NovelToon NovelToon

Rumah Warisan

Pengantin Baru

"Sah!" Suara orang-orang yang turut hadir menggema dalam ruangan itu.

Kedua mempelai anggun duduk di kursi pelaminan. Dengan tatapan sayang keduanya saling bertukar pandangan. Ciuman di kening mendarat manis, pertanda rasa syukur atas rampungnya puncak acara ijab qobul yang selesai dengan terucapnya kata SAH. Keduanya sekarang resmi mengarungi bahtera cinta dalam rumah tangga.

Senyum mengembang indah merekah di semburat wajah putri. Tak terbayangkan sebelumnya ia akan menikah juga dengan pilihan hatinya. Sesampainya di rumah setelah perjalanan dari kantor KUA, semua keluarga besarnya sudah menyambutnya dengan meriah penuh suka cita. Pesta sederhana pun di langsungkan hari itu juga. Keduanya bagikan raja dan ratu semalam.

Ronce melati wangi semerbak mengiringi langkah putri dan ikhwan menyambut para tamu yang hadir. Hujan yang turun tak menyurutkan semangat sanak saudara dan tetangga yang ikut memeriahkan pesta sederhana tersebut. Kebahagiaan yang tak dapat terlukiskan indahnya.

...****************...

Satu tahun setengah sudah berlalu semenjak malam pesta hari itu. Kini Ikhwan dan putri sudah di karuniai seorang putri kecil semata wayang. Perempuan kecil lucu yang mereka beri nama Nisa. Harapan dan impian tersemat indah dalam setiap doa yang terukir di senyuman keduanya.

Saat ini, Mereka masih tinggal menumpang di rumah nenek dari putri. Beliau sudah lama meninggal dunia bahkan sebelum ikhwan datang di kehidupan putri. Ikhwan yang tidak tahu menahu banyak soal keluarga putri pun hanya menuruti keinginan sang istri. Sering ia meminta pada istrinya untuk lebih baik tinggal di kampungnya saja. Disana ikhwan mempunyai sebidang tanah yang bisa mereka manfaatkan. Namun nampaknya sang istri masih enggan meninggalkan keluarga besarnya yang ada disini. Mau tak mau Ikhwan pun menuruti kemauan istrinya meski rasa kurang nyaman terus menghantui hari-harinya.

"Dek, apa nggak sebaiknya kita tinggal di desaku saja. Disana aku punya tanah sendiri. Lumayan, kita bisa bangun rumah kita sendiri dari nol." Ucap Ikhwan saat istrinya menyuguhkan secangkir kopi hitam panas di depannya.

"Aku ijeh durung siap mas, tur bangun rumah iku butuhke biaya seng ora sitik. Sementara kamu ijeh serabutan koyo ngene. (Aku masih belum siap mas, lagipula bangun rumah itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara kamu masih serabutan seperti ini.)" Jawab putri menatap wajah suaminya.

Ikhwan, lelaki ini memang menyadari jika pekerjaan yang ia geluti saat ini memang bisa di bilang jauh dari kata cukup. Ojek pangkalan yang ia tekuni setiap hari pun penghasilannya tak menentu. Apalagi di musim penghujan seperti ini. Otomatis ia akan lebih banyak menganggur di rumah karena hujan yang bisa turun sewaktu-waktu membuat pelanggannya berkurang drastis.

"Bakal tak usahakan dek, aku bakal golek kerja sing tetap. (Akan aku usahakan dek, aku akan nyari kerja yang tetap.)" Jawab Ikhwan setelah sejenak terdiam.

"Hm.." ucap putri hanya berdehem saja. Seperti biasa, setiap kali Ikhwan membujuknya pasti akan berakhir seperti ini. Ia hanya bisa bersabar dan terus memanjatkan doa. Berharap Tuhan masih mau mendengarkan lagi pujian-pujian dari mulutnya.

"Aw..aw..aw.. panas... Aduh lambeku (aduh mulutku)" Tukas Ikhwan yang langsung saja menyeruput kopinya. Ia tak sadar jika kopi itu masih panas.

