Suara dentuman musik menghentak, berbaur dengan hingar-bingar para pengunjung yang tengah asyik menikmati malam panjang mereka. Pada salah satu klub malam ternama ibu kota, Arsenio Wilhelm Rainier duduk tenang penuh wibawa dengan kaki kanan yang dia letakkan di atas paha sebelah kiri. Di tangan kanannya, tergenggam sebuah gelas kaca berukuran kecil dan berisi minuman yang sesekali dia teguk. Sementara itu, di dekatnya ada tiga orang sahabat dekat yang tengah asyik bermesraan bersama para wanita malam yang telah mereka booking sebelumnya.
Sesekali, Arsenio menoleh ke arah mereka. Lajang berusia dua puluh tujuh tahun itu, hanya dapat mengempaskan napas dalam-dalam. Pasalnya, Winona sang kekasih, menolak untuk menemani dirinya pergi ke tempat tersebut malam itu. Alasan Winona tiada lain adalah dia merasa lelah setelah menghabiskan waktu hampir selama lima jam di ruang rapat. Gadis modern yang selalu sibuk dengan kariernya tersebut, memilih untuk tidur lebih awal. Sementara, Arsenio tak berminat untuk menghabiskan malam bersama seorang wanita panggilan.
“Aku pulang duluan,” ucap pria berpostur 185 cm itu. Ukuran tinggi badan yang terbilang menjulang bagi warga Indonesia. Namun, itu memang cocok untuknya yang merupakan seorang keturunan Indonesia-Belanda.
“Hey, kenapa terburu-buru? Aku rasa ini belum pagi,” cegah salah seorang teman, yang menghentikan sementara adegan mesranya bersama wanita yang mengenakan pakaian sangat minim.
“Kalian lanjutkan saja. Lagi pula, besok aku harus pergi ke Bali untuk urusan bisnis. Aku tidak boleh kurang tidur,” ujar Arsenio mencari alasan. Tanpa banyak berbasa-basi lagi, dia melangkah gagah keluar dari bangunan yang dipenuhi oleh para penyuka pesta menuju ke tempat parkir.
"Arsen!" panggil seseorang ketika dirinya tengah menekan kunci otomatis mobil.
Arsenio pun segera menoleh. Seutas senyuman muncul di sudut bibirnya, ketika menyambut kehadiran seorang gadis cantik dengan pakaian ketat dan minim. “Indah?”
"Kok, sudah mau pulang? Kita kan belum bersenang-senang," gadis itu menggigit bibir bawah seraya memandang Arsenio dengan sorot menggoda.
"Lain kali saja," tolak Arsenio tanpa ekspresi yang berlebihan.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Wini tentang kita," dengan berani, Indah mendekat dan menggelayut manja pada lengan Arsenio. Wini adalah panggilan sayang Arsenio kepada sang kekasih yang telah dia khianati.
“Memang sudah seharusnya begitu,” jawab pria itu sembari menatap lekat paras manis Indah. Tanpa aba-aba, dia mencium bibir Indah untuk beberapa saat lamanya. "Besok aku harus berangkat ke Bali pagi-pagi sekali. Jadi, lain kali saja kita main-mainnya." Arsenio mengedipkan sebelah mata kepada Indah sebelum memasuki mobil. Sesaat kemudian, pria itu pun melajukan Range Rovers putihnya meninggalkan area parkir.
Sementara Indah tetap berdiri di tempatnya sambil menatap kendaraan Arsenio hingga menghilang dari penglihatan. Gadis itu lalu meraih ponsel dari dalam tas dan mulai menghubungi seseorang. "Halo. Pria brengsek itu sudah pergi. Siapkan rencana kalian matang-matang. Bisa kupastikan, dia sudah tiba di Gianyar sebelum makan siang," ujarnya pada seseorang di seberang sana.
..........
Alarm berbunyi dengan nyaring, ketika berada di angka enam. Dengan malas, Arsenio membuka mata, kemudian bangkit. Sebelum turun dari tempat tidur, dia menyempatkan diri untuk memeriksa ponsel yang diletakan dengan sembarangan di atas kasur. Ada beberapa pesan masuk yang salah satunya berasal dari Winona. Arsenio tak membalas pesan itu. Akan tetapi, pria keturunan Belanda tersebut langsung menghubungi gadis cantik yang telah hampir tiga tahun dia pacari. “Sayang,” sapa pria itu ketika panggilannya mulai tersambung.
