NovelToon NovelToon

Cinta yang tak tergantikan (IRREPLACEABLE LOVE)

Bab 1

Freya merapikan riasannya sebelum benar-benar pergi. Tidak lupa ia menyandang tas kesayangannya. Hari ini adalah hari spesial. Hari di mana ia akan bertemu dengan teman-teman dari dunia maya. Hari ini, tentunya tidak hanya spesial baginya. Tetapi, bagi teman-teman penulis lainnya.  Penampilan Freya hari ini cukup sederhana. Ia tidak mau terlihat mencolok sampai terkesan norak. Karena ia tidak tahu orang -oeang seperti apa yang akan ditemuinya nanti.

Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu naik kendaraan umum. Ia sama sekali tidak punya uang lebih untuk naik taksi yang tentunya lebih mahal dibandingkan kendaraan umum. Padahal, tujuannya saat ini adalah sebuah hotel mewah. Freya harus berjalan beberapa meter lagi setelah turun dari angkutan umum. Tapi, Freya sedang tidak terburu-buru. Wanita itu bisa berjalan dengan tenang agar tidak begitu lelah dan berkeringat.

Jantung Freya berdegup kencang saat memasuki Aula Hotel. Ia melakukan registrasi. Di dalam sana sudah ada beberapa yang datang. Tapi, sayangnya Freya tidak mengenal mereka. Penulis jaman sekarang lebih sering menyembunyikan identitasnya. Jadi, Freya sama sekali tidak tahu menahu siapa yang sudah tiba. Ingin menyapa terlebih dulu, Freya merasa sungkan.

Wanita itu mengambil tempat duduk di deretan tengah, yang memang masih kosong. Freya terlalu cepat datang. Ia membaca pesan di grup, beberapa ada yang memamerkan kalau mereka sudah tiba di lokasi. Freya tersenyum, tidak berani menyapa secara langsung. Mereka adalah Penulis yang sangat terkenal di salah satu Platform.

Freya memilih diam dan menunggu sahabatnya, Grace. Sebagai Penulis baru, Freya tidak memiliki banyak teman. Selain pemalu, Freya juga tidak percaya diri untuk mendekatkan diei dengan mereka yang sudah senior.

Aula Hotel terasa begitu dingin. Perlahan, ruangan itu mulai ramai. Beberapa dari mereka saling bertegur sapa dan berpelukan. Ada yang berteriak histeris. Karena pada akhirnya, mereka dapat bertemu di dunia nyata. Freya masih diam, duduk di dekat dinding. Ia resah sembari mengecek pesan dari Grace. Entah kapan sahabatnya itu tiba.

"Hei!" Grace menepuk pundak Freya dari belakang.

Freya tersentak. Wanita itu tampak lega. Grace tinggal di Provinsi yang sama dengan Freya. Hanya saja, mereka tinggal di Kabupaten yang berbeda. Keduanya sudah pernah bertemu sebelumnya.

"Lama banget? Macet, ya?"

"Ya nggak terlalu. Kamu aja yang kecepetan datang loh. Semangat bener." Grace terkekeh sambil mengambil posisi di sebelah Freya.

"Iya, sih. Nggak pede aja sebenarnya. Udah pada datang semua, ya." Freya mengedarkan pandangannya.

Grace mengangguk."Iya. Kak Della juga sudah datang. Aku udah bawa bukunya, mau minta tanda tangan."

"Iya. Nanti temenin aku ketemu sama Kak Vela, ya?" Freya menyebutkan nama Penulis senior idolanya.

"Iya."

"Aku seneng banget sama acara ini. Untungnya diadakan di Kota kita. Jadi, kita bisa datang tanpa harus mengeluarkan biaya besar." Freya terlihat sangat antusias.

Acara akan segera dimulai. Ketika suasana mulai hening, pintu kembali terbuka. Seorang pria mengenakan topi dan masker berwarna hitam memasuki Aula Hotel. Semua orang menatap ke arah Pria tersebut. Mereka sama sekali tidak bisa menerka siapa orang tersebut.

"Kayak~Mas Bintang,"celetuk Freya.

