NovelToon NovelToon

Salah Nikah

Ayo Main Bersamaku

Dentuman suara musik memekakkan telinga di sebuah ruangan malam itu. Botol minuman yang berada di atas meja, makin bertambah seiring datangnya malam. Lima orang gadis sedang merayakan pesta lajang. Ya, Evangeline akan menikah sebulan lagi dengan pria pujaannya, Ryan Pratama Jaya. Seorang pengusaha yang telah meminangnya semalam.

Karena begitu antusias dengan pernikahannya, dan dia adalah gadis pertama yang akan menikah diantara kelima anggota gengnya itu, maka Eva merayakan dengan pesta.

"Aku mengundang kalian, untuk bersenang-senang ya, minum sepuasnya. Aku bayar! Besok aku tak akan kuatir dengan hidupku! Dia kaya! Aku akan hidup berkelimpahan," racaunya saat mulai hilang kesadaran.

Empat sahabat yaitu Pradita, Amel, Vani dan Vonda tersenyum sinis. Mereka mulai tak suka saat melihat perubahan sifat Evangeline ketika seorang pengusaha yaitu Ryan Pratama Jaya menyukai Eva. Gadis itu menjadi congkak. Lebih-lebih saat Ryan membuatnya seperti putri yang dibelikan macam-macam untuk mempercantik diri.

Eva seperti kehilangan sosok pribadinya yang sederhana. Mungkin dia bosan hidup sederhana, hingga semua harta itu menyilaukan pandangannya. Satu hal yang masih bertahan, dia masih mau berteman dengan para sahabatnya itu.

Namun, apa yang keluar dari mulut Eva, seringkali membuat mereka muak. Sombong, dan penuh gaya. Bahkan saat diajak membeli tas, dia tak mau menyentuh tas yang murah.

"Sudah kamu siapkan kamarnya?" lirik Dita pada Vonda.

"Sudah, lah."

Dengan yakin, Vonda menganggukkan kepalanya. Ketiga lainnya mulai membisikkan sesuatu ke telinga Eva yang sudah menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Eva, calon suami kamu sudah menunggu di dalam kamar. Dia gagah sekali," ujar Amel.

Eva menarik tubuhnya mendengar kata 'calon suami'. Dia memaksakan matanya untuk terbuka lebar.

"Ryan? Mana?" tanya dia mengedarkan pandang. Pandangannya agak buram karena efek wine.

"Ayo, ikut aku!" Dita menarik tangan Eva melingkari lehernya lalu mengajaknya keluar dari ruangan itu dan berjalan memasuki lift.

"Bantu! Berat banget dia ini!" gerutu Dita ke arah Amel dan Vani yang hanya menahan tawa melihat kerepotan Dita.

Mereka berdua kemudian membantu Dita untuk memapah Eva keluar dari lift berjalan ke kamar hotel yang telah disiapkan.

"Ayo, masuk."

Vonda telah menyiapkan segalanya! Dialah otak semua ini dan karena keempatnya sudah muak dengan sikap Eva, mereka pun menyetujui ide Vonda. Mereka merebahkan tubuh Eva di atas ranjang.

"Mana, Ryan?" tanyanya lirih.

"Tunggu sebentar, pangeranmu akan datang," sahut Vonda.

Dia pun keluar dari hotel dan membawa seorang lelaki yang kebetulan lewat untuk dia kelabui dengan dimintai pertolongan.

"Tolong aku, Kak. Ada temanku di dalam yang butuh pertolongan."

Vonda memasang tampang memelas. Lelaki itu sedikit bingung. Saat itu jalanan sepi dan wanita itu memaksanya untuk masuk ke dalam hotel. Apa yang terjadi di dalamnya? Pikiran-pikiran jelek terbersit di kepalanya seketika itu.

"Aku ... tidak bisa," tolaknya cepat.

Vonda menarik napas, tak sabar. Efek obat itu mungkin akan bereaksi sebentar lagi. Dia menawarkan sesuatu yang disukai setiap orang.

"Hey, kamu mau uang?" tawar Vonda melihat lelaki itu. Wajahnya biasa saja. Dia sepertinya seorang karyawan yang telah selesai bekerja. Cocok sekali seperti yang dimaui oleh Vonda agar Eva tak lagi congkak.

