Hidup bahagia selamanya. Itulah harapan. Semua orang berupaya untuk mewujudkan mimpi meski kadang takdir tidak selalu sekehendak hati.
Waktu adalah cambuk untuk terus maju. Dia yang tertinggal, selamanya dalam keterpurukan. Namun dia yang berusaha akan memetik buah pada masanya.
Dia adalah Fahri Irawan. Pemuda yang enam tahun lalu telah menyelesaikan pendidikan tingkat akhir. Lalu berlanjut ke perguruan tinggi terfavorit di kota dengan dana beasiswa. Pemuda cerdas yang memiliki wawasan luas serta beradab.
Dalam setiap gunjingan oleh para wanita baik tua maupun muda hanya sifat baiknya lah yang dominan di gosipkan. Selebihnya tentang paras tampan Fahri.
Dan adiknya yang manja juga ceria bernama Syafa. Sikap kekanakan yang hanya Syafa tunjukan pada Fahri dan Sibu. Selebihnya akan terlihat anggun bila di mata para tetangga. Usianya jauh lebih muda daripada Fahri. Mungkin sampai terpaut empat atau lima tahun. Parasnya ayu nan manis. Tidak jauh beda dengan Fahri kebaikannya. Sibu telah mengajarkan bagaimana menjadi wanita yang sempurna.
Fahri lebih bersih kulitnya daripada Syafa. Berwarna kuning langsat dengan hidung mancung dan bola mata keabu-abuan. Sedangkan Syafa identik dengan warna sawo matang serta mata bulat coklat layaknya penduduk asli Indonesia.
Namun keduanya sama sekali tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Hari-hari dilalui Fahri dengan bekerja sebagai petani. Kadang dia bercocok tanam di ladangnya sendiri, kadang juga membantu di ladang orang lain dengan ilmu yang dia timba semasa belajar di perguruan tinggi. Kelompok pertanian yang dia bangun, berhasil memajukan masyarakat. Sumber daya alam yang sebelumnya terbengkalai, kini telah berubah menjadi sumber penghasilan. Perubahan ekonomi nampak jelas dengan semakin pesatnya kemajuan pasar setempat.
Semua itu dia lakukan sebagai wujud bakti kepada sang ibu. Dan juga keinginan untuk bisa menyekolahkan Syafa hingga tingkat tinggi seperti dirinya. Karena ibu mereka yang terbilang renta tak memungkinkan lagi untuk memikul beban nafkah keluarga.
Seperti hari ini, Fahri tengah bermandikan keringat di bawah teriknya matahari. Musim tanam jagung telah usai. Hamparan kekuningan bagaikan emas yang berserakan. Jagung telah di lepaskan dari pohonnya. Siap untuk diproses pada bagian pemipilan ketika sampai rumah nanti. Sebenarnya tanah ini adalah persawahan. Tapi karena musim kemarau tiba, Fahri memilih menanam jagung yang lebih sedikit membutuhkan air daripada padi.
Irigasi di musim kemarau dibuatkan jadwal agar tidak ada lagi perebutan pengairan serta cek cok antar petani.
Hampir tiga jam lamanya Fahri bermandikan keringat. Akhirnya semua jagung telah terkumpul. Tinggal menunggu mobil pengangkut datang.
Syafa tersenyum dari kejauhan. Melihat penuh kasih kakak tersayang. Ditentengnya kiriman dari ibu untuk sang kakak.
"Kakaaaakkk!" teriak Syafa ketika sampai di seberang sungai. Fahri melambaikan tangan sambil tersenyum sumringah. Seakan hilang sudah rasa penat yang dia keluhkan sejak pagi. Wajah manis adiknya adalah penyemangat terbesar. Serta senyum Syafa bagaikan obat dahaga dikala melanda.
"Hati-hati!" teriak Fahri saat Syafa mulai menyeberang jembatan bambu yang sengaja dibuat untuk mempermudah penyeberangan tanpa harus menjebur ke kalenan.
Kalenan adalah sebutan untuk kanal bagi orang pedesaan.
"Ih, Si Kakak lebay banget deh. Selalu saja." cibir Syafa yang tentu saja hanya didengar oleh dirinya.
"Ngirim, Fa?" sapa seseorang pada Syafa. Tetangga sawah yang memang memiliki sikap ramah ini sering ngguyoni Syafa ketika menyusul kakaknya.
