Dua tahun sudah hidup menjadi seorang duda, sosok pria bernama Rafael Zafran, berusia 30 tahun dengan paras rupawan, kini tengah duduk di ruang baca.
Ia kini menatap foto lama yang seolah tidak pernah bosan ia pandangi dan diam-diam disimpan dengan rapi dalam dompetnya.
Potret pernikahan sirinya dengan Aeleasha Charlotte, satu-satunya foto pernikahan yang tak pernah bisa dibuang.
Meskipun ia sendiri menyadari bahwa hanya kenangan pahit yang dirasakan olehnya, tetapi tidak bisa membuangnya.
Foto yang menjadi satu-satunya kenangan dari pernikahan siri mereka, pernikahan tanpa perayaan, tanpa ingar-bingar dan yang paling menyakitkan adalah pernikahan tanpa cinta.
Rafael Zafran adalah seorang pria yang nampak sempurna tanpa cela. Presensi setenang tetesan embun di pagi hari, pemikir yang bijak, serta hati bak malaikat. Ia nyatanya tidak pernah merasa menjadi sosok sempurna karena cintanya untuk Aeleasha tak pernah cukup.
Bagi Aeleasha, mungkin ia adalah malaikat yang menjelma menjadi manusia yang datang untuk membantunya kembali mendapatkan kehidupan yang baik, serta menutupi kehamilan dengan menikahi wanita malang itu.
Akan tetapi, Rafael tidak pernah benar-benar menjadi seperti malaikat dan ia juga tidak pernah benar-benar menjadi seorang suami bagi Aeleasha.
Rafael terjebak sendiri dalam ikatan itu. Ia terjebak dalam cinta sepihak dan tidak tahu bagaimana cara melepas simpulnya.
Bahkan setelah dua tahun berlalu, ketika melepas wanitanya ke pelukan lelaki lain, ia justru masih berdarah-darah sendiri karena harus bersusah payah lagi melepas perasaannya.
Ia benar-benar sangat terluka dan tidak bisa melupakan sosok wanita yang sangat dipujanya. Meskipun ia tahu bahwa Aeleasha sama sekali tidak meliriknya sedikit pun.
Namun, entah mengapa rasanya seperti meneguk racun yang menjadi candu.
Candu. Merindukan mantan istri bagi Rafael adalah sebuah candu.
Benar bahwa ia adalah seorang pria yang terkenal bijak dengan melepas Aeleasha demi kebahagiaannya. Namun, dalam cinta, seseorang mungkin tak bisa bijak pada diri sendiri.
Hatinya menolak untuk melupakan atau berhenti mencintai Aeleasha.
Hatinya menolak untuk tidak merindukan mantan istrinya. Terakhir adalah hatinya pun menolak untuk menerima wanita lain selain Aeleasha.
Benar kata orang, jatuh cinta itu seperti memasuki labirin. Tidak peduli bagaimana memulainya dan tak tahu bagaimana mengakhirinya. Ia sungguh terjebak.
Lelaki itu mengembuskan napasnya dengan berat. Matanya dipejamkan sesaat. Sekilas terlihat kantung matanya menggelap akibat kurang tidur dan kelelahan. Semua itu karena selama ini, ia menyibukkan diri dengan pekerjaan demi bisa melupakan kesedihannya.
Meskipun ia sadar bahwa semua itu sama sekali tidak berguna karena cintanya untuk mantan istrinya tetap terpatri di dalam hati.
Kini, terlihat Rafael menyesap kopi hitam yang ia letakkan di pojok meja kerjanya. Kopi dan pagi, perpaduan cocok untuk ikut serta menelan kepahitan dalam hatinya di hari ini.
Menghirupnya sedikit, ia menyadari satu hal. Rasanya pahit sekali, tetapi ia tidak bisa berhenti.
Suara kenop pintu yang dibuka sejenak menghentikan aktivitasnya. Rafael menaruh cangkir kopinya kembali ke pojok meja.
Tampak seorang wanita paruh baya berdiri di sisi pintu dengan nampan berisi sandwich dan segelas susu menatapnya dengan senyuman hangat.
"Selamat pagi, Putraku," ucapnya diiringi senyuman yang semakin mengembang.
Rafael membalas senyuman wanita yang sangat disayangi dan dihormati.
"Selamat pagi, Ma. Apakah Mama tidur nyenyak semalam?"