Rumah ini sejatinya memang bukan punya putri atau bapaknya putri. Sejak awal memang putri tinggal disini hanya karena rumah ini kosong setelah di tinggal meninggal dunia mbah Yani. Pernah suatu ketika rumah ini juga di rebutkan oleh anak-anak mbah Yani yang lain. Entah bagaimana ceritanya hingga bapaknya putri bisa mendapatkan rumah ini. Meskipun masih atas nama pemilik sebelumnya. Semua itu terjadi saat putri masih kecil, hingga tak banyak yang bisa putri ingat.

"Mas, kamu masih ada uang nggak? Pampers punya adek habis." Sergah putri mengejutkan Ikhwan yang sedang bersantai sambil menikmati alunan rintik hujan. Sejatinya putri merasa tidak tega jika menanyakan ini pada ikhwan. Ia tahu suaminya itu sedang tidak memegang uang sama sekali. Namun ia pun juga demikian.

"Siapa tahu kamu masih punya tabungan mas." Lirih putri mendekati Ikhwan. Manik mata mereka berdua terlihat saling menatap menahan kepiluan.

"Aku kan wis tiga hari ora kerja dek, aku ndak punya uang. Tabunganku wis resik dek. (Aku kan sudah tiga hari nggak kerja dek, aku nggak punya uang. Tabunganku sudah habis dek.)" Jawab Ikhwan lirih. Tak di pungkiri, hatinya benar-benar terasa gregel (tidak tega).

"Yaudah mas, besok saja kalau punya rejeki, kita beli ya. Doaku selalu menyertaimu mas." Jawab putri menatap wajah suaminya yang terlihat sayu. Ia mengerti betul bagaimana perasaan suaminya.

"Apa kamu tidak menyesal dek, menikah denganku?" Tanya Ikhwan tiba-tiba.

"Bukan aku yang memilih mas Ikhwan jadi suamiku. Tapi Tuhan lah yang sudah mempersatukan kita berdua. Jadi aku yakin jika memang mas Ikhwan yang terbaik untuk diriku terlepas dari apapun keadaan kita. " Jawab putri. Matanya terlihat berbinar menahan air yang hampir tumpah.

Oekk...oekkk..

(Suara tangisan bayi terdengar dari kamar mereka)

"Nisa bangun mas." Ucap putri segera bangkit dan berlari menghampiri ke kamar.

Ikhwan yang sedang duduk selonjoran pun segera mengekor di belakang istrinya. Baru berjalan beberapa meter, ia melihat istrinya hanya terpaku di ambang pintu kamar. Rasa berdesir langsung menguasai ikhwan seketika.

"Ada apa dek? Nisa kenapa?" Sergah ikhwan langsung menghampiri tubuh istrinya yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

"Ssstttt..." Ucap putri menyuruh suaminya untuk diam sejenak.

Terlihat di atas kasur, anaknya masih tidur dengan pulasnya. Sesekali bahkan terlihat berguling-guling dengan nyaman. Dengkuran halus terdengar lembut dari bibir mungil itu.

"Ada apa dek?" Tanya ikhwan kali ini lirih.

"Rungokno mas. (Dengarkan mas). Kamu denger nggak?" Ucap putri sedikit berbisik.

Oekk...oeek...oek..

Suara tangisan bayi kali ini terdengar kembali. Suara yang sangat jelas menggema di telinga Ikhwan. Suara lirih tangisan bayi yang seakan datang dari plafon atas di kamar mereka!

Deg...

.

.

.

.

bersambung..

Sejoli

"Ada apa dek?" Tanya ikhwan kali ini lirih.

"Rungokno mas. (Dengarkan mas). Kamu denger nggak?" Ucap putri sedikit berbisik.

Oekk...oeek...oek..

Suara tangisan bayi kali ini terdengar kembali. Suara yang sangat jelas menggema di telinga Ikhwan. Suara lirih tangisan bayi yang seakan datang dari plafon atas di kamar mereka!

Deg...

"Ah..I-itu..itu.. mungkin...ah paling cuma halusinasi dek. Udah jangan mikirin yang aneh-aneh." Tukas Ikhwan terlihat grogi. Sejatinya ia tahu tentang sesuatu disini.

"Ehm.. eh..mas nanti jadi ke kebun milikmu mas?" Tanya putri mengalihkan topik.

"Jadi dek. Kenapa? Kamu mau ikut?" Ujar Ikhwan berlalu pergi ke arah dapur. Sesaat nampak Putri terlihat mengangguk penuh ketulusan.