Benar saja, dia bukanlah pria kaya. Mendengar kata 'uang', dia mengangguk tanpa berpikir lama. Dengan cepat mengingat ibunya yang sakit di rumah dan butuh banyak uang untuk pengobatan.

"Berapa?" tantang Vonda.

Kedua mata Lelaki itu terbelalak mendengarnya. Bukan diberi tapi malah ditantang jumlahnya. Masa sih gadis ini mau memberiku lima juta rupiah? Baiklah, dia akan mencoba menyebutkan nominal. Jika serius, gadis itu pasti mau, tapi jika main-main, dia akan menolak.

"Lima juta rupiah," ujar Denis mantap.

"Oke. Siapa namamu?" sahut Vonda tanpa menawar. Dia tahu, dia akan mendapatkan berkali lipat dari uang yang disebutkan oleh Lelaki itu jika malam ini berhasil.

"K-kamu benar mau memberiku—"

"Psst! Jawab saja pertanyaanku!" potong Vonda.

"Denis," sahut lelaki itu.

"Ayo, ikut aku Denis. Berikan nomor rekeningmu. Nanti malam atau paling lambat besok pagi akan aku transfer uang itu ke rekeningmu. Sekarang, ayo, kamu harus melakukan apa yang harus kamu lakukan."

Denis yang tak mengerti apapun, mengikuti Vonda masuk ke hotel dengan ijin resepsionis. Mereka memasuki lift. Di dalam lift, Denis menyebutkan nomor rekening yang langsung dicatat oleh Vonda. Sekeluarnya dari lift, mereka berjalan ke sebuah kamar yang dijaga oleh tiga gadis lainnya.

"Apa ini maksudnya?" tanya Denis tak paham. Melihat tiga gadis lagi di sana dengan wajah tak ramah.

"Masuklah. Tugasmu hanya masuk ke dalam kamar itu," tunjuk Vonda ke pintu kamar nomor 201.

"I-ini bukan obat terlarang, kan?" tanya Denis.

"Bukan! Sudah, mau uangnya tidak??" ulang Vonda. "Kalau tak mau, masih banyak lelaki lain yang mau!"

"I-iya, mau!"

Demi ibunya, lelaki itu mengiyakan perintah gadis itu.

"Yang pasti kamu ingat, desakan apapun, jangan kamu bilang siapa-siapa tentang ini semua kalo masih mau uangnya."

Denis mengangguk cepat lalu membuka pintu dan masuk ke dalam dengan penasaran. Kedua matanya nanap, terpana melihat seorang gadis di atas ranjang yang menggeliat kepanasan.

"Sayang ... ayo!"

Kedua mata Denis terbelalak, jakunnya naik turun karena menelan saliva saat melihat gadis yang hanya memakai tank-top dengan cardigan terbuka dan celana pendek itu duduk lalu menatapnya dengan tatapan penuh hasrat.

Denis mundur selangkah, lalu meraih knop pintu. Ingin membuka pintu, tapi godaan di depannya lebih menawan daripada membuka pintu. Gadis itu terus saja melepaskan satu per satu pakaiannya di hadapan Denis. Bahkan robek bagian belakang saat menarik cardigan yang rasanya susah dilepas saat mabuk. Makin kering tenggorokannya melihat tubuh mulus bak pahatan patung yang putih dan elok.

Wajah gadis itupun cantik dengan rambut gelombangnya yang tergerai. Acak tapi mempesona. Denis menyadari bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis yang sekarang mendatanginya. Entah kenapa, tangan Denis tak jadi membuka pintu.

Dia menurut saja saat gadis itu melingkari tengkuknya dan menariknya ke tubuh tanpa busana itu.

"Ayo, main bersamaku, Ryan."

Denis agak bingung. "Aku bukan Ryan, aku Den—"

Sebuah kecupan mendarat di bibir Denis, menghentikan perkenalan dirinya. Kecupan yang semakin dalam dan menuntut.

Hingga akhirnya tanpa sadar, Denis pun telah menanggalkan pakaiannya. Mengikuti alur yang dibuat oleh gadis itu. Malam itu, mereka melakukan hal yang menyenangkan. Denis sungguh tak percaya. Dibayar dan melakukan hal yang nikmat dan belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Sulit sekali menembus milik gadis itu. Denis sempat berpikir apakah karena dia memang belum berpengalaman atau apa. Ah, belum selesai berpikir, gadis itu mengejarnya untuk menembus bagian intimnya.