Wanita itu mendekat, meletakkan sarapan di meja. "Harusnya Mama yang bertanya. Kamu tidur nyenyak semalam? Matamu kelihatan kurang tidur."
"Masih pagi sudah minum kopi. Kamu tahu? Kandungan dalam kopi itu tidak baik untuk lambung, terutama saat diminum ketika perut kosong begini."
Wanita itu mengambil kopi Rafael yang masih tersisa seperempat lagi. "Setidaknya kalau mau minum kopi, harus sarapan dulu," sahut wanita paruh baya bernama Tiana Aiza berusia 50 tahun yang tidak ingin kesehatan putranya terganggu karena kebiasaan buruk.
Rafael yang mendengar nasihat dari sang ibu, hanya tersenyum lebar menatapnya. "Sepertinya aku adalah anak paling beruntung di dunia, ya. Setidaknya, ada Mama yang selalu mengkhawatirkanku."
Tiana Aiza adalah wanita paruh baya berhati lembut bagai peri. Dari siapa lagi gen pria baik seperti Rafael jika bukan darinya, serta lingkungan penuh cinta yang diciptakannya.
Wanita itu selalu merawat Rafael dengan baik sedari kecil, meski tanpa ayahnya yang sudah meninggal dunia. Ia selalu menjadi orang yang paling mengkhawatirkan Rafael dan menjadi orang yang paling mengerti akan kondisinya.
Hati wanita itu sejenak berdenyut nyeri melihat senyuman lebar, serta candaan ringan yang dilontarkan putranya karena ia tahu senyuman itu benar-benar palsu.
Putranya hanya mencoba untuk terlihat baik-baik saja di hadapannya, seolah tak ada yang terjadi. Ia tahu bahwa Rafael tidak baik-baik saja setelah Aeleasha pergi dari hidup mereka.
Tiana mengembuskan napasnya sejenak. "Rafael, apa kamu lelah mengurus masalah perusahaan?"
"Kenapa Mama tiba-tiba bertanya seperti itu? Aku tidak lelah sama sekali. Aku justru senang karena sekarang bisa memberikan apapun yang Mama mau. Katakan saja apa yang Mama mau."
"Baju baru? Perhiasan baru? Mobil baru? Aku bisa membeli semuanya sekarang." Rafael berujar gurau sambil menyantap sarapannya disertai terkekeh kecil.
Memang benar. Mereka berdua hidup dalam kemiskinan dari dulu. Tiana selalu bekerja keras menghidupi Rafael sendirian sejak anaknya masih kecil.
Ketika Rafael dewasa, lelaki itu sangat ingin mengubah nasib mereka. Ia ingin sang ibu berhenti kesusahan dan membahagiakannya. Awalnya, mereka hidup dalam kesederhanaan. Namun, sekarang keadaan berubah 180 derajat.
Rafael sekarang menjadi CEO di anak perusahaan milik Arsenio— lelaki yang sekarang berstatus sebagai suami Aeleasha sebagai balas budi karena telah menjaga selama tiga tahun lamanya.
Sebenarnya dulu, ia sempat merasa tersinggung pada awalnya. Entah diberikan sebuah perusahaan, atau diberikan kekuasaan, hal-hal yang ditawarkan Arsenio tersebut tidak bisa dibandingkan dengan ketulusannya.
Akan tetapi, karena beberapa alasan, termasuk demi kebahagiaan Aeleasha, ia harus menerima tawaran itu. Salah satu alasan adalah ibunya. Selain itu, juga karena ia ingin berdamai dengan perasaannya.
Namun, Tiana tahu, bahwa Rafael masih belum bisa berdamai dengan perasaannya. Ia tak butuh barang-barang mahal untuk membuatnya bahagia.
Ia tidak butuh berbidang-bidang tanah dan rumah mewah untuk membuatnya tenang. Ia hanya ingin melihat putranya bahagia bersama wanita yang dicintai dan mencintainya.
Ia ingin putranya mendapatkan kehidupan baru. Itulah impiannya sebagai seorang ibu.
Menciptakan keluarga baru dan berbagi kehangatan yang sama seperti yang ia ciptakan untuk Rafael. Tiana hanya ingin memastikan kalau setidaknya anaknya memiliki kehidupan yang bahagia ketika usianya semakin tua.
