🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Aurora, gadis bercadar coklat muda itu hanya bisa menunduk kan pandangan di depan orang tuanya, belum ada jawaban apapun yang ia berikan pada pasangan suami istri yang masih menunggunya untuk buka suara.
Ruang tamu yang hening seolah semakin mencekam saat hanya detak jam dinding saja yang di dengar oleh ketiga orang tersebut.
"Ola, serahkan semuanya pada kalian." Satu kalimat akhirnya lolos dari mulut mungil si anak perempuan bungsu satu-satunya keturunan keluarga Konglomerat Rahardian Wijaya.
"Kamu yakin, sayang?" tanya Khayangan, wanita yang melahirkan Aurora dua puluh tiga tahun yang lalu itu.
"Iya, Ummi. Kalian yang jauh lebih tahu mana yang terbaik untukku, " sahutnya sambil tersenyum simpul di balik kain tipis yang menutupi sebagian wajah cantiknya.
Sebagai orang tua kebahagiaan anak-anaknya adalah hal yang terpenting, begitu pun bagi Bumi dan Khayangan.
Mereka sedang menanyakan pada sang putri tentang kesiapan dan jawaban dari pertanyaan juga ajakan seorang pria yang datang bersama keluarganya kemarin sore untuk meng khitbah Aurora.
Tak saling mengenal bahkan bertemu satu sama lain membuat gadis itu awalnya nampak bingung. Tapi saat ia menyebut nama Tuhan sang pemilik jodoh, maut dan rejeki ia pun akhirnya yakin dan mau menerima.
"Baiklah, biar nanti Abi yang bicara lagi pada keluarganya, kamu cukup bersiap menyambut kedatangan mereka yang akan melamar mu secara resmi"
"Iya, Bi," sahut Ola, begitulah ia di panggil oleh orang-orang terdekatnya.
Dan benar saja, dua hari berselang keluarga konglomerat kaya raya itu kembali di datangi tamu yang tak lain adalah sang calon besan.
Dua keluarga itu memang sudah saling mengenal cukup lama karna beberapa kali melakukan kerja sama dalam bidang bisnis. Jadi tak perlu lagi rasanya untuk melewati masa penjajakan lebih dalam.
"Pak Bumi dan Bu Khayangan pasti sudah tahu maksud dan tujuan kami datang kemari yang tak lain adalah untuk melamar putri kalian Aurora untuk putra Kami ArcheLeo," ucap Arman, pria baya berusia lebih dari setengah abad yang duduk di sebelah istrinya, Salma.
"Alhamdulillah, kami menyambut baik niat kalian semua. Semoga selalu di beri kelancaran sampai harinya tiba, " sahut Bumi.
"Aamiin Ya Rabbal Alamin. "
Perbincangan yang awalnya masih seputar basa basi kini sudah masuk ke bagian inti yaitu tentang jawaban Aurora perihal lamaran Leo. Gadis itu tetap berada didalam kamarnya ia hanya menitipkan kalimat IYA pada Abi dan Uminya yang kini sedang bersama dengan keluarga sang calon suami.
Leo tersenyum simpul, jawaban yang ia dengar barusan adalah sebuah kata yang sudah ia tebak dari awal. Entah apa yang membuat gadis solehah itu menerimanya padahal jauh dalam lubuk hatinya ia ingin menentang perjodohan tersebut.
.
.
.
Satu minggu kemudian.
"Saya Terima nikah dan kawinnya Aurora ArMikha Rahardian Wijaya binti Bumi Rameza Rahardian Wijaya dengan mas kawin tersebut di bayar TUNAI. " Dengan satu kali tarikan napas Leo berhasil mengucap ijab kabul tanpa ada kesalahan apapun.
Pria berusia dua puluh tujuh tahun itupun menarik tangannya dari genggaman Bumi yang kini resmi menjadi mertuanya.
Lantunan doa pun di Aamiin kan oleh semua saksi dan keluarga yang datang untuk menghadiri pernikahan putri bungsu Rahardian dengan putra tunggal Barata.
Aurora yang sudah resmi menyandang status sebagai seorang istri diminta untuk keluar dari sebuah ruangan di dalam masjid, tempat dimana di adakannya janji suci sehidup semati dalam suka maupun duka.