"Emang sudah ditunggu dari tadi, Fa. Fahriiiii....iki lho! makan o disik! oiiii." Lanjut orang tersebut.
"Eh, Nggih, Lek!" jawab Fahri sambil tersenyum.
"Yen mengko kok lawuh e asin berarti adikmu kui jaluk rabi." gurau tetangga sawah itu sambil menurunkan capingnya. Pria paruh baya itu menenggak botol minuman yang dia bawa dari rumah. Dia juga mengambil bekalnya kemudian mendekati saudara kakak beradik itu.
"Diambil mantu juga boleh-boleh saja kok, Lek!" gurau Syafa tanpa ragu. Langsung disambut gelak tawa pria paruh baya itu.
"Sama anak-ku-cing cilik ya!" gurau pria paruh baya itu lagi.
Mereka bertetangga sejak lama sehingga mengenal satu sama lain. Pria paruh baya itu hanya memiliki satu anak dan sudah berumah tangga. Jadi mana mungkin bisa menikah lagi.
"Ya, maunya sama Anak Ganteng lah, Lek. mosok sama anak kucing," timpal Fahri langsung mendapat acungan jempol dari Syafa.
"Syafa, cepat bawa sini makanannya. Lek tidak akan makan duluan jika kakakmu ini belum dapat kiriman." titah Fahri disertai candaan.
"Lha salahmu juga mengapa nggak mau makan bekal saya. Padahal nasinya juga sama putihnya." sambar Lek dengan mengucurkan air pada jari-jari kemudian mulai membuka bekal duluan. Menyantapnya dengan nikmat sambil sesekali membuat lelucon.
Setelah beberapa menit berlalu, telah selesai makan. Orang tua yang disebut Lek pulang lebih dulu sebab mulai letih. Syafa masih betah pada posisinya duduk sambil mengupas jagung yang kulitnya telah mengering. Fahri kembali mengambil jagung dari pohon.
Fahri memperhatikan raut wajah adiknya dan mulai berpikir tentang masa depan apa yang akan dia berikan. Pernikahan? tentu saja Fahri memikirkan hal itu. Akankah dia sanggup membiarkan adiknya pergi dengan orang lain setelah sekian lama menjaganya?
Adiknya yang manja dan cengeng. Kini tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona. Bagaimana bisa dia menyerahkan adiknya ini pada sembarang orang?
"Auwhhh!"
Fahri setengah berlari meraih ujung telunjuk Syafa yang telah berwarna merah darah.
"Kenapa kau begitu ceroboh, hemmh? Sudah kakak katakan untuk diam saja di tempat. Atau mendingan pulang saja sana. Tapi kau keras kepala. Sekarang lihatlah." omel Fahri sambil mengucur darah dengan air minum. Fahri segera merobek ujung kaos lusuh yang dia pakai guna membungkus telunjuk Syafa agar bisa menyumbat darah yang keluar tidak berlebih. Syafa meringis sejenak, tapi kemudian tersenyum manis.
"Terima kasih, Kak! Luka ini bahkan seketika bisa sembuh. Kakak adalah obat terbaik di dunia." Syafa memeluk erat Fahri.
"Sudah! sudah! Jangan merayuku. Berkali-kali kukatakan agar hati-hati." Fahri menjawil dagu Syafa. Mencubit gemas pipi adiknya kemudian mengacak rambut Syafa. "Dasar bandel. Lihatlah, akhirnya kau terluka sebab keras kepalamu itu."
"Dan Kakak akan selalu menjadi obat bagiku!" sambar Syafa dengan mata berbinar.
"Tidak Syafa!" bantah Fahri membuang pandangan ke arah lain. Di ujung jalan pinggir sungai sebuah mobil angkut sayur merambat. Di sanalah mata Fahri terpaku.
"Kenapa?" Selidik Syafa.
Hening.
Semilir angin menggoyangkan bunga liar. Dia lalu terbang dan jatuh tak jauh dari keberadaan kakak beradik itu.
"Bunga tidak akan selamanya mekar di taman. Jika telah saatnya dipetik dia akan menghiasi tempat lain. Begitupun dengan bunga desa seperti adikku ini. Ada masanya kau juga akan dipetik lalu menghiasi rumah orang lain."
Suasana hati Syafa tiba-tiba berubah sendu. Dia mungkin saja dewasa, tapi hatinya selalu merasa kecil. Tak pernah dia bayangkan satu hari saja tanpa Sang Kakak.
