Arumi, seorang gadis belia berusia 19 tahun. Wajahnya yang ayu nan manis, dengan tubuh yang bagus karena sering berlatih menari.
Gadis cantik itu kehilangan kedua orang tuanya dua tahun yang lalu, saat ia sedang mengikuti turnamen dance internasional di Inggris, rumahnya terbakar hebat, dan kedua orang tuanya meninggal saat kebakaran itu.
Setelah kejadian itu, Arumi tinggal bersama Paman dan Bibinya, mereka yang membantu membiayai sekolah Arumi hingga lulus SMA.
Setelah lulus sekolah, Arumi bekerja di sebuah cafe, lalu sore harinya ia membantu mengajar di sebuah sanggar tari.
Bakat menari Arumi, turun dari Mamanya, yang seorang balerina. Dulu, Mamanya pernah bersekolah di Julliard, dan menjadi salah satu murid berbakat di sana. Beberapa pementasan balet telah diikuti oleh Mamanya. Namun, setelah menikah dengan Papanya, Mama akhirnya mengikuti Papa membangun bisnis di Indonesia dan mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang penari dunia.
Mama yang mengajarkan basic menari pada Arumi. Lalu memasukkan Arumi ke sekolah menari sejak berusia 3 tahun, hingga ia besar, dan dengan bakat menarinya itu, tak hanya balet, namun tarian kontemporer pun ia kuasai.
Berbagai lomba dance diikuti oleh Arumi sejak kecil, baik personal, maupun kelompok. Hingga akhirnya membawanya ke Inggris dan mendapat juara ke 2 saat itu. Namun, kejadian buruk itu menimpanya.
Impiannya bersekolah di Julliard, seperti Mamanya harus dilupakan.
Kini, ia harus menjalani hidupnya sebagai yatim piatu, dengan belas kasihan Paman dan bibinya.
Bibinya adalah adik dari Papanya. Paman dan bibi, memiliki dua orang anak Laki laki dan perempuan, bernama Thomas dan Gisel. Gisel berusia 17 tahun, dan Thomas berusia 20 tahun. Saat ini Thomas berkuliah di Amerika, sedangkan Gisel masih duduk di bangku SMA.
Arumi sedang menyapu kafe pagi itu, lalu ia membersihkan setiap meja yang ada dalam kafe.
"Hai Arumi." Sapa temannya.
"Hai.." Balas Arumi.
Mereka melanjutkan pekerjaan membersihkan kafe sebelum tempat itu buka pada pukul 8 pagi.
Sore harinya, saat hendak menuju sanggar tari, Arumi terjebak dalam sebuah tawuran di sebuah gang. Arumi bersembunyi di dekat tempat sampah karena ketakutan.
Dua kelompok anak muda masih mengenakan seragam sekolah saling baku hantam, aneka benda tajam terlihat dalam tawuran itu. Batu terlempar dari kedua belah pihak.
Terlihat beberapa ada yang terluka, entah itu dari lemparan batu, ataupun benda tajam.
Arumi menutup mulutnya, tak berani bersuara sedikit pun, ia menyesal melewati gang itu karena ingin mengambil jalan pintas menuju tempat bekerja selanjutnya.
Tiba tiba suara sirine polisi ke arah gang itu, para pelajar yang sedang bertarung itu segera pontang panting melarikan diri. Polisi dengan sigap mengejar dan menangkapi mereka.
Seorang polisi berdiri di hadapan Arumi.
"Sedang apa kamu di sini?"
"Ma-maaf Pak, Sa-saya hanya bersembunyi." Jawab Arumi terbata karena takut.
"Mengapa si sini?"
"Saya mau ke sanggar tari di ujung jalan itu, namun terjebak tawuran."
"Saat ini sudah aman, lain kali lewat jalan ramai saja, karena gang ini rawan kejahatan." Polisi itu menasihati Arumi.
"Terima kasih Pak."
Arumi melanjutkan jalannya ke sanggar tari.
Selesai mengajar, ia menuju ruang ganti, di sana ia mendengar suara aneh di ruang gudang yang berada di seberangnya.
Arumi memberanikan diri memeriksa gudang.
Betapa terkejutnya Arumi, melihat seorang pemuda perutnya tertusuk pisau dan berlumuran darah.
