Perempuan berjilbab hitam itu mengambil kunci toko yang ada di dalam tas dan membuka pintu toko.
Ia harus mempersiapkan beberapa keperluan untuk buka toko baju kali ini, toko baju ini bukan toko dirinya melainkan dirinya.
"Ini ada barang baru?"
Ia menyingkirkan beberapa barang yang datang kemarin sore lebih tepatnya dan perempuan itu lantas meletakkan tasnya di atas meja kasir.
Arina, perempuan yang bekerja sebagai penjual baju dan pakaian lainnya, dia menjabat sebagai anak buah bukan founder maupun owner dari toko baju ini.
Arina, perempuan itu membuka-buka plastik itu dan menyiapkan beberapa baju buat pajangan saja.
Arina baru saja mengingat jika hari ini anak dari majikannya itu mau ke sini dan ia membereskan baju-bajunya, setelah selesai ia mengeluarkan handphonenya dari tas.
Arina melangkah dari kasir itu pun mencari kontak nama anak pemilik toko, ya anak pemilik toko sudah dipercayai sama orang tuanya untuk menjaga tokonya.
Ia mengirimkan pesan kepada anak pemilik toko.
Gimana mbak? Mau ke toko nggak
Ia setelah mengirimkan pesan itu, Arin mengambil sarapannya yang ada di totebag di meja kasir.
"Kapan ya dapet pekerjaannya yang gajinya besar?" Arin membatin sambil memakan sarapannya kali ini.
Ia tidak mampu terlalu lama-lama ditekan oleh suami serta anaknya juga.
Ya, suami serta anaknya selalu menekan dirinya untuk menghasilkan uang. Dia sebagai kepala keluarga dan tulang punggung keluarga.
Selama dia masih sehat dan sakit ditekan untuk menyempurnakan keuangan keluarganya.
Dalam sewaktu ini Arina masih ada masalah di rumah tangganya, ia dikatakan nggak bisa menjaga diri selama menjadi ibu.
Karena sekarang Arina sedang mengandung dan itu juga tengah bekerja, dia pingsan di waktu ramai-ramainya orang bekerja.
Arina, dia tidak hanya sebagai ibu saja melainkan ayah bagi anak-anaknya.
Sekarang dia sedang mengandung tiga bulan kurang lebih, selama ini dia konsultasi dengan dokter tidak pernah. Yang penting dirinya selalu berdoa agar menjaga anak keduanya ini selalu dijaga terus.
Ia setelah selesai makan, memasukkan kembali wadah bekalnya ke totebag, Arina sebagai manusia butuh asupan gizi di pagi jari jika tidak kasian dengan calon bayinya.
Dan selama dia mengandung calon anak keduanya ini, suami serta anak pertamanya jelas marah sebab tidak ada yang bisa menerima keberadaan anak kedua ini.
Bagaimana nanti ke depannya jika anak ini tak diterima di kehidupan mereka. Apakah Arina bakal bisa menjalani ke depannya.
Ia beranjak dari kursi itu, mau melangkah terhenti dengan adanya suara handphonenya.
Arina kembali ke meja kasir, dia mengeluarkan handphonenya dari dalam tas.
Suami is calling...
"Halo...,"
"Halo, kamu sekarang pulang ke rumah! Ini nggak ada makanan sama sekali."
Jawaban suaminya yang hanya membutuhkan sarapan di pagi ini, bukannya membuat sendiri atau apa menyuruh istrinya untuk pulang ke rumah.
Arina menggeleng pelan, dia heran dengan suaminya ini.
"Ngapa nggak buat, di rumah juga ada mie sama telor." ucap Arina dengan menyuruh suaminya, ia tidak mungkin pula pulang dengan keadaan toko yang masih terbuka kecuali anak pemilik toko yang menghandle pekerjaannya.
Apalagi dia di sini bekerja dengan temannya, temannya memang hari ini meliburkan diri dulu, ada acara keluarga dengan keluarganya.
Makanya Arina dibantu oleh anak pemilik toko, pemilik toko tidak bisa hadir setiap waktu jadi digantikan oleh anaknya.
"Kamu nyuruh saya, dosa tahu!" Dengan mengucapkan keras dan bisa dibilang Arina mendengarkan mendenging telinganya.
"Mas, saya ini bukan babu kamu ya." Sergah Arina, ia tidak mau disamakan dengan pembantu yang ada di rumahan itu.