"Hah?" Grace menyipitkan pandangannya. Lalu, sang pembawa acara mengucapkan sekamat datang pada laki-laki itu, Bintang Tenggara.

"Astaga~" Grace menutup mulut sembari menyenggol lengan Freya."Idola lo satu lagi datang~"

"Iya. Nggak nyangka bisa lihat walaupun dari jauh." Jantung Freya berdegup kencang. Selama ini ia hanya melihat lelaki itu di dunia maya. Ia pernah berkomunikasi dengan Bintang saat mengikuti kelas kepenulisan yang sama. Hanya sebentar saja. Bisa dikatakan, Bintang juga salah satu penggemarnya.

"Ya ampun, langsung pada ricuh. Banyak penggemarnya, sih,"kata Grace.

"Iya. Penulis lain juga banyak yang mengidolakan dia,Mbak."

"Termasuk dirimu, ya."Grace terkikik.

"Aku, sih, belum termasuk penulis, Mbak. Masih belajar. Yang baca aja sedikit, beda sama mereka yang di depan sana. Yang begitu datang langsung dikerumuni orang." Freya menatap Bintang dari kejauhan. Pria itu membuka maskernya hingga Freya semakin deg-degan.

"Kita, sih, Penulis ecek-ecek, ya."Grace terkekeh.

"Aku nggak nyangka dia datang, Mbak. Lagi pula, kan, rumahnya jauh nggak, sih?" Freya berpikir sejenak. Seingatnya, Bintang tidak tinggal di Pulau Jawa, tempat mereka berkumpul saat ini. Bintang sering memposting dirinya ada di laut yang sangat indah. Bahkan,terkadang membuat Freya ingin mengunjungi tempat tersebut.

Grace mengangguk."Hooh~rumahnya di Sulawesi. Tapi, mungkin dia banyak uang makanya sampai datang. Dia lumayan, kan~ penghasilannya juga besar. Atau~dia disponsori. Kudengar~pembacanya sangat loyal."

Freya mengangguk-angguk."Iya, sih. Ya sudahlah~"

"Nanti kusapa dia deh." Grace menggoda Freya. Ia lumayan dekat dengan Bintang. Sebab, ia dan Bintang berada dalam Penerbit yang sama."

"Ya ampun, Mbak~ dia ganteng banget." Freya berbisik.

"Nanti kukenalin, ya. Aku lumayan deket dibandingkan sama yang lain."

"Mbak ini~" Freya tidak mengharapkan apa pun dalam pertemuan ini. Ia datang ke sini untuk menyenangkan hati. Menghindarkan diri dari pikiran-pikiran buruk karena belum mendapatkan pekerjaan. Freya sudah mengirim beberapa lamaran kerja, tapi, ia belum mendapatkan panggilan interview. Beberapa di antaranya sudah memanggil Freya dan melakukan interview melalui panggilan video.

Acara berlangsung meriah. Freya cukup puas dengan pertemuan kali ini. Setidaknya ia merasakan mimpinya semakin dekat untuk diraih.

Jam makan siang pun tiba. Semua meja terasa penuh. Hanya tersisa meja Grace dan Freya, karena mereka memang tidak memiliki banyak kenalan atau grup khusus seperti yang lain.

Grace memeriksa gawai dan membalas pesan. Setelah itu ia melanjutkan makannya. Beberapa detik kemudian, ia melambaikan tangan. Freya melihat Grace melambai, tapi, ia tidak melihat siapa orang yang disapa oleh wanita di hadapannya itu. Ia fokus menikmati es krim.

"Hai!"sapa Grace.

"Saya boleh duduk di sini?" Bintang menatap pada Freya yang tercengang.

Freya mengangguk dengan mulut penuh. Grace menatapnya penuh arti.

"Boleh, kok, Mas Bi~" Grace terkekeh. Ia yakin, pasti Freya jantungan duduk di sebelah Bintang.

"Terima kasih, mejanya penuh semua."

"Ya, Mas Bintang, sih telat. Keburu penuh. Coba kalau duluan, pasti banyak yang berebut duduk di sebelah Mas."

"Iya. Ketemu sama Ibu Nanda dulu." Bintang mulai makan.