Arumi berteriak minta tolong, lalu beberapa petugas keamanan dan temannya membantu menolong dan membawa pemuda itu ke klinik terdekat.
Petugas keamanan kemudian pamit kembali lagi ke sanggar untuk melanjutkan pekerjaannya, sedangkan rekan kerja Arumi harus segera pulang ke rumah.
Kini tinggal Arumi yang harus menemani pemuda yang tertusuk pisau tadi.
Sekitar setengah jam Arumi menunggu proses pencabutan pisau itu. Lalu pemuda itu dibawa ke sebuah kamar untuk beristirahat sambil menunggunya sadar dari pengaruh obat bius selesai operasi.
Arumi menemani pemuda itu, ia tak tau harus menghubungi siapa, karena pemuda itu sama sekali tidak membawa identitas apapun, bahkan uangpun tak ada.
Ia menatap pemuda yang tertidur itu, terlihat tenang dan tampan.
Arumi menebak dia salah satu dari gerombolan pelajar yang tawuran tadi. Saat mengingat kejadian tadi, rasanya ingin dibiarkan saja hingga kehabisan darah. Namun, Arumi masih punya hati nurani. Ia akhirnya membawanya ke klinik untuk menolong nyawa pemuda itu.
Arumi pun harus merelakan uang lima ratus ribunya lenyap untuk membayar biaya pengobatan pemuda itu, padahal itu adalah upahnya seminggu yang lalu dari kafe.
"Ya, aku harus berhemat seminggu ke depan." Keluhnya, sambil menatap wajah pemuda yang masih tidur nyenyak itu.
Ia pun akhirnya meninggalkan pemuda itu di klinik dan kembali ke rumah paman dan bibinya.
"Dari mana kamu? Mengapa pulang malam?" Bentak Pamannya.
"Saya ada kelas tambahan tadi Om." Jawab Arumi berbohong.
"Sudah.. Pa. Arumi benar benar bekerja, dia tidak bermain main." Bela Bibinya.
"Awas kamu kalo bohong!" Ancam Pamannya.
Arumi segera masuk ke kamar dan menguncinya.
Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang kecilnya, tubuhnya terasa sangat letih, dan dia mulai tertidur.
Entah berapa lama dia tidur, saat bangun Arumi merasa perutnya sangat lapar. Ia baru sadar belum makan dari siang tadi.
Ia membuka pintu kamarnya, lalu menoleh kanan dan kiri, memeriksa keadaan, lalu bergegas ke dapur. Ia mengambil segelas air lalu menghabiskannya.
"Sudah lumayan kenyang." Gumam Arumi.
Tiba tiba pundaknya di sentuh, Arumi terlonjak kaget.
"Aduh, Tante, mengapa mengagetkan Arumi?"
"Kamu sudah makan?" Tanya bibinya.
"Belum Tante."
"Duduk sini, Tante siapkan makanan untukmu."
Arumi menuruti ucapan Bibinya, lalu bibinya dengan lincah menuangkan seplastik bakso ke mangkuk, lalu disodorkan pada Arumi.
"Makanlah!"
"Terima kasih Tante." Ucap Arumi, menikmati semangkok bakso pemberian bibinya.
"Setelah makan, beristirahat lagi ya!" Pinta Bibinya
"Baik."
Bibinya meninggalkan Arumi, yang masih asik menikmati baksonya. Lalu ia mencuci peralatan makannya, lalu kembali lagi ke kamarnya yang kecil. Kamar yang berada di dekat dapur, yang biasa digunakan untuk kamar pembantu.
Hanya Bibinya dan Thomas yang masih baik padanya, sedangkan pamannya dan Gisel sering membuli bahkan memperlakukan Arumi seperti pembantu.
Keesokan harinya setelah membersihkan rumah, Arumi kembali pergi bekerja ke kafe. Ia berangkat lebih awal karena ingin melihat pemuda yang tertusuk pisau kemarin di klinik.
Arumi berjalan dengan cepat menuju klinik supaya tidak terlambat untuk pergi bekerja.
Sesampainya di klinik ia menuju kamar pasien tempat pemuda itu semalam dirawat. Betapa terkejutnya Arumi saat melihat kamar itu telah kosong. Ia bergegas menuju ruang resepsionis untuk menanyakan pemuda itu.