“Selamat pagi, sayang. Kamu baru bangun, ya?” terdengar suara Winona dari seberang sana. Saat itu, gadis tersebut sedang berolahraga. “Apa kamu jadi berangkat ke Bali?” tanyanya kemudian.
“Ya, aku akan berangkat jam sembilan,” jawab Arsenio sambil menguap panjang.
“Semalam kamu pulang jam berapa dari klub?” tanya Winona lagi.
“Entahlah. Aku tidak terlalu memperhatikan, karena langsung tidur,” jawab Arsenio lagi masih dengan malas-malasan.
“Ya, sudah. Sebaiknya kamu bangun dan segera bersiap-siap. Jangan sampai ketinggalan pesawat. Aku juga hari ini akan ke Bandung untuk bertemu investor di sana,” ucap Winona. Gadis itu memang selalu sibuk dengan aktivitasnya. Tak jarang dia mengabaikan Arsenio jika dirinya sedang dilanda gila kerja. Hal tersebut membuat Arsenio terkadang merasa tak nyaman. Namun, hubungan mereka yang telah terjalin lama serta melibatkan dua keluarga besar ternama, membuat Arsenio dan Winona harus selalu terikat.
“Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Apa kamu pergi diantar sopir?” tanya Arsenio. Bagaimanapun juga, dia tetap mencemaskan kekasihnya.
“Ya. Aku akan pergi diantar sopir. Aku sedang malas menyetir sendiri. Emosiku sedang tidak stabil,” jawab Winona seraya terkekeh pelan.
“Apa kamu sedang datang bulan?” tanya Arsenio. Pria itu menyunggingkan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya.
“Ya, begitulah. Jangan lupa hubungi aku jika kamu sudah tiba di sana. Satu lagi, aku akan sangat marah jika kamu sampai bersikap nakal selama berada di Bali. Ingatlah untuk selalu menjaga kejujuran dalam hubungan kita,” pesan Winona dengan setengah mengancam.
“Baiklah, jika aku ingat,” sahut Arsenio dengan entengnya.
“Arsen!” nada bicara Winona tiba-tiba meninggi.
“Nanti kuhubungi lagi. Bye,” tutup Arsenio dengan begitu saja. Dia tahu bahwa Winona pasti tidak akan terima dengan perkataannya tadi. Arsenio yakin jika sebentar lagi gadis itu akan menelepon kembali. Apa yang ada dalam pikiran Arsenio memang benar adanya. Berkali-kali nada dering melengking nyaring. Namun, Arsenio tak peduli. Dia memilih untuk mandi dan mengenakan pakaian. Setelah itu, dengan terburu-buru dia berangkat ke bandara. Tak dihiraukannya belasan panggilan tak terjawab. Arsenio malah mematikan ponsel saat dirinya masih berada di lounge kelas bisnis.
Saat itu, Arsenio Wilhelm Rainier yang selalu bersikap semaunya, tidak pernah berpikir bahwa tabiat tersebut akan menyakiti orang-orang di sekitar dia. Tak pernah juga terlintas dalam benak Arsenio, jika suatu saat nanti dirinya akan mendapat sebuah balasan dari setiap hati yang sudah tersakiti. Arsenio begitu percaya diri dengan apa yang dia miliki, dan telah didapat dalam hidupnya.
Sekitar satu jam lebih perjalanan telah dia tempuh, hingga akhirnya Arsenio tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Di sana, telah menunggu sebuah mobil jemputan, yang akan membawa lajang dua puluh tujuh tahun itu menuju villa miliknya. Sebuah bangunan bergaya artistik khas Bali, yang terletak di wilayah Gianyar.
"Pak Arsenio, silakan," seorang pria paruh baya, membungkuk penuh hormat, kemudian membukakan pintu mobil untuknya. "Langsung ke villa, Pak?" tanyanya ramah.
"Ya," jawab Arsenio singkat, kemudian memposisikan dirinya senyaman mungkin di kursi penumpang. Setelah mobil melaju meninggalkan bandara, dia mulai sibuk menyalakan ponsel dan membalas pesan-pesan masuk. Sengaja panggilan dan puluhan pesan dari Winona dia lewati begitu saja.