Agak terhenyak Denis melihat noda darah di atas sprei. Gadis itu masih perawan! Namun, permainannya semahir seorang wanita malam.

Sementara itu di ruangan sebelah, para gadis merekam adegan panas yang dilakukan oleh kedua orang itu.

"Voila! Kita berhasil," ujar Vonda senang.

Selangkah lagi menuju kemenangan. Vonda mulai mengambil ponselnya, lalu mengetikkan nominal uang dan mengirimkan pada lelaki itu.

Siapa Kamu?

Mentari telah beranjak naik kala Eva mengerjapkan kedua matanya lalu menatap ke langit-langit kamar hotel. Dia mengucek kedua mata, membuat selimutnya turun.

Tunggu, dia tak memakai baju! Eva meraba tubuhnya sendiri dengan kaget lalu menengok ke samping. Wanita itu terperanjat saat melihat seorang lelaki yang nampak asing sedang tertidur pulas di sampingnya. Dengan telanjang dada!

Eva melompat dari tempat tidur dengan gaya klise menutup tubuhnya memakai selimut tebal hotel. Dia menutup mulut, hampir menangis melihat sebuah bekas bercak darah di atas sprei.

Masih kaget lagi dan mencoba mencerna kejadian semalam saat melihat semua pakaiannya berceceran di lantai, bercampur dengan pakaian lelaki itu.

"Si-siapa dia?? Ya Tuhan!" jerit Eva. Kesal, kecewa, panik, campur aduk. Eva menghentakkan kakinya dengan kasar. Menggigit bibirnya yang terasa kelu.

Sebulan lagi dia menikah. MENIKAH. Dan dia malah kehilangan keperawanan yang dijaga selama ini untuk Ryan Pratama.

Saat Eva masih tak mengerti apa yang terjadi padanya, Denis membuka mata lalu mendapati Eva yang masih mematung di sebelah tempat tidur. Berdiri mengawasi bagai seorang polisi.

"Kamu siapa!" teriak Eva menatap Denis nyalang.

Denis mendudukkan diri. Nampak dada bidang lelaki itu. Denis sudah memakai celananya semalam. Namun, wajahnya tentu saja kalah dengan Ryan yang tampan. Wajah Denis biasa saja. Tak tampan juga tak jelek.

"Aku ... sebentar, aku jelaskan. Semalam kamu menarikku masuk ke dalam kamar ini, lalu kita—"

Eva menutup mata, menarik napas lalu menyodorkan telapak tangannya agar Denis diam. Dia sudah tahu apa yang mereka lakukan semalam. Daerah intimnya terasa sakit dan noda darah itu sudah mengungkap segalanya.

"Tolong, jangan menangis," ujar Denis saat melihat Eva sudah mulai berkaca-kaca. Sesak sekali rasa dalam dada Eva menyadari nasibnya.

Dia mencubiti kedua pipi, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi ternyata tak juga terbangun dari mimpinya.

"Gimana aku nggak menangis! Kamu itu siapa! Dan aku melakukan hal yang tidak senonoh denganmu! Pasti kamu kan yang memaksaku!" jerit Eva mengacak rambutnya.

"Aku sudah bilang kalau kamulah yang menarikku ke kamar ini, kamu mabuk semalam," jelas Denis dengan nada yang masih datar. Dia tahu perempuan di depannya ini sedang frustasi.

Wanita itu tak lagi mendengarkannya. Dia meraih semua baju yang berserakan di lantai dan masuk ke kamar mandi dengan kasar. Terdengar guyuran air dari luar. Denis memastikan wanita itu sedang mandi. Meski waktu terus berjalan, tapi dia berusaha agar tetap tenang menunggui wanita itu.

Eva keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Denis kembali meneguk salivanya saat melihat wanita itu. Walau sudah berpakaian, tapi pakaiannya seksi. Denis teringat lagi kejadian semalam yang begitu menggairahkan. Kedua matanya turun ke dua gundukan yang sekarang tertutup oleh baju.

Ish!

Pria itu menepis ingatannya, melihat wanita itu mulai akan beranjak pergi.

"Baiklah, begini, aku Denis. Aku akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa padamu. Ini nomorku," ujarnya memperlihatkan layar ponselnya.

Eva berbalik. Dia melipat tangannya dan mengangkat kepala dengan congkak.

