Jakarta, 2007
Sepasang manusia, laki-laki dan perempuan tengah asik menonton serial film romansa. Si perempuan bersandar di bahu si laki-laki.
"Sayang.."
"Iya, ada apa Dar?"
"Nggak papa, hehe. Cuma mau manggil aja."
Si laki-laki pun menggeleng kemudian mencubit hidung si perempuan saking gemasnya.
Dar adalah nama panggilan dari Dara Lazora. Ia dan Cakka Haztoro, laki-laki yang dipanggil 'sayang' oleh Dara sudah berpacaran sejak kelas 2 SMA. Kini mereka baru saja lulus dari SMA dan sedang merayakan kelulusan di rumah Dara.
"Kamu haus nggak?" tawar Dara.
"Nggak kok."
"Bener nih? Biar sekalian aku ambilin soalnya. Ini aku mau ke dapur."
"Nggak usah sayang."
"Oke."
Dara pun pergi ke dapur mengambil satu botol teh dingin. Tak lama kemudian ia pun sudah kembali duduk di samping Cakka. Mereka berdua kembali fokus menonton.
Tiba-tiba di akhir film tersebut, terdapat adegan ranjang si pemain utama. Cakka yang melihat itu pun menjadi panas dingin. Ia langsung mengambil sebotol teh yang dibawa Dara. Padahal tadi ia sempat menolak saat Dara menawarkannya untuk diambilkan teh.
Sial! Harusnya aku cari tau dulu sinopsisnya sebelum nonton film ini. Bahaya banget ini mah.
Cakka pun melihat ke arah Dara. Dara menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Syukurlah, Dara tidak melihat adegan ranjang tersebut. Bisa-bisa nanti aku dimarahi olehnya.
Cakka meraih Dara dan membawanya ke pelukannya. Ia pun segera mem-pause film tersebut dan menyudahi acara menonton mereka.
"Udah aku matikan Dar. Sorry aku nggak tau kalau ada adegan seperti itu." Dara hanya mengangguk pertanda tidak apa-apa.
Kemudian Cakka memberikan ide untuk masak bersama. Dara pun menyetujuinya. Waktu berlalu sudah 20 menit. Baik Dara maupun Cakka mereka sibuk dengan bagian masing-masing.
Cakka melihat keringat yang mengucur di pelipis wajah Dara. Ia pun menghentikan kegiatannya dan mengelap keringat Dara.
"Makasih," ucap Dara sambil tersenyum.
Bukannya menjawab 'sama-sama', Cakka malah terus memandang wajah Dara begitu intens. Dara yang dipandang seperti itu jadi merasa tidak tenang.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Dara.
"Aku jelek ya kalau sedang masak?" timpal Dara lagi.
"Nggak, justru kamu semakin cantik, Dar."
"Halah, gombal, hahaha."
"Aku nggak gombal, Dar."
Dara melihat keseriusan ucapan Cakka, ia memang tidak menggombal. Namun, rasanya aneh bagi Dara. Tidak biasanya Cakka memuji dirinya.
"Dar ...," panggil Cakka.
"Hm?" jawab Dara. "Kenapa lagi? Kamu udah lapar ya?" tanya Dara memastikan.
"Dar ...," panggil Cakka lagi sambil melingkarkan tangannya di pinggang Dara.
"Ada apa?"
"Look at me!"
Dara pun menuruti perintah Cakka. Ia melihat ke wajah Cakka. Kemudian memegang wajah Cakka dengan kedua tangannya.
"Kamu kenapa?" tanya Dara lagi.
"Aku cinta kamu, Dar. Cuma kamu yang aku inginkan."
"Aku tau, aku juga cinta kamu, Cakka. Makanya kita sekarang bisa menjalin hubungan. Ya, karena kita saling mencintai."
Cakka terdiam mendengar jawaban Dara. Entah kenapa di dalam dirinya ada gejolak hasrat yang membara. Apalagi setelah melihat Dara berkeringat seperti tadi. Itu mengingatkan Cakka dengan film yang tadi mereka tonton.
"Dar, aku pusing." Setelah mengucapkan kata itu Cakka lalu menumpahkan kepalanya di bahu Dara dengan tangannya yang masih melingkar di pinggang Dara.