Sementara yang ada diseberang telepon mematikan sambungan sepihak, Arina menghela napas kasar.
Ia sebagai istri harus apa, setiap hari memasak sarapan dan suaminya serta anaknya tak ada yang menghargai setiap masakan dirinya.
Karena mereka berkhianat dengan adanya makanan di rumah malah pergi ke warteg untuk membeli makanan dan mengisi perut mereka yang kosong.
Sementara di rumah makanan itu menganggur, jadi sakit hati Arina selama delapan belas tahun pernikahannya berjalan. Tapi, tidak ada kelanjutan untuk dia menggugat suaminya untuk berpisah.
Suaminya menganggur di rumah, tak ada usahanya selama ini untuk mencari pekerjaan karena orang tua dari suaminya selalu mengiming-imingi suaminya untuk tidak bekerja.
Dapet apa lho kalo kerja, cuman keringet sama capek doang yang ada.
Beh, rasanya kalau Arina ingin mengulangi masa lalunya mungkin dia sudah cepat-cepat mengurus gugatan cerainya.
Tapi, ini berjalan dengan waktu yang bukan lama lagi.
Arina, dituntut sebagai ibu dan istri yang harus tampil seolah-olah dia bahagia di kehidupan rumah tangganya.
Anak pertamanya selalu menuntut untuk ada sementara dia harus bekerja separuh waktu setiap hari, dengan gaji yang seperti UMKM. Bukannya itu hanya buat makan tiap harinya dan memenuhi kebutuhannya bakalan tidak cukup.
Selagi cukup, Arina bakal menutupi dan ia sama sekali tidak mau jika berhutang kepada orang lain. Jika ada pekerjaan lain, ia akan menyanggupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Arina perempuan sejuta kenangan dan bayangan.
Sorot mata dan wajah yang harus bisa membohongi orang-orang yang menyatakan dia bahagia.
Padahal semua hanya dua muka yang dia tampilkan tiap harinya.
Apalagi jika kedua orang tuanya akan tahu hal ini, tentunya mereka tak main-main menuntut balik keluarga suaminya. Tapi, selama ini berjalan delapan belas tahun.
Bagaimana bisa Arina menyembunyikan selama itu.
Setelah Arina melamun, dia menatap ada seseorang yang berjalan dengan membawakan belanjaan toko sepertinya.
Arin mengembangkan senyumnya ketika anak pemilik toko itu masuk ke dalam toko dengan membawa plastik yang begitu besar.
"Aduh-duh... Ini belanjanya banyak amat." Arina mendekat ke anak bosnya ini, Azizah nama anak pemilik toko ini. Dia sekarang masih kuliah sebenarnya namun mengambil universitas terbuka jadinya lebih enjoy saja kuliahnya.
Azizah menatap malas, "Bilangnya nggak banyak. Ini banyak Rin, gue sampe heran sama mamah. Ck, kesel banget." ucap Azizah mengadu kepada Arina dan Arina yang ada terkekeh kecil.
"Digaji, dapet uang?"
Azizah mengangguk, "iyalah mana mau gue bawain segedong barang ini ke toko kalo nggak digaji." Balas sengit Azizah dan Arina tersenyum tipis.
Bahagia, belum.
Mendeskripsikan jika orang yang berduit belum bisa menemukan caranya untuk bahagia.
Arina, perempuan itu membongkar plastik yang dibawa Azizah.
"Masih banyak di mobil."
"Jualan baju pasti banyak ya, sampe nggak muat ini badan."
Oke, Arina menjelaskan bahwa Azizah ini orangnya berpenampilan baik dan badannya sedikit berisi.
Makanya bajunya banyak jadi agak bisa leluasa keluar masuk di rumah.
Azizah tidak peduli dengan omongan Arina, ia menganggap biasa soalnya ini udah perkembangan dia selama ini buat naikkin berat badan dan tinggi yang hampir setara harusnya.
Tapi kali ini berbeda, Arina bisa membuktikan sepertinya salah obat ini anak.
---
Oke novel baru boleh dibaca, monggo ☺ karena dulu udah dijanjikan jika dah tamat ada novel baru lagi🙂
Arina, dia pulang ke rumah sekitar jam sepuluh malam kurang lebih! Ia tadi ada kendala di toko, disebabkan dengan adanya uang yang berkurang.
"Assalamu'alaikum...," ucapnya dengan lesu dan wajahnya saja sudah banjir keringat sekarang sudah menumpuk menjadi daki. Baunya begitu menyengat, apalagi dia masa hamil ini.