"Ohh, anak laki laki yang tertusuk kemarin ya, Mbak?" Tanya perawat yang bertugas di bagian resepsionis.
"Iya, semalam dia masih belum sadar saat saya tinggal pulang."
"Iya, sudah keluar dari klinik, Mbak. Tadi pagi. Seseorang menjemput dan melunasi biaya perawatannya." Terang perawat tadi.
"Ohh... Terima kasih, Mbak." Jawab Arumi, sambil melangkah gontai meninggalkan klinik.
Pupus sudah harapanny untuk mendapatkan ganti uangnya kembali.
"Rumi... Ini bayaranmu Minggu ini." Kak Adam menyerahkan sebuah amplop putih berisi upah bekerja Arumi Minggu ini.
"Terima kasih, Kak." Jawab Arumi sambil menerima amplop itu.
"Boleh mengajakmu jalan, kapan kapan?" Tanya Kak Adam hati hati.
Arumi terdiam sesaat, mendengar pertanyaan Kak Adam. Ia tahu, selama ini Kak Adam menyukai dirinya, namun Arumi hanya menganggap seperti kakak baginya.
Arumi menganguk pelan sambil menundukkan wajahnya.
"Kak, Arumi pamit dulu, mau melanjutkan pekerjaan lagi." Ucapnya.
"Baiklah." Jawab Kak Adam, lalu ia memegang pergelangan tangan Arumi saat hendak membalikkan badannya.
Arumi menatap Kak Adam dengan wajah terkejut.
"Aku menyukaimu Arumi." Ucapnya pelan penuh harap. Arumi hanya menatapnya tanpa ekspresi.
Adam berdiri mendekati Arumi, wajah mereka saling beradu pandang, bahkan Arumi dapat mendengar napas Adam dengan jelas.
Perlahan Adam meregangkan pegangan, lalu melepas perlahan, Arumi berlalu meninggalkan ruangan itu, tinggalah Adam yang terpekur sendiri dalam ruangan itu.
Arumi bekerja kembali seperti biasa mengenakan apron cokelat, dengan rambut dikuncir ekor kuda.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, satu jam lagi kelas menarinya akan dimulai.
Arumi menyimpan amplop gajinya dalam tas ransel, lalu melepas apronnya, menggantung di loker dapur.
Arumi berjalan meninggalkan kafe tempatnya bekerja, menyusuri trotoar jalanan. Aroma wangi penjual burger menggodanya. Membuatnya berhenti sejenak untuk membeli sebuah burger untuk mengganjal perut sebelum jam mengajarnya.
Arumi menerima burger pesanannya, lalu meninggalkan tempat itu, berjalan cepat menuju ruko tempatnya mengajar menari.
Arumi membuka pintu sanggar tari sambil memakan burgernya.
BRUKKK....
Seseorang menabraknya dari arah dalam, Arumi terjatuh dan burger yang tinggal separo itu terlempar entah kemana.
"Heh, kalo jalan liat liat! Mata dipake!" Bentak seorang lelaki pada Arumi dengan kasar.
"Heh.. enak aja! Kamu yang harusnya hati hati!" Balas Arumi.
"Liat nih! Bajuku jadi kotor begini. Dasar ceroboh!" Umpatnya sambil menyeka saos sambal dari burger.
"Apa? Apa katamu?" Tanya Arumi.
Pemuda itu menatap tajam Arumi seolah menggertak, lalu pergi berlalu dengan mendorong tubuh Arumi hingga jatuh untuk memberikan jalan.
"Hei... Dasar tidak sopan!" Pekik Arumi menatap punggung pemuda yang terus berlalu meninggalkan sanggar tari itu.
Beberapa orang menyaksikan kejadian itu hanya terdiam, lalu membantu Arumi berdiri. Arumi mengambil tas ranselnya dari lantai, lalu menyeka burger dan nodanya dari lantai dengan tisu.
Arumi menghela napas menata emosinya, lalu berjalan kembali ke ruangan ganti untuk mengajar di kelasnya.
Arumi mengajar dance anak anak. Ada tari tradisional dan kreasi untuk anak anak. Siswanya sangat menyukai Arumi yang sabar mengajar mereka. Tak jarang Arumi membantu mengajar untuk pementasan seni anak anak sekolah itu.