Leo yang sejak tadi duduk menghadap ke arah pak penghulu dan ayah mertuanya kini sudah mengubah posisinya menjadi saling berhadapan dengan Aurora.
Ia tersenyum simpul kearah wanita halalnya yang baru detik ini ia lihat secara langsung kecantikan matanya.
"Boleh aku mendoakanmu sekarang?" izin Leo.
**************
Assalamu'alaikum 🙏🙏
Balik lagi ke cerita Aurora dan Leo. Semoga kalian suka meski temanya sedikit berbeda dari yang biasa 😂😂
Yang di sana sudah di hapus, dan akan lanjut disini 🙃🙃
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Boleh aku mendoakanmu sekarang?" Izin Leo.
"Dengan senang hati, Mas," sahut Aurora dengan tutur kata yang begitu lembut dan pelan nyaris suaminya saja yang mendengar.
Leo menadahkan tangan kirinya sebatas dada sedangkan tangan kanannya ia letakan di atas kepala Aurora tepat di ubun-ubun wanita bercadar putih tersebut.
"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."
Artinya: ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.
Setelah acara yang berlangsung khidmat itu selesai tinggalah kini sang pengantin meminta doa restu pada pihak keluarga yang hadir. Senyum bahagia dan tangis haru menghiasi prosesi sungkeman, banyak pesan yang di titipkan untuk Leo dan Aurora terutama dari orang tua mereka masing-masing.
Hari bahagia yang cukup sederhana itupun di akhiri dengan makan malam bersama dengan keluarga di salah dari restoran mewah tepat di pusat kota.
"Apa kamu merencanakan bulan madu, Nak?" tanya Ayah Arman pada putranya.
"Belum, nanti bisa kita bicara kan setelah ini, " jawab Leo.
"Jangan menunda memiliki momongan ya, ibu sangat mengharapkan itu, " timpal Ibu Salma, wanita baya yang tak lagi bisa hamil setelah melahirkan Leo kedunia, dan itulah satu-satunya alasan kenapa pria itu menjadi anak tunggal Barata.
Aurora hanya mengulum senyum, untung saja ia memakai cadar sehingga tak ada satu orangpun yang melihat semerah apa kedua pipinya saat ini.
.
.
"Langsung pulang ke rumah ku, atau mau tinggal di rumah orang tuamu dulu untuk sementara waktu?" tanya Leo saat keduanya berjalan keluar dari resto menuju mobil mewah miliknya.
"Terserah Mas Leo saja, aku tak masalah tinggal dimana pun, " sahut Aurora.
"Kita kerumah mu dulu saja ya, aku tak tega melihat kedua orang-tua mu jika harus mendadak berpisah dengan putrinya, " balas Leo yang begitu sangat pengertian meski nada bicaranya begitu datar tanpa ekspresi sama sekali.
Dengan menaiki kereta besi milik pribadi suaminya, Ola duduk di samping Leo yang menyetir sendiri mobilnya. Pria itu nampak fokus ke arah jalan di depan sampai seolah tak merasa ada orang lain bersamanya.
Rasa lelah dan tak adanya obrolan di antara mereka membuat Aurora menguap berkali-kali.
"Tidurlah, nanti ku bangunkan jika sudah sampai."
"Tak apa, Mas. Nanti aku malah merepotkan mu, " sahut Aurora yang akhirnya memilih memainkan tali tasnya untuk mengusir rasa jenuh selama perjalanan pulang. Ia bingung jika harus memulai obrolan lebih dulu dengan Leo karna selama ia hidup hanya kakak kembarnya sajalah satu-satunya pria yang di ajak bicara banyak hal.
Sampai di kediaman orang tua Aurora, pasangan pengantin baru itu pun langsung naik ke lantai dua rumah tersebut.
Di dalam sebuah kamar, Aurora lebih dulu membersihkan tubuhnya sebelum ia beristirahat malam ini.
Ceklek.
"Mas, aku sudah selesai. Mas Leo bisa mandi sekarang?"
"Oh, iya terimakasih, " jawab Leo.
"Sama-sama, biar ku siapkan bajumu ya, Mas."
"Tak perlu, aku sudah menyiapkannya sendiri, " balas Leo yang berjalan ke arah kamar mandi.
Aurora hanya mengangguk paham, ia tak akan banyak menuntut banyak hal pada suaminya termasuk mengurus segala keperluan pria itu.