Jarang sekali untuk mandi.
Arina, masuk ke dalam rumah. Melihat rumah yang masih terang benderang membuat dirinya menaruh curiga dengan suaminya.
Benar saja suaminya sudah ngelimpruk di lantai, dan ia melihat banyak barang yang berantakan jatuh di lantai.
Ia mengelus dada.
"Kenapa sih mas, kamu ini tiap hari mabuk aja kerajaannya!" Gerutu Arina dengan situasi seperti ini mana bisa Arina membangunkan suaminya dan ia juga tidak mau menggotong tubuh berat suaminya itu.
Arina ia menjaga betul kandungannya, tapi kasian dengan suaminya.
Arshal Ramadhani, orang itu adalah suaminya yang sekarang kondisinya sedang mabuk ini tertidur dengan posisi terlentang dan Arina tidak bisa membayangkan hal itu terjadi ketika suaminya terbangun dari mabuknya.
Ia tidak mau hal itu terjadi olehnya.
Apalagi dengan kandungan tiga bulan tidak bisa ia menjaga dengan baik, maka orang tuanya bakal marah bisa jadi.
Dan orang tua? Mereka belum tahu mengenai keadaan Arina, selama ini hanya berkomunikasi lewat benda pipih yang selalu di gunakan untuk jejaring sosial.
Arshal, suaminya itu setiap hari dengan keadaan pulang selalu seperti ini tak hanya itu suaminya selalu menghamburkan uang dengan berjudi.
Padahal papah serta mamahnya adalah pemilik dari pondok pesantren, yang mengelola pesantren yaitu papahnya. Berarti dalam artian kata harusnya Arshal bisa mencerminkan bagaimana sikap kewibawaan papahnya sebagai seorang kyai.
Dan seorang kyai tanggungan nya begitu besar, menanggung dosa semuanya.
Arshal tidak merasa kasihan dengan kedua orang tuanya, memang tidak mempunyai hati nurani untuk anak ini.
Arina sekali lagi, entah dulu yang ia fikirkan sebelum menikah dengan Arshal apa yang ada di benaknya sehingga dia bisa menikah dengan Arshal.
Salah satunya akibat paksaan dari orang tuanya sehingga ia bisa menerima Arshal semudah itu.
Dulu Arshal memang pernah dekat dengannya namun hanya sebatas teman SMP, lalu SMA Arina sudah berpisah dengan Arshal tak mungkin lagi bersama.
Arina sampai saat itu menemukan Arshal ketika ada di warung, dan hanya bercanda terus ya sudah keterusan sampai sekarang bercandanya.
Memainkan hati seorang wanita.
Itulah pekerjaan Arshal, tidak bekerja hanya nongkrong di rumah dan ia hanya lulusan SMA. Tapi, itu semua berkat papahnya yang bisa memegang suatu kampus jadinya Arshal melanjutkan pendidikannya ketika menikah.
Entah darimana datangnya sebuah masalah, namun yang pernah Arina ketahui dari kampusnya.
Mungkin salah pergaulan, jadinya sampai sekarang suaminya tak berubah.
Kemudian daripada Arina melamun, sekarang dia membereskan beberapa barang agar tidak terpijak okeh kakinya.
Rumah ini serasa sepi dan senyap, jangankan mau rame. Anak pertamanya yang usianya sekarang delapan belas tahun itu entah kemana.
Tak ada barang hidungnya sama sekali, dari hari Minggu sampai hari Kamis belum pulang sama sekali.
Arina merindukan anaknya itu yang dulu sangat hangat dengannya dan begitu sayang dengan, tapi suatu keajaiban datang dengannya.
Ia tidak bisa merasakan kehangatan anaknya, ia tidak bisa melihat senyuman bahagia anaknya.
Sekarang anak itu dituntut untuk menjadi sempurna oleh ayahnya, ya anak pertamanya itu memang patut diacungi jempol.
Meraih prestasi di mana-mana, ajang perlombaan selalu dia ikuti dan sampai ia sakit, tetap saja ayahnya memaksa untuk mengharapkan nilai besar.
Tapi seorang ayah mana bisa menerima anaknya itu, anak pertamanya sampai dari lahir tak akan pernah diakui oleh Arshal.
Arshal hanya menganggap dia hanya orang asing bukan anak saya.
Tuntutan jelas semakin besar ketika ia mengikuti ajang perlombaan, setiap meraih medali dan Piala tapi selalu momen itu membuat membekasnya begitu lama.
