Gadis cantik berkulit kuning langsat dan berambut sebahu sedikit ikal itu sedang duduk di sebuah bangku di ruangan sempit yang enggan orang-orang masuki. Rambutnya ia ikat ke atas. Keringat menetes membasahi dahinya. Kemudian, ia teguk beberapa mili liter air mineral yang ia genggam erat.
Pukul lima sore, pekerjaannya baru saja selesai. Ia rapikan alat tempurnya ke dalam tempat yang telah disediakan. Sapu, alat pel dan berbagai alat pembersih ruangan ia letakkan sebagai mana mestinya. Daisha, nama gadis cantik nan sederhana itu.
Setiap hari, ia sudah terbangun tatkala sang fajar masih nyaman berada dipangkuan. Ia bersiap membantu ibunya memasak berbagai macam hidangan yang nantinya dititipkan ke berbagai warung-warung dan rumah makan. Setelah itu, ia berangkat menuju kampusnya guna menyelesaikan pendidikan akhirnya. Beruntung kuliahnya hanya tinggal beberapa waktu lagi. Belum habis sampai di situ, sepulang dari kampusnya Daisha beranjak menuju sebuah gedung pencakar langit yang berada di kotanya. Sisa waktunya ia habiskan untuk bekerja paruh waktu menjadi bagian kebersihan. Uang hasil memeras keringatnya, ia gunakan untuk membiayai kuliahnya.
Ia memijat kakinya yang mulai terasa pegal. Rasanya sendi-sendi tulangnya hampir rontok.
''Sudah selesai, Sha?'' tanya Naya sahabat Daisha sejak SMA.
''Sudah.''
''Pulang sekarang yuk, tapi aku nebeng. Aku traktir makan mie ayam depan kantor deh.'' ucap Naya.
''Boleh. Tapi uangnya kamu simpan saja. Jangan boros.''
''Sekali-kali nggak papa kali, Sha. Beli mie ayam doang mah masih mampu aku nya.'' jawab Naya.
''Yuk, lah. Jam segini pasti jalan juga lagi macet-macetnya.''
''Cus.''
Daisha dan Naya sedang menikmati semangkuk mie ayam dan segelas es jeruk yang begitu melegakan dahaga. Daisha bekerja di perusahaan atas rekomendasi dari Naya, sahabatnya. Naya memang tidak melanjutkan studinya. Setelah lulus SMA, ia bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan terkemuka di kotanya.
''Enak banget sih ini mie ayam, bener-bener nggak ada lawan.''
''Enak banget orang gratisan.''
''Ya nggak gitu juga konsepnya.'' protes Daisha.
''Buruan gih, bayar! Kamu yang traktir kan?''
''Iya, sabar kali.''
Setelah membayar makanannya, Daisha dan Naya segera beranjak menuju parkiran untuk mengambil motor matic milik Daisha.
Saat hendak memakai helmnya, Daisha melihat seorang anak lelaki tampan yang berjalan sendirian. Segera ia hampiri anak lelaki tampan itu.
''Sha! Woi mau kemana sih!'' teriak Naya.
''Bentar.''
''Hai adik kecil, kamu sama siapa? Kenapa kamu di sini sendirian?'' tanya Daisha mendekati anak lelaki itu.
''Nggak usah takut, kakak baik kok.'' ujar Daisha berjongkok sejajar dengan tinggi anak kecil tampan itu.
''Mama.'' ucap anak kecil itu dengan mata yang berbinar.
''Oh, kamu cari mama kamu ya. Ayo kakak antar kamu mencari orang tua kamu.'' ajak Daisha.
Sedari tadi, anak lelaki kecil itu hanya diam dan terus menatap Daisha dengan penuh kekaguman. Tanpa ia sadari, Arka tersenyum dengan sangat manis.
''Kamu tampan sekali kalau sedang tersenyum begini.'' ucap Daisha terpesona oleh senyuman tulus anak lelaki kecil di hadapannya itu.
''Arka! Dari mana saja kamu.'' ucap lelaki tampan yang berlari menghampiri Arkana. Dari gaya pakainnya saja sudah bisa dipastikan jika ia adalah seorang bos besar.
''Kamu! Kamu mau culik anak saya ya!'' bentak Rendi pada Daisha.
''Hah? Bapak yang benar saja. Saya tidak ada niat untuk menculik anak bapak. Saya tadi melihat anak ini sendirian seperti kebingungan, jadi saya menghampiri dan berniat mengantarkan kepada orang tuanya.'' jawab Daisha sungguh-sungguh.