"Baiklah, aku mau mandi dulu ya. Sambil nunggu hujannya reda dulu." Ucap Ikhwan mengelus kasar rambutnya yang sudah terasa mulai gondrong.

"Emang mau apa sih mas nanti kita ke kebun kamu?" Tanya putri sesaat sebelum suaminya masuk ke dalam kamar mandi.

"Ada deh. Wes kamu manut wae. (Sudah kamu ikut saja)." Sergah ikhwan.

Putri terlihat hanya tersenyum saja melihat kelakuan suaminya itu. Ia kemudian bergegas membereskan meja tempat suaminya ngopi. Tangan kecil kurus itu dengan telaten membersihkan seluruh area ruang tamu.

Bibirnya bergetar bersenandung dan sesekali tubuhnya bergoyang ala-ala video yang sedang di gandrungi kawula muda saat ini. Wajah ayunya masih terlihat kendati ia sudah memiliki anak. Kulit putih bersih serta badannya yang langsing benar-benar tak terlihat seperti wanita yang sudah melahirkan seorang anak.

"Eh..mas, sudah selesai mandinya? Kok cepat banget tumben? Tak kira kamu BAB dulu." Ujar putri yang masih lesehan melihat suaminya berjalan perlahan sembari membetulkan posisi kerahnya yang berantakan.

Tak ada jawaban dari mulut laki-laki itu. Bahkan menoleh istrinya saja tidak. Bibir itu nampak putih pucat sedikit kebiruan. Tanpa aba-aba ia segera melangkah keluar pintu dan berlalu begitu saja. Putri hanya termenung sembari mengeryitkan dahi. Ah mungkin ia mau beli sesuatu di warung sebelah, begitu pikir putri. Tak mau berpikiran aneh-aneh ia pun melanjutkan goyangnya lagi. Hingga tiba-tiba suara dari belakang mengejutkan telinganya.

"Dek...dek... ambilkan celana dalamku! Aku lupa bawa tadi..." Suara ikhwan terdengar keras meskipun dari dalam bilik kamar mandi.

"Lhoo.. bukankah mas Ikhwan tadi...lhoo kok..." Tak kuasa melanjutkan ucapannya, putri pun kemudian berlari ke belakang menemui suara yang baru saja memanggilnya.

Dokk.. dokk...dokk...

"Mas..mas....mas ...bukain mas... cepetan..."

Dokk..dokk...dok...

krieeetttt

(suara pintu di buka)

"Iya-iya. Kenapa sih? Mana celana dalamku dek?" Ujar Ikhwan yang keluar hanya dengan lilitan handuk di pinggangnya.

Tanpa menunggu lama, putri langsung saja memeluk suaminya. Tak peduli dengan basah tubuh suaminya yang baru saja selesai mandi. Pelukan erat mengalung di dada Ikhwan yang bidang.

"Sek..sek..dek..handukku melorot iki lho..(bentar..bentar..dek.. handukku melorot ini loh..)". Tukas Ikhwan.

...****************...

"Pak, kita kan masih punya hak di rumah itu. Toh, nenek Yani masih nenekku juga. Bapak kan juga anaknya. Ini masalah duit pak, duit." Ujar ika pada pak iman yang baru saja pulang dari mushola.

"Bapak sudah pikirkan itu jauh-jauh hari nduk. Hahaha." Jawab pak iman meletakkan sajadahnya dan duduk di kursi kayu rumahnya.

"Apa bapak sudah punya rencana?" Tanya ika langsung mendekati tubuh bapaknya. Tangannya menguncang lengan hitam kekar milik lelaki yang berumur lebih dari separuh abad itu.

"Nanti malem kita tanya dulu sama ki gareng nduk. Hehehe." Jawab pak iman terkekeh.

"Huh. Tak kira bapak sudah punya rencana. Oh iya pak. Tadi sewaktu bapak di mushola, bulek miyati telfon pak." Tukas ika sembari berlalu melewati bapaknya yang sedang bersender santai menikmati rasa lelah.

"Eh..bulekmu telfon bilang apa? Apa dia ngirim uang lagi?" Tanya pak iman langsung melotot dan mencengkram tangan ika yang hampir pergi dari hadapannya.

"Enggak. Bulek cuma nanya kabar pak. Huh..dasar bapak itu selalu ijo kalo denger soal duit duit duit.." ledek ika sembari berlalu karena terlihat sekilas siluet suaminya yang sudah sampai di ambang pintu rumahnya. Rumah sederhana yang terletak persis di samping rumah pak iman.