"Nak, pulang ya nak! Kangen ibu sama kamu, tiap pagi pingin lihat kamu." Dia melamun sambil membersihkan beberapa pecahan botol kaca.
Entahlah yang ada di sini, minuman alkohol jenis apa.
Uang lebih penting, bukan yang terpenting ada uang.
Ia akan bekerja demi tulang punggung keluarga, bisa menguliahkan sang anak cukup bisa membahagiakan dirinya untuk berjasa kepada anaknya.
Seenggaknya bisa menjadi ibu dan ayah yang berguna.
Setelah selesai membersihkan, dari cuci piring sampai mandi tengah malam. Baru lah Arina bisa duduk santai di sofa sambil melihat keadaan yang semakin dingin rasanya.
Arina mengambil handphonenya, ia melihat pesan dari anaknya.
Di situ tidak ada satu pun pesan yang tertinggal selama satu bulan lebih kurangnya.
Ya, ketika Arina mengatakan kepada anak pertamanya itu jika dia mengandung buah hatinya yang kedua membuat kehidupan anak pertamanya menjadi terbagi.
Jadi, di situ muncul bibit dendam mendalam bagi sang kakak.
"Maafin ibu nak, ibu hanya bisa menjaga titipan Tuhan buat besarin kamu sama adek kamu ini." Ucapnya dengan meneteskan air mata, bagaimana tidak sesak seketika kehidupannya direbut oleh semesta kembali.
Ketika itu semuanya sudah diambil kebahagiannya.
Ia meringkuk di atas kursi sofa dengan memeluk pahanya sebagai senderan untuk menceritakan bagaimana hatinya jika disakiti oleh semesta lagi.
Lagi dan lagi ia menelan luka yang begitu amat sesak.
"Sekali lagi ma-af." Bibirnya bergetar dan pelupuk matanya sudah menggenang dengan air mata.
"Ibu minta kamu jadi anak baik ya nak di sana, jaga kesehatan mu."
Teramat lah sakit bagi seorang ibu mendengar anaknya sudah tidak ada di rumah apalagi ini sudah tak ada kenampakan bagi anak pertamanya untuk pulang ke rumah.
Pernah Arina menemui putranya di kampus tapi saat itu menghilang bagaikan di telan bumi.
"Besok ibu bakal bawain kamu bekel, nak. Kamu pulang ya," ujarnya dengan menelan bak pil pahit.
Arina menatap foto keluarga dimana di situ bareng-bareng berfoto ria, si suami masih bisa menyempatkan untuk foto karena ajakan dari orang tuanya.
Mertuanya.
Arina setelah berdrama, bukan ini semua ia tumpahkan untuk kesedihan dirinya.
Dan dengan sifat tempramen anaknya menurun dari sifat ayahnya menjadi pelajaran bagi dirinya.
Juga menuruni dari sifatnya jika anaknya begitu diam seribu bahasa ketika ada masalah.
Tak dapat dipungkiri jika anak pertamanya persis dari segi rupa dan sifat sama dengan ayahnya, dengan sifat yang sekian buruk tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.
Arina mengambil air minum di dapur dan ia tidak bisa rasanya untuk berdiri saja, "Se-sak." ucapnya terbata-bata sembari tersenyum tipis.
Bahagialah kalian yang mempunyai suami yang bisa membahagiakan kalian.
Segera tempati yang terbaik.
Arina ingin seperti kalian, sejatinya pasangan itu pilihan kita untuk menentukan gimana dengan janjinya yang bisa membahagiakan seumur hidup, namun Arina seolah menelan pil pahit yang begitu dalam.
---
woke pesennya jangan dilupain😁
hehhehe kalau nggak suka cerita ini, silakan keluar dari jalur.
Ini bukan cerita selingkuh, tapi cerita masalah yang dalam bagi Si Arina ya🙂
Pagi-pagi secerah ini, Arina terlambat terbangun sampai dia menubruk mesin cuci di kamar mandi akibatnya dia tidak melihat jika ada mesin cuci.
Arina membuka matanya dengan perlahan dan tersenyum tipis, "Padahal mau ke rumah Azizah buat nanyain besok gimana acaranya."
Iya, sebab itulah toko sedang tutup karena mereka ada acara di hari besok dan acaranya di mereka.
Sepertinya memang penting, Arina tidak ingin mengikuti apa perkembangan berita dari keluarga itu. Baginya sudah kembung dengan keluarga yang punya toko.