Freya makan dengan tangan gemetar. Aroma parfum mahal Bintang mampu menghipnotis siapa saja yang ada di meja itu, termasuk dirinya.

"Mas, kan, tinggal di Sulawesi, ya? Kapan dagang ke sini?"

"Baru nyampe tengah malam. Terus nginap di Hotel ini juga kok. Tapi, bangunnya agak telat tadi. Makanya lama datang."

"Oh~jadi ke sini khusus untuk acara ini?"tanya Grace lagi. Sementara Freya hanya bisa diam seribu bahasa. Wanita itu tidak tahu bagaimana caranya memulai pembicaraan atau mengikuti obrolan.

Bintang mengangguk."Iya. Tapi, sekalian ada acara lain. Ada meeting juga."

"Wah, iya~iya. Nanti boleh minta tanda tangannya, ya, Mas Bi sama foto bareng?" Grace melirik Freya yang kini bersemu merah.

"Ya ampun, Mbak Grace~kayak siapa aja pakai diminta tanda tangan segala." Bintang tersipu.

"Ya ampun, kan jarang-jarang ketemu Penulis terkenal."

"Ah, Mbak jangan berlebihan. Kita semua sama kok di sini. Kita masih sama-sama belajar untuk menjadi lebih baik lagi." Balasan Bintang membuat Freya bisa tenang. Setidaknya Bintang tidak sombong jika dinilai dari ucapannya.

"Oh,ya~ngomong-ngomong di sebelah saya namanya siapa, ya? Belum dikenalin, Mbak?"

"Oh~" Grace tertawa."Jadi lupa. Mas, ini Freya~penulis juga masih baru. Kayaknya ada juga di satu grup di Huru Hara."

"Oh, hai, Freya. Salam kenal~"

"Salam kenal, Mas Bintang." Freya menjawab dengan muka merah.

"Maaf, ya, Freya agak pemalu orangnya."

"Nggak apa-apa, Mbak. Setiap manusia memiliki sifat uniknya masing-masing,"sahut Bintang hingga jantung Freya berdegup tak karuan.

Grace berdehem."Aku permisi ke toilet dulu, ya."

Freya melotot pada Grace karena sudah tega meninggalkannya bersama Bintang. Ia tidak tahu harus bicara apa dengan laki-laki tampan itu.

"Jadi, sekarang lagi nulis apa, Fre?"

"Hah? Eh~nulis itu, Mas, yang nulis bareng di grup aja. Tema~ lika liku laki-laki yang tak laku-laku." Freya menggaruk kepalanya. Ia juga tidak ingat karena ia tidak fokus pada pesan grup.

Bintang tertawa renyah."Itu, kan tema untuk Penulis laki-laki. Kamu salah baca, ya."

"Ah, iya, ya, Mas? Proyeknya belum dimulai, jadi aku lupa. Soalnya memang masih belum fix ikut apa nggak. Soalnya lagi fokus wawancara kerja."

Freya sama sekali tidak fokus. Ia masih berpikir ini adalah mimpi, bisa menatap Bintang sedekat ini.

"Oh, lagi wawancara. Semoga berhasil, ya."

"Terima kasih, Mas." Freya kembali kikuk. Padahal tadi pembicaraan mereka sudah lumayan lancar. Freya bingung mencari pembahasan lain.

"Mas Bintang!" Seorang wanita memanggil dari kejauhan.

Bintang menoleh dan melambaikan tangannya. Pria itu hanya tersenyum saat beberapa orang memanggilnya. Lalu, menunjukkan makanannya yang masih banyak, sebagai informasi bahwa ia sedang makan, tidak bisa menghampiri.

"Mas dipanggil~"

Bintang menoleh pada Freya. Pria itu mengangguk."Iya. Tapi, ya sudahlah nggak enak juga mau menghampiri ke sana. Saya malu."

"Oh~" Freya cukup kaget karena Bintang adalah orang yang pemalu.

"Mas Bintang kalau di Sulawesi, tinggal di Kota apa?"tanya Freya memberanikan diri.

"Di Makassar."

"Oh~" Freya mengangguk-angguk. Freya tidak tahu bagaimana Kota tersebut. Ia hanya melihatnya di televisi.