Tiana kini menatapnya dengan serius. Ia lantas duduk pada kursi di depan meja putranya. "Rafael. Dengarkan Mama dengan serius kali ini."
Rafael seketika menghentikan aktivitas. Rotinya hanya tersisa satu potong kecil saja.
Namun, ia memiliki firasat kalau roti itu tidak akan mampu ia habiskan. Suasananya terlalu serius sekarang. Ia memberanikan diri menatap wajah serius ibunya yang tidak biasa.
"Apakah kamu sungguh berpikir kalau segala kemewahan ini yang Mama inginkan? Apakah kita benar-benar bahagia dengan adanya semua yang telah kita dapatkan ini?"
Sesuatu yang diawali dengan pertanyaan. Namun, tidak memiliki jawaban pasti. Otak Rafael seakan tiba-tiba kosong.
"Mungkin kamu berpikir dengan semua ini, Mama akan berhenti bekerja keras dan membanting tulang. Mungkin kamu benar. Tapi untuk apa? Untuk apa mempunyai segalanya kalau kamu tidak bahagia?"
"Kamu tahu apa yang membuat Mama bahagia? Apa yang Mama inginkan? Mama hanya ingin melihatmu bahagia. Tidak kurang dan tidak lebih." Wanita itu menatap Rafael dengan lembut, meraih tangan putranya untuk digenggam sesaat.
"Kamu masih mencintai Aeleasha, kan?"
Pupil Rafael melebar sesaat. Ia pikir telah bersembunyi dengan baik selama ini. Namun, ia takjub bagaimana sang ibu mengetahui sebanyak itu tentang perasaannya. Rafael kali ini hanya bisa tersenyum miris.
"Kalau iya atau tidak, itu tidak ada artinya sekarang. Mama tidak perlu mengkhawatirkan itu."
"Tidak perlu? Bagaimana bisa itu menjadi 'tidak perlu' untukku? Kamu selalu memaksakan diri bekerja terlalu keras setiap hari, memandangi foto pernikahan kalian setiap kamu sedang sendiri."
"Kamu juga selalu menutup hati untuk para gadis-gadis di luar sana yang ingin mendekatimu. Harus sejauh mana lagi Mama berpura-pura tidak tahu dan diam membiarkan?"
"Aku mengerti, Ma, tapi percayalah. Semuanya akan baik-baik saja. Mama jangan terlalu memikirkan hal seperti ini." Rafael memaksakan senyumnya, mengusap punggung tangan sang ibu dengan lembut.
"Sampai kapan, Rafael? Sampai kapan kamu akan hidup seperti itu? Ini sudah dua tahun. Mau berapa lama lagi sampai kamu bisa melupakan Aeleasha? Dia sekarang sudah menjadi istri orang. Untuk apa kamu masih menyimpan perasaan untuk wanita yang tidak mencintaimu?"
Rafael terdiam. Takut salah kata dan sama sekali tidak berniat menjawab apapun.
Melihat putranya diam seperti itu, Tiana menghela napasnya dengan gusar.
Ragu untuk mengatakannya atau tidak, tetapi ia memutuskan untuk memperjelas semuanya. "Mama ingin kamu menikah dan melupakan wanita itu."
Rafael tersentak. Bagai ditampar pagi-pagi buta karena ia tidak percaya apa yang dikatakan mamanya barusan.
Namun, tatapan tajam wanita yang sangat disayanginya tersebut menyiratkan ketegasan yang nyata. Final dan seolah tidak bisa diganggu gugat.
Rafael menetralkan napasnya dan mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Kemudian baru membuka mulut untuk menanggapi.
"Ma, menikah itu tidak bisa dilakukan terburu-buru dan asal memilih mempelai dan aku belum tertarik menikah dengan wanita mana pun."
Ia berbicara dengan penuh hati-hati, tapi sepertinya sia-sia ketika melihat ekspresi mamanya yang tampak semakin lurus dan berbicara dengan nada tegas.
"Mama sangat serius dengan ucapan tadi. Kamu pikirkan baik-baik!"
Wanita itu lantas berdiri bersama nampan, serta seperempat kopi yang sudah dingin dan membawanya keluar meninggalkan Rafael dalam ruangan yang semakin membuat pikirannya tidak karuan.
To be continued...