"Apa katamu? Bertanggung jawab??" tanya Eva.

"Iya, seandainya ada akibat yang ditimbulkan seperti kehamil—"

Eva menepiskan tangannya di hadapan Denis, meski pria itu berusaha mengungkapkan tanggung jawabnya dengan penuh kehati-hatian.

"Jangan bilang itu! Aku tak perlu tanggung jawabmu!" bentak Eva.

Desah halus terdengar dari hidung Denis. Dia mencoba bersabar menghadapi perempuan cantik di depannya.

"Oke, jika kamu berubah pikiran, setiap hari aku melewati hotel ini. Kamu bisa mencariku di sana."

Eva mendengkus kasar. Dia menatap tajam wajah Denis.

"Seharusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku tak menuntut pertanggungjawaban darimu. Bulan depan aku menikah, dan kamu tak perlu kuatir dengan apa yang kita lakukan semalam."

Sebenarnya Eva muak saat mengatakan 'kita', tapi itu mungkin memang kesalahannya. Eva pikir bulan depan dia bisa meninggalkan kesalahan di malam tadi, menikah dan beres jika terjadi sesuatu yang buruk yang dikatakan oleh lelaki itu. Hanya saja, dia harus menyiapkan seribu alasan saat Ryan menuntut keperawanannya.

Eva meninggalkan Denis yang masih duduk mematung, merenungi apa yang telah dia lakukan. Khilaf yang indah. Baru pertama kalinya Denis melakukan hal itu dengan wanita. Alarm ponselnya mengejutkan, mengingatkan akan sang ibu yang terbaring di rumah, membutuhkan beberapa obat.

Dengan wajah semringah, Denis memakai bajunya dengan lengkap dan keluar dari kamar hotel. Tujuannya satu, apotek. Dia akan membeli obat untuk ibunya.

Kedua mata Denis benar-benar takjub, dalam semalam dia bisa memperoleh lima juta rupiah. Jumlah nominal yang terpampang di layar mesin ATM. Jumlah yang sangat sulit dia dapatkan, bahkan selama satu bulan, gajinya tak sampai dua juta rupiah.

Bekerja di pabrik, dengan gaji pas-pasan, harus menyisihkan setiap bulan untuk membeli separuh saja resep obat ibunya. Hari ini dia bisa membeli bahkan empat kali lipatnya. Namun, dia membeli satu resep dulu. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi.

"Ibu! Aku bawa bubur ayam untuk Ibu!" teriaknya, sedikit bersalah karena dia meninggalkan sang ibu semalaman.

Wanita yang tiduran di atas tempat tidur itu sedikit menyunggingkan senyum saat anaknya tiba. Anak yang dia banggakan walau tak bisa mengungkapkannya saat ini. Suaminya telah berpulang satu tahun yang lalu. Dia hanya tinggal bersama anak lelakinya saja di rumah sempit. Sudah tiga bulan ini dia jatuh stroke setelah bekerja terlalu keras dan terlalu banyak pikiran. Tentang utang yang ditinggalkan oleh suaminya.

Denis mendudukkan ibunya lalu menyuapi ibunya dengan bubur yang masih hangat.

"Maaf Bu, semalam aku tidak bisa pulang menemani Ibu, tapi jangan sedih. Karena itu, aku dapat rejeki banyak. Obat terbeli semua, Bu. Ibu cepat sehat, ya? Makan yang banyak, Bu."

Kembali senyum tipis terbentuk di bibir wanita tua itu. Dalam hati dia bangga pada sang anak yang bisa membelikannya makan pagi yang termasuk istimewa karena biasanya dia hanya makan nasi dan sayur sup untuk seharian. Denis bisa memasak sendiri di rumah. Dia berbeda dengan lelaki pada umumnya.

Bu Marni nama ibu Denis. Bibirnya serasa ingin mengucap terima kasih, tapi kelu rasanya. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulut. Nampak wanita itu berupaya untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Namun, tak mampu keluar sedikit pun.

"Jangan dipaksakan bicara, Ibu. Wah, Ibu makan banyak, pintar!" puji Denis. "Sekarang aku bersihkan tubuh Ibu dulu ya?"

Denis beranjak lalu mengambil air hangat serta washlap untuk membasuh tubuh renta ibunya. Dengan hati-hati dia membersihkan tubuh ibunya. Mengganti pakaian lama dengan pakaian yang baru.