Ada pula yang telah menjadi satu team, Arumi juga membantu mengajari beberapa koreografi untuk tarian baru mereka.
Gaji Arumi di tempat ini, bisa dibilang cukup besar, uangnya ditabung. Karena cita cita Arumi adalah bersekolah menari seperti Mamanya. Sedangkan gaji, hasil bekerja di kafe, untuk hidupnya sehari-hari.
Selesai mengajar Arumi membereskan peralatannya, lalu menuju ruang ganti. Ia menatap wajahnya di cermin wastafel. Ia merasa tersenyum, membayangkan dirinya sedang pentas di sebuah pertunjukan kelas dunia dan disaksikan oleh puluhan ribu pasang mata.
Arumi merasa pantas mendapatkan kesempatan itu, ia pernah menjadi juara dua dalam pertandingan dunia. Pemenangnya adalah seorang penari yang benar-benar sekolah menari, namun kejadian buruk itu kembali melintas di kepalanya. Rumahnya telah rata dengan tanah menjadi puing puing.
Saat tiba di bandara, Paman dan Bibinya yang menjemput, mereka tak banyak bicara kala itu. Baru keesokan harinya Bibi menceritakan semuanya, Papa dan Mama meninggal saat kebakaran hebat tiga hari yang lalu, saat ia berada di London untuk berlomba.
Arumi pun belum sempat menyaksikan kedua orang tuanya untuk terakhir kalinya, hanya dua makam dengan nama Papa dan Mamanya yang ia lihat.
Tak terasa air mata mengalir dari pelupuk matanya, membasahi pipinya.
"Aku harus kuat!" Ucap Arumi.
Ia membasuh wajahnya, supaya tidak kuyu, lalu menepuk bedak pada wajahnya supaya terlihat segar kembali.
Arumi melipat handuk dan pakaiannya yang telah basah oleh keringat, memasukkan pada pouch, lalu menaruh ke dalam ranselnya.
Arumi membuka pintu ruang ganti dan melangkah untuk pulang. Sayup sayup terdengar suara hentakan musik dari ruang balet di ruangan ujung.
"Apa Miss Ela ada kelas tambahan?" Gumam Arumi heran. Kelas balet biasanya siang hingga sore hari, Miss Ela hampir tidak pernah mengajar hingga malam, maksimal pukul tujuh malam saja, itu pun, jika terpaksa, ada yang privat untuk pertunjukan atau lomba. Kini jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Arumi penasaran, mendekati ruangan itu, pintu yang sedikit terbuka dan lampu yang menyala, membuatnya dengan leluasa mengintip. Arumi melongokkan kepalanya melihat ke dalam ruangan.
Terlihat seorang pemuda sedang menari sesuai hentakan lagu yang diputar. Arumi tanpa sadar masuk ke ruangan itu, menaruh tasnya di lantai, lalu mengikuti gerakan pemuda itu dengan gemulai sesuai irama.
Pemuda itu tampak terkejut melihat Arumi yang mengikuti gerakan tariannya, lalu ia tersenyum seolah menantang untuk battle.
Mereka saling beradu menari bergantian, saling balas gerakan sesuai hentakan lagu.
Akhirnya setelah entah urutan yang keberapa, setelah Arumi selesai menari, pemuda itu melompat ke hadapannya, membuat Arumi terkejut dan mundur ke dinding kelas.
Pemuda itu menatap wajah Arumi, seolah menelitinya. Lalu menurunkan lengannya dan mundur perlahan.
Ia dengan cuek, mematikan lagu dari ponselnya, lalu memasukkan ke dalam tasnya, dan berlalu meninggalkan Arumi, yang masih syok.
"Hei...tunggu!" Panggil Arumi, namun pemuda itu terus melangkah keluar. Arumi buru buru mengambil tasnya, dan mematikan lampu kelas, lalu mengikuti sosok pemuda itu.
Arumi menuruni anak tangga setengah berlari, hingga ke bawah. Napasnya tersengal, ia celingukan mencari pemuda itu, namun sudah tak ada.
Arumi tampak mengingat sesuatu.