"Hishh...matamu juga ijo nduk. Buktinya kamu juga ngoyak-ngoyak (ngejar-ngejar) bapak buat ngrebut rumah nenekmu. Kamu juga sama liciknya dengan bapak." Lirih pak iman menggerutu.

Dirinya kemudian bersender dengan menatap sebuah televisi. Matanya sejenak terpejam merasakan rasa letih karena seharian berada di tengah sawah. Angan-angan melayang jauh menembus alam bawah sadar. Pak iman tertidur dalam hanya beberapa menit saja. Dengkuran kasar mulai terdengar dari mulutnya yang hanya di hiasi kumis tipis yang perlahan sudah memutih.

Di rumah ika..

"Baru pulang mas?" Sapa ika melihat suaminya mencopot jas hujan kuning yang tengah ia kenakan.

"Iyo tul. Nopo ketoke awakmu kok sumringah koyo ngono? Bar entok arisan opo piye? (Iya tul. Kenapa kelihatannya kamu kok seneng banget gitu? Habis dapat arisan apa gimana?)." Tanya Yono, suami dari ika.

"Lebih dari itu mas. Lihat, sebentar lagi kita bakal pindah ke rumah besar punya simbah Yani mas. Kita tinggalin aja rumah jelek ini!" Jawab ika sambil geal-geol kegirangan.

"Lho, apa si putri sama suaminya mau pindah to bu? terus apa kita nyewa apa gimana?" Tanya Yono polos.

"Nggak mas. Kelamaan kalo nunggu pindah. Kita usir saja mereka dari sana! Enak saja. Kita juga punya hak yang sama terhadap rumah itu mas." Ujar ika berapi-api.

"Astaghfirullah bu'ne.. istighfar bu.. putri kan masih keponakanmu sendiri. Masak mau kamu usir? Apa kamu tega ngusir sedulurmu (kerabatmu) sendiri?." Ucap Yono sedikit terkejut dengan penuturan istrinya itu.

"Ssstttt..kalo kamu nggak mau bantu aku, mending kamu wes (sudah) diem saja mas. Dasar suami kok bodo!" Gerutu ika kemudian berlalu begitu saja melewati suaminya yang masih terpaku di depan pintu rumah.

Brakkkk

(pintu rumah di tutup kasar)

"Astaghfirullahaladzim.." tukas yono mengelus kasar dadanya.

"Mas...yono?" Suara panggilan tiba-tiba mengejutkannya. Sontak ia langsung beroaking ke arah sumber suara.

"Iya"

.

.

.

.

.

Bersambung ...

Masa lalu

"kenapa sih dek, tak lihat-lihat kamu kok kayaknya mrenggut wae (cemberut terus). Kamu sakit po?" Ujar Ikhwan tatkala melihat istrinya kali ini lebih banyak berdiam diri.

"Nggak apa-apa mas. Cup..cup..cup.." jawab putri sembari menggendong Nisa yang mulai merengek akibat beberapa gigitan nyamuk yang lolos dari pengawasan ibunya.

"Kamu ada masalah dek?" Tanya Ikhwan kembali. Dia nampak begitu cekatan tatkala mencoba mencabut pohon singkong yang tertanam cukup dalam.

"Nggak ada mas. Cuma..." Ucap putri pias.

"Cuma apa dek?" Ucap Ikhwan kembali penuh tanda tanya.

"Aku kok akhir-akhir ini merasa ada yang aneh ya di rumah peninggalan simbah. Kaya ada yang janggal gitu mas." Ujar putri masih menimang-nimang buah hati kecilnya.

"Seminggu ini hampir 4 kali lho mas aku merasa di ganggu. Entah itu suara, atau kadang bayangan-bayangan gitu. Walaupun nggak berbahaya tapi aku takut mas. Aku jadi paranoid kalau kamu pergi kerja. Aku takut mas saat di rumah itu sendirian." Ujar putri menggandeng lengket lengan Ikhwan.

"Jujur aku juga belakangan ini kurang nyaman dek. Sekarang ayo kita duduk dulu di gubuk. Baru cerita-cerita. Neng kene uakih nyamuke dek, (disini banyak nyamuknya dek,) kasihan si Nisa." Ajak Ikhwan menunjuk sebuah gubuk di pinggir kebun.