Airmata Bu Marni menetes. Denis adalah anak yang sungguh berbakti padanya. Dalam hati Bu Marni mendoakan Denis agar dia menjadi anak yang sukses.

Tidak Percaya

Eva berjalan dengan high heelsnya dengan susah payah. Padahal biasanya dia nampak santai. Namun kali ini daerah kewanitaannya terasa agak perih.

 

"Sial, bisa-bisanya aku menyerahkan kehormatanku pada lelaki yang tidak aku mengerti asal-usulnya! Nggak ada yang menarik pula dari tampangnya itu!" omel Eva berjalan ke pinggir jalan mencari taksi.

 

Sebuah taksi berhenti di depannya. Eva menaiki taksi itu dengan pandangan aneh sang sopir. Namun Eva tak perduli. Banyak pria memandangnya seperti itu.

 

Tujuannya sekarang hanya satu, kembali ke tempat kostnya. Rasa kantuk menyerang kedua mata, tapi dia harus tetap waspada. Banyak sekali korban kejahatan karena ketidakwaspadaan. Apalagi seorang wanita.

 

"Ini, Pak."

 

Eva mengulurkan uang untuk sopir taksi yang terus saja menatapnya dengan aneh. Wanita itu masuk ke kamar kost dengan santai kemudian mengamati dirinya sendiri. Apakah ada yang salah?

 

"Ah, pantas saja lelaki itu melihatku! Baju bagian punggungku sobek! Apa yang dia pikirkan melihatku keluar dari hotel! Sial sekali," umpat Eva.

 

Dengan bergidik, Eva membayangkan bagaimana dia melakukan hal itu dengan lelaki bernama Denis di hotel hingga sobek bajunya. Apakah sedahsyat itu?

 

"Iihh...."

 

Eva segera mengganti baju di kamar kost. Membuang baju yang dia pakai barusan ke tong sampah. Berusaha melupakan apa yang terjadi padanya di kamar hotel.Eva menghempaskan tubuhnya ke tempat tidurnya yang nyaman. Namun, kenyamanan itu sirna saat teringat kembali apa yang dia lakukan semalam dengan pria yang dia kira Ryan, tunangannya.

 

 

"Sial sekali. Kenapa aku sampai kehilangan keperawananku dengan pria yang tak aku kenal? Bagaimana bisa??" Eva menekan dahinya dengan telunjuk dan ibu jarinya. Dia tak habis pikir dengan kejadian semalam.

 

Eva berusaha untuk menenangkan diri. Dia meyakinkan diri bahwa Ryan akan menerimanya bagaimana pun keadaannya.

 

“Jika Ryan mencintaiku, pasti dia akan menerimaku dengan kondisi seperti ini. Semua kejadian buruk yang menimpaku ini bisa saja terjadi pada siapapun,” gumam Eva, mencoba mencari pembelaan dirinya, meski rasa kecewa merambati diri kala menyadari bahwa dia selama ini telah menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita.

 

 

***

 

Ryan Pratama. Pengusaha berusia tiga puluhan tahun itu berjalan menyusuri lorong kantor tempat dia bekerja. Langkahnya tiba di lift, hendak memencet tombol buka, seorang gadis mendahuluinya. Ryan menatap heran pada gadis itu dari atas ke bawah. Sepertinya dia tak pernah mengenalinya.

 

"Kak Ryan, benar kan? Anda Kak Ryan?" tanya gadis itu.

 

"Iya," sahut Ryan singkat. Memang seperti itulah dirinya. Dingin dan hanya mengeluarkan sepatah atau dua patah kata saja jika diperlukan. Hal itulah yang membuatnya dikejar banyak wanita.

 

“Bulan depan kalian akan menikah, kan?” tanya Dita lagi dibalas dengan tatapan marah Ryan yang menunjukkan bahwa dia hanya memiliki sedikit waktu untuk bicara.

 

Dita menyadari hal itu dan segera merogoh tasnya.

 

"Kak, aku punya informasi penting untuk Kakak soal... Eva," ujar Dita menghalau pria itu untuk masuk ke dalam lift.

 

Mendengar nama Eva, Ryan lebih fokus menatap ke wajah Dita. Gadis itu manis dengan lesung pipi yang nampak samar saat tersenyum pada Ryan. Namun, semanis apapun, Ryan belum meresponnya dengan baik.