"Kenapa Kakak membahas hal itu? Bukankah aku bisa menikah tapi tetap tinggal bersama Kakak dan Sibu?" Pertanyaan Syafa membuat dahi Fahri mengkerut. Ada benarnya juga Syafa berkata demikian. Tapi kehidupan wanita tidaklah semudah itu. Ada saatnya wanita harus berbakti dan mengikuti kemana langkah suami pergi. Saudara bahkan ibunya tidak akan bisa mencegah itu.
"Tapi, setiap istri diwajibkan mengabdi dan berbakti pada suaminya setelah dia menikah. Kakak juga berharap suamimu akan tinggal bersama kami. Tapi, jika takdir mengharuskan dirimu ikut dengannya, Kakak tidak bisa berbuat apa-apa."
"Jika begitu, Syafa tidak akan menikah!"
Syafa berdiri kemudian berlari. Fahri melengos sambil mendengus. Tak berapa lama terdengar Syafa berteriak.
"Kaaaakkkk?"
"Astaga!"
Bersambung........
Mohon dukungan untuk karya ini. Dengan cara like, bintang lima, vote, hadiah, masukkan daftar favorit juga share ke sosmed kalian. Terima kasih. Emmmuachhhh..
Sebab ada kesalahan teknis, novel ini mengalami revisi total.
"Kaaaakkkk!"
"Astaga?" Fahri terkesiap melihat Syafa yang telah basah oleh air bercampur tanah. Hampir seluruh tubuh gadis itu berlumuran lumpur. Jembatan kecil dari bambu itupun telah terbalik.
"Bagaimana bisa kau...?" Cecar Fahri. Rasa khawatir yang menyergap hatinya semakin bertambah kala melihat kondisi Syafa yang memprihatinkan.
Kanal sudah mulai mengering meninggalkan lumpur dengan bau yang khas. Tanah itu menggembur.
"Aku jatuh, terpeleset." Syafa membalikkan badan dengan wajah melas.
Fahri awalnya sangatlah khawatir, tapi setelah melihat bentuk wajah lucu Syafa yang seperti bertopeng lumpur itupun tak kuasa menahan tawa.
"Puffttt."
"Kenapa? Mukaku kotor kah?" Syafa tahu apa alasan Fahri merapatkan bibirnya. Gadis itu bersungut dan berusaha bangkit sendiri.
"Kemarikan tanganmu!" Pinta Fahri. Syafa terus terpeleset ketika berusaha naik. Lumpur di kakinya terlalu lengket dan licin.
Fahri mengulurkan tangannya. Ditepis oleh Syafa. "Aku tak butuh."
"Jangan keras kepala, nanti cepat tua." Fahri menggoyangkan tangannya. Masih sabar menunggu Syafa agar meraih tangan itu.
Beberapa saat Syafa masih enggan. Tapi Fahri segera menariknya hingga bisa naik pematang kanal.
"Adikku semakin cantik jika marah begini." Menyentuh pipi Syafa dengan telunjuk. Dengan kesal Syafa menepis lagi.
"Ih, makin cantik deh." Menoel lagi
"Iyalah! Cantik! Gantengnya dibawa sama kakak semua." Gadis itu semakin lesu ketika melihat kondisi tubuhnya yang sangat kotor.
"Kaaaan, kotor semuaa. Genit banget sih jadi lumpur nempel-nempel gini."
Fahri menutup mulutnya. Bagaimanapun bukan hal yang baik tertawa di hadapan Syafa ketika marah.
"Aku gimana ini, Kak?"
"Kita basuh saja di sungai." Menuntun Syafa dengan hati-hati.
"Lain kali hati-hati?" Fahri sibuk membilas kaki Syafa. Awalnya Fahri membersihkan rok namun setelah itu, Menyibak rok itu hingga terlihat paha bersih Syafa.
"Syafa akan hati-hati jika kakak tidak bicara begitu." Sindir Syafa masih membahas tentang hal yang membuatnya marah.
"Apaaa?" Merasa tidak bicara yang salah. Pikir Fahri.
"Syafa tidak akan menikah!"
Owalah, tentang itu? Batin Fahri.
"Jika kamu nggak mau menikah, Kakak yang repot," ketus Fahri sambil terus membersihkan sisa lumpur di kaki Syafa.