.
.
.
"Ini baru awal, mungkin dia adalah sosok yang mandiri. Aku harus bisa memahaminya secara perlahan,"
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Malam pertama yang di tunggu para pasangan pengantin baru nyatanya tak di rasakan oleh Aurora. Suami yang sedari tadi ia tunggu keluar dari kamar mandi malah memilih tidur di sofa panjang depan TV. Rasa kecewa tentu wanita itu rasakan terlebih ia tak mendapat alasan apapun dari Leo saat meminjam bantal darinya.
Aurora menyembunyikan tubuh berbalut piyama panjang di balik selimut tebal, ia sengaja tidur menghadap samping sambil sesekali mencuri pandang ke arah sang suami.
"Mas Leo kenapa gak tidur disini ya?" gumam Aurora, sebagai istri tentu ia tak ingin ini terjadi tapi lagi dan lagi ia harus meyakinkan dirinya sendiri jika semua pasti karena mereka belum cukup saling mengenal.
Tak mau berpikir yang tidak-tidak akhirnya Aurora memilih memejamkan matanya, terlebih saat ia mendengar sang suami sudah mendengkur halus sebagai pertanda pria itu telah mengarungi mimpi indahnya.
.
.
Pagi menjelang, Aurora yang sudah melaksakan kewajibannya membangunkan Leo secara pelan dengan cara menyentuh bahu. Ia nampak ragu karna ini baru pertama kali baginya memegang tubuh laki-laki kecuali Abi dan kakak kembarnya.
Satu sampai tiga menit tak ada respon sama sekali dari Leo sampai akhirnya Aurora memberanikan diri berjongkok didepan wajah sang suami.
Pujian pun tak henti ia ucapkan cukup dalam hati. Tak berani rasanya jika harus mengatakan langsung betapa tampannya pria yang masih memejamkan matanya itu. Alis tebal dengan rahang tegas semakin terlihat sempurna dengan hidung yang mancung, belum lagi bibirnya yang merah alami yang tanpa sadar membuat darah dalam tubuh Aurora berdesir hebat.
"Eeeugh"
Aurora reflek berdiri saat ia melihat Leo bergeliat dengan mata tertutup. Bingung rasanya harus berbuat apa sebab ia tak pernah terbiasa satu ruangan berdua dengan lawan jenis.
"Jam berapa ini?" tanya Leo.
"Jam, jam-- enam, Mas, " sahut Aurora dengan nada terbata.
"Hem"
Aurora yang masih pada posisi berdirinya tetap bergeming saat melihat Leo justru mengeratkan bantal dalam pelukan yang ia gunakan justru bukan untuk di kepalanya.
.
.
.
.
"Suamimu mana?" tanya Khayangan saat putrinya itu turun seorang diri.
"Masih tidur, Umi," sahut Aurora sambil menarik kursi meja makan.
Ia dan orang-tua nya pun langsung menikmati sarapan seperti biasa, meski seharusnya ini adalah hari pertama ia melayani sang suami. Leo yang di anggapnya masih lelah di biarkan begitu saja melanjutkan tidur hingga saat Aurora kembali ke kamarnya justru Leo baru keluar dari kamar mandi.
"Loh, Mas sudah bangun?" tanya Aurora kaget, pasalnya pria itu sudah lengkap dengan kemeja hitamnya yang di gulung sampai siku.
Leo yang hanya seorang pengusaha kuliner yang memiliki banyak resto di berbagai kota memang tak se formal pengusaha kantoran saat bekerja, cukup ia terlihat rapih dan harum saja.
"Iya."
"Mas, mau kemana?" Tanya Aurora lagi, Ian harap tebakkannya salah kali ini.
"Aku mau cek resto ku yang minggu depan akan di buka. Maaf, aku tak bilang apapaun padamu"
"Oh--, aku siapkan sarapan dulu kalau gitu"
Aurora yang sudah membalikkan tubuh hendak keluar lagi dari kamar langsung dipanggil namanya.
"La--"
"Hem, apa, Mas?"
.
.
.
"Tak perlu menyiapkan sarapan, aku bisa sarapan di resto nanti. Terimakasih, " ucapnya yang sedikit membuat wanita bergamis merah muda dengan cadar senada itu tercengang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!