 

"Eva... tidur dengan seorang pria di hotel," papar Dita menyerahkan gambar di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Tak disangkal, dia sendiri merasa takut menyampaikan hal itu. Namun, karena desakan dari Vonda agar dia menyusup masuk ke dalam kantor, maka dia kepalang basah telah menyetujui perintah Vonda. Sekarang, dia telah berdiri di hadapan pria yang dimaksud dengan tangan menunjukkan layar ponselnya.

 

Ryan bergeming. Tak sedikitpun menunjukkan rasa kaget. Benar-benar reaksi yang tak diharapkan oleh Dita. Gadis itu meneguk salivanya, takut sendiri akan apa yang nekat dia lakukan.

 

"Singkirkan ponselmu," ujar Ryan melewati Dita.

 

Dita menuruti apa kata pria itu. Dia menurunkan ponselnya perlahan seiring dengan bergulir salivanya di tenggorokan. Aura dingin lelaki itu sangat kental. Dia tak hanya menghujam jantung Dita, tapi juga membuat Dita tak berkutik hanya dengan perkataannya.

 

"M-maaf, Kak."

 

Dita hanya bisa mengucap lirih seiring berjalannya pria itu masuk ke dalam lift yang baru saja berhasil dia buka. Gadis itu bisa bernapas lega. Setidaknya dia sudah menyampaikan apa yang ada di layar ponselnya. Gadis itu telah berusaha masuk ke kantor tempat di mana pria yang merupakan calon suami temannya itu berada dengan mengatakan pada satpam akan mengirimkan pesanan Pak Ryan Pratama.

 

“Duh, semoga pria itu mempercayai apa yang kutunjukkan padanya,” harap Dita, memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya lalu berbalik pulang ke tempatnya bekerja.

 

 

***

 

Ryan berdecak duduk di kursi ruangannya. Dia mencoba untuk mengabaikan ucapan dan apa yang ditunjukkan oleh gadis yang menghadangnya tadi di depan lift. Dia memijat kening, karena seketika kepalanya berdenyut karena hal itu. Terbayang baru saja mereka berbelanja bersama dengan bahagia dua hari yang lalu dan Ryan juga mengantarkan Eva ke kampungnya minggu lalu untuk mempersiapkan segalanya di rumah. Hari ini adalah hari terakhir Eva berada di kota, karena dua hari yang lalu dia telah memilih resign karena akan menikah dan Ryan tidak mempermasalahkan hal itu.

 

“Apa benar yang dibilang cewek itu tadi?” ucapnya, lalu meraih ponsel di atas meja. Dia menggulirkan layar dan memencet nomor calon istrinya, yang sebulan lagi akan dia nikahi. Bahkan, semua vendor telah siap. Dia telah membayar semua yang mereka pesan. Pikiran Ryan langsung kacau saat ini.

 

Semua terasa makin kacau ketika nomor Eva tidak dapat dia hubungi. Ryan nyaris melempar ponselnya dan membuat pecah berkeping-keping. Untung akal sehatnya masih berjalan. Dia memilih untuk menarik napas panjang lalu mengembuskannya agar pikirannya sedikit tenang.

 

“Bisa saja itu hanya tipuan kamera. Tenang saja, Ryan.”

 

Pria itu agak tenang dengan pikirannya sendiri. Selama ini dia belum pernah menyentuh calon istrinya untuk menjaga kehormatan wanita itu. Dia pun telah mengenal calon istrinya dengan baik. Anak dari seorang pengusaha kecil di kampungnya, tapi Eva seorang gadis yang malas berusaha. Ryan menyukai Eva karena dia cantik dan selalu menjaga diri dari pergaulan bebas. Jadi, Ryan tidak mudah percaya pada omongan orang.

Kedua bola mata Ryan mengarah pada pigura di atas meja. Sebuah gambar seorang gadis cantik yang ada di pikirannya itu terpampang di sana. Gadis yang sedang tersenyum padanya seolah mengatakan bahwa semua akan berjalan lancar sampai hari H pernikahan mereka.

'Ya, aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan orang lain tentangmu, Eva. Kita akan segera menikah dan ini kuanggap sebagai ujian sebelum pernikahan. Kita pasti dapat melaluinya.'

“Pak Ryan,” panggil sekertarisnya, mengagetkan pria yang sedang melamun itu.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!