya?"
Suara yang menginterupsi mereka membuat Chaca menoleh ke belakang. Ke arah wanita berhijab hitam yang berjalan masuk dengan tentengan di tangan. Itu Nisa. Ibu mas Aga. Calon ibu mertuanya.
"Iya bunda" jawab Chaca tak kalah senangnya.
Kenapa manggil bunda?.
Karena cosplay jadi menantu idaman yang manggil ibu suaminya dengan panggilan yang sama dengan suami?.
Tidak.
Sejak menjadi tetangga barunya dan Chaca semakin dekat dengan keluarga ini. Chaca memang langsung memanggil ibu dari mas Aga dengan panggilan 'Bunda'. Biar lebih dekat saja.
"Ya Allah. Bunda pangling dek. Bunda kira siapa, cantik bener dari belakang"
Chaca mengambil tangan Nisa dan menciumnya. Sebelum akhirnya memeluk dengan erat karena merasa bersalah tidak datang saat dulu wanita ini menjalani operasi usus buntu. "Sehat Bun?"
Nisa mengelus puncak kepala Chaca "Alhamdulillah. Kamu sehat?"
Nggak bun. Hati Chaca hancur pas mas Aga nikah.
"Alhamdulillah baik juga Bunda." jawab Chaca dengan senyuman manisnya. Gila saja jika dirinya menjawab seperti kata hatinya.
Mata Chaca kini bergerak ke segala arah. Mencari-cari keberadaan mas Aganteng nya yang masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Kata orang duda itu lebih menggoda. Karena itu Chaca tak sabaran untuk melihat penampilan calon imamnya itu.
Gerak-gerik Chaca jelas tertangkap oleh pengamatan Nisa. Wanita yang kini berusia di akhir 40 tahunan tersenyum melihatnya. Nisa harap kedatangan Chaca akan membuat putranya bisa bangkit kembali. "Nyari mas Aga?"
Chaca menggaruk tengkuknya kikuk. Malu karena ketahuan mencari keberadaan laki-laki itu. "Iya bunda. Mas Aga belum pulang bun?"
"Belum. Biasanya sih udah pulang jam segini. Mungkin macet."
Chaca menganggukkan kepalanya. Jakarta di jam kerja seperti ini jelas mustahil jika tidak terjebak macet.
"Uti. Ini siapa?" suara imut terdengar menyela pembicaraan mereka.
Nisa mengusap puncak kepala cucunya ini "Yerin kenalin. Ini tante Chaca. Anaknya nenek Hanum"
Chaca melambaikan tangannya pada Yerin. Namun gadis itu hanya menatapnya dari atas hingga bawah tanpa berniat untuk balas melambaikan tangan.
"Cha. Kenalin. Ini Yeri. Anaknya mas Aga"
Fix. Susah udah gue mepet bapaknya kalau pawangnya begini. Gerutu Chaca dalam hati.
Kalau pawangnya mas Aga sejak awal menatapnya ramah. Langkahnya jelas akan mudah. Tapi ini? Chaca pasrah sudah.
Suara deru mobil yang terparkir didepan gerbang, membuat Chaca langsung menoleh seketika. Senyumnya tak bisa ia sembunyikan tatkala melihat sosok pria berjas hitam keluar dari mobil dan berjalan mendekat ke arah mereka. Rahang yang tegas dengan hidung mancung, mata tajam dan rambut klimis seakan membuktikan apa yang ia dengar dari teman-temannya. Duda lebih menggoda. Dan itu benar adanya.
Senyum Chaca tak menghilang sama sekali saat melihat adanya kerutan di wajah pria itu. Yerin yang sebelumnya berdiri di samping Nisa, langsung berlari menghambur ke laki-laki itu dan minta untuk digendong.
Agantara Priyadi. Cinta pertama Chaca dan sedang diusahakan untuk menjadi cinta terakhir Chaca juga.
"Mas coba tebak ini siapa?" tanya Nisa.
Kata orang, Chaca itu liar seperti kucing garong dihadapan spesies manusia berjenis kelamin laki-laki. Tapi tidak ada yang tahu jika Chaca bisa menjadi kucing angora yang menggemaskan jika berhadapan langsung dengan Aga.
Malu-malu kuda. Kata om Dimas.
Aga yang mendapat pertanyaan semakin mengerutkan dahinya. Satu nama sudah terlintas di kepalanya. Hanya saja Aga tak berani mengatakannya karena takut salah menebak.
"Wah berarti aku tambah cantik ya bun. Sampai mas Aga nggak ngeh. Mas Aganteng"
Begitu panggilan itu kembali terlontar. Aga membulatkan matanya karena terkejut "Chaca?"
Tawa Chaca menggema. Ingin rasanya ia berlari dan memeluk tubuh kekar Aga. Namun melihat raut wajah Yerin, membuat Chaca mengubur dalam-dalam keinginannya itu.
"Iya mas. Apa kabar?" tanya Chaca.
"Alhamdulillah baik. Makin cantik aja. Mas sampai pangling"
Chaca menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan centilnya yang membuat Nisa ikut tertawa "Cantik lah. Kangen nggak nih sama yang cantik begini. Kali aja mau dijadiin calon istri" celetuk Chaca.
Aga menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Tetangga ½ons nya sudah kembali.
Sayang. Dia pulang. Aku harus bagaimana?. Batin Aga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!