"Kamu pernah ke sana? Atau punya keinginan ke sana?"

Freya menggeleng."Nggak pernah kepikiran, sih, Mas. Soalnya kayak~jauh banget." Wanita itu terkekeh.

"Nggak jauh kok. Hanya dua jam kalau naik pesawat." Bintang tersenyum penuh arti. Pria itu menyelesaikan makannya. Setelah itu mengeluarkan buku dari tasnya. Ia menyerahkan pada Freya.

"A-apa ini, Mas?"

"Kata Mbak Grace, kamu minta tanda tangan. Ini sudah kutanda tangani. Ini buku aku yang nggak dicetak lagi. Kebetulan aku punya stoknya."

Napas Freya tertahan. Ia senang sekaligus kesal pada Grace. Rasa malu, senang, dan kesal bercampur menjadi satu."Terima kasih, Mas. Maaf merepotkan. Oh iya, ini harga bukunya berapa?"

"Simpan aja buat kamu. Semoga karya kamu segera dibukukan, ya? Saat itu tiba, berikan juga tanda tangan kamu untukku,"balas Bintang dengan senyuman penuh arti.

"Terima kasih, Mas Bintang. Terima kasih banyak."

Freya menggenggam buku dengan sampul cantik itu dengan erat. Rasanya bahagia sekali.

Grace kembali dengan senyuman penuh arti. Setelah makan siang, mereka kembali ke aula dan melanjutkan acaranya.

"Jadi, udah ngomong apa aja sama Mas Bintang?"tanya Grace.

"Nggak banyak. Sekadar basa-basi aja, Mbak,"balas Freya. Lantas, ia memamerkan buku pemberian Bintang."Ini hasil Mbak yang nggak bisa jaga rahasia."

Grace terkekeh."Loh, kan kalau nggak gitu kamu nggak dapat bukunya toh. Dapat yang limited edition. Seneng dong?"

"Makasih ya, Mbak. Tapi, aku malu banget."Freya menutup wajahnya.

"Ya udahlah, nikmati aja. Lagi pula sesekali ini aja ketemunya,kan~"

Benar apa yang dikatakan Grace. Mereka hanya bertemu di kali ini saja. Yang terpenting, ia sudah bertemu secara langsung. Lalu, mendapatkan buku serta tanda tangannya. Ini adalah hari keberuntungannya. Semoga saja, keberuntungannya datang lagi esok. Ia mendapatkan kabar diterima di salah satu Perusahaan, semoga saja.

"Habis ini kita nongkrong dulu, ya, Mbak. Udah lama nggak ketemu, kan?"

Grace mengangguk,"kita, kan, udah sewa kamar buat seru-seruan."

"Iya." Freya terkekeh.

Freya dan Grace menuju Hotel yang sudah mereka booking. Hotelnya berbeda dengan Hotel tempat mereka mengadakan pertemuan. Keduanya mencari yang lebih murah.

...****...

Bab 2

Freya dan Grace duduk di tepi kolam renang Hotel di mana mereka akan tinggal malam ini. Keduanya berbagi banyak cerita. Walaupun selama ini hanya kenalan di dunia maya, mereka sangat nyambung dan nyaman ketika bicara di dunia nyata.

"Mbak, kira-kira Mas Bintang masih di sini, kan, ya?"tanya Freya sambil menatap permukaan kolam.

"Iya. Katanya ada urusan kerjaan. Dia stay di sini selama beberapa hari,"jawab Grace yang tidak tahu pasti apa urusan Bintang.

"Mungkin,novel terbarunya akan terbit. Harus menabung supaya bisa beli."

"Nggak harus beli sekarang juga, kan. Bisa nanti."

"Kan udah nggak sabar."

Grace terkekeh."Kamu jadi ikutan nulis bareng nggak, Frey?"

Freya mengangkat kedua bahunya."Belum tahu, Mbak. Aku pengen banget ikut. Tapi, aku juga harus cari kerja. Aku nggak mau~dianggap nggak berguna. Sebagian orang menganggap, menulis itu hanya buang-buang waktu. Tidak menghasilkan apa-apa."