Akhirnya mereka berjalan beriringan membelah rimbunnya rerumputan yang memang sengaja di biarkan tumbuh liar dan di manfaatkan sebagai pakan ternak. Dengan menenteng dua pohon singkong yang masih lekat dengan tanah merah yang menempel. Mereka terlihat begitu mesra meski hidup mereka serba susah.

"Ah..boyokku rasane koyo pindah ngarep. (Ah.. punggungku rasanya kaya pindah ke depan.)" Keluh Ikhwan merebahkan punggungnya di dinding gubuk.

"Sebenarnya apa salah simbah ya mas, dari simbah masih hidup sampai simbah sudah meninggal pun anak-anaknya selalu membuat simbah kecewa. Yang aku tahu padahal simbah itu orangnya penyayang. Sifat yang sama sekali nggak menurun ke anak-anaknya. Cuma bapakku saja anak dari simbah yang paling nrimo ing pandum. (menerima dengan ikhlas)." Ujar putri seketika.

"Kamu benar dek, memang nggak bisa di pungkiri. Bapakmu orangnya walaupun galak tapi beliau terlihat begitu sayang denganmu dan pak sudi setahuku bukan tipe orang yang munafik." Imbuh Ikhwan sambil membersihkan singkong yang baru saja ia panen. Dengan terampil ia memilih mana singkong yang akan di jual ke pasar dan mana yang akan di jadikan konsumsi sendiri.

"Berbeda dengan keluarga besarmu yang lain. Seakan-akan hampir semuanya hanya memakai topeng kepalsuan." Batin Ikhwan dalam hati. Ia masih belum tega jika mengatakan langsung kepada putri.

"Dulu, mbah Yani itu orang yang sangat kaya raya mas. Suaminya mbah Rasyid, seorang kolonel ABRI, meninggal dunia saat berjuang demi mempertahankan kemerdekaan di tahun 1960. Meninggalkan ke enam anak beserta semua hartanya kepada mbah yani yang berupa sawah berhektar-hektar beserta tanah kebun yang tersebar hampir di setiap daerah di provinsi ini. Menjadikan mbah Yani yang saat itu sudah berumur 40 tahun lebih sedikit, menjadi salah satu orang terkaya di seluruh provinsi ini.

"Bahkan dulu simbah hampir nggak pernah kekurangan mas, berasnya itu sekali panen bisa untuk satu tahun hidup mas. Ngeri pokoknya. Dulu aku kalau lihat orang-orang yang mau setor panenan dari sawah, itu sampai rumah itu penuh sesak mas. Puluhan karung beras di tumpuk-tumpuk kaya gunung gitu. Dulu waktu kecil aku suka banget manjat-manjat gitu mas." Sambung putri antusias.

"Lalu, sekarang kemana semua itu dek?" Tanya Ikhwan sambil sesekali menyortir dan membersihkan singkong-singkongnya.

"Semua sudah habis mas. Kata simbah waktu masih hidup. Beliau cerita kalau dulu pakdhe ngatno dan pakdhe iman itu nakalnya nggak ketulungan mas. Mereka berdua itu tergila-gila dengan judi. Entah sabung ayam atau judi bola." Tukas putri.

"Lalu apa hubungannya dengan harta simbah dek?" Tanya ikhwan menghentikan sejenak aktivitasnya.

"Lha yo..ada toh mas. Uang yang mereka pakai judi itu iya uang dari hasil panen simbah Yani. Mereka diam-diam kerja sama buat ngambil sekarung demi sekarung, dan kemudian menjualnya ke tengkulak. Bahkan katanya mereka juga pernah menggadai salah satu kebun simbah buat main sabung ayam. Semua itu di lakukan bertahun-tahun mas. Pokoknya apapun akan mereka lakukan demi bisa pasang taruhan judi mas! Begitu kata simbah dulu."

"Dan simbah bukannya tidak tahu soal kelakuan anak-anaknya yang menjual hartanya satu persatu mas. Begitu besar rasa sayang mbah yani ke semua anak-anaknya mas, tanpa terkecuali. Walaupun, hingga saat meninggal dunia, semua harta dari simbah sudah ludes akibat perangai buruk anak yang sudah tulus ia sayangi. Aku masih inget betul mas, saat meninggal, mbah yani itu sampai bingung soal biaya lho mas. Karena hartanya sudah benar-benar ludes habis dan hanya rumah itu yang tersisa." Jawab putri.