"Astaga!!" Katanya setengah berteriak sambil memegang kepalanya. Ia teringat pemuda itu adalah anak sekolah yang tertusuk seminggu yang lalu. Arumi teringat uangnya yang untuk membayar biaya klinik kemarin itu, dan pemuda itu pula yang menabraknya tadi sore saat akan bekerja untuk mengajar."
"Awas ya..! Besok kalo ketemu lagi, kamu harus mengganti semuanya!" Ancam Arumi sambil mengepalkan tangannya.
Saat malam menjelang tidur, Arumi terbayang wajah pemuda itu menari nari di kepalanya. Ia teringat saat battle menari tadi. Ada beberapa gerakan pemuda itu yang menurutnya mudah, namun ternyata saat ia melakukannya ternyata sulit.
Wajah pemuda tengil itu masih terbayang, matanya, bibirnya, aroma tubuhnya, hingga setiap gerak geriknya. Arumi masih mengingatnya dengan jelas. Lalu ia memejamkan matanya menari nari di alam mimpinya.
Arumi bergerak mengikuti irama musik yang ada, ia membuat beberapa gerakan koreografi untuk anak didiknya. Sepasang mata mengintipnya di sela pintu yang sedikit terbuka.
Ia menatap Arumi yang bergerak meliuk-liuk dan melompat membuat gerakan seni yang indah sesuai hentakan irama musik. Ia tersenyum, lalu meninggalkan tempat itu. Tak lama serombongan anak anak masuk ke ruangan itu, untuk berlatih dengan Arumi.
Selesai berlatih, Arumi membereskan peralatannya, mencabut flashdisk dari speaker.
Plok...plok...plok..
Terdengar seseorang bertepuk tangan dari arah pintu.
Arumi menoleh dan mengerutkan keningnya.
"Keren! Aku baru ingat kamu adalah juara dunia dalam kompetisi menari beberapa tahun yang lalu." Ucapnya sambil berjongkok mendekati Arumi.
"Heh, kamu pemuda yang kemarin jadi korban tawuran itu kan!"
"Ya. Terima kasih, telah menolongku."
"Lalu, uangku kembalikan!" Ucap Arumi terus terang.
"Memangnya gaji di sini kurang besar?" Ucapnya sinis.
"Bukan urusanmu!" Balas Arumi.
"Setahuku bayaran guru tari di sini lumayan, bahkan ada yang menjadi mata pencaharian."
"Lalu kamu sedang apa di sini?" Tanya Arumi.
"Aku ingin battle lagi, aku yakin kali ini, kamu akan kalah!" Pemuda itu mencolok flashdisk ke speaker.
"Lihat saja!"
Arumi dan pemuda itu saling berdiri berhadapan, lalu pemuda itu mulai membuat gerakan seperti breakdance, dan mengakhiri dengan gaya menantang Arumi untuk membalasnya.
Arumi mengulang gerakan pemuda tadi, lalu pada akhirnya diberi modifikasi, membuatnya lebih enak dilihat.
Lalu pemuda itu membalasnya kembali, disusul lagi oleh Arumi.
Mereka saling beradu gerakan koreografi, hingga menarik kelas yang baru selesai tertarik untuk melihat dan masuk ke ruangan itu mendekati mereka.
Arumi dan pemuda itu saling balas menari lalu suara tepuk tangan dan teriakan riuh dari orang-orang yang menontonnya.
Akhirnya Arumi mengakhiri adu menari dengan gerakan balet kontemporer dipadu dengan gerakan ala hip hop, dan pemuda itu hanya menatapnya sambil terengah-engah.
Orang orang yang menonton bersorak dan bertepuk tangan untuk Arumi.
Arumi tersenyum sambi menunduk memberi hormat terima kasih.
Pemuda itu mengambil flashdisknya, dan meninggalkan ruang itu, melewati kerumunan orang dengan cuek.
"Wow... Kak Arumi keren..!" Teriak beberapa siswa tari memujinya dan bertepuk tangan.
Arumi berlalu sambil tersenyum dari ruangan itu. Dia menuju ruang ganti, lalu meninggalkan gedung tempatnya mengajar menari.
***
Sesampainya di rumah pamannya, terlihat ada dua buah mobil terparkir di halaman, tampaknya ada tamu.
Arumi masuk ke dalam rumah.