"Iya, sih. Mereka hanya butuh pembuktian." Grace tersenyum tipis. Berkarir menjadi Penulis memang tidak mudah. Apa lagi kita tinggal dalam lingkungan yang pikirannya sempit. Kita harus berjuang lebih untuk membuktikan. Tapi, kadang kala perjuangan kita juga tidak kunjung membuahkan hasil.

"Kalau nggak punya duit seperti aku, nggak bisa idealis. Nggak bisa ngotot menjadi Penulis sebagai pekerjaan utama. Aku harus cari kerjaan dan punya penghasilan tetap. Di saat itu, barulah aku bisa memulai pekerjaanku sebagai Penulis. Semoga saja bisa berjalan dengan baik."

Grace mengusap tangan Freya."Semangat, Frey. Kamu pasti bisa."

"Makasih, Mbak, "balas Freya dengan suara bergetar. Tidak lama kemudian, gawainya berbunyi. Irfan, sang kekasih menghubunginya.

"Aku angkat telepon sebentar, ya, Mbak?"

Grace mengangguk. Wanita itu berdiri dan mengambil posisi yang agak jauh dari Grace.

"Halo,Fan..."

"Kamu di mana?"

"Aku di Hotel Angkasa sama Mbak Grace."

"Ngapain di Hotel? Kayak nggak ada tempat lain aja buat ketemu."

Freya menelan ludahnya kelu. Padahal selama ini ia sudah sering menceritakan tentang Grace, teman di dunia maya. Ia juga sering menunjukkan percakapannya dengan wanita itu."Kita habis ada acara bareng. Terus aku nemenin Mbak Grace di Hotel. Dia baru balik besok."

"Jadi, kamu di sana sama teman-teman komunitas kamu itu? Sama Penulis yang kamu suka itu?"

"Astaga, Fan. Aku cuma berdua. Lagi pula Penulis itu nggak ada sama aku. Aku bukan kelas mereka. Mana bisa aku bicara dan nongkrong sama mereka."

"Aku nggak percaya. Penulis laki-laki itu?"

Freya menarik napas panjang."Kamu tahu nggak, sih, ibaratnya dia tuh artis di sini. Mau senyum sama dia aja susah. Gimana mau macem-macem seperti yang kamu pikirkan?"

"Nggak usah bohong, Frey. Kamu bela-belain datang hanya untuk dia, kan?"

Freya tidak tahu lagi harus berkata apa untuk meyakinkan sang kekasih.

"Kamu berduaan sama dia,kan, di Hotel."

Freya terkejut sampai harus istighfar."Aku cuma sama Mbak Grace. Berdua aja. Kita video call aja kalau kamu nggak percaya. Aku sama Mbak Grace sudah lama janjian mau ketemu. Baru terealisasi sekarang. Dia juga sudah jauh-jauh datang ke sini. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini."

"Acara Komunitas Penulis itu?"

"Iya. Aku pernah kasih tahu kamu minggu lalu, kan?" Freya berharap Irfan mau mengerti.

"Kamu ngapain, sih, ngerjakan hal nggak berguna itu? Nulis~buat apa? Nggak ada faedahnya."

Freya tertegun menggenggam Ponselnya."Kok kamu ngomong gitu? Ini juga bisa menghasilkan uang kok. Cuma belum waktunya aja."

"Mana buktinya? Toh kamu tetap pengangguran dan ngabisin duit aja. Lebih baik cari kerja yang jelas. Aku tuh punya kerjaan yang bagus. Kamu juga harus kerja."

"Aku kan lagi nunggu panggilan kerja. Beberapa juga susah interview, tinggal menunggu hasil. Aku sudah berusaha,"ucap Freya tercekat. Ia ingin sekali menangis.

"Ya terus ngapain masih bergabung sama temen-temen penulis? Memangnya mereka bisa kasih apa sama kamu?"

"Kan aku cuma ketemu."

"Terserah, deh, Frey. Kamu udah besar. Kamu yang bisa menentukan masa depan kamu. Stop berkhayal menjadi Penulis. Khayalan kamu nggak realistis." Irfan berkata dengan nada merendahkan.

"Maaf~"

"Kamu pulang sekarang."