''Alasan klasik!'' ucap Rendi sinis.
''Maksud bapak apa ya?'' Daisha mulai terbawa emosi.
''Pergi dari sini sebelum saya berubah pikiran.'' ucap Rendi.
''Memangnya saya takut sama anda!'' ucap Daisha.
''Eh, eh, Sha! Stop!'' Naya berlari dan mencoba menghentikan Daisha.
''Apa sih, Nay. Orang ini nyolot banget!''
''Udah diem, ayo cepetan pergi. Maaf ya, pak. Maafkan teman saya. Kami permisi.'' ucap Naya tertunduk dan membawa Daisha pergi.
Selepas kepergian Daisha dan Naya, sedari tadi pandangan mata Arka terus tertuju pada Daisha. Arka menatap kepergian Daisha dengan mata yang berbinar.
''Mama.'' ucap Arka pelan.
Rendi yang mendengar itu pun terkejut, pasalnya selama ini Arka sangat jarang sekali untuk berbicara. Ia begitu enggan dan selalu menuliskan setiap keinginannya pada layar tablet yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
''Apa nak? Kamu tadi ngomong apa? Coba katakan sekali lagi, papa ingin mendengarnya.'' tanya Rendi bahagia.
''Mama.'' ucap Arka kembali.
''Ini papa nak, PAPA.''
''Mama.''
''Ah, sudahlah. Mungkin Arka sedang rindu dengan ibunya.'' Pikir Rendi segera membawa Arka masuk ke dalam mobilnya.
Di sisi lain, Naya sedang berusaha menenangkan Daisha yang hampir saja membahayakan pekerjaannya.
''Kamu gila, Sha. Kamu nggak tau siapa orang tadi?'' tanya Naya.
''Enggak, nggak penting juga untuk tahu siapa orang sombong itu!''
''Ampun, deh!''
''Lebay banget sih, kamu. Sebegitu takutnya. Masih sama-sama manusia kenapa harus takut.'' ujar Daisha.
''Kalau kamu tahu siapa orang tadi, kamu juga pasti akan memohon-mohon agar tidak dipecat.''
''Dipecat?'' tanya Daisha masih belum memahami ucapan Naya.
''Iyalah, gila aja kamu berani mengatai bos kita.'' ucap Naya santai.
''Bos? Maksud kamu dia tadi?''
''Iya.''
''Mampus!'' ucap Daisha menepuk jidatnya.
''Eh, tapi tetap saja. Orang sombong seperti dia harus diberi pelajaran. Enak saja menuduh orang sembarangan.''
''Sudah, sudah. Mau pulang nggak nih? Keburu hujan, tuh udah mulai mendung.''
''Ya pulanglah, memangnya siapa juga yang mau menginap di sini.''
''Ya ayo buruan.''
''Bentar, lagi mengatur nafas.''
''Lebay!''
Daisha dan Naya berjalan menerobos kemacetan. Sudah beberapa lampu merah selalu menghentikan laju motor maticnya. Ia berhenti pada sebuah lampu merah ke lima sejak dari kantor tempat ia bekerja tadi. Daisha menghentikan sementara motor maticnya di sebelah mobil mewah berwarna hitam.
''Ini juga, kenapa kena merah terus sih dari tadi.'' gerutu Daisha.
''Sabar, woi! Esmosi aja. Lagi dapet ya?''
''Tau, ah.''
Dari balik kaca mobil, Arka sedang duduk di bangku belakang dan mengamati kemacetan. Penglihatannya tertuju pada seorang perempuan yang sedari tadi ia pikirkan.
''Mama.'' ucap Arka.
Rendi yang kembali mendengar suara Arka, spontan menatap ke arah bangku belakang. Rendi mendapati Arka yang sedang fokus menatap ke arah luar jendela mobil dengan mata yang begitu berbinar dan nampak bahagia. Rendi pun mengikuti arah pandangan Arka dan melihat gadis yang ia temui di parkiran tadi.
''Arka, kamu lihat apa nak?'' tanya Rendi.
''Mama.'' lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut mungil Arka.
''Kamu rindu dengan mama? Kita mampir ke makam mama, mau?'' tanya Rendi.
Arka hanya melihat ke arah papanya dan kembali diam.
Tin..tin..tin.. Suara klakson dari arah belakang membuyarkan lamunan Rendi. Segera ia bergegas melajukan kendaraannya.