"Oh, kemari Rumi, kenalkan ini Tuan Haris." Pamannya memanggilnya dan mengenalkan pada tamunya.
"Hmm.." Tuan Haris menatap Arumi dari atas hingga bawah. Lalu tersenyum.
"Dia masih muda, pantas untuk menemani Anda Pak." Ucap Paman Arumi.
"Baik, saya setuju!" Jawabnya sambil menjabat tangan pamannya.
"Apa maksudnya ini Om, Tante?" Tanya Arumi pada Paman dan Bibinya.
"Rumi, kamu akan menjadi istri TuanHaris." Jawab pamannya.
"Apa..??!" Pekik Arumi kaget.
"Tidak, aku tidak mau!!" Arumi berteriak lalu masuk menuju kamarnya, menutup dan menguncinya.
Ia menangis dalam kamarnya. Ia meratapi nasibnya kali ini. Mengapa ia harus menikah dengan lelaki tua itu? Mengapa bukan Gisel saja?
"Rumi..?" Bibi mengetuk pintu kamarnya.
Arumi dengan malas beranjak dari tempat tidurnya, dan membukakan pintu.
Ia duduk di bibir kasurnya, diikuti oleh bibinya duduk di sebelahnya.
"Rumi, maafkan Bibi. Tapi ini yang terbaik untukmu." Ucap Bibi.
"Terbaik untukku?" Tanya Arumi heran menatap Bibinya.
"Kamu tau, kami sedang kesusahan saat ini. Perusahaan Om dan papamu hampir kolaps. Tuan Haris berjanji akan membantu kami."
"Mengapa bukan Gisel?"
"Gisel masih sekolah. Tuan Haris tidak mau. Dia memilihmu sendiri." Jawab Bibi.
"Lalu perusahaan papaku bagaimana, Tante?"
"Tenang saja, Om akan mengurus semuanya setelah kamu menikah dengan Pak Haris." Hibur Bibi sambil mengelus punggung Arumi.
Arumi terisak menangis mengingat masa depannya kelak. Impiannya bersekolah menari di tempat mamanya dulu harus ia kubur dalam dalam.
Ia merindukan Mama Papanya. Bibi memeluknya. Menenangkan Arumi yang masih menangis.
"Sudahlah kamu berisitirahat dulu. Besok Tante siapkan semuanya. Lusa pernikahanmu dilaksanakan." Bisik Bibi.
"Secepat itukah? Lalu pekerjaanku?" Tanya Arumi.
"Setelah kamu menjadi Nyonya Haris, kamu tak perlu bekerja lagi Rumi." Jawab Bibi.
"Kamu beristirahatlah! Tante tinggal ya." Ucap Bibi, sambil berdiri meninggalkan Arumi sendiri dalam kamarnya.
Bibi tidak mengetahui, jika Paman sebenarnya memiliki hutang dengan Pak Haris, lalu menjual Arumi untuk membayar hutang-hutangnya, ia mengatakan jika Arumi masih kinyis-kinyis dan perawan. Lalu perusahaan Papa Arumi juga sedang ia kuasai sendiri, namun tidak mengatakan semuanya pada Bibi. Dia berbohong karena Paman tahu, Bibi sangat sayang pada Arumi.
Tuan Haris adalah seorang yang dingin dan bertangan besi, Paman sangat takut dengannya. Paman banyak berhutang untuk menutup biaya operasional perusahaan yang sebenarnya telah kolaps, lalu dengan licik menguasai perusahaan Papa Arumi.
Namun, akhirnya pamannya harus menyerahkan perusahaannya sendiri ke tangan Tuan Haris dan keponakannya yang masih perawan. Karena pak Haris hanya mau dengan yang seperti itu.
Gisel putrinya masih sekolah, dan ia tidak ingin putrinya menjadi sasaran emosi Tuan Haris jika sedang jengkel dan marah.
***
Paman dan Bibi mempersiapkan pernikahan Tuan Haris dan Arumi. Mereka menikah secara agama di sebuah restoran. Hanya Keluarga paman dan saksi dalam acara itu. Setelah pernikahan selesai, Arumi langsung dibawa ke rumah Tuan Haris. Arumi membawa semua barang barang yang ada di rumah pamannya.