"Nggak bisa, Fan, aku sudah janji sama Mbak Grace. Lagi pula aku bisa ketemu sama dia malam ini saja."

"Pulang, Frey. Kamu kayak mau jual diri di Hotel tahu nggak."

"Irfan!" Pekik Freya."Aku nggak wanita seperti itu."

"Apa? Mau pulang nggak? Kalau sampai kamu nggak kelihatan sampai besok pagi. Kita putus aja, Frey. Nggak mau punya pasangan yang mainnya ke Hotel."

"Fan~"

Irfan memutuskan sambungannya. Freya menarik napas panjang. Air matanya menetes perlahan. Dadanya terasa sesak merasakan sikap sang Kekasih yang terus-terusan seperti itu.

Grace menghampiri Freya. Kemudian mengusap punggung Freya."Sabar ya, Frey."  Sedikit banyaknya, Grace tahu bagaimana hubungan Freya dengan sang kekasih.

Freya menyeka air matanya dengan cepat. Ia malu harus menangis di depan Grace. Irfan benar-benar merusak suasana hatinya saat ini. Padahal, seharusnya ia bisa bersenang-senang dengan Grace. Membicarakan project-project mereka ke depannya.

"Nangis aja, Frey, nggak apa-apa. Dengan begitu, kamu merasa lega." Grace mengusap punggung Freya. Wanita itu merasa sangat kasihan pada Freya. Ia ingin menyuruh Freya berhenti berhubungan dengan laki-laki itu. Tapi, ia sama sekali tidak punya hak untuk menyuruh keduanya putus.

"Aku capek, Mbak, sama hubungan yang seperti ini. Tapi, aku sayang sama dia. Aku~nggak bisa kalau nggak sama dia."

"Ya ampun, Frey, hubungan kamu ini sebenarnya tuh toxic. Mau sampai kapan pun, kamu yang akan tersiksa."

"Tapi, aku sayang, Mbak."

"Ya sudah, kalau sayang, ya~kamu turuti dia." Grace tidak bisa memberikan saran apa pun lagi. Orang yang sudah cinta mati akan susah dinasehati.

Freya masih terisak memikirkan hubungannya dengan Irfan. Wanita itu masih bingung, harus mengakhiri hubungan dengan Irfan atau mengakhiri pertemuannya dengan Grace. Freya menghubungi Irfan. Tetapi, pria itu menolak panggilannya. Hati Freya semakin semrawut.

Freya mengirimkan pesan pada Irfan. Lalu, keduanya berbalas pesan dengan emosi yang masih membara.

Grace menghela napas panjang. Ia membuang pandangannya ke arah kolam, lalu terkejut melihat Bintang ada di sana.

"Mas Bintang?"

Bintang yang mengenakan kaus besar dan celana pendek selutut menoleh. Pria itu menghampiri Grace."Mbak, kebetulan banget ketemu lagi."

"Iya, nih."

"Belum pulang?"

"Kita masih mau me time di sini. Mumpung ketemu." Grace terkekeh."Mas kok di sini. Kukira menginap di Hotel yang tadi."

"Oh, kebetulan ada urusan di sini." Bintang melirik ke arah Freya yang berderai air mata.

Grace meringis sembari menyikut Freya yang masih belum sadar. Wanita itu masih saja membalas pesan Irfan yang marah-marah.

"Freya baik-baik saja?"

"A~ada sedikit masalah. Tapi, semua baik-baik saja kok."

Bintang mengangguk-angguk."Ya sudah kalau begitu saya pamit, Mbak. Karena harus ketemu orang."

Grace melambaikan tangan."Iya~"

Bintang melirik Freya sekilas. Lalu, menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis.

Pria itu tampak masuk ke gedung Hotel untuk menemui seseorang.

...****...

Bab 3

Freya terbangun dengan mata yang bengkak. Ia menangis sebelum tidur karena akhirnya hubungannya dengan Irfan harus kandas. Grace menguatkannya semalaman. Bagaimana pun, Ia akan terus mendukung Freya.

"Frey, sarapan, yuk?"ajak Grace yang baru saja mandi.