"Biarin. Itukan tugas Kakak. Kakak nggak mau aku repotin?"
"Bukan seperti itu, tapi kakak juga akan berkeluarga juga suatu hari nanti. Dan tentunya bakalan terjadi jika kamu sudah menikah."
Syafa tiba-tiba merasa kesal. Dalam hatinya Fahri akan selalu menjadi miliknya. Dia tidak rela jika nanti dia harus membagi kakaknya dengan orang lain meskipun itu Kakak ipar. Apalagi jika nanti ketemu sama kakak ipar yang tabiatnya buruk. Syafa sangat menolak itu.
"Tetap saja Syafa tidak akan menikah. Biar kakak juga tidak menikah. Kalau kakak keras kepala, kakak saja yang aku nikahi." Ucap Syafa tanpa sadar.
"Syafa...jangan bicara yang tidak-tidak."
"Aku serius."
"Tapi kita...!"
Syafa bangkit tanpa permisi. Batu licin yang dia pijaki membuatnya oleng dan hampir terjatuh.
Untung saja dengan sigap Fahri meraih lengan Syafa dengan cekatan. Tanpa mereka sadari, malah tercipta hal tak terduga diantara keduanya. Tubuh Syafa reflek tertarik ke arah Fahri sehingga tubuh serta wajah mereka bersatu. Naasnya lagi bibir mereka saling menempel.
Desiran luar biasa menjalar ke seluruh pembuluh nadi. Menggetarkan jantung yang semula terasa biasa saja.
"Fahriiiii...!Fahriii...kau dimana?" Ini adalah suara Bejo. Orang yang baru saja tiba dengan mobil pick upnya. Karena tidak melihat Fahri di tempat panenan, diapun berinisiatif berteriak memanggil.
Beberapa detik kemudian keduanya tersadar. Segera berdiri tegak dengan keadaan canggung. Beberapa kali Syafa menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Sedangkan Fahri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
'perasaan apakah itu?'
'Dia adikku. Dia adikku.'
"Eummfff. Syafa...Syafa pu...maksudnya pulang saja sana." Kikuk dan mulai menepi. Fahri mulai bisa menguasai diri meski pikirannya tak karuan. Nafas panjang dia ambil beberapa kali. Menoleh pada Syafa kemudian kembali ke tempat semula.
'Fahri, sadarlah! Siapa dia bagimu.'
'Dia kakakku, tapi mengapa aku menikmati ciumannya?'
"Tidak! Bersikaplah wajar saja, Syafa. Kita sedarah." Gumam Syafa.
"Bantu masukin karung, nggak?" Tawar Syafa sambil mengikuti langkah kaki Fahri.
"Pulang saja sana. Bantu ibu bersih-bersih." titah Fahri. Dia tidak ingin adiknya mengalami insiden seperti tadi lagi.
"Kau bisa masuk angin jika tidak segera pulang Syafa!" Dipandanginya tubuh basah kuyup Syafa. Fahri membuka hoodie miliknya menyisakan kaus tipis yang membentuk otot kekar Fahri. Lalu dia pakaikan untuk Syafa. Rasanya tidak rela jika tubuh indah adiknya terlihat di depan pria lain. Pasalnya ada Bejo di sana.
"Sebentar lagi ah."
"Dasar ngenyel." Syafa cuek saja seraya mendekati tumpukan jagung.
Tidak semua jagung di kupas ditempat. Sebab akan menghabiskan waktu yang lama. Terlebih teriknya matahari membuat Fahri enggan berlama-lama di ladang. Dengan cekatan Fahri memenuhi semua karung dengan jagung-jagung yang telah dilepaskan dari kulitnya.
"Wah, akeh tenan ki! Bagus-bagus yo hasilnya." Bejo telah datang. Dia memarkirkan mobilnya tepat di samping ladang. Hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari rundukan dimana jagung terkumpul.
Bejo umurnya sedikit lebih tua dari Fahri. Kulitnya sawo matang dengan tato berbentuk bintang dan pohon beringin di bagian kiri. Tubuh Bejo lebih kekar dari pada Fahri. Tapi dari segi wajah, Bejo memiliki sedikit kelainan pada bola mata. Jika menatap akan terkesan lagaknya orang jahat. Tapi sebenarnya, dia memiliki hati yang lembut.