Dalam perjalanan Arumi hanya dapat menangis tanpa bersuara. Ia hanya diantar sopir yang tak banyak bicara. Arumi menatap jalanan dengan pikiran kosong. Hidupnya terasa seperti tak bersemangat.
Mengapa ia yang harus menanggung semuanya? Ia ingin berteriak memanggil Papa dan Mamanya meminta pertolongan. Namun, pasti sia sia.
Akhirnya mobil membawanya ke sebuah rumah megah dengan halaman luas. Arumi menatap rumah itu sambil menyeka air matanya.
"Sudah sampai Bu." Kata sopir itu sambil membukakan pintu mobil untuk Arumi.
Arumi keluar dari mobil sambil menatap sekelilingnya. Ia menatap kagum dengan rumah itu.
Sopir itu mambantu menurunkan koper Arumi dari bagasi, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Arumi mengikuti sopir tadi dari belakang.
Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan di rumah itu.
"Bu, kenalkan ini Mbok Darmi, Minten, dan Surti. Lalu saya Bejo." Ucap sopir tadi mengenalkan diri dan ketiga pelayan yang ada di rumah itu. Mereka tersenyum sambil menyalami Arumi.
Kesan pertama yang Arumi rasakan mereka baik baik semua.
"Jangan panggil Bu, saya masih muda." Pinta Arumi.
"Baik Bu, eh.. Mbak." Jawab Bejo.
"Iya, saya antar ke kamar Mbak Arumi." Kata Surti sambil menunjuk ke lantai atas.
"Ayo Jo, bantu angkat kopernya ke atas!" Pinta Surti.
Arumi mengikuti Surti naik ke lantai dua, diikuti Bejo yang setia membawakan barang barang Arumi.
Rumah besar itu memiliki banyak ruangan, Arumi masih agak bingung, ia berharap tidak lupa akan kamarnya nantinya.
Mereka berhenti di depan pintu kamar, Surti membuka pintu kamar, lalu mereka masuk ke dalam kamar itu.
Bejo menaruh koper di lantai dekat lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati.
"Ini kamar Mbak Arumi." Terang Surti.
"Lalu Pak Haris juga di sini?" Tanya Arumi bingung, karena sepertinya tidak ada barang barang lelaki di kamar itu.
"Kamar Bapak ada di bawah, di dekat ruang kerjanya." Jawab Surti.
"Jadi kami tidak sekamar?" Tanya Arumi dengan polos.
"Saya kurang tau Mbak, karena pesan Bapak, ini kamar untuk Mbak Rumi, istri barunya." Jawab Surti dengan sopan.
Arumi hanya mengangguk. "Ya sudah, terima kasih. Saya mau beristirahat dulu." Ucap Arumi. Lalu Bejo dan Surti meninggalkan kamar itu dan menutup pintu.
Arumi menatap kamarnya yang besar itu. Ukurannya kira-kira sepertiga luas rumah Pamannya, tempat tidurnya saja yang ukuran paling besar, dengan busa bulu angsa yang sangat halus mungkin, pikirnya.
Arumi beranjak menuju kamar mandinya, ia membuka pintunya, dan tertegun dengan isinya, kamar mandi dengan bathtub.
"Wow.." ia berseru kagum
Lalu ia berjalan menuju ruangan kecil, ada rak rak berisi tas dan beberapa dress.
"Mungkin ini untuk menyimpan koleksi tas, sepatu, dan dress." Gumam Arumi.
Lalu ia membuka lemari pakaiannya, ternyata masih kosong. Ia membuka kopernya, lalu menyusun pakaiannya ke dalam lemari.
Setelah selesai semua, ia membersihkan tubuhnya, setelah selesai ia menatap tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun itu di depan cermin.
Ia menghela napas panjang, membayangkan saat Tuan Haris menyentuh tubuhnya. Ia merasa jijik seketika saat itu dan bergidik geli. Mana pantas seseorang yang sepantasnya dipanggil ayah untuknya, tiba tiba menggerayanginya.
Arumi cepat cepat mengeringkan tubuhnya, lalu mengenakan pakaiannya supaya pikiran buruknya itu tak terjadi.
Lalu ia keluar dari kamar hendak berkeliling menjelajahi rumah yang besar itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!