Hamparan tanah berumput hijau membentang sepanjang pandangan. Di antara gundukan rumput hijau yang selalu terawat rapi itu berjejer sebuah pusara. Rendi berjongkok dan tertunduk khusuk memandangi tanah hijau dengan papan bertuliskan nama kedua orang tuanya yang dimakamkan dalam satu liang lahat yang sama dan di samping makam kedua orang tuanya terdapat pusara mendiang istrinya. Ia taburkan bunga mawar dan putih sebagai pengiring doa. Di samping Rendi, Arka ikut khidmat berdoa untuk kakek, nenek, dan ibunya yang selama ini belum pernah ia temui.
Setelah selesai lantunan doa ia lafalkan, Rendi mengajak Arka untuk meninggalkan pemakaman itu. Rendi membawa sang putra untuk kembali pulang ke rumah.
Rendi terdiam dan tak banyak bicara. Selepas ia mengunjungi pusara orang-orang yang ia sayangi, ia kembali merasa seolah ikut tak bernyawa. Namun, adanya Arka di hidupnya, membuat ia harus tetap bangkit dan berdiri tegar. Berbagai peristiwa kelabu yang Rendi alami secara berturut-turut membuatnya seperti mati rasa. Setelah kepergian kedua orang tuanya karena sebuah kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam. Rendi tumbuh menjadi pribadi yang dingin. Belum kering air matanya, sang istri pun ikut meninggalkannya ketika melahirkan putra pertama mereka. Dunia seolah enggan berpihak kepadanya, berbagai peristiwa kelam ia lewati dengan hati yang rapuh. Rendi menjadi pria dingin nan arogan.
...ΩΩΩ...
Pagi ini Daisha sedikit lebih sibuk dari biasanya. Sejak semalam, ia bersama ibunya tengah mempersiapkan berbagai pesanan nasi kenduri yang dipesan oleh Bu RT.
''Kamu nggak kuliah, Sha?'' tanya ibu Rahayu.
''Enggak, bu. Tinggal menunggu jadwal wisuda saja kok.''
''Syukurlah. Kamu makan dulu gih, itu masih ada sisa nasi dan lauk.''
''Iya, bu. Ibu istirahat saja sekarang, biar Daisha yang selesaikan.''
''Kita kerjakan bersama saja biar cepat selesai. Harusnya kamu yang istirahat, dari semalam kamu pulang kerja sudah membantu ibu.''
''Ibu tenang saja, anak ibu ini kan wonder woman.'' gurau Daisha.
''Sha, setelah kuliahmu selesai nanti, sebaiknya kamu berhenti saja dari pekerjaan kamu, ibu nggak tega melihat kamu kerja keras banting tulang seperti ini.'' ucap ibu Rahayu sendu.
''Ibu doakan saja agar Daisha bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan ijazah yang Daisha punya.''
''Aamiin, ibu selalu mendoakan kamu.''
''Sudah hampir jam sepuluh, cepet mandi gih nanti kamu terlambat kerjanya.''
''Iya, bu. Daisha nanti masuk siang kok kerjanya.''
Pesanan nasi kenduri telah siap untuk diantarkan. Daisha mulai memasukan tiap box makanan itu ke dalam mobil butut peninggalan mendiang ayahnya.
Setelah selesai menyelesaikan pesanannya, Daisha segera bersiap untuk berangkat kerja. Ia mengendari sepeda motor matic kesayangannya. Ia memarkirkan motornya di deretan yang di khususkan untuk karyawan.
Daisha melangkah pasti menuju loker untuk menyimpan jaket dan tasnya. Setelah itu ia bergegas untuk menunaikan kewajibannya. Daisha bertugas membersihkan setiap ruangan di lantai atas.
Saat ia hendak mengelap jendela, ia kembali melihat anak lelaki kecil tampan yang ia temui di parkiran kemarin. Anak itu kembali berjalan sendirian. Daisha yang melihat itu, menggerutu dalam hati. Bagaimana bisa orang tua dari anak lelaki itu membiarkan anaknya berkeliaran sendirian di sini. Apalagi kantor bukan lingkungan yang baik untuk anak seusianya. Jiwa kemanusiaannya seketika memberontak. Perlahan ia menghampiri anak lelaki tampan itu. Saat Daisha hendak menghampirinya, Daisha melihat sebuah rak kayu yang menjulang tinggi di lorong kantornya itu hampir ambruk. Dengan cepat Daisha segera berlari dan menarik anak lelaki itu.
Bruk!!
''Aw!'' teriak Daisha. Kaki kiri Daisha terjepit reruntuhan rak kayu.