Freya mengangguk dengan tidak bersemangat. Wanita itu melangkah gontai ke kamar mandi. Ia menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat dan pergi sarapan dengan lesu.

Grace memperhatikan Freya di meja makan."Kamu masih kepikiran sama pacar kamu itu?" Wanita itu menggelengkan kepalanya,"ucapannya agak kasar, ya, Frey."

Freya tersenyum lesu."Maaf, ya, Mbak. Situasinya jadi kacau begitu. Harusnya kita ķan senang-senang." Situasi ini benar-benar membuatnya tak nyaman. Ia memang butuh kekasih tapi, ia lebih membutuhkan ketenangan batinnya.

"Ya gimana, Frey, kamu juga terlalu membiarkan dia begitu. Aku nggak pernah ada di posisi itu jadi nggak bisa komentar. Tapi, jangan dipikirin, Frey. Aku bisa memaklumi aja." Grace menepuk pundak Freya pelan.

Ponsel Freya berbunyi. Sebuah email masuk. Freya terbelalak sampai tangannya gemetaran.

Ia bahkan harus membacanya berulang kali. Ia takut ini hanyalah mimpi.

"Freya, kamu kenapa?" Grace mulai khawatir. Ia berpikir kalau wanita itu menerima pesan dari kekasihnya lagi. Lalu, keduanya akan bertengkar lagi.

Freya berusaha menyadarkan diri. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja. "Mbak~" Freya menggenggam tangan Grace.

Grace menatap Freya heran,"kenapa?"

"Aku keterima, Mbak~katanya aku disuruh ke kantor sekarang untuk penanda tanganan kontrak." Suara Freya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Grace tersenyum dan mengusap tangan Freya. "Syukurlah, Frey~kamu keterima kerja. Ya udah kamu sarapan cepat, langsung ke kantornya."

"Tapi, Mbak gimana?" Freya tak enak hati. Padahal Grace sudah jauh-jauh datang ke sini. Tetapi, ia harus menghadapi situasi yang tak seharusnya atau ada di luar rencana mereka.

"Gampang lah, Freya...Mbak bakalan tunggu kok. Lagi pula, kamu cuma sebentar sih. Aku bisa ketemu sama Penulis lain yang masih ada di sini." Grace berusaha meyakinkan agar Freya bisa tenang.

"Maafin aku, ya, Mbak." Freya menatap Grace penuh haru. Ia bersyukur memiliki teman yang sangat pengertian seperti itu.

"Santai aja, Freya~" Grace terkekeh.

-----

Freya sudah kembali ke Hotel setelah beberapa jam di gedung besar itu. Wanita itu mematung di kamar. Ia sudah memegang sebuah amplop berisi tiket dan surat kelengkapan lainnya. Ia telah menanda tangani kontrak kerja. Hari ini ia senang sekaligus sedih. Ia tidak tahu apakah keputusan ini benar atau tidak. Ia harus pindah ke wilayah lain. Freya sudah mengatakan kalau ia nersedia di tempatkan di mana saja. Ini sangat berat, tapi, ia sangat membutuhkan pekerjaan.

Grace baru saja tiba ke kamar. Ia melongok dan mengerutkan dahi. Freya tak menyadari kedatangannya. Ia pun menghampiri Freya yang tampak terus melamun."Gimana, Frey? Urusannya lancar?"tanya Grace.

Freya melonjak kaget. "Iya, Mbak." Freya menganģguk lemah. Ia berusaha tersenyum di sela-sela kegundahan hatinya. ."Mbak dari mana?"

"Ke Hotel sebelah. Ketemu beberapa Penulis lain yang masih di sini. Mereka adakan pertemuan kecil. Aku diperbolehkan ikut. Ya cuma dengerin aja. Maklum, masih bukan siapa-siapa, ya, kan." Grace tertawa.

"Ada Màs Bintang juga?" Entah kenapa Freya harus menanyakan lelaki itu. Rasa kagumnya terhadap pria itu tidak pernah bisa ditepis.