Arsenio memilih untuk kembali mengistirahatkan matanya, meskipun semalam dia sudah cukup tidur. Entah berapa lama dia terlelap. Satu yang pasti, Arsenio terbangun saat merasakan bahwa kendaraan yang dia tumpangi berada pada posisi berhenti. "Apa sudah sampai?" tanyanya heran sambil mengumpulkan kesadaran. Akan tetapi, bukannya menjawab, sopir yang masih berada di belakang kemudi itu malah bergerak cepat dan menyuntikkan sesuatu ke pahanya.
"Hei!" seru Arsenio berusaha mencabut alat suntik itu, ketika dia merasa keseimbangannya mulai goyah. Dengan susah payah, Arsenio berusaha keluar dari dalam mobil. Kaki kanannya sudah mulai mati rasa, sedangkan pandangannya berputar dan memburam.
Satu kaki kiri Arsenio sudah menjejak tanah, ketika dia menyadari bahwa ada beberapa sosok pria berdiri di depannya. "Mau apa kalian? Minggir! Sebelum aku telepon polisi!" sentaknya. Arsenio melangkah gontai, berusaha menyerang pria di depannya, tapi dia malah tersungkur akibat kehilangan keseimbangan.
Dalam posisi jatuh tertelungkup itulah, beberapa pria tadi menghajarnya habis-habisan. Samar-samar Arsenio melihat salah seorang pria membawa tongkat kayu berukuran cukup besar. Dia memukul kepala Arsenio hingga sekelilingnya menjadi gelap seketika.
Nirmala Binar Candramaya, gadis berusia dua puluh tahun yang harus menjalani kehidupan keras setiap hari. Semenjak sang ayah tiada, dia tinggal bersama ibu serta kedua saudara tirinya di salah satu pemukiman daerah Gianyar, Bali.
Binar merupakan seseorang yang berparas cantik, dengan postur tubuh ideal khas gadis Indonesia. Setelah dirinya lulus SMA, dia tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Faktor ekonomi menjadi alasan utama, dan membuat Binar bahkan harus rela bekerja banting tulang. Padahal, dia merupakan salah satu murid yang berprestasi di sekolahnya. Binar mahir dalam bidang matematika dan juga fasih berbahasa Inggris.
“Binar!” teriakan nyaring Widya, sang ibu sambung menggema di dalam rumah sederhana yang telah mereka tempati sekian lama. Rumah itu merupakan warisan dari sang ayah. “Di mana kamu?”
Binar yang baru saja selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja pada pagi itu, hanya terdiam sejenak lalu meraih tas selempang kecilnya. Hal seperti tadi memang sudah biasa dia dengar. Teriakan dan juga makian adalah santapan sehari-hari bagi gadis penyuka makanan pedas tersebut.
“Mbok, dipanggil ibu tuh. Kenapa masih di sini?” tegur Wisnu, adik tiri Binar yang masih duduk di bangku kelas dua SMP. Dia muncul dari balik pintu kamar Binar yang memang sudah terbuka sebagian.
“Iya, tahu. Paling juga ibu mau menanyakan masalah gaji bulan ini,” balas Binar seraya keluar dari kamar. Dia lalu menghampiri Widya yang saat itu sudah berdiri dengan raut tidak bersahabat di ruang tamu. “Ada apa, Bu?” tanya gadis cantik berambut panjang tersebut. Sikapnya selalu lembut dan hormat, meskipun Widya kerap berlaku kasar padanya. “Aku harus berangkat ke toko. Hari ini aku juga akan lembur, jadi pasti pulang terlambat,” ucapnya lagi. Sepasang matanya yang bulat dan indah, memancarkan kasih yang teramat tulus.
“Lah, kalau kamu pulangnya telat, terus kami makan apa nanti malam? Adik kamu si Wisnu hari ini sekolah siang, dia ....”
“Jangan lupa, Bu. Uang untuk bayar SPP,” seru Wisnu dari ruang makan.
“Tuh, kamu dengar sendiri, bukan?” dengus Widya dengan jengkel.