"Sebentar, aku selesaikan dulu masaknya. Habis itu, aku antar kamu ke kamarku. Biar kamu istirahat." Cakka mengangguk.
Selesai masak, dengan susah payah Dara memapah Cakka ke kamarnya kemudian membaringkan Cakka di ranjangnya. Saat Dara ingin pergi keluar, Cakka menarik Dara ke dalam pelukannya.
"Aku pusing, kamu jangan pergi. Disini aja, temani aku."
"Iya aku temani, tapi bisa nggak pelukannya dilepas dulu?"
Cakka pun melepaskan pelukannya. Dara akhirnya mencoba bangun dari tubuh Cakka. Namun, lagi-lagi Cakka menarik tubuhnya hingga berada tepat di atas tubuh Cakka.
Cup.
Cakka mencium bibir Dara dengan begitu lembut. Dara merasa kaget dengan apa yang dilakukan Cakka. Karena biasanya Cakka hanya mencium pipi dan kening Dara. Ini juga merupakan ciuman pertama bagi Dara. Ia tidak tahu harus berbuat seperti apa.
Tiba-tiba ciuman yang awalnya sangat lembut berubah menjadi sedikit kasar. Cakka menggigit bibir Dara supaya Dara membalas ciumannya. Namun Dara hanya meringis kesakitan tanpa membalasnya. Akhirnya Cakka pun menghentikan aksinya.
"Maaf," ucap Cakka sambil memalingkan wajahnya ke samping. Ia merasa bersalah telah mencuri ciuman pertama kekasihnya tanpa izin.
Dara masih terdiam dengan apa yang yang terjadi barusan. Ia masih bingung dengan apa yang sudah terjadi. Ia juga tidak berpindah dari atas tubuh Cakka. Saat ia akan turun dari atas tubuh Cakka, pergerakan Dara membuat gairah Cakka kembali lagi. Akhirnya ciuman kedua, ketiga dan kesekian kalinya pun terjadi lagi sampai ke hubungan suami istri.
****
Malam harinya Dara terbangun dan menyadari apa yang telah mereka lakukan. Dara duduk dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia pun menangis sejadi-jadinya.
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
"Apa yang sudah aku lakukan?"
"Ibu, ayah maafkan aku. Hiks ... hiks ... hiks ... aku sudah kotor. Aku tidak bisa menjaga amanah kalian untuk menjaga kehormatan ku."
Cakka terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tangisan Dara. Ia pun tersadar bahwa penyebab Dara menangis adalah ulah dirinya.
Cakka mencoba memeluk Dara. Namun, Dara menolak dan tetap menangis.
Oh Tuhan, ini salahku. Kenapa aku bisa melakukan itu pada orang yang sangat aku cintai? Aku benar-benar dikuasi oleh nafsu, bahkan aku sampai tidak mendengarkan tangis dan penolakannya ketika aku melakukannya.
"Dara, maafkan aku," ucap Cakka merasa bersalah.
"Memangnya dengan kata maaf bisa mengembalikan semuanya?" jawab Dara sambil menangis dengan suara agak keras.
"Kalau aku hamil gimana?" ucap Dara dengan nada yang merendah.
Dara masih terus menangis, ia merasa dirinya kotor dan tidak ada harga dirinya. Cakka dengan keberanian yang ia miliki, ia memeluk Dara, mencoba memberikan ketenangan bagi Naya.
"Kalau kamu hamil, aku janji akan tanggung jawab, Dar."
"Kamu jangan nangis terus. Aku sedih liatnya."
Dara pun sudah mulai mereda tangisnya. Ia mulai menenangkan dirinya.
"Janji ya? Kamu bakalan tanggung jawab kalau aku hamil." Cakka pun mengangguk.
Cakka mengelus-elus punggung Dara.
"Semuanya akan baik-baik aja. Aku janji."
Ucapan Cakka cukup membuat Dara sedikit lebih tenang dan membuat senyuman manis terukir di wajahnya. Cakka yang melihat senyuman itu pun ikut tersenyum.
Aku janji. Ini adalah tangisan terakhir yang aku buat. Setelah itu, izinkan aku untuk selalu membuatmu tersenyum. Karena senyummu adalah candu untukku.
******
Gimana nih bab pertamanya? 🤭
Bikin kaget nggak?
Semoga kalian suka ya.