Grace menggeleng."Nggak ada. Nggak mau ikut. Katanya dia itu agak tertutup, sih, orangnya. makanya nggak mau kumpul-kumpul. Ya mungkin karena kebanyakan Penulis itu perempuan. Jadi, ya, wajar aja menurutku. Oh, ya, gimana~gimana kerjaan kamu? Udah tenang dong ada kerjaan."

"Mbak, aku setuju ditempatkan di mana saja. Terus~aku ditempatkan di Makassar." Freya hanya bisa merutuki kebodohannya. Awalnya ia memang akan menyetujui di mana pun ia akan ditempatkan. Tapi, ia tidak menyangka kalau ia harus keluar dari Pulau ini.

"Makassar?" Grace mempertegas.

Freya mengangguk dengan bibir mengerucut. "Iya."

Wajah Grace sedikit khawatir karena tempat itu cukup jauh. Walau ditempuh dua jam naik pesawat, setidaknya Kota itu sudah berbeda pulau dari temoat mereka saat ini. "Tapi, di pusat Kotanya, kan? Bukan di daerah yang butuh waktu berjam-jam dengan transportasi yang banyak?"

"Iya, Mbak. Aku nggak pernah ke sana, Mbak. Aku sama sekali nggak tahu bagaimana di sana. Beneran deh." Freya mulai frustrasi. Ia juga belum memberi tahu Ibunya mengenai masalah ini. Tapi, sepertinya sang Ibu tidak akan mempermasalahkan. Yang penting Freya bisa bekerja dan tidak diremehkan orang.

Grace mengusap punggung Freya."Ya sudah jangan kamu pikirkan. Yang terpenting kamu dapat kerja. Jadi, nggak disepelekan terus. Lagi pula, cari kerja susah, Frey. Kalau ada, ya, terima saja. Kamu tidak akan tahu kalau belum dijalani. Hitung-hitung nambah pengalaman. Lalu, kamu bisa tahu daerah lain."

"Tapi, gimana aku bisa cari tempat tinggal, Mbak? Aku bingung. Katanya, di sana bahasanya juga beda."

"Tapi, mereka tetap bisa bahasa Indonesia toh? Ya udah jangan khawatir. Kamu persiapkan aja semuanya. Nanti kuhubungi saudaraku yang di sana. Jadi, nanti dia yang akan bantu kamu cari tempat tinggal dan memperkenalkan daerah di sana. Lagi pula sekarang jaman canggih, Frey. Kamu bisa cari tahu apa pun di internet."

Freya mengangguk."Terima kasih, Mbak. Tiga hari lagi aku pergi."

"Iya. Ayo kita rayakan ini. Kita makan enak,"kata Grace.

Freya mengangguk senang. Sudah cukup ia bersedih. Ia memang kehilangan kekasih. Tapi, Tuhan sudah menggantinya dengan memberikan pekerjaan yang baru.

freya dan Grace keluar dari Hotel. Freya menggenggam ponselnya erat. Lalu, perlahan matanya turun ke layar ponsel. Ia memikirkan tentang keputusannya kali ini. Ia akan betul-betul pergi dari sini, meninggalkan segalanya.

Freya terbelalak saat menerima pesan dari Irfan. Wanita itu menarik napas panjang dan mengabaikannya. Sudah cukup. Ia tidak mau berurusan lagi. Irfan terus mengiriminya pesan. Freya terus mengabaikannya. Pria itu tak akan berubah, usai menyakitinya dengan ucapan kasar dan mengakhiri hubungan, ia akan datang dan meminta maaf. Begitulah dilakukan secara berulang kali. Hingga Freya berada di titik jenuh

Seperti saat ini. Ditambah lagi Irfan sering menghina hobinya.

"kamu kenapa, Frey?" Grace menyadari wajah Freya yang merengut.

"nggak, Mbak. Yuk." Freya memeluk lengan Grace dan melangkah dengan senyuman semringah. Setelah beberapa langkah, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini bukan sebuah pesan, melaunkan sebuah panggilan telepon. Freya membuka ponsel, menolak panggilan, dan memblokir nomor Irfan. Ia kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. Freya melangkah dan tertawa.

"Nggak penting, sampah! Selanat tinggal laki-laki toxic! Jangan datang lagi ke kehidupanlu!"teriak Freya dalam hati.

...****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!