"Bahkan dulu rumah itu suratnya saja sudah di gadai lho mas. Hingga budhe miyati menebus semua tanggungan biaya gadainya. Dan budhe juga yang menyuruh kita untuk menempati rumah itu daripada di biarkan kosong tak terawat." Sambungnya.

"Kembali ke simbah Yani. Sayang, sekian lama setelah suaminya meninggal waktu itu. Saat rasa sedihnya kehilangan suami sudah perlahan mulai terobati, Kurang lebih berselang dua puluh tahun kemudian ia mendapatkan musibah kembali yang membuatnya trauma berat sepanjang hidupnya. Anak laki-lakinya yang pertama ikut menyusul mbah kakung rasyid ke alam lain. Anak yang bisa di bilang kesayangannya simbah. Namanya pakde Rukino. Dan saat itu, pakde rukino meninggal dunia dengan kondisi yang cukup misterius." Imbuh putri.

"Misterius?" Ujar Ikhwan heran.

"Iya pokoknya gitu lah mas kondisinya. Kata bapak ngeri pokoknya. Lain kali tak ajak dolan (main) ke rumahnya mas sekalian mau kondangan ke daerah sana juga. Nah, praktis kini hanya tinggal tersisa pakde ngatno, pakdhe iman, budhe miyati yang kini bekerja di luar negeri. Serta pakdhe murshid dan bapak. Tapi yang aku heran mas, walaupun bapak dan sedulurnya (saudaranya) itu satu kampung tapi aku dengar hubungan mereka sedikit renggang. Apalagi setelah mbah yani meninggal dunia. Pakdhe ngatno dan pakdhe iman seakan-akan memutus tali silaturahmi secara sepihak." Sambung putri dengan mimik muka yang serius.

"Hushhh...Sudah lah dek, nggak baik su'udzon sama saudara bapakmu sendiri. Jangan berpikiran yang tidak-tidak ah. Nggak baik." Ucap Ikhwan sembari mencuci tangannya yang kotor penuh tanah merah yang masih basah.

"Iya mas. Tapi orang-orang desa itu juga bilang lho mas, kalau.." tukas putri.

"Ssssstttttsstttt..ayo kita pulang dek langite mulai surup (langitnya sudah mulai gelap). Sesok wae tak juale di pasar. (Besok saja tak jual ke pasar)." Ujar Ikhwan mengangkat karung yang cukup besar itu.

"Iya mas." Putri segera bergegas menuruti suaminya itu. Akhirnya keduanya memutuskan untuk kembali pulang dengan berboncengan menggunakan motor butut milik ikhwan.

"Mas, mbok kamu kalau bisa pinjem siapa dulu gitu mas. Kita sudah nggak punya uang sama sekali lho. Aku juga masih punya hutang sama sebelah mas. Nggak enak kalau mau hutang lagi." Ujar putri yang masih setia membonceng motor suaminya. Wajahnya begitu terlihat kuyu.

"Bismillah dek, nanti tak coba pinjem ke temenku. Moga-moga aja dia punya dek." Jawab Ikhwan mencoba menenangkan hati istrinya meski hatinya sendiri sedang terasa getir. Perasaannya bagai di sambar petir ribuan kali. Ingin rasanya ia menangis namun malu dengan beban tanggung jawab yang tengah mengganduli kedua pundaknya.

"Iya mas. Besok uangnya di kembalikan kalau singkongmu sudah laris di pasar." Ujar putri menyenderkan kepalanya ke punggung kekar suaminya. Nampak Nisa mulai mengerjapkan matanya karena mungkin sedikit terganggu dengan percakapan kedua orang tuanya.

Mereka berdua dengan perlahan namun pasti menyusuri jalan yang aspal yang cukup kecil. Pohon-pohon dan tumbuhan liar di sisi kanan jalan sudah mulai menggelap sebab mentari sudah benar-benar tenggelam. Suasana asri seketika berubah menjadi penuh adrenalin. Kicauan burung yang menyejukkan berganti menjadi lolongan burung hantu yang saling sahut menyahut. Juga di temani sayup-sayup lirih kumandang adzan yang menggema di sudut telinganya.

Surup...

.

.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!