Saking melimpahnya uang di kasur terus katanya bapak, kalau mau ke rumah di closet banyak.
Numpuk.
Ketika dia mau mengangkat pakaian kotor yang ada di ranjang itu malah suaminya datang dengan wajah lesu dan capeknya.
Mudah-mudahan ia tidak dalam masalah.
"Tolong buatin saya mie instan!" ketusnya dengan mengambil minum dari galon dan di sana tertuang airnya yang panas menyebabkan tak sengaja telapak tangan Arshal, di saat itu pula gelas melayang sejauh satu meter dari tempat berdiri Arshal.
Arshal yang maish remang-remang, tenang tapi ada aja masalah yang menghampiri dirinya.
"Ini kenapa?" Tiba-tiba saja Arshal berteriak dengan begitu Arina tak berani mengangkat kepalanya sama saja menaruhkan nyawa anak keduannya untuk saat ini.
"Bila begitu kamu ber-es ini segera!" Dengan ucapan penuh penekanan sehingga Arina segera mengambil sapu serta cikrak untuk membersihkan pecahan beling gelas itu.
"Cepat!" ucapnya sembari menendang punggung istrinya ketika Arina menundukkan tubuhnya.
"Jangan njentit! Saya bisa! Nggak sopan sama sekali dengan suaminya! Ketika suaminya ada di depannya."
"Iya, saya akan bersihkan dulu." Ia mengubah posisi membersihkan kacanya itu dan Arina setelah selesai membersihkan, dia menyiapkan mie instan untuk suaminya.
"Ini mas." Seketika suaminya yang awalnya membelakangi dirinya menoleh dan membalikkan badannya.
"Ada ayam?"
"Nggak ada belum beli keperluan satu belanja ke depan." jawab jujur Arina supaya suaminya bisa sedikit peka terhadapnya.
Arina membuatkan itu dengan setulus hati, masa iya mau dibuang ujungnya tapi feeling Arina itu pasti akan terjadi. Benar saja suaminya itu mengendus aromanya terlebih dahulu.
"Baunya tidak enak begini mau makan selaranya langsung hilang." Kata yang menusuk bagi hati Arina, sudah untung mau dibuatkan tapi ini malah nggak diterima dengan berbagai alasan mana.
"Mau ngeracunin saya kamu!" Nadanya meninggi dan Arina hanya menatap kosong benda di hadapannya.
Suaminya itu meletakkan mangkuk itu di atas meja kaca dengan begitu menimbulkan suara begitu keras.
Arina tidak mengambil hatinya untuk memasukkan perkataan dan perbuatan suaminya itu.
Arshal lantas berdiri dan meninggalkan ruangan itu, Arina bersyukur masih saja diberi kehidupan sampai sekarang walau batin dan lahirnya tersiksa ketika menikah dengan Arshal.
Mau mengerjakan pekerjaannya saja sudah terganggu begini, Arina menghela napas pendek.
"Kenapa sih Tuhan nggak bisa memberikan kepercayaan buat jodoh saya, dia suami saya sepatutnya dia juga jodoh saya untuk selamanya." ujar Arina menatap langit-langit ruangan makan itu dan sampingan dengan dapur serta kamar mandi.
Fasilitas rumah memang menjamin kehidupan mereka tapi semuanya itu dari mertuanya, alangkah malunya Arina bisanya untuk menerima segala dari mertuanya.
Ia curhat tidak ada harapan lagi dan Tuhan telah memberikan berbagai ujian tetap saja Arina pantang menyerah sebelum semuanya terselesaikan.
Arina membereskan mangkuknya dan meletakkan di kitchen sink, ia pun membuangnya ke kotak sampah bagian makanan yang tersisa.
Kalau tidak sabar saja Arina bisa meninggalkan Arshal ketika dia dijamah ataupun ia dilakukan kekerasan dalam berumah tangga.
"Jika mas Arshal nggak bisa menghidupi aku, mending aku keluar dari rumah ini." Sempat terpikir dia ingin keluar dari rumah lantai satu ini yang bergaya minimalis dan sederhana.
Ya, itu pemberian dari mertuanya untuk ditinggali.
Mereka memang cukup dengan kekayaannya dan semua dihidupi oleh mertuanya.
Dari segi hal rumah tangga dan kehidupan mereka.
Gaji?
Arina memang mempunyai gaji, namun itu semua ia simpan di dalam tabungan untuk masa depannya.