Rafael lebih menikmati waktu kerjanya bagai waktu istirahat dari permasalahan-permasalahannya. Sekitar seminggu setelah perbincangannya dengan mamanya pagi itu, telinganya seakan mau panas setiap kali menanyainya tentang pernikahan, wanita, calon istri, kapanpun setiap ada kesempatan.
Rafael, apakah ada wanita yang sedang dekat denganmu?
Rafael, apakah kamu sudah punya pacar?
Rafael, kamu sudah memikirkan calon istri yang akan kamu nikahi?
Seperti itulah pertanyaan yang sering kali menyakiti telinganya.
Jelas ia sama sekali tidak tertarik untuk menikah sekarang. Namun, keinginan sang ibu, tampaknya semakin mengembang, bagaikan balon udara yang melambung ke atas. Kalau Rafael tidak berusaha menghentikannya, mamanya pasti akan lepas kendali.
Suara ketukan pintu terdengar dan membelah keheningan ruangan kerja Rafael. Membuyarkan konsentrasi saat menatap laporan di laptopnya. Kemudian mempersilakan orang di luar agar masuk ke dalam.
Tampak seorang wanita dengan lipstik merah darah di bibir plumpy-nya. Senyumnya seketika terpatri di sana. Wanita itu mendekat dengan langkah percaya diri, berhenti tepat di samping kursi Rafael.
Wanita itu kian mengikis jarak, hingga bau parfumnya menusuk indra penciuman Rafael.
"Ada berkas yang harus Anda tandatangani, Tuan." Wanita itu berucap dengan suara rendah, nadanya tidak biasa, begitu menggelitik telinga.
Rafael cepat-cepat mengambil ballpoint-nya, semakin cepat selesai, maka akan semakin cepat wanita itu keluar. Rafael tahu betul bahwa ia adalah sasaran empuk untuk didekati wanita-wanita di kantornya.
Memiliki kekuasaan, usia matang, dan lajang, jelas menjadi incaran yang menggiurkan. Hal ini jelas bukan pertama kali. Namun, Rafael selalu tahu bagaimana ia harus menolak mereka. Berpura-pura tidak perduli, hingga para wanita kesal sendiri dan menyerah.
Kali ini, mungkin akan berakhir sama.
Rafael menghentikan tangannya, melihat kertas yang telah ditoreh ballpoint tak meninggalkan bekas apapun. "Ballpoint saya habis, kamu punya?"
Wanita itu tersenyum lebar. "Tentu saja punya, tapi .…"
Rafael memicingkan mata dan bisa mengerti ke mana arah pembicaraan dari wanita di hadapannya.
Wanita itu langsung mengambil kesempatan dengan mencondongkan badannya ke depan. Membuat potongan blus di balik blazer yang dikenakan menurun dan menampakkan belahan dadanya.
"Ballpoint saya sangat mahal, Tuan. Anda harus menggantinya."
"Berapa pun," pungkas Rafael singkat. Ia kemudian menadahkan tangannya.
Wanita itu kembali tersenyum sambil mengambil ballpoint yang berada di saku dalam blazernya.
"Saya pegang kata-kata Anda." Wanita itu memberikan ballpoint-nya, dengan sengaja menyentuh tangan Rafael.
Namun, Rafael yang sangat tidak menyukai sikap wanita itu, dengan segera mengambilnya dan menyelesaikan urusan tanda tangan.
"Berapa harganya?" tanya Rafael pada akhirnya.
"Sangat mahal," balas wanita itu.
Jawaban wanita di hadapannya itu jelas membuat Rafael menatap tajam.
"Jangan main-main. Aku tidak punya waktu."
Wanita itu tertawa kecil. "Baik, karena Anda bilang begitu. Saya beritahu harganya sekarang. Harganya adalah cinta Anda."
Rafael menghela napasnya. Ini bukan yang pertama kali juga. Ia kemudian menatap wanita itu sesaat. Tangan kanannya ia rentangkan ke arah depan dengan gestur mempersilakan.
"Pintu keluarnya ada di sebelah sana. Jadi, pergi atau kau kupecat!"
Wanita itu hanya mundur beberapa langkah. "Anda sungguh berpikir saya akan mundur sama seperti mereka? Sayangnya saya harus mengatakan ini. Anda harus segera mencari calon istri dan memulai kehidupan baru, Tuan."
Rafael kembali menatap wanita itu. "Tahu dari mana kamu?"
"Ah, maaf, saya cuma asal bicara." Wanita itu tersenyum tipis.