Satu bulan kemudian, Dara mulai gelisah karena ia tak kunjung menstruasi. Sampai akhirnya ia memberanikan dirinya untuk mengecek apakah ia hamil atau tidak menggunakan testpack. Dan ternyata hasilnya positif, Dara menangis.
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
"Bagaimana ini? Aku benar-benar hamil. Aku takut, kalau Cakka tidak menepati janjinya. Bagaimana kehidupanku setelahnya? Hiks ... hiks ... hiks ...."
Dara memberanikan diri untuk menelpon Cakka. Ia memberitahukan bahwa dirinya benar-benar sedang mengandung. Cakka pun segera bergegas ke rumah Dara untuk membawa Dara ke rumahnya dan meminta izin pada ibu Cakka.
Sesampainya di depan rumah Cakka, Dara merasa takut dan khawatir ibunya Cakka tidak akan merestui mereka.
"Tenang, ada aku Dar. Kita lewatin ini sama-sama." Dara pun mengangguk.
Kini Dara, Cakka dan ibunya sedang duduk di ruang tamu. Cakka pun menjelaskan situasi yang mereka alami dan Cakka berniat untuk bertanggungjawab pada Dara. Dengan Cakka yang akan menikahi Dara.
Mira, ibunya Cakka ia menyuruh Cakka masuk ke kamar ibunya untuk mengambil cincin untuk pertunangan dadakan. Tapi, yang terjadi selama Cakka meninggalkan mereka berdua membuat hati Dara hancur.
"Kamu pikir saya akan merestui kalian?" ucap Mama Mira sambil menampilkan senyum tipisnya.
"Gak akan! Anak saya itu anak baik-baik. Mana mungkin dia menghamili seorang wanita. Atau jangan-jangan yang ada di dalam kandungan kamu itu bukan anak dari Cakka?"
"Dasar perempuan murahan!"
"Pasti kamu mengincar harta anak saya kan?"
"Selama ini saya mengizinkan kamu pacaran dengannya karena saya pikir anak saya akan segera meninggalkan kamu."
"Cukup Tante! " Dara mencoba menahan air matanya supaya tidak jatuh mendengar ucapan yang menyayat hatinya.
"Saya bukan perempuan murahan. Saya hanya melakukan itu dengan anak Tante."
"Mana ada sih maling ngaku!"
"Nih, saya kasih cek untuk biaya anak yang ada di dalam kandungan kamu."
"Butuh berapa? Bilang aja. Asalkan kamu jangan ganggu kehidupan anak saya lagi dan pergi jauh. Masa depan anak saya masih panjang, tidak seperti kamu yang hanya anak yatim piatu!"
"100 juta cukup?"
Mama Mira pun menulis nominal uang 100 juta di sebuah cek dan memberikannya pada Dara.
"Saya bukan perempuan matre seperti yang Tante pikirkan." Dara merobek cek yang diberikan Mama Mira padanya.
"WOW! Sombong sekali ya kamu!"
"Dengan Tante memberikan cek tadi pada saya, saya jadi tau. Kalau Tante hanya menghargai cucu Tante dengan uang senilai 100 juta. Padahal seorang anak itu tidak ada harganya bagi seorang ibu. Saya permisi."
Dara pun pergi dari rumah Cakka tanpa pamit ke Cakka lebih dulu. Hatinya begitu sakit dihina dan direndahkan seperti itu. Ia juga tidak ingin berada di posisi yang seperti ini. Tidak diharapkan dan tidak diterima di keluarga sang laki-laki.
Sesampainya di rumah, Dara langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkan rumah.
Sekarang ia sudah berada di terminal, ia duduk di sudut-sudut terminal sambil meringkuk.
"Aku harus kemana? Hiks..hiks.."
"Hatiku sangat sakit dihina oleh Tante Mira."
"Cakka maafkan aku."
"Kita memang tidak berjodoh."
"Tapi aku janji, akan membesarkan anak ini dengan baik."
Tiba-tiba ada seorang perempuan yang menepuk punggungnya kemudian duduk di sebelah Dara.
"Aku tahu, pasti ini berat untuk kamu. Tapi, percayalah akan selalu ada jalan untuk bisa kamu raih."
Dara pun mendongak dan menatap perempuan tersebut.
"Kenalkan namaku Sasa Denina, maaf aku nggak sengaja dengar keluh kesah kamu." Dara mengangguk kemudian memperkenalkan dirinya.
"Aku Dara Lazora, panggil saja Dara."
"Oke. Kamu mau pergi kemana?"
"Entahlah, aku juga nggak tau."
"Mau ikut denganku?"
Sebuah ajakan yang membuat Dara terharu. Tanpa pikir panjang Dara mengiyakan ajakan Sasa. Sasa membawa Dara ke Bandung.
Di perjalanan, mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan pribadi. Dara adalah anak tunggal dan kedua orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Kedua orangtuanya hanya meninggalkan sebuah rumah dan beberapa emas serta sedikit uang untuk Dara. Sampai Dara harus berjuang untuk mencukupi hidupnya dengan bekerja sambil sekolah.
Sedangkan Sasa, ia adalah anak dari hasil hubungan terlarang antara ibunya yang seorang pembantu dengan ayahnya yang seorang majikan. Ibunya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Sasa ke Jakarta untuk berjumpa dengan ayahnya, namun naas ia justru malah tidak dianggap sama sekali hingga ia akhirnya memutuskan untuk pulang dan enggan bertemu kembali dengan ayahnya itu.
Kehidupan keduanya sungguh menyedihkan. Hingga mereka pun akhirnya memutuskan untuk menjadi keluarga satu sama lainnya.
*****
Bandung, 2007
Dara dan Sasa sudah sampai di kampung halaman Sasa. Sasa membawa Dara ke rumahnya.
"Ini rumahku. Semoga kamu betah ya."
"Makasih Sa. Kamu sudah banyak membantuku dan mengizinkan aku untuk tinggal bersamamu."
"Nggak Dar, kita itu saling membantu. Kamu menemani aku yang sebatang kara. Begitu juga aku. Kalau perlu apa-apa bilang ya?" Dara mengangguk.
Dara memasuki kamar yang ada, ia merebahkan dirinya di ranjang. Ia menatap langit-langit kamar dan membayangkan kenangan indah yang dilaluinya dengan Cakka.
"Cakka semoga kamu bahagia."
"Maaf, aku terlalu mencintai kamu. Hingga aku lebih memilih untuk tidak menjadi perusak masa depan kamu."
Sebenarnya alasan utama Dara bukanlah itu. Dara sudah bertekad dalam dirinya untuk melupakan kejadian yang membuatkan menangis. Kini ia akan berusaha untuk menjaga dan merawat janin yang ada di dalam kandungannya.
"Kamu sehat-sehat di dalam ya."
Tanpa Dara ketahui, Sasa melihat dan mendengar ucapan Dara. Ia merasa sedih. Meskipun Dara belum bercerita ia hamil dengan siapa. Tapi, Sasa tau kalau Dara mencintai laki-laki itu. Begitu pula sebaliknya. Yang Sasa pikirkan sekarang adalah mengapa Dara mengambil keputusan untuk pergi menjauh dari laki-laki tersebut.
Mengingat itu, ia tersadar apa yang dilakukan Dara sama persis dengan apa yang dilakukan ibunya.
"Aku harap ketika anak kamu besar nanti. Ayahnya bisa mengakui anaknya. Tidak seperti aku."
Sasa tersenyum tipis namun sorot matanya sudah sedikit berair. Ia kemudian pergi ke dapur menyiapkan makanan untuk Dara.
Malam harinya, Dara dan Sasa mengobrol lagi tentang bagaimana kehidupan mereka setelahnya.
"Dar, besok aku akan cari kerja. Kamu di rumah aja."
"Sa, aku juga mau cari kerja. Aku nggak enak sama kamu. Udah numpang malah enak-enakan di rumah. Aku nggak mau begitu."
"Nggak papa Dar. Ibu hamil itu nggak boleh capek."
Mereka terus berdebat, hingga akhirnya Dara mengalah dan menuruti permintaan Sasa.
Hari demi hari mereka lalui bersama. Dara dan Sasa saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka bahagia meskipun dalam hatinya masih ada sesak yang belum bisa terobati.
*****
Halo semuanya. 😁
Kira-kira gimana kelanjutannya ya?
Bandung, 2014
Semuanya sudah banyak berubah. Dara sudah melahirkan anaknya dan kini usianya 6 tahun. Namanya Revan Lazora. Anak laki-laki yang pintar, lucu juga menggemaskan.
Dara, ia bekerja di sebuah perusahaan besar di Bandung namanya Haz Group sebagai sekretaris dari seorang direktur personalia.
Lalu Sasa, ia berhasil membuka restoran yang bertemakan kuliner khas Indonesia. Nama restoran tersebut adalah 'Sasa Rasa'.
Setiap harinya Sasa dan Dara bergantian untuk menjaga Revan. Seperti sekarang, Sasa lah gilirannya. Sasa membawa Revan ke restorannya.
"Kamu mau makan apa Van?"
"Apa ya?" ucap Revan sambil menaruh telunjuk di pipinya.
"Ih, tante tuh gemes kalau liat kamu tau, haha." Sasa mencubit pipi Revan karena gemas.
"Tante mah.." Revan menaruh kedua tangannya untuk menyanggah pipinya.
"Hahahha, ya udah kalau masih bingung. Tante pilihin buat kamu aja ya." Revan pun mengangguk menyetujui.
Revan duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela. Ia menatap keluar jendela. Ia melihat banyak sekali keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang sedang berjalan-jalan.
Seketika raut wajah Revan berubah manjadi muram. Ia ingin merasakan apa yang mereka rasakan.
Papa dimana? Revan mau ketemu. Revan mau main sama papa.
Tiba-tiba Sasa datang dan melihat wajah Revan yang sedang muram sambil melihat keluar jendela. Ia pun menghela napas kasar. Selama 7 tahun bersama Dara, tak pernah sedikitpun Dara memberitahu bagaimana rupa dari papa Revan kecuali namanya yaitu Cakka.
Tante yakin, suatu hari nanti kamu bakalan ketemu sama papa kamu, Van. Cukup Tante aja yang pernah merasakan sakit dan sedih tidak dianggap anak oleh ayah tante. Kamu jangan.
"Eh, liat apaan sih? Sampai Tante datang dicuekin? Hm?"
"Nggak kok Tante."
"Ayo dimakan."
"Iya Tante."
Selesai makan, Sasa membawa Revan jalan-jalan ke taman di dekat restoran. Sasa dengan senang hati menjawab pertanyaan dari Revan. Karena pada dasarnya, Revan adalah anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
"Tante, sebentar lagi kan Revan mau masuk sekolah. Kira-kira mama bisa nggak ya anterin Revan?"
"Pasti bisa dong sayang. Kalaupun nggak bisa. Kan masih ada Tante."
"Kenapa mama harus kerja?" tanya Revan dengan polosnya.
"Kalau mama nggak kerja. Kamu makannya gimana? Sekolahnya gimana? Kan semuanya pakai uang. Dan untuk dapetin uang. Kita harus kerja." Sasa mencoba memberikan pengertian pada Revan.
"Revan ingin cepat besar. Supaya bisa menghasilkan uang. Dan mama nggak usah kerja lagi."
Sasa tersenyum mendengar penuturan anak kecil ini. Revan menjadi sedikit dewasa dibandingkan usianya. Ia memaklumi dan menghargai apapun yang diberikan mamanya. Ia jarang meminta sesuatu kecuali di hari ulang tahunnya.
"Kita duduk disini aja ya. Kaki Tante pegal nih."
"Oke Tante."
Tiba-tiba Revan bertanya lagi pada Sasa.
"Tante, Revan itu punya papa kan?"
DEG!
Bagaikan petir yang menyambar. Sasa bingung harus menjawab bagaimana. Ia takut salah bicara. Sasa tahu, Revan tidak akan mungkin menanyakan hal ini pada mamanya. Karena Dara selalu sedih ketika ditanya seperti itu oleh Revan.
"Setiap anak itu pasti punya papa."
"Kalau begitu, dimana papa Revan?"
DEG!
Lagi dan lagi pertanyaan Revan membuat Sasa mati kutu dibuatnya. Sasa pun tidak tahu dimana keberadaan Cakka.
"Van, dengerin Tante."
"Tante tau kamu pasti rindu dan mau ketemu sama papa kamu. Tapi ..." Sasa menghela napas sejenak kemudian melanjutkan ucapannya. "Kalau kamu terus-terusan nanyain tentang papa. Nanti mama kamu sedih. Kamu nggak mau kan buat mama kamu sedih?" Revan pun menggeleng.
"Revan nggak mau buat mama sedih. Revan mau buat mama bahagia."
"Kalau begitu, simpan pertanyaan kamu di dalam hati. Kalau kamu rindu dan mau ketemu papa. Kamu liat aja bintang di langit. Curahkan semua yang mau kamu ungkapkan sama papa. Oke?"
"Oke Tante."
"Pintar." Sasa mengacak-acak rambut Revan.
"Is, berantakan Tante." Revan mem-pout-kan bibirnya.
Sasa tertawa melihat Revan yang menggemaskan. Mereka berdua pun bercerita banyak di taman itu.
****
Sementara Dara yang berada di kantor, ia sedang sibuk mengatur jadwal dan menyalin hasil rapat yang berlangsung 15 menit yang lalu.
"Duh, banyak banget lagi. Semoga aja bisa selesai. Mana udah ditunggu sama Gavin lagi."
Gavin Giovano adalah direktur personalia di perusahaan tersebut sekaligus teman Dara. Mereka bertemu 6 tahun yang lalu setelah Dara melahirkan. Gavin hanya tau Dara sudah punya anak dan hidup sendiri.
Dengan bersusah payah sambil dikejar waktu, Dara akhirnya selesai mengetik hasil rapat juga jadwal untuk Gavin. Kemudian ia mencetak file tersebut dan akan memberikannya pada Gavin.
Beberapa menit kemudian, Dara berjalan masuk ke ruangan Gavin. Tentunya ia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum ia berada di dalam ruangan Gavin dan diizinan masuk oleh Gavin.
"Saya sudah menyalin dan mengatur jadwal Pak Gavin. Saya taruh di meja ya, Pak."
"Dar, Dar, udah gue bilang. Kalau lagi berdua jangan panggil gue bapak. Gue masih 26 tahun lho! Belum tua-tua banget."
"Habisnya nggak enak sama karyawan yang lain pak. Berbeda kalau misalnya kita tidak di kantor."
"Ya udah, terserah lo deh Dar."
"Kalau begitu saya permisi Pak." Gavin mengangguk.
"Nanti pulang gue anter Dar."
Dara tidak memberi jawaban sama sekali karena saat Gavin berbicara, Dara sudah berada di pintu dan menutupnya.
"Semoga dia denger deh," ucap Gavin.
Dara keluar dari ruangan Gavin dan berjalan ke arah pintu keluar. Ia mengambil kemeja Gavin yang berada di atas sofa untuk ia masukan ke tempat laundry sebelum keluar dari ruangan.
Pekerjaan Dara memang sebagai sekretaris, namun sebagai teman ia juga terkadang membantu Gavin dalam urusan pakaian, dasi ataupun makanan.
Dara berjalan dengan cepat. Namun tiba-tiba ia tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawan arah dengannya.
Bruk!
"Maaf, maaf saya tidak sengaja. Saya buru-buru soalnya."
Dara mengucapkan kata maaf tetapi tidak menatap orang yang ditabraknya. Ia pun mendongak dan melihat siapa yang ditabraknya.
DEG!
Seketika Dara terdiam mematung. Entah ini mimpi atau nyata. Ia sungguh terkejut. Berbeda dengan Cakka, ia justru malah dibuat berdebar oleh Dara.
"Ka-kamu..?" ucap Dara tergugu, ia benar-benar merasa semua ini adalah mimpi.
"Ya, kenapa dengan saya?"
"Hah?"
Cakka terkejut dengan jawaban yang diberikan Dara. Dara justru dibuat bingung.
Apa dia tidak mengingatku?
"Maaf sekali lagi pak. Permisi." Dara langsung pergi dengan rasa penasaran di dalam dirinya.
Cakka melihat kepergian Dara dengan rasa yang aneh dalam dirinya.
"Gue kenapa? Ada apa dengan wanita itu? Kenapa rasanya familiar? Tapi, dia sangat menarik." Cakka tersenyum mengingat wajah perempuan yang dilihatnya.
"Biasanya para wanita selalu meminta nomor ataupun muji gue. Tapi dia nggak sama sekali. Benar-benar menarik!"
Cakka pun berjalan menuju ke tempat yang akan ia tuju.
*******
Halo semuanya 😁
Jangan lupa komentarnya ya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!