''Mama!'' ucap lelaki kecil itu.
''Kamu tidak apa-apa kan?'' tanya Daisha. Dan anak lelaki itu menggeleng memberi jawaban.
''Syukurlah.'' Daisha meringis menahan sakit. Seketika orang-orang yang berada di dekat lokasi kejadian itu pun berbondong-bondong untuk segera menolong Daisha dan Arka.
Arka berhasil selamat dari runtuhan rak kayu dan berada di dalam dekapan Daisha.
''Tolong selamatkan dulu anak ini.'' ucap Daisha.
''Cepat panggil perawat!'' teriak seseorang.
''Den Arka!'' ucap satpam yang baru saja mendatangi kerumunan itu.
''Itu anaknya pak bos.'' Beberapa orang mulai membicarakan anak dari bosnya itu yang mengalami kecelakaan. Banyak praduga dari mereka mengenai peristiwa kecelakaan itu.
Rendi datang menuju ruang perawatan yang disediakan bagi karyawannya apabila mengalami kecelakaan kerja seperti ini.
''Arka!'' teriak Rendi khawatir.
''Kamu tidak apa-apa nak?'' Arka hanya menggeleng mendengar pertanyaan papanya.
Pandangan Rendi teralihkan pada seseorang yang sedang berada dalam penanganan salah seorang perawat.
''Terimakasih telah menyelamatkan putra saya.'' ucap Rendi tanpa memandang sosok pahlawan penyelamat nyawa putranya.
''Kamu!'' ucap Rendi kembali setelah melihat Daisha mengangkat wajahnya.
''Kamu sengaja ya ingin mencelakai anak saya!'' bentak Rendi.
Daisha hanya terdiam, ingin sekali ia membalas semua ucapan pedas bosnya itu. Namun, luka di kakinya cukup membuatnya nyeri dan menghilangkan nafsunya untuk berbicara.
Rendi pun melihat raut wajah Daisha yang sepertinya sangat kesakitan.
''Bawa dia ke rumah sakit.'' ucap Rendi melihat luka Daisha yang cukup parah.
''Baik, pak.'' ucap perawat jaga tersebut.
Daisha berulang kali mencoba bangkit dan berdiri untuk mencapai kursi roda yang telah dokter siapkan. Namun, luka di kakinya membuatnya tak mampu untuk sekedar berdiri apalagi untuk berjalan.
''Mama!'' ucap Arka menghampiri Daisha. Rendi dan Daisha terkejut mendengar ucapan Arka.
Arka menatap sedih Daisha. Kemudian Arka membawa tangan papanya untuk mengangkat tubuh Daisha. Rendi merasa kesal namun ia juga masih mempunyai rasa kemanusiaan terhadap sesama.
''Nggak usah pak. Saya bisa sendiri.'' ucap Daisha merasa tak enak hati. Daisha mencoba bangkit sendiri dengan dibantu seorang perawat namun ia kembali merasa kesakitan. Arka hanya memandangi wajah Daisha dan mengedipkan matanya.
''Masih nggak butuh bantuan juga?'' tanya Rendi.
Daisha hanya terdiam, jujur saja ia memang kesulitan untuk berdiri. Namun, ia masih kesal dengan sikap arogan bosnya tersebut.
''Ayo naik ke punggung saya.''
''Ayo, kenapa diam saja!'' Rendi kembali berucap karena sedari tadi Daisha hanya diam saja.
''Bapak nggak lihat kaki saya sakit? Kalau saya harus naik ke punggung bapak ya tambah sakit.'' ucap Daisha.
''Terus?''
''Terus nabrak.'' ucap Daisha kesal.
''Kamu!'' gertak Rendi.
''Bapak niat nolong saya nggak sih? Gendong dong.'' ucap Daisha tersenyum licik. Dalam pikirannya, ia berniat untuk mengerjai bos arogannya itu.
''Ayo, pak. Gendong.'' ujar Daisha mengulurkan kedua tangannya seperti anak kecil yang minta gendong.
Rendi merasa kesal pada Daisha. Namun, putranya kembali memohon dengan mata yang penuh harap dan berulang kali mengedipkan matanya memberi perintah. Dengan terpaksa Rendi menggendong Daisha ala bridal style dan membawanya menuju lantai bawah. Arka bertepuk tangan dan tersenyum senang melihat papanya menggendong Daisha.
Sepanjang mereka berjalan menuju lift, berbagai bisikan terlontar dari mulut karyawan yang melihat bosnya yang terkenal begitu dingin dan arogan itu menggendong seorang office girl.
Ada ratusan bahasa tereja di dunia tetapi dengan sebuah senyuman dapat berbicara semuanya. Seperti yang saat ini sedang Daisha lalukan, ia tetap tersenyum pada anak kecil di hadapannya meskipun kakinya tengah terluka. Anak lelaki tampan itu selalu menatapnya dengan binar kedua bola matanya yang indah.
''Hai, kakak tidak apa-apa kok.''
''Nama kamu siapa? Kita belum berkenalan.'' tanya Daisha.
Anak lelaki itu hanya diam dan tersenyum.
''Nama kakak Daisha, nama kamu siapa?'' ucap Daisha dengan mengulurkan tangannya.
''Arka.'' jawabnya lirih.
''Hai Arka, semoga kita bisa menjadi teman yang baik ya.'' ucap Daisha kembali dan dijawab anggukan oleh Arka.
Sebelumnya, Daisha sudah mendapatkan perawatan dari dokter. Kakinya mengalami luka sobekan dan mengharuskan dokter melakukan beberapa jahitan.
''Sebaiknya nona di rawat di sini dulu agar lebih mudah mendapatkan perawatan lanjutan.'' ucap dokter yang menangani luka Daisha.
''Maaf dokter, boleh rawat jalan saja. Kasihan ibu saya di rumah sendirian.''
''Jika nona tetap memaksa, apa boleh buat, saya tidak bisa melakukan apa-apa.'' jawab dokter itu lagi.
''Ibu saya dulunya pernah menjadi perawat dok, jadi dokter tenang saja.''
''Baiklah, akan saya tuliskan resepnya dan segera ke bagian adminstrasi ya nona.
''Baik dokter, terima kasih.''
Daisha berjalan menggunakan tongkat kaki untuk membantunya berjalan. Belum sempat ia berdiri, Rendi datang masuk membuka pintu.
''Mau kemana kamu?''
''Ke bagian adminstrasi.''
''Sudah saya urus.''
''Bapak tidak perlu repot-repot, saya masih mampu untuk membayar pengobatan saya sendiri.''
''Mau kamu apa sebenarnya?'' tanya Rendi dengan tatapan curiga.
Daisha menatap jengah bosnya itu. Ia berjalan tak menghiraukan perkataan atasannya.
''Aw!'' Daisha meringis kesakitan tatkala kakinya terhenyak untuk mencoba melangkah. Dengan cepat, Rendi segera menangkap tubuh Daisha sebelum jatuh ke lantai.
''Terima kasih, tapi saya tidak butuh pertolongan anda.'' ucap Daisha ketus.
''Mama.'' ucap Arka memanggil Daisha.
''Arka, kakak ini bukan mama kamu.'' ucap Daisha.
Mendengar ucapan Daisha, wajah Arka berubah menjadi murung dan nampak marah.
''Mama.'' ucap Arka dengan bola mata yang sudah memerah.
Daisha tidak tega melihat wajah sendu Arka.
''Hai, jangan sedih. Nanti minta antar papa kamu ke tempat mama ya.'' ucap Daisha yang belum tau kenyataan yang sebenarnya tentang mama Arka. Namun, Arka kembali menggeleng.
Rendi merasa bingung atas sikap putranya itu. Pasalnya Arka adalah anak yang sangat enggan untuk berbicara, terutama pada orang asing. Bahkan, Arka selalu memberontak jika sedang di dekati oleh orang lain.
''Katakan, apa maksud kamu mendekati anak saya!'' ucap Rendi ketus.
''Maksud bapak apa ya? Siapa yang mendekati putra bapak?''
''Apa mau kamu sebenarnya! Katakan, berapa yang kamu mau!''
''Bapak gila ya! Maksud bapak apa sih!'' ucap Daisha dengan kesal.
''Papa jangan marahin mama!'' teriak Arka.
''Arka sayang, dia itu bukan mama kamu. Mama kamu itu mama Raline!'' ucap Rendi sedikit tersulut emosi. Mendengar bentakan dari papanya, Arka berlari ke luar dengan cepat. Segera Rendi mengejar putranya tersebut. Dengan langkah terbata, Daisha pun juga ikut mengejar Arka.
''Arka, dengar papa. Dia itu bukan mama kamu.'' ucap Rendi setelah berhasil menangkap putranya. Arka memberontak ingin melepaskan dirinya dari pelukan sang papa. Berulang kali, Rendi memberi pengertian pada putranya itu, namun Arka tetap saja memberontak.
''Pak, jika di izinkan boleh saya berbicara dengan Arka?'' tanya Daisha setelah bersusah payah mengejar Arka dan Rendi.
Melihat putranya kembali tersenyum hanya dengan kehadiran Daisha, dengan berat hati Rendi pun mengizinkannya.
''Terima kasih, pak.''
''Arka sayang, Arka kenapa marah, nak?''
''Papa marahin mama.'' ucap Arka.
''Mama?'' tanya Daisha.
''Memangnya dimana mama kamu?''
Jari telunjuk Arka menunjuk pada wajah Daisha.
''Maksud kamu kakak?'' tanya Daisha menunjuk dirinya sendiri. Arka mengangguk mantap memberi jawaban.
Daisha pun menoleh ke arah Rendi yang sedari tadi mengamati pembicaraan putranya dengan karyawannya itu.
''Sebentar ya, sayang. Boleh kakak berbicara dengan papa kamu dulu? Arka duduk di sini ya, jangan kemana-mana. Oke?''
Kembali Arka mengangguk dan duduk pada sebuah kursi kayu di taman rumah sakit.
''Pak, bisa kita bicara sebentar?'' tanya Daisha.
''Hm.''
''Kalau boleh saya tahu, memangnya dimana ibunya Arka? Maaf jika pertanyaan saya terlalu lancang.''
Rendi mengamati dengan seksama lawan bicaranya itu.
''Saya tidak ada maksud apa-apa, pak. Saya hanya tidak tega setiap mendengar Arka memanggil saya dengan sebutan mama.'' ucap Daisha seolah mengerti arti tatapan atasannya tersebut.
Dengan berat hati, akhirnya Rendi pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Rendi memberi tahu Daisha jika ibunya Arka telah meninggal saat melahirkan Arka. Ia juga mengatakan semua yang terjadi pada Arka selama ini. Arka tumbuh menjadi anak yang memiliki kemauan keras dan sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain. Arka juga sangat irit dalam berbicara. Bahkan, di usianya yang sudah menginjak lima tahun, Arka tidak mau bersekolah. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk selalu mengikuti kemanapun papanya pergi.
''Oh, jadi begitu. Maaf jika pertanyaan saya tadi kembali membuka luka hati bapak.'' ucap Daisha tulus.
''Tak apa.'' jawab Rendi singkat.
''Jika mendengar cerita yang bapak sampaikan tadi, sepertinya Arka bukan anak yang susah di atur, pak. Arka hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang yang ia sayang. Terlebih, ia ingin selalu mendapat perhatian dari bapak selaku papa dan orang tua satu-satunya yang Arka miliki.'' ucap Daisha.
''Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu ini psikolog?'' tanya Rendi penuh selidik. Pasalnya, setiap ia datang pada psikolog anak, ia selalu mendapatkan jawaban yang serupa. Namun, dari banyaknya psikolog yang Rendi datangi, tidak ada satupun yang berhasil membantu Arka.
''Bukan, pak. Saya masih belajar.'' jawab Daisha.
Rendi kembali berpikir mengenai jawaban-jawaban yang diucapkan karyawannya tersebut. Bagaiman mungkin seroang pegawai biasa seperti Daisha bisa memiliki pemikiran yang kritis dan bisa bersikap dengan tenang menghadapi putranya.
''Kamu ini sedang menyamar ya kerja di kantor saya?'' tanya Rendi.
''Menyamar? Ya enggaklah, pak. Saya ini kerja di kantor bapak buat mencari rejeki. Mana ada konsep nyamar-nyamar segala. Sudah ya pak, kasihan Arka menunggu terlalu lama.''
''Tunggu!''
''Ada apa lagi, pak?''
''Katakan siapa kamu sebenarnya!''
''Bapak beneran ingin tahu siapa saya? Sini pak saya bisikin, tapi bapak janji ya jangan bilang sama siapa-siapa. Soalnya ini RAHASIA.'' ucap Daisha dengan penuh penekanan.
''Sebenarnya saya ini adalah Iron Woman yang ditugaskan untuk menumpas dan memusnahkan seluruh kejahatan di muka bumi ini.'' ucap Daisha berbisik di dekat telinga Rendi. Rendi yang sedang mendengarkan jawaban Daisha dengan sungguh-sungguh itu pun dibuat kesal oleh candaan yang Daisha lontarkan.
''Sialan kamu! Awas ya!'' maki Rendi kesal.
Daisha tertawa puas setelah berhasil mengerjai atasannya itu dan berjalan tertatih menghampiri Arka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!