"Kamu tahu, di sini tidak boleh ada yang bicara asal. Kamu tahu aku punya kuasa untuk posisimu di kantor ini, bukan?" ucap Willy serius. Ia tahu, ini lain. Ada sesuatu yang aneh.
Wanita itu memaksakan senyumnya, takut melakukan kesalahan lebih parah lagi. "Baik, lebih baik saya cari aman. Sebenarnya kebetulan saya bertemu ibu Anda tadi pagi di kantin kantor."
***
Rafael pulang dengan pikiran penuh kalut dan tak habis pikir pada ibunya sampai melakukan hal itu. Ia mencarinya kesana-kemari di setiap bilik rumah, sialnya tidak ada.
Sungguh membuatnya semakin pusing. Di saat ia benar-benar ingin bicara, mengapa sang ibu tidak ada seperti hari-hari sebelumnya yang tiba-tiba muncul dan menanyakan topik pernikahan tanpa kenal menyerah.
Rafael pada akhirnya berhenti di depan kulkas dan meneguk soda untuk menyegarkan pikirannya sejenak. Sampai kemudian terdengar suara pintu depan yang dibuka.
Terlihat sang ibu yang tampaknya membawa beberapa belanjaan dapur. Rafael mendekat untuk membantunya membawa barang-barang dalam kantong plastik tersebut.
"Wah … jam berapa ini? Tumben kamu pulang sebelum Mama selesai memasak. Apakah terjadi sesuatu?" tanya Tiana dengan wajah penuh sorot pertanyaan.
"Ma, jangan pura-pura tidak tahu." Rafael berucap gusar.
"Ada apa? Memangnya apa yang Mama tidak tahu?"
"Aku tahu Mama ingin aku menikah. Mama ingin aku membuka hati untuk wanita lain, tapi apa perlu melakukan hal itu? Menyuruh karyawanku untuk menggoda di ruang kerja, sama sekali tidak akan berhasil."
"Aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Rafael menatap mamanya dengan dahi berkerut, seperti anak kecil yang dipaksa ibunya untuk belajar.
"Lalu apa yang kamu lakukan seminggu ini? Seminggu ini, Mama sudah membiarkanmu. Bukan untuk diam saja seperti itu, tapi untuk memikirkannya dengan matang."
"Namun, sepertinya kamu tidak menganggap perkataan Mama serius, ya?"
Tiana menghentikan aktivitasnya, memasukkan sayur-sayuran ke dalam kulkas. Kulkas ditutup, tetapi aura dingin semakin terasa.
"Bukan seperti itu, Ma. Menikah itu butuh persiapan. Tidak semudah itu menemukan calon istri. Lagipula, aku masih butuh waktu."
"Waktu? Kamu butuh waktu, kan? Baik. Mama akan memberimu waktu. Satu minggu. Mama akan memberimu waktu satu minggu untuk memperkenalkan calon istrimu. Jika dalam waktu satu minggu kamu tidak bisa, biar Mama yang mencari wanita untuk kamu nikahi."
Tiana menepuk bahu Rafael, tersenyum singkat. Kemudian berlalu meninggalkan lelaki itu dan memulai aktivitas di dapur yang berisik.
Membuat Rafael semakin kehilangan kata-kata dan terpojok.
Sialnya, keadaan ini semakin rumit bagi Rafael. Padahal ia belum sempat menghentikan mamanya. Sayangnya, malah maju satu langkah lebih cepat.
'Sial! Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak ingin mama mencarikan wanita untuk kunikahi. Bisa-bisa mama nanti asal memilih wanita. Tidak! Aku harus mencari cara untuk menghentikan aksi mama yang sangat konyol ini,' gumam Rafael yang saat ini memilih untuk melangkahkan kaki panjangnya menuju ke arah pintu keluar.
Selama menaiki anak tangga menuju ruangan kamar, Rafael tengah memutar otak untuk mencari ide. Namun, sepanjang berjalan, tetap tidak menemukan apapun untuk menghentikan rencana sang ibu.
Kemudian ia mengempaskan tubuh ke atas ranjang dan menatap ke arah langit-langit kamar. Di sana, ada bayangan sosok wanita yang masih sangat dicintai.
"Aku bahkan tidak bisa melupakanmu, Aeleasha. Apa yang harus kulakukan? Kau adalah wanita tidak punya hati!" lirih Rafael dengan perasaan berkecamuk dan membuncah.