Fahri dan Bejo saling bahu membahu melemparkan jagung-jagung itu langsung ke bak dengan diangkut oleh karung yang direntangkan setelah dibelah.
"Syafa, hari makin terik. Sebaiknya kau pulang saja."
"Ya sudah! Aku pulang. Disini tidak ada yang membutuhkan ku."
"Bagus itu. Gadis memang pekerjaannya di rumah. Biar tidak gosong karena dipanggang sinar matahari," ucap Bejo dengan lembut.
"Nggak dibalik sih, makannya gosong!" Sambar Syafa.
"Pisang goreng kali, Fa." jawab Bejo. "Kakakmu ini luar biasa sayangnya padamu. Jadi menurut sajalah." Syafa dan Fahri saling melempar tatapan. Kemudian Fahri memilih melengos.
"Pulang sana!" Tegas Fahri. Sebab Syafa tak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri. Bejo tersenyum geli melihat raut wajah Syafa. Betenya telah mencapai level sepuluh.
"Sudah, pulang saja. Biar kita yang bereskan semuanya. Dek Syafa pulang saja untuk buatkan kami minuman," bujuk Bejo dengan senyum terbaiknya.
"Iya! Iya! Aku pulang!" Syafa mengangkat tangan tanda menyerah.
Dia kembali menyusuri pinggiran sungai dan menyebrang jembatan kecil. Fahri menatap adiknya hingga hilang di pandangan. Seperti tenggelam ke sungai yang memang lebih rendah dari tanah sekitarnya.
Syafa tertegun kala melewati aliran sungai dimana adegan mesra antara dirinya dan Fahri terjadi.
"Tolong! Lupakan itu Syafa, dan pulanglah." Gumamnya sambil berlalu. Syafa kemudian melewati pematang sawah.
"Hai, Nona!" Syafa hampir saja kehilangan separuh nyawa karena terkejut. Seorang pria muncul tiba-tiba dengan sekujur tubuh dipenuhi oleh lumpur. Ataukah dia yang sibuk melamun tak menyadari kedatangan pria tersebut.
Beberapa detik yang lalu, nasibnya juga sama seperti pria di depannya.
"Bisakah kau tunjukkan padaku dimana jalan agar aku bisa turun ke sungai? Aku melihat jalannya amat terjal dibagian sana. Mungkin..."
Syafa menahan tawa sambil menunjuk jalan setapak menurun ke arah dasar sungai.
"Di sana?" ucap pria itu memastikan.Syafa mengangguk satu kali guna menyakinkan pria yang ada di hadapannya.
"Bisakah kau ikut serta denganku, Nona?" pinta pria itu yang tentu saja mendapat tatapan tajam dari Syafa.
"Tidak!" Syafa kembali teringat kisah romantis tanpa sengaja antara dirinya dan Fahri. Jangan sampai itu terulang kembali dengan pemuda yang baru saja dia jumpai ini.
"Baiklah, jika tidak berkenan. Sebenarnya saya ingin mengucapkan terima kasih dengan memberikan Anda sesuatu yang saya miliki." Pemuda itu melirik ke bawah. Syafa berpikir negatif.
'Apakah yang dimaksud adalah barang dibalik resleting itu?'
Pikiran Syafa yang kacau semakin eror dengan pernyataan pemuda itu. Syafa mengira jika kata miliki bermakna tabu. Syafa segera menggeleng. "Tidak perlu." Ketusnya.
"Baiklah. Saya mengerti! maka saya tidak bisa memaksa. Tapi jika Anda berubah pikiran. Silahkan susul saya. Akan saya berikan dengan cuma-cuma."
"Kau...! Lebih baik kau juga pergi sebelum saya benar-benar berubah pikiran dan marah pada Anda."
To be continued
Kau...! Lebih baik kau juga pergi sebelum saya benar-benar berubah pikiran dan marah pada Anda."
"Maaf, jangan marah Nona. Saya akan pergi."
"Dasar pria. Baru pertama bertemu sudah aneh-aneh." Syafa ngedumel.
"Tidak ada pria sebaik kak Fahri." Kejadian intim tadi masih saja berkelebat di otaknya. tanpa sadar dia meraba bibirnya sendiri. Rasa nikmat dan manis masih terasa.
"Kakak memang spesial."
"Aduh, Syafa! Dia kakakmu. Berhentilah berpikir aneh dan segera lupakan kejadian tadi." Memukul kepala sendiri.