Gaji sedikit tidak ada apa-apanya, untuk kehidupan keluarganya. Dia hanya bisa membantu sedikit untuk uang belanja tiap harinya.
...***...
Arina bersiap-siap untuk pergi ke fakultas anak pertamanya, dia membawakan bekal untuk anaknya di tas kecil dan ia akan menghampiri anaknya.
Ia akan membicarakan tentang permasalahan anaknya dan Arina melangkah untuk keluar dari rumah, namun di sana di mana anak pertamanya memunculkan batang hidungnya keluar dari taksi.
Arina terkejut, dia diam tanpa bisa bergerak dari tempatnya.
Pandangannya mengarah dengan anak pertamanya yang tampan dengan rambut yang acak-acakan tapi tetap saja ganteng dan manis.
Hitam, manis memang idaman sekali.
Arina menunggu di depan, anak pertamanya dengan santai melangkah maju ke depan.
Pandangannya kepada ibunya yang sedang mengandung itu, ia benci terhadap adek keduanya yang akan enam bulan lagi lahir ke dunia.
Bukan ibunya, dia membenci calon adeknya. Buah hati ibunya yang membagi jarak antara mereka.
Ia tidak mau kehilangan ibunya.
Ia tidak mau melihat ibunya menangis tiap hari, tersiksa di dalam rumah untuk membahagiakan gimana rumah itu tercipta rasa nyaman dan aman.
Tapi, tetap saja ibunya bisa menerima ikhlas segalanya.
Ia kesal.
Gibran Al-farizky, anak pertama dari pasangan Arina dengan Arshal. Sekarang Gibran menjadi anak yang ingin bertanggung jawab dengan apapun itu. Dia juga sudah mendirikan usahanya kecil-kecilan, siapa tahu jadi pengusaha.
Soalnya dulu pernah bercita-cita dengan dia menghalusinasi sebagai pengusaha.
Emang Gibran sudah bercita-cita seperti itu, ia sudah masuk di Fakultas Ekonomi yang pasti mengambil tentang ekonomi.
Gibran setelah wisuda nantinya, dia akan melanjutkan s-2nya di Amerika Serikat apalagi dengan beasiswanya yang melambai-lambai seolah ia harus memilih dengan tepat.
"Assalamu'alaikum...," salam Gibran mengecup tangan ibunya, Arina sempat terbengong dengan perlakuan anak pertamanya.
Walau, ia membenci anak itu gimana pun ia harus menerima tapi mau gimana lagi Gibran sudah membekas soalnya.
"Wa'alaikumsalam nak, apa kabar dengan kamu?" Arina memeluk anak pertamanya ini, yang jatuhnya Arina lebih pendek dari Gibran.
Memang tinggi Gibran saja melebihi ayah serta ibunya.
Gibran tersenyum tipis dari balik tubuh ibunya, ibunya meneteskan air matanya lantas Arina terisak dalam pelukan Gibran.
Gibran, sebagai anak pasti merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya.
"Gara-gara anak ini, ibu jadi menangis. Saya nggak terima," Batinnya dengan mengepalkan tangannya yang ada di bawah itu.
Urat-urat tampak terlihat dari tangannya, namanya juga dia suka olahraga apalagi kost-anya ada dekat dengan tempat gym apa nggak lapangan yang luas.
Gibran memiringkan senyumannya dibalik itu semua ia kesal, ia mengelus punggung ibunya.
"Ma-af nak,"
Di saat itu pula, Gibran tidak bisa mengatakan apa-apa.
Gibran, lelaki itu yang mulai beranjak dewasa seakan ingin membunuh dengan kenyataannya ia tidak bisa melihat ibunya menangis setiap harinya.
Gibran menggeleng, ia tidak terima dengan permintaan maaf ibunya.
Ini akan menjadi pernyataan bagi Gibran, akan selalu diingat.
"Bu, Gibran yang harusnya minta maaf nggak pulang beberapa hari."
"Nggak ada yang salah, anak ibu ganteng ini gimana dengan makannya? Apa terganggu?" Sebenarnya Gibran sudah tahu pertanyaan ibunya, tentang makanan dan tidurnya.
Selalu khawatir dari hal kecil Gibran.
---
**Baca lagi ya?
hehehe 😰 maaf nggak bisa pindah ke g oo d n ov el 🗿...
Woy iya gue nggak ngerti jalannya 👍😎**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!