To be continued...
Ancaman sang ibu untuk menyuruhnya cepat menikah kali ini bukanlah main-main. Sungguh, tadinya Rafael mengira kalau mamanya hanya bicara asal saja karena ingin ia melupakan Aeleasha terlebih dahulu, baru berpikir untuk mencari wanita pengganti.
Tidak disangka, perintah dari sang ibu benar-benar serius, sehingga membuatnya merasa sangat frustasi.
Rafael sudah sangat pusing memikirkan bagaimana cara menghentikan sang ibu dan sayangnya lagi, keinginannya sudah tidak bisa dihentikan.
Jika dalam waktu satu minggu ia tidak membawa calon istri untuk diperkenalkan pada sang ibu, sudah bisa diperkirakan akan terjadi hal-hal yang semakin merepotkan.
Mau tidak mau, ia harus bertindak lebih cepat. Ia tidak ingin dijodohkan dengan seorang wanita karena masih menikmati kesendiriannya.
Terdengar suara ketukan pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka tanpa dipersilakan. Sudah pasti siapa orangnya, yaitu Rudy. Pengacara perusahaannya, sekaligus teman baik yang sudah dua tahun mengenalnya dengan, membuatnya bebas bertingkah seperti itu.
"Pagi-pagi begini, wajahmu sudah kusut begitu. Ada masalah apa, CEO?" ujar Rudi yang kini menatap intens wajah masam yang menandakan sedang ada masalah tersebut.
Rudi yang saat ini terlihat membawa beberapa berkas dalam map, kemudian meletakkannya di atas meja.
Sementara Rafael kembali berkutat pada pikirannya.
Rudy yang melihat teman baiknya menampilkan wajah masam, merasa aneh karena tidak biasanya diam dan pandangan kosong tanpa mengerjakan apapun karena sering melihat bahwa pria tampan itu selalu menghabiskan waktu dengan pekerjaan.
Pria dengan tubuh tinggi tegap yang memakai setelan jas lengkap berwarna biru tersebut, kemudian mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Rafael, membuatnya mendelik ke atas.
"Ada masalah apa?" tanya Rudi yang baru saja mendaratkan tubuhnya di atas kursi.
"Aku harus mencari calon istri." Rafael menjawab skeptis, tetapi berhasil membuat Rudy ternganga.
"Wah!" Rudi kini refleks menutup mulutnya, takjub. "Akhirnya." Tawa renyah dan tepuk tangan solo bergema di seisi ruangan kerja berukuran luas tersebut.
Gumaman takjub itu tidak mendapat respons baik dari Rafael karena terlihat jelas dari tatapan mata serta helaan napas yang terdengar penuh tekanan.
Rudy pelan-pelan menghentikan reaksinya yang berlebihan. Ia mencondongkan badannya sedikit.
"Itu hal baik, bukan?" tanya Rudi untuk sekedar memastikan karena ia benar-benar sangat senang saat akhirnya sahabatnya memilih untuk mengakhiri masa lajang dan move on dari mantan istri.
"Tidak peduli hal baik atau bukan, jawabannya sudah pasti aku tidak bisa, tapi sekarang benar-benar mendesak." Rafael memijat pelipisnya. "Mamaku, kamu tahu? Kenapa dia tiba-tiba memintaku untuk menikah?" Rafael menghela napasnya dengan kasar.
"Lantas apa yang perlu dibingungkan? Kamu hanya perlu asal melirik saja pada para gadis lajang di kantor ini. Selama ini, banyak yang mengejarmu. Tentu mereka tidak akan menolak untuk menjadi calon istrimu. Kalau mau menikah, kalian hanya perlu menandatangani surat nikah. Setelah itu urusan selesai."
Rafael membuang napasnya dengan kasar begitu mendengar respon sahabatnya yang seolah sangat menggampangkan masalah besar yang telah dialaminya.
Bahkan ia sangat kesal karena sahabatnya benar-benar enteng bicara dan tidak mengerti perasaannya saat ini.
"Asal bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa asal memilih wanita, kamu tahu, kan? Standarku tinggi untuk wanita pengganti istriku," umpat Rafael dengan wajah masam.