"Tapi memang Kakak terbaik."
Syafa menimbang kata-katanya sendiri dengan mengingat setiap perbuatan baik sang kakak yang kelewat baiknya. Fahri seringkali membantu. Jika di jalan, Fahri akan selalu melindungi dirinya. Dan ketika bersedih, Fahri adalah orang pertama yang datang menghibur. Fahri adalah paket komplit cinta yang diinginkan semua orang. Fahri memberikan cinta sebagai sosok ayah, sebagai sosok seorang kakak dan kadang berubah menjadi sosok seorang sahabat.
"Duh, pohon kenapa kau harus disini sih." Kesal karena lamunannya buyar akibat menabrak pohon jambu. Syafa menatap sekeliling "Untung nggak ada yang lihat."
Syafa mengelus pelan pohon jambu yang besarnya setara paha orang dewasa. Jambu milik Haji Ali yang diiklaskan untuk siapa saja yang mau.
Dia ingat saat kecil dulu ketika Fahri menenangkan dirinya yang menangis sebab minta juz jambu. Tidak semua orang memiliki nasib baik. Dulu, Fahri kecil tidak memiliki uang untuk hanya membelikan Syafa es plastik. Ketika semua anak minum es jambu, maka Fahri menggendong adiknya ke pinggiran desa tepatnya ke bawah pohon jambu ini.
Fahri akan memanjat dan mengambil jambu yang paling masak. Beberapa akan di bawa pulang dengan disimpan di dalam kaos. Satu tangannya memegang posesif lengan Syafa ketika pulang. Sampainya di rumah, Fahri menumbuk jambu biji di cobek, lalu dituangkan ke plastik dan di kasih sedotan bekas yang dipungutnya ketika pulang.
Syafa hanya merasakan bahagia saat itu. Keinginannya memiliki jajanan yang sama dengan kawan lainnya terlaksana.
Tapi satu yang berbeda. Rasa jus jambu buatan Fahri rasanya sangatlah unik. Ada rasa pedas dan asin bercampur manis original jambu itu sendiri. Sebab Fahri menghaluskan jambu dengan menumbuk di cobek. Syafa tersenyum geli dengan kenangan yang seumur hidup tidak akan pernah terlupakan. Membuat otaknya mendapatkan ide luar biasa.
"Oke! Saatnya membuat jus jambu." Syafa mengambil galah bambu seukuran lengan balita. Galah yang sengaja disiapkan oleh pemiliknya jika ada yang ingin mengambil jambu.
"Hemmh, rasanya manis sekali. Pasti akan lebih lezat jika sudah dicampur es serut dan susu kental manis." Syafa menggigit satu buah jambu yang dia kumpulkan dengan susah payah. Masih dalam keadaan jongkok.
"Nona, bolehkah Kau bagi sedikit saja denganku?" Syafa menghentikan aksinya.
Perlahan tapi pasti, Syafa memutar kepala. Terlihat olehnya tubuh kokoh berbalut kemeja basah. Pandangan matanya beralih ke atas. Jambu yang tinggal separuh itu menggantung di udara. Tenggorokan Syafa tercekat oleh pesona tampan pria di hadapannya. Tetesan sisa air di rambut pemuda itu bagaikan kilau embun basah yang suci. Tetesannya membuat hati resah.
'Siapa Dia?'
'Siapa Dia? Seperti pria yang tadi. Tapi kenapa yang ini tampan sekali?'
"Nona!" Sapa pria itu lagi.
Namanya adalah Dunka. Anak angkat dan juga ponakan dari orang terpandang di desa Syafa. Dunka hidupnya dulu tidak juga lebih baik dari Syafa. Ayahnya telah meninggal dan menyisakan sosok ibu yang kurang terampil dalam mengolah tanah. Ibu Dunka adalah kakak perempuan dari Haji Ali.
"Yah!" Syafa tersentak dari lamunan. "A-apa?" Setengah berjengit kaget. Dia bangun dalam kondisi salah tingkah.
"Boleh minta jambunya?" tanya Dunka sekali lagi. Sebab kurang fokus, Syafa menyodorkan jambu sisa di tangan.
Pria itu mengulum senyum yang memabukkan. Garis bibirnya lebih indah dari guratan mega di kala senja, bening matanya bagaikan air gunung yang menyejukkan hati Syafa.