Binar tak segera bicara. Dia berpikir sejenak. “Memangnya berapa tunggakan SPP kamu, Nu?” tanyanya kemudian.
“Dua bulan, Mbok,” jawab Wisnu dengan mulut yang penuh dengan makanan, “katanya, kalau nunggak sampai satu bulan lagi, maka aku ngga bisa ikut ujian. Buatku sih nggak masalah. Jadi, aku tidak perlu capek-capek belajar,” celetuk anak itu dengan tanpa beban sama sekali.
“Eh, bicara apa kamu!” sentak Widya menanggapi celetukan anak sulungnya. “Kalau kamu tidak lulus sekolah, mau jadi apa? Jadi buruh serabutan seperti almarhum bapakmu dulu?” Widya lagi-lagi melampiaskan kejengkelannya. “Hidup susah begini, masih saja banyak tingkah!”
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu bawa-bawa nama bapak. Ibu tahu sendiri jika bapak juga sudah berjuang keras demi kehidupan kita,” ucap Binar mengingatkan Widya yang terlihat sangat marah. “Bapak pergi dengan tidak meninggalkan utang saja itu sudah patut untuk kita syukuri. Masalah uang SPP Wisnu, biar nanti aku yang urus. Lagi pula, hari ini seharusnya aku sudah gajian,” ujar Binar. Dia lalu mengalihkan perhatian kepada Wisnu yang masih menyantap menu sarapannya dengan tenang. Anak itu seakan tak merasa terganggu dengan semua omelan dari sang ibu.
“Nu, kamu bilang sama petugas TU kalau kamu akan bayar SPP besok, ya. Sekalian saja dilunasi sampai bulan berikutnya,” seru Binar dengan cukup nyaring. Dia tahu jika Wisnu adalah anak yang sulit untuk berkonsentrasi, sehingga adiknya itu selalu salah dalam menangkap dan menyampaikan informasi.
“Iya, Mbok,” sahut Wisnu tanpa menoleh sama sekali. Dia masih berkutat dengan makanannya.
Sesaat kemudian, Praya yang merupakan anak bungsu Widya muncul di sana dengan seragam merah putih. Praya saat ini duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi, dia akan masuk ke SMP. “Bu, uang saku buatku mana?” anak itu segera menengadahkan tangan kanan kepada Widya, meminta jatah uang jajannya.
“Apa lagi ini? Jajan terus! Kamu ke sekolah mau belajar atau cuma sekadar menghabiskan uang ibumu?” kemarahan Widya kini beralih kepada anak bungsunya yang tidak tahu apa-apa.
Tak ingin ambil pusing, Praya mengalihkan perhatiannya kepada Binar. “Mbok, jajan ....” pintanya dengan wajah memelas. Merasa tak tega, Binar kemudian merogoh ke dalam tasnya. Selembar uang pecahan sebesar lima ribu rupiah dia berikan. “Terima kasih, Mbok,” raut wajah Praya tiba-tiba berubah riang.
“Itu uang jajanmu sampai sore nanti!” tegas Widya mengingatkan.
“Kalau begitu aku berangkat dulu, Bu,” Binar mengangguk pelan, kemudian berlalu dari hadapan Widya yang seakan tak peduli padanya. Wanita paruh baya tersebut selalu saja uring-uringan karena masalah finansial. Padahal selama ini Binar yang merupakan tulang punggung keluarga, sudah sangat bekerja keras. Binar bahkan tidak sempat untuk menikmati masa remaja, seperti teman-teman sebayanya yang lain.
Begitulah kehidupan Binar setiap hari. Dia pergi bekerja pada pukul tujuh pagi, dan pulang sekitar jam delapan malam jika dirinya mengambil jatah lembur. Bagi Binar, lelah bekerja seharian di toko akan terasa jauh lebih menyenangkan, daripada harus mendengarkan omelan Widya yang seakan tak pernah ada habisnya.
Hari itu, suasana di toko souvenir tempatnya bekerja kebetulan sedang ramai pengunjung. Sang pemilik pun memutuskan untuk membuka tokonya menjadi lebih lama, yaitu sampai pukul sembilan malam. Jatah lembur Binar pun bertambah satu jam. Lelah, tentu saja. Gadis dengan postur 168 cm tersebut ingin segera pulang dan beristirahat. Apalagi, dalam tasnya kini telah terisi dengan uang gajian yang akan segera dia berikan kepada ibu dan adiknya yang telah menantikan dirinya di rumah.