Rudy tersenyum miring. "Mantan, Brother. Bukan istri karena dia sudah menikah lagi sekarang. Astaga! Standarmu yang terlalu tinggi atau kamu hanya belum bisa melirik wanita selain mantan istrimu?"
Rafael yang merasa tertampar, menipiskan bibir dan menatap manusia di depannya dengan tatapan tajam. "Jangan asal bicara hari ini atau aku akan benar-benar membuatmu keluar dengan wajah babak belur!"
Refleks Rudi langsung membuat simbol peace dengan tangannnya sambil terkekeh. Seolah menegaskan bahwa ia sama sekali tidak takut akan ancaman dari sahabatnya tersebut.
"Hei, temanku, dengarkan aku. Itulah yang mungkin dipikirkan orang-orang di kantor ini. Mengapa duda sepertimu tidak kunjung mencari istri lagi? Padahal kamu sudah punya segalanya. Bahkan para wanita pun mengantri untukmu. Kalau kamu menikah, itu juga cukup menguntungkan untuk nama baikmu."
Rafael berdecak kesal karena meskipun apa yang dikatakan oleh sahabatnya benar, sama sekali tidak tertarik pada wanita lain yang menurutnya sama sekali tidak secantik dan sebaik Aeleasha. Meskipun keadaan dan takdir yang membuat wanita itu pergi darinya.
"Siapa yang peduli gosip murahan di zaman sekarang ini? Itu sama sekali tidak mempengaruhi hidupku." Willy menyeruput teh yang sedari tadi menganggur di sisi mejanya sesaat.
"Lagipula, aku bukan lelaki brengsek yang asal menikahi wanita demi keuntungan sendiri."
Rudy yang sudah terlampau kesal mendengar argumen Rafael yang keras kepala, kini menyerobot cangkir teh di mejanya, lalu meminumnya sampai habis tidak bersisa.
"Kalau begitu, beri dia keuntungan juga. Apa susahnya?"
Cangkir teh dikembalikan ke tatakannya hingga berbunyi nyaring. "Aku pergi. Sepertinya percuma bicara dengan orang keras kepala sepertimu."
Pria dengan tubuh tinggi tegap tersebut lantas beranjak pergi meninggalkan sahabatnya yang dianggap sangat susah untuk di nasihati.
Sementara Rafael kini larut dalam pikirannya. Sedikit memikirkan semua perkataan yang diucapkan Rudy. Lama kelamaan semakin larut dalam pikirannya yang membuncah.
Ia kemudian mencoba mencari data-data karyawan wanita di dalam kantor melalui komputernya. Kemudian melihat biodata mereka satu per satu, tanpa terlewat satu pun.
Sudah sampai seperempat dari karyawan perempuan di kantornya, rasanya sudah melelahkan. Hingga setengah, seperempat, dan seluruhnya, Rafael tidak juga menemukan hal yang memuaskan.
Ia tanpa sadar kembali membuka dompet, memandang lekat foto pernikahannya dengan Aeleasha. Entah bagaimana wanita itu seakan telah menjadi pusat dunianya.
Ia ingin mencari wanita sepertinya. Wanita polos dan manis yang selalu ingin ia rengkuh. Wanita yang kecantikannya mampu membuatnya runtuh. Wanita yang selalu ingin ia jaga meski jauh.
Rafael tidak pernah tahu apakah mampu menerima selain Aeleasha, hingga ia hanya ingin mencari secercah sosok mantan istri meski pada diri orang lain.
Seolah otaknya saat ini bergerak sangat cepat, hingga nyaris lepas kendali. Pusing teramat sangat dirasakan karena terlalu memforsir otaknya beberapa hari ini.
Ia sungguh takut jika harus memulai hubungan baru lagi. Harus bertemu orang baru lagi, dan mungkin akan menorehkan luka yang sama. Bagai mencoba melangkah dengan luka di kaki yang menganga.
Namun, ia berpikir tetap harus melakukan sesuatu.
Rafael mencoba kembali mengingat perkataan Rudy. Ia lantas teringat akan sebuah kalimat.
Beri wanita itu keuntungan juga.
Tiba-tiba saja muncul sebuah ide yang cukup gila di otaknya. Ya, benar seperti itu. Jika ia dapat menemukan orang yang sekiranya mau membuat kesepakatan bisnis dalam pernikahan, itu tidak akan menjadi ikatan pernikahan sungguhan.
"Pernikahan kontrak."
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!