"Manisnya ori," ucap Syafa yang sesungguhnya diperuntukkan pada Dunka karena terkekang oleh senyum menawan pria itu. Matanya terkesima hingga tidak menyadari apa yang telah dia lakukan terkesan konyol untuk sebagian orang. Tapi bagi Dunka, adalah hal unik yang menunjukkan kepolosan hakiki seorang gadis desa.
'Tipe gadis lugu. Polosnya alami.'
Dengan senyum tipis, Dunka meraih jambu pemberian Syafa menggigitnya pelan sambil berkata "Hemmh, seperti ada madunya." kelakarnya lagi
Syafa tersadar dan melihat tangan yang masih menggantung. Menarik tangannya dengan segera kemudian membalikkan badan. Berbalik lagi menunjuk pada jambu sisa di tangan Dunka.
"Maaf! Itu bekas saya," lirihnya dengan malu-malu. Dia menyodorkan tangan guna mengambil jambu miliknya kembali.
"Jangan mengambil apa yang sudah kau berikan pada orang lain." Dunka menjauhkan jambu di genggaman tangannya.
"Tapi...!" Syafa tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Dia buru-buru pergi dengan setengah berlari.
"Hai...!" teriak Dunka namun tidak didengar oleh Syafa. Tangan yang terulur seakan ingin menarik Syafa, dia genggam kemudian dimekarkan lagi untuk mengacak rambutnya yang basah. Beralih ke dadanya yang berdegup tidak karuan.
"Beraninya dia," ucap Dunka mengelus dadanya. Jambu di tangan kiri digigit lagi "Sangat manis. Bahkan lebih manis dari yang kukira."
Syafa telah menyiapkan segala sesuatunya untuk Sang Kakak dan Bejo. Nasi disertai lauk pauk sederhana telah tersaji di atas papan dipan samping rumah. Tepat dibawah pohon mangga. Aroma harum masakan menguar sempurna membuat Ibu yang tadinya asyik menyiram sayuran menghentikan aktivitasnya.
"Wahhhh...Enak betul baunya. Pasti rasanya jauh lebih nikmat ini." Kelakar ibunya sambil mencuci tangan.
"Tidak lebih enak dari masakan Sibu." Jawab Syafa. Kebiasaan mereka berdua jika memanggil Ibu mereka dengan sebutan 'Sibu'.
"Tapi kali ini lebih manis dari yang Sibu ajarkan lho." Menjawil dagu Syafa dengan gemas.
"Nanti makin panjang lho ini, jadinya kayak musang." Ibu mengernyit heran
"Mana ada musang berjanggut?"
"Itu ada, film kesukaan Sibu." Ibu terkekeh geli.
"Sibu kok ndak memperhatikan judulnya. Sibu hanya suka pemainnya saja. Ganteng." Ibu menuang air putih dari ceret, meminumnya hingga tersisa setengah. Syafa masih sibuk riwa riwi ke dapur mengambil keperluan makan siang untuk mereka.
"Semoga saja nanti pas kamu nikah. Suamimu gantengnya kayak pemain film itu."
"Syafa ndak mau." ucapnya sembari mengulum senyum. Ibu menghentikan aktivitasnya menggeser piring ke bagian samping.
"Lha kenapa?"
"Kalau kayak pemain film kesukaan Sibu, pastinya sekarang tuh orang sudah expired alias kadaluwarsa," ucap Syafa dengan lincah menghindari serangan Ibu yang hendak memukulnya dengan centong.
"Kamu, itu ya!Bukan itu maksudnya."
Syafa terkikik sambil menutup mulutnya.
"Sibu selalu berdoa agar hidupmu sejahtera, dilimpahi keberkahan dan kecukupan. Dapat suami yang sayang dan perhatian padamu." Syafa mendekati Ibu dan memeluknya erat.
"Amiin!" Tiba-tiba terlintas wajah tampan pria yang ditemuinya tadi. Secepatnya Syafa membuang khayalan bodoh itu. Mana mungkin dia seberuntung itu. Berharap mendapatkan pasangan yang sempurna. Pria itu pembawaaannya juga terkesan berpendidikan tinggi.
Lalu teringat pada sosok Kakanya dengan peluh membasahi tubuh. Terlihat eksotis dan ... "Begitu mempesona."
Degup jantungnya semakin meningkat
"Syafa!"
Kluntinggg....
Sendok yang dipegangnya jatuh.
To be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!