Seperti biasa, malam itu pun Binar pulang dengan berjalan kaki. Dia kerap melakukan hal demikian agar dapat mengirit pengeluaran. Lagi pula, jarak antara toko dan rumahnya memang tidak terlalu jauh.
Namun, kali ini ada yang berbeda pada jalanan yang biasa dia lewati. Binar tertegun dan merasa terganggu, lebih tepatnya adalah takut. Beberapa langkah di hadapannya pada keremangan suasana malam, tampaklah seorang pria bertubuh tegap yang tengah berjalan sambil terseok-seok. Kemeja putih yang dikenakan pria itu pun telah sobek di beberapa bagian. Di sana juga terlihat noda darah yang cukup banyak. Sepertinya, pria tersebut merupakan korban kecelakaan atau mungkin korban kejahatan.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul pikiran lain dalam benak gadis dua puluh tahun itu. Dia bergerak mundur, karena bisa saja pria yang sedang mengarah kepadanya merupakan penjahat yang sedang berpura-pura menjadi korban. Binar mencoba untuk menghindar. Baru saja dia hendak berbalik, terdengar suara berat pria tadi, “Tolong aku,” pintanya. Sesaat kemudian, pria itu pun langsung roboh dengan posisi tertelungkup di atas tanah.
Binar tertegun dengan tatapan lekat tertuju ke depan. Pria itu sesekali terlihat menggerakkan tangannya. Ragu dan tentu saja takut untuk mendekat. Namun, rasa penasaran dan juga iba mulai mengusik hatinya. Perlahan, Binar melangkah maju. Dia lalu menurunkan tubuhnya di dekat pria tadi. Dari perawakan dan ciri-ciri fisik, gadis itu yakin bahwa pria tersebut adalah seorang warga negara asing.
“Are you alright, Sir?” tanyanya dengan ragu.
Pria itu berusaha untuk mengangkat wajahnya. Dia lalu menggeleng perlahan.
Entah keberanian dari mana yang muncul dengan begitu saja dalam diri Binar. Dia meraih tubuh dengan postur yang jauh lebih besar darinya. “Berusahalah untuk bangun, Sir,” ucapnya seraya mencoba membantu pria itu agar segera bangkit. Sekuat tenaga, si pria pun menuruti ucapan Binar. Walau dia terlihat begitu lemah, tetapi akhirnya pria tersebut bisa memaksakan diri hingga berdiri. “Aku akan mengantar Anda ke rumah sakit terdekat,” ucap Binar lagi sambil memapah si pria hingga ke tepi jalan raya. “Anda masih kuat untuk berjalan?” tanya gadis itu. “Jarak ke rumah sakit terdekat hanya beberapa meter dari sini," ujarnya lagi.
Pria yang sepertinya warga negara asing tadi mengangguk lemah. Dia terlihat memaksakan dirinya untuk melangkahkan kaki, meskipun kadang terseok karena postur Binar yang terlalu mungil dan tak mampu menahan bobot tubuh dirinya yang tinggi besar. Namun, keduanya terus berjalan menyusuri trotoar, hingga akhirnya tiba di depan rumah sakit yang mereka tuju.
Sesampainya di sana, beberapa petugas jaga segera membantu Binar. Mereka membaringkan pria yang terluka itu di atas brankar, kemudian segera membawanya menuju ruang tindakan. “Anda siapanya pasien?” tanya salah seorang petugas medis yang tadi membantu.
“Saya ... um ... saya ...." belum sempat Binar menjawab, rekan petugas medis tadi sudah memanggilnya.
“Kami akan melakukan tindakan dengan segera, jika sudah mengetahui siapa yang akan menjadi penanggung jawabnya,” jelas petugas tersebut.
Mendengar hal itu, Binar seperti tidak memiliki pilihan lain. Mau tak mau, karena dia yang telah membawa pria tadi maka dirinyalah yang harus menjadi penanggung jawab. “Saya, saya yang akan menjadi penanggung jawabnya, Sus. Saya kerabat dekat pasien,” jawab gadis itu dengan mantap.
“Kerabat dekat atau ....” petugas medis tadi tak melanjutkan ucapannya. Dia tampak mengernyitkan kening karena merasa heran, berhubung pria yang Binar bawa adalah warga negara asing.
“Iya, benar. Saya ... saya adalah istri pasien tadi,” jawab Binar mencoba untuk terlihat meyakinkan di hadapan petugas medis itu.
“Oh, baiklah. Kalau begitu, silakan tunggu di luar. Kami akan segera memeriksa pasien dan melihat apakah harus ada tindakan serius atau tidak. Selagi menunggu silakan Anda melakukan pendaftaran terlebih dahulu di meja depan,” ucap petugas tadi sambil mengarahkan tangannya pada meja pendaftaran dengan seorang petugas yang terlihat sedang menerima telepon. Setelah berkata demikian, dia lalu masuk ke ruang tindakan.
Kini, Binar menjadi semakin bingung. Dia tidak tahu siapa pria tadi. Lalu, bagaimana dirinya akan mendaftar? Berkali-kali gadis itu mengempaskan napas dalam-dalam. Sambil melangkah ke dekat meja pendaftaran, Binar terus berpikir. Gadis itu hanya terpaku, bahkan ketika sudah berdiri di depan petugas.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
Binar segera tersadar, kemudian langsung menyunggingkan sebuah senyuman sebagai balasan untuk keramahan petugas tadi. “Saya ... saya ingin mendaftarkan pasien ...." gadis itu kembali terdiam.
“Oh, baiklah. Atas nama siapa?” tanya sang petugas.
“Atas nama ... atas nama ... Rain ....” Binar kembali tertegun. “Maaf, maksud saya Jonathan Rain,” ralat gadis itu menegaskan.
“Oh, baiklah,” petugas itu mulai mencatat data-data yang Binar sebutkan kepadanya. Walaupun dalam hati merasa takut dan was-was dengan sandiwara yang tengah dia jalankan, tetapi Binar harus tetap terlihat meyakinkan. Setelah menyelesaikan urusan di meja pendaftaran, Binar kembali ke depan ruang tindakan dan duduk di sana seorang diri.
Sementara malam kian merayap. Waktu telah menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Seharusnya dia sudah berada di rumah saat itu, bukannya menunggui pria asing yang baru dia temui di rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang tindakan. Dengan segera, Binar berdiri menyambut kehadiran pria paruh baya tersebut. “Anda istri dari pasien?” tanyanya penuh wibawa.
“Iya, Dok. Saya istrinya,” jawab Binar mencoba untuk tetap terlihat tenang.
“Jadi begini, Nyonya. Suami Anda mengalami pembengkakan di bagian kepala. Ada luka memar yang disebabkan oleh hentakan dari benda tumpul di beberapa bagian tubuh. Salah satunya adalah leher belakang,” jelas dokter itu.
"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Binar. Rasa khawatir dan penasaran bercampur menjadi satu dalam hatinya.
“Untuk saat ini kami sudah memberikan pertolongan pertama dengan maksimal. Kita akan lihat perkembangannya dalam 1 x 24 jam. Jika ada sesuatu yang aneh, kami akan segera melakukan pemeriksaan lanjutan,” jelas sang dokter lagi. “Silakan, mungkin Nyonya ingin melihat kondisi suami Anda di dalam. Namun, dia belum sadarkan diri karena masih dalam pengaruh obat bius,” ujarnya lagi. Setelah itu, dokter tersebut kemudian berpamitan dari hadapan Binar yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Binar bisa saja pergi dan membiarkan pria tadi. Akan tetapi, entah mengapa dia merasa tak kuasa untuk melakukannya. Gadis itu sadar akan risiko yang harus dia tanggung. Namun, berbuat kebaikan yang besar tak selalu dia lakukan setiap hari dalam hidupnya, meskipun selama ini dengan menjadi tulang punggung keluarga saja sudah merupakan bakti yang tak ternilai.
Dilangkahkannya kaki ke dalam ruangan di mana pria tadi terbaring. Saat itu, Binar dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Bercak darah di tubuh pria asing tersebut pun telah dibersihkan. Binar kemudian berdiri di sisi ranjang untuk sejenak, sebelum akhirnya dia mengambil sebuah kursi dan duduk. Namun, dia masih tampak kebingungan.
Tatapan dari sepasang mata belo gadis itu, terus tertuju pada seraut paras tampan yang masih tak sadarkan diri. Dia duduk termenung di sana, hingga tanpa terasa kantuk pun datang. Binar hampir saja tertidur sambil duduk. Namun, suara rintihan pelan pria tadi kembali membuatnya terjaga.
“Air ....” ucapnya dengan berat.
“Anda haus?” tanya Binar seraya mendekat kepada pria itu.
“Iya. Aku ingin minum,” jawab pria asing tersebut. Rupanya dia cukup fasih berbahasa Indonesia.
Binar kebingungan mencari air minum di dalam ruangan itu. Namun, tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya selalu membawa bekal sendiri dari rumah. Dirogohnya ke dalam tas. Binar mengambil botol air minum yang isinya tinggal tersisa sedikit. Tanpa pikir panjang, gadis cantik tersebut membantu si pria untuk minum dari botol tadi.
“Terima kasih,” ucap pria itu sambil sesekali meringis kecil.
“Sama-sama," jawab Binar, "kenapa Anda bisa terluka?” tanya gadis itu penasaran. Akan tetapi, pria asing tersebut tidak menjawab. Dia hanya memicingkan mata saat menatap gadis di hadapannya. “Aku sudah mendaftar tadi, tapi aku tidak tahu siapa nama Anda. Jadi, kupakai saja nama sembarang. Mudah-mudahan tidak akan jadi masalah,” tutur Binar lagi tampak menyembunyikan keresahannya.
“Kalau begitu, biar kuhubungi keluarga Anda. Berapa nomor ponselnya?” dia tak henti bertanya. Namun, lagi-lagi si pria hanya terdiam. “Kenapa?” tanya Binar lagi dengan heran.
“Aku tidak tahu semuanya,” jawab pria tersebut.
Binar tertegun untuk beberapa saat. "M-maksudnya?"
"Aku tidak ingat," jawab pria itu seraya meringis. Jarinya lemah bergerak menyentuh pelipis. "Apa yang terjadi?"
"A-anda pingsan di depanku. Tubuh Anda juga penuh luka dan darah. Aku pikir Anda korban tabrak lari," tutur Binar ragu.
"Entahlah," pria itu tampak menelan ludah, lalu memejamkan mata.
"Bagaimana dengan nama? Apa Anda bisa mengingatnya?" satu pertanyaan terakhir yang Binar harap dapat dijawab pria asing itu.
"Aku tidak tahu," jawab pria tersebut singkat dengan mata yang tetap terpejam.
"Aduh, gawat!" Binar menepuk dahinya pelan.
Di tengah kekalutan, seorang perawat memasuki ruangan dan menghampirinya.
"Nyonya Rain?" panggil perawat itu. Seketika si pria asing membuka matanya, bersamaan dengan Binar yang ikut menoleh ke arah sang perawat.
"I-iya?" salah tingkah, Binar mengangguk sambil sesekali melirik pada pria rupawan yang tengah memandangnya keheranan.
"Apakah tuan Rain punya asuransi kesehatan?" tanya perawat itu.
Binar sempat menoleh pada pria asing itu. Namun, dia segera sadar bahwa si pria tidak mungkin bisa membantu menjawab pertanyaan perawat tadi. "Ti-tidak punya, Sus," jawab Binar pada akhirnya.
"Kalau begitu, Anda harus menebus obat melalui jalur umum. Silakan, ini resepnya," perawat itu menyodorkan beberapa lembar kertas kepadanya. "Ambil di apotik, ya," pesannya kemudian berlalu begitu saja dari sana.
"Um," Binar kembali menoleh pada si pria asing. "Maaf, aku harus mengaku sebagai istri Anda. Jika tidak begitu, mereka mengatakan tidak bersedia mengambil tindakan,” tuturnya hati-hati.
“Tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuannya,” jawab pria itu lirih.
“Kalau begitu, aku permisi dulu untuk menebus obat di apotik,” Binar menunjukkan kertas-kertas itu lalu berdiri. Langkahnya gamang menuju loket apotik. Tubuh dan pikirannya lelah. Apalagi saat itu, waktu telah menunjukkan hampir pukul sebelas. “Biyung pasti sudah marah-marah menungguku,” gumamnya pelan.
Sesampainya di loket, Binar menyerahkan lembaran resep dan menunggu agak lama sampai namanya dipanggil. “Bayarnya bagaimana?” tanya Binar pada petugas apotik.
“Nanti kalau sudah diperbolehkan pulang, ya. Bayar langsung di loket administrasi,” jelas petugas itu ramah sambil memberikan beberapa macam obat.
Binar mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Dia kembali ke ruangan tempat pria asing itu dirawat. Sedikit terkejut, Binar melihat seorang dokter bersama beberapa orang perawat mengerubungi ranjang si pria. “Ada apa ini?” Binar berjalan pelan mendekati ranjang.
“Ah, Nyonya Rain. Kebetulan suami Anda sudah siuman. Kami juga telah memeriksa tanda-tanda vital. Semuanya menunjukkan hasil yang bagus,” jelas sang dokter.
“Syukurlah, Dokter,” balas Binar seraya menoleh pada pria yang ternyata juga tengah memandang ke arahnya.
“Anda bisa memilih menunggu sampai dua puluh empat jam untuk melihat perkembangan tuan Rain atau rawat jalan,” tutur dokter itu lagi.
“Um,” Binar kebingungan menjawab. Jelas dia akan membayar jauh lebih banyak jika harus menjalani rawat inap di rumah sakit.
“Kalau pulang saja bagaimana, Dok?” tawarnya.
“Boleh-boleh saja. Asalkan Anda sudah menebus resep untuk dibawa pulang,” tegas dokter itu dengan nada yang ramah.
“Kalau begitu, kami memilih pulang saja, Dok,” putus Binar.
“Silakan. Untuk prosesnya, biar perawat yang menjelaskan,” dokter itu undur diri, digantikan oleh seorang perawat muda yang menjelaskan segala sesuatunya kepada Binar. Perawat itu juga meminta tanda tangan Binar di atas tumpukan kertas yang dia bawa. Setelah itu, perawat mengarahkannya ke loket administrasi.
Namun, betapa terkejutnya dia ketika mengetahui harus membayar lebih dari separuh uang gajinya. Tangan Binar gemetar saat menyerahkan lembaran uang ratusan ribu kepada petugas. Akan tetapi, dirinya sudah sejauh ini dan tak mungkin mundur. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk menjemput si pria asing ke ruangannya sambil membawa sebuah kursi roda.
Si pria pun tampak pasrah saat Binar membantunya turun dari atas ranjang rumah sakit, lalu mendorongnya menggunakan kursi roda.
“Maaf, Tuan. Aku tidak memiliki cukup uang jika Anda lebih lama di sini,” ucap Binar penuh sesal. Saat itu mereka sudah tiba di halaman depan rumah sakit. Binar lalu merogoh ponselnya dan memesan taksi online.
“Anda tidak apa-apa, kan? Anda bisa tinggal di rumahku untuk sementara, sampai ingatan dan kesehatan Anda pulih,” ujar Binar hati-hati.
“Tidak apa-apa. Terima kasih,” lemah jawaban pria itu, bersamaan dengan datangnya taksi yang sudah Binar pesan.
Dengan dibantu oleh sopir taksi, Binar mendudukkan pria asing itu di kursi penumpang. Dia lalu ikut duduk di sampingnya. Tak sampai setengah jam, taksi tadi sudah berhenti di depan rumah Binar.
Di teras rumah, tampak Widya berkacak pinggang dengan raut marah. “Dari mana saja kau!” sentaknya tanpa sungkan. Padahal saat itu sudah menjelang tengah malam.
Wajah Widya makin merah padam, ketika Binar tak menjawab. Anak tirinya itu malah menurunkan seorang pria asing dan memapahnya hingga masuk ke dalam rumah. Binar mendudukkan pria itu di salah satu kursi ruang tamu.
“Apa-apaan ini, Binar! Siapa dia?” tanya Widya penuh emosi.
“Maaf, Bu. Aku mengajak dia tinggal sementara di sini hingga kondisinya pulih,” jawab Binar dengan enteng, membuat Widya